Hikmah dan Syari’ah Ibadah Qurban
Ibadah qurban adalah ibadah menyembelih binatang qurban yang dilakukan pada hari raya qurban atau ‘Ied al-Adha. ‘Ied al-Adha adalah salah satu dari dua hari raya yang disyari’atkan Allah Ta’ala kepada seluruh muslimin di seluruh dunia. Hari raya yang lain yang disyari’atkan adalah ‘Ied al-Fithri. Hal ini ditegaskan oleh Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu
قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
bahwa Rasulullah ‘alaihi ash-shalatu wa as-salam datang, sedangkan penduduk Madinah di masa jahiliyyah memiliki dua hari raya yang mereka bersuka ria padanya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apakah dua hari yang kalian rayakan itu?”, mereka menjawab:”Kami bersuka ria pada hari-hari tersebut pada masa jahiliyyah”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:” Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari raya yang lebih baik dari keduanya: hari raya al-Adha dan hari raya al-Fithri.” (HR Abu Dawud, an-Nasa’i, Ahmad, al-Hakim, al-Baghawi dengan lafadz Abu Dawud, hadits dishahihkan al-Albani, al-Baghawi, al-Hakim dan disepakati adz-Dzahabi)
Istilah “qurban” secara bahasa bermakna apa yang dengannya dia mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Sedangkan “adha” bentuk jama’ (plural) dari “adhaah” yang semakna dengan “udhiyah” yang berarti kambing sembelihan pada ‘Ied al-Adha (Mukhtar ash-Shihah), dari makna bahasa ini maka menyembelih binatang pada ‘Ied al-Adha adalah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala semata-mata. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Istilah “qurban” secara bahasa bermakna apa yang dengannya dia mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Sedangkan “adha” bentuk jama’ (plural) dari “adhaah” yang semakna dengan “udhiyah” yang berarti kambing sembelihan pada ‘Ied al-Adha (Mukhtar ash-Shihah), dari makna bahasa ini maka menyembelih binatang pada ‘Ied al-Adha adalah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala semata-mata. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS al-Hajj:37)
Ibnu Katsir berkata: ”Sesungguhnya Allah mensyari’atkan penyembelihan binatang-bingatang qurban supaya kamu ingat kepada-Nya ketika menyembelih, karena sesungguhnya Dia Maha Menciptakan dan Maha Memberi rizqi. Daging dan darahnya tidak akan sampai kepada-Nya sedikitpun karena Dia Maha Kaya dari semua makhluq-Nya.”
Beliau juga berkata: ”Sesungguhnya mereka pada masa Jahiliyyah apabila menyembelih binatang-binatang qurban untuk sesembahan-sesembahan mereka, mereka meletakkan dagingnya pada sesembahan-sesembahan itu dan memercikkan darahnya pada sesembahan-sesembahan itu. Maka Allah menurunkan ayat tersebut.” (Tafsir Ibnu Katsir dengan saduran)
Ibadah qurban kita semata-mata karena ketaqwaan kita dalam rangka mendekatkan diri kita kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala tidaklah memerlukan daging dan darahnya karena Allah Maha Kaya dari seluruh makhluq-Nya.
Dalam hal ini terdapat contoh bagi kita semua pada diri Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il ’alaihima as-salam
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ -102
فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ -103
وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ -104
قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ -105
إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ -106
وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ -107
Maka tatkala anak (Isma’il) itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ”Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: ”Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Dan Kami panggillah dia: ”Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (QS ash-Shaffat:102-107)
Di dalam kisah tersebut jelas sekali bagaimana ketaqwaan kedua Nabi Allah yaitu Ibrahim dan Isma’il ’alaihima as-salam. Keduanya berhasil lulus dalam ujian Allah Ta’ala yang nyata. Mereka berdua diberi balasan oleh Allah Ta’ala karena mereka termasuk orang-orang yang berbuat baik dengan kesabaran mereka yakni kesabaran dalam menta’ati seluruh perintah Allah Ta’ala tanpa terkecuali dan lebih mendahulukan perintah-Nya dibanding hawa nafsu dan akal fikirannya. Ujian kedua Nabi Allah Ta’ala itu sungguh jauh lebih berat dibandingkan sekedar menyisihkan sebagian rizki kita untuk membeli seekor kambing atau bertujuh membeli seekor lembu maupun unta dalam rangka melaksanakan ibadah qurban ikhlas karena Allah Ta’ala. Bagaimana mungkin kita mampu menegakkan seluruh syari’at-Nya kalau dalam hal seperti ibadah qurban ini kita masih gamang dan ragu-ragu terutama apabila kita termasuk golongan yang mampu berqurban.
Allah Ta’ala tidaklah memerlukan daging dan darah binatang qurban, maka Allah mengetuk hati kita untuk ingat dan berbagi dengan saudara-saudara kita terutama orang-orang faqir dan miskin.
Di dalam kisah tersebut jelas sekali bagaimana ketaqwaan kedua Nabi Allah yaitu Ibrahim dan Isma’il ’alaihima as-salam. Keduanya berhasil lulus dalam ujian Allah Ta’ala yang nyata. Mereka berdua diberi balasan oleh Allah Ta’ala karena mereka termasuk orang-orang yang berbuat baik dengan kesabaran mereka yakni kesabaran dalam menta’ati seluruh perintah Allah Ta’ala tanpa terkecuali dan lebih mendahulukan perintah-Nya dibanding hawa nafsu dan akal fikirannya. Ujian kedua Nabi Allah Ta’ala itu sungguh jauh lebih berat dibandingkan sekedar menyisihkan sebagian rizki kita untuk membeli seekor kambing atau bertujuh membeli seekor lembu maupun unta dalam rangka melaksanakan ibadah qurban ikhlas karena Allah Ta’ala. Bagaimana mungkin kita mampu menegakkan seluruh syari’at-Nya kalau dalam hal seperti ibadah qurban ini kita masih gamang dan ragu-ragu terutama apabila kita termasuk golongan yang mampu berqurban.
Allah Ta’ala tidaklah memerlukan daging dan darah binatang qurban, maka Allah mengetuk hati kita untuk ingat dan berbagi dengan saudara-saudara kita terutama orang-orang faqir dan miskin.
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS al-Hajj:28)
Salah satu tafsiran para ahli tafsir dan ahli fiqh tentang “hari yang telah ditentukan” adalah hari-hari “nahr” atau menyembelih yakni ‘Ied al-Adha (10 Dzulhijjah) dan tiga hari setelahnya yakni hari-hari tasyriq (11-13 Dzuhijjah). Sehingga perintah untuk memberi makan orang-orang faqir mencakup juga ibadah qurban ‘Ied al-Adha selain ibadah qurban bagi jama’ah haji atau yang biasa disebut “al-hadyu” (Tafsir Ibnu Katsir, al-Baghawi dan ath-Thabari). Hal ini juga berdasar riwayat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu:
أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَمَرَهُ أَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا فِي الْمَسَاكِينِ وَلَا يُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا مِنْهَا شَيْئًا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku untuk mengurusi kurban-kurbannya; membagi-bagikan daging, kulit dan pakaiannya kepada orang-orang miskin, dan aku tidak diperbolehkan memberi suatu apapun dari kurban kepada penyembelihnya. (HR al-Bukhari dan Muslim dengan lafadz Muslim)
Selain dibagikan kepada orang miskin disunnahkan kita memakan daging sembelihan serta berbagi dengan kerabat, sahabat dan tetangga berdasar QS al-Hajj:28. Hal ini akan mempererat hubungan kerabat dalam rangka menyambung silaturrahim, mempererat hubungan persahabatan dan persaudaraan khususnya sesama muslim dan juga berbuat baik kepada tetangga yang juga merupakan ajaran syari’at Islam. Tentu saja masih banyak hikmah dari ibadah qurban dan juga syari’at Allah Ta’ala karena Allah adalah al-Hakim, yakni seluruh apa yang diperintahkan-Nya pasti penuh hikmah dan kebaikan bagi umat manusia dan umat Islam khususnya akan tetapi sebagian besar manusia tidaklah mengetahui.
Ibadah qurban disyari’atkan kepada umat Islam berdasarkan al-Quran, as-Sunnah dan Ijma’.
Allah Ta’ala berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah . (QS al-Kautsar:2)
Makna ” وَانْحَرْ (wanhar)” adalah menyembelih binatang qurban menurut ahli tafsir dari para salaf ash-shalih seperti Ibnu ’Abbas, ’Atha, Mujahid, ’Ikrimah, Qatadah, adh-Dhahak dan al-Hasan. Pendapat ini juga dipilih dan dikuatkan oleh Ibnu Katsir dan ath-Thabari (Tafsir Ibnu Katsir dan ath-Thabari).
Sedangkan dari sunnah adalah riwayat Anas bin Malik radhiallahu ’anhu:
ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ يُسَمِّي وَيُكَبِّرُ
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menyembelih dua ekor kambing beliau membaca basmalah dan bertakbir. (HR al-Bukhari dan Muslim dengan lafadz al-Bukhari)
Ibnu Qudamah menyatakan ijma’ dalam masalah ini di kitabnya al-Mughni. al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat bahwa ibadah qurban termasuk syi’ar-syi’ar agama. Perbedaan pendapat hanya terjadi tentang hukum dari ibadah qurban. Sebagian menyatakan wajib, sebagian menyatakan sunnah muakkadah dan ini adalah pendapat mayoritas ulama sebagaimana dinyatakan al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari. Rincian hukum-hukum tentang ibadah qurban dibahas oleh para ulama dalam kitab-kitab fiqh. Allahu a’lam bi ash-shawab.
Salah satu tafsiran para ahli tafsir dan ahli fiqh tentang “hari yang telah ditentukan” adalah hari-hari “nahr” atau menyembelih yakni ‘Ied al-Adha (10 Dzulhijjah) dan tiga hari setelahnya yakni hari-hari tasyriq (11-13 Dzuhijjah). Sehingga perintah untuk memberi makan orang-orang faqir mencakup juga ibadah qurban ‘Ied al-Adha selain ibadah qurban bagi jama’ah haji atau yang biasa disebut “al-hadyu” (Tafsir Ibnu Katsir, al-Baghawi dan ath-Thabari). Hal ini juga berdasar riwayat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu:
أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَمَرَهُ أَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا فِي الْمَسَاكِينِ وَلَا يُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا مِنْهَا شَيْئًا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku untuk mengurusi kurban-kurbannya; membagi-bagikan daging, kulit dan pakaiannya kepada orang-orang miskin, dan aku tidak diperbolehkan memberi suatu apapun dari kurban kepada penyembelihnya. (HR al-Bukhari dan Muslim dengan lafadz Muslim)
Selain dibagikan kepada orang miskin disunnahkan kita memakan daging sembelihan serta berbagi dengan kerabat, sahabat dan tetangga berdasar QS al-Hajj:28. Hal ini akan mempererat hubungan kerabat dalam rangka menyambung silaturrahim, mempererat hubungan persahabatan dan persaudaraan khususnya sesama muslim dan juga berbuat baik kepada tetangga yang juga merupakan ajaran syari’at Islam. Tentu saja masih banyak hikmah dari ibadah qurban dan juga syari’at Allah Ta’ala karena Allah adalah al-Hakim, yakni seluruh apa yang diperintahkan-Nya pasti penuh hikmah dan kebaikan bagi umat manusia dan umat Islam khususnya akan tetapi sebagian besar manusia tidaklah mengetahui.
Ibadah qurban disyari’atkan kepada umat Islam berdasarkan al-Quran, as-Sunnah dan Ijma’.
Allah Ta’ala berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah . (QS al-Kautsar:2)
Makna ” وَانْحَرْ (wanhar)” adalah menyembelih binatang qurban menurut ahli tafsir dari para salaf ash-shalih seperti Ibnu ’Abbas, ’Atha, Mujahid, ’Ikrimah, Qatadah, adh-Dhahak dan al-Hasan. Pendapat ini juga dipilih dan dikuatkan oleh Ibnu Katsir dan ath-Thabari (Tafsir Ibnu Katsir dan ath-Thabari).
Sedangkan dari sunnah adalah riwayat Anas bin Malik radhiallahu ’anhu:
ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ يُسَمِّي وَيُكَبِّرُ
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menyembelih dua ekor kambing beliau membaca basmalah dan bertakbir. (HR al-Bukhari dan Muslim dengan lafadz al-Bukhari)
Ibnu Qudamah menyatakan ijma’ dalam masalah ini di kitabnya al-Mughni. al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat bahwa ibadah qurban termasuk syi’ar-syi’ar agama. Perbedaan pendapat hanya terjadi tentang hukum dari ibadah qurban. Sebagian menyatakan wajib, sebagian menyatakan sunnah muakkadah dan ini adalah pendapat mayoritas ulama sebagaimana dinyatakan al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari. Rincian hukum-hukum tentang ibadah qurban dibahas oleh para ulama dalam kitab-kitab fiqh. Allahu a’lam bi ash-shawab.
0 comments:
Post a Comment