Thursday, April 17, 2025

Allah Ta‘ala Mengajak Hamba-hamba-Nya dalam Al-Qur’an Untuk Mengenal-Nya Melalui Dua Jalan

Allah Ta‘ala mengajak hamba-hamba-Nya dalam Al-Qur’an untuk mengenal-Nya melalui dua jalan:


Pertama, dengan merenungi ciptaan-ciptaan-Nya (maf‘ūlātih).
Kedua, dengan merenungi dan mentadabburi ayat-ayat-Nya (āyātih); yang pertama adalah ayat-ayat yang disaksikan (kauniyyah), dan yang kedua adalah ayat-ayat yang didengar dan dipahami (syar‘iyyah).

Jenis pertama seperti firman-Nya:

> “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, dan kapal-kapal yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia...” (Al-Baqarah: 164)
Dan:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Ali ‘Imran: 190)
Ayat semacam ini sangat banyak dalam Al-Qur’an.



Jenis kedua seperti firman-Nya:

> “Maka apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur’an?” (An-Nisa’: 82)
“Maka apakah mereka tidak memikirkan perkataan (Al-Qur’an) itu?” (Al-Mu’minun: 68)
“Kitab yang Kami turunkan kepadamu yang penuh berkah agar mereka mentadabburi ayat-ayatnya.” (Shad: 29)
Dan ini pun banyak ditemukan dalam Al-Qur’an.



Adapun ciptaan-ciptaan (maf‘ūlāt) menunjukkan adanya perbuatan (af‘āl), dan perbuatan menunjukkan sifat-sifat (ṣifāt). Sebab, sebuah ciptaan menunjukkan adanya Pencipta yang melakukannya, dan itu meniscayakan adanya eksistensi, kemampuan, kehendak, dan ilmu dari Sang Pencipta. Karena tidak mungkin sebuah perbuatan yang bersifat pilihan muncul dari sesuatu yang tidak ada, atau dari sesuatu yang ada tapi tidak memiliki kemampuan, kehidupan, ilmu, dan kehendak.

Kemudian, segala bentuk pembatasan dan ragam dalam ciptaan menunjukkan adanya kehendak (irādah), dan bahwa perbuatan-Nya bukanlah terjadi secara alamiah dan seragam.
Apa yang terkandung dalam ciptaan dari manfaat, hikmah, dan tujuan yang baik menunjukkan hikmah-Nya.
Apa yang mengandung kebaikan dan pemberian menunjukkan rahmat-Nya.
Apa yang berupa azab dan hukuman menunjukkan murka-Nya.
Apa yang menunjukkan kemuliaan dan kedekatan menunjukkan cinta-Nya.
Apa yang mengandung kehinaan dan pengusiran menunjukkan kebencian dan kemurkaan-Nya.
Apa yang menunjukkan permulaan sesuatu dalam kelemahan hingga mencapai kesempurnaan menunjukkan kebenaran akan adanya kebangkitan (al-ma‘ād).
Apa yang tampak dalam tumbuhan, hewan, dan pengaturan air menunjukkan kemungkinan terjadinya kebangkitan.
Apa yang tampak dari tanda-tanda rahmat dan nikmat pada makhluk-Nya menunjukkan kebenaran kenabian.
Apa yang tampak dari kesempurnaan pada sesuatu yang bila tidak ada maka akan cacat, menunjukkan bahwa Dzat yang memberi kesempurnaan itu lebih berhak atasnya.

Maka ciptaan-ciptaan-Nya (maf‘ūlātuh) adalah salah satu bukti paling kuat tentang sifat-sifat-Nya, dan kebenaran apa yang diberitakan oleh para Rasul-Nya tentang diri-Nya.

Ciptaan-ciptaan-Nya menjadi saksi yang membenarkan ayat-ayat yang didengar, dan sekaligus mengingatkan manusia agar mengambil pelajaran dari tanda-tanda yang tercipta.

Allah Ta‘ala berfirman:

> “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar.” (Fussilat: 53)
Yakni bahwa Al-Qur’an adalah kebenaran. Maka Allah mengabarkan bahwa Dia akan memperlihatkan kepada manusia tanda-tanda nyata yang membuktikan kebenaran ayat-ayat yang dibacakan. Kemudian Allah juga menegaskan bahwa kesaksian-Nya saja sudah cukup atas kebenaran berita-Nya, karena Dia telah menegakkan bukti-bukti dan dalil atas kebenaran Rasul-Nya.



Ayat-ayat-Nya menjadi saksi atas kebenaran Rasul-Nya, dan Dia pun menjadi saksi atas kebenaran ayat-ayat tersebut melalui ayat-ayat-Nya. Maka Dia adalah yang bersaksi dan yang disaksikan untuk-Nya, dalil dan yang ditunjuk oleh dalil itu, sehingga Dia menjadi dalil atas diri-Nya sendiri.

Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ahli makrifat:

> “Bagaimana aku mencari dalil atas Dzat yang telah menjadi dalil bagiku atas segala sesuatu? Maka dalil apapun yang aku cari tentang-Nya, keberadaan-Nya lebih jelas dari dalil itu sendiri.”



Karena itu para Rasul berkata kepada kaum mereka:

> “Apakah kalian ragu terhadap Allah?” (Ibrahim: 10)
Dia lebih dikenal dari segala yang dikenal, lebih nyata dari segala dalil. Maka segala sesuatu pada hakikatnya dikenal melalui-Nya, meskipun secara pandangan dan istidlal dikenal melalui perbuatan dan hukum-hukum-Nya.

Diterjemahkan dari Al-Fawa'id oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 


Read more...

Tuesday, April 15, 2025

Tafsir Al-Furqan:73

Firman Allah Ta‘ala:


﴿وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا (٧٣)﴾
(Dan orang-orang yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah bersujud padanya dalam keadaan tuli dan buta) [Al-Furqan: 73].

Penafsiran para ulama:

Mujahid mengatakan: Apabila mereka diberi nasihat dengan Al-Qur’an, mereka tidaklah menjatuhkan diri padanya dalam keadaan tuli yang tidak mendengarnya atau buta yang tidak melihatnya, tetapi mereka mendengar, melihat, dan meyakininya.

Ibnu Abbas berkata: Mereka tidak berada padanya sebagai orang tuli dan buta, tetapi mereka tunduk dan khusyuk.

Al-Kalbi berkata: Mereka jatuh (bersujud) padanya sebagai orang-orang yang mendengar dan melihat.

Al-Farra’ berkata: Ketika Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka tidak tetap dalam keadaan sebelumnya, seolah-olah mereka tidak mendengarnya — inilah yang disebut “khurur” (jatuh), dan aku mendengar orang Arab berkata: ‘Dia duduk mencaciku’ sebagaimana dikatakan ‘Dia berdiri mencaciku’ atau ‘Dia datang mencaciku’. Makna dari ayat itu sebagaimana disebutkan: mereka tidak menjadi tuli dan buta terhadapnya.

Az-Zajjaj berkata: Maknanya adalah, ketika ayat-ayat dibacakan kepada mereka, mereka jatuh bersujud dan menangis, dalam keadaan mendengar dan melihat terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka.

Ibnu Qutaibah berkata: Yakni mereka tidak bersikap acuh seakan-akan mereka tuli dan tidak mendengarnya atau buta dan tidak melihatnya.


Saya (penyusun) berkata:
Di sini terdapat dua hal: penyebutan tentang “jatuh” (الخرور), dan penegasan penafian terhadap sifat tuli dan buta.

Apakah yang dimaksud dengan “jatuh” itu adalah jatuhnya hati (yakni ketundukan batin), ataukah jatuhnya badan untuk bersujud?

Dan apakah maknanya: bahwa kejatuhan mereka bukan karena tuli dan buta, namun mereka justru menjatuhkan diri secara hati dalam bentuk ketundukan atau secara fisik dalam bentuk sujud?

Ataukah tidak ada makna “jatuh” dalam arti sebenarnya, tetapi itu hanya kiasan dari sikap duduk dan mendengarkan?

Diterjemahkan dari Al-Fawa'id oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 


Read more...

Mengingkari Kemungkaran dan Syarat-Syaratnya


Contoh Pertama:

Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menetapkan kewajiban mengingkari kemungkaran bagi umatnya, agar dengan pengingkaran itu terwujud kebaikan (ma’ruf) yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Namun, jika pengingkaran terhadap kemungkaran justru menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dan lebih dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, maka pengingkaran tersebut tidak dibenarkan, meskipun perbuatan yang diingkari itu sendiri memang dibenci oleh Allah dan pelakunya dimurkai oleh-Nya.

Contohnya adalah pengingkaran terhadap para raja dan penguasa dengan cara memberontak; hal ini menjadi sumber dari segala keburukan dan fitnah hingga akhir zaman. Para sahabat pernah meminta izin kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- untuk memerangi para pemimpin yang mengakhirkan shalat dari waktunya, mereka berkata: “Tidakkah kami perangi mereka?” Maka beliau menjawab: “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat.”

Beliau juga bersabda: “Barang siapa melihat dari pemimpinnya sesuatu yang tidak disukainya, hendaklah ia bersabar dan janganlah mencabut tangan dari ketaatan kepadanya.”

Barang siapa merenungi apa yang terjadi dalam Islam berupa fitnah-fitnah besar maupun kecil, ia akan mendapati bahwa semuanya terjadi karena menyia-nyiakan prinsip ini (yaitu bersabar atas kemungkaran) dan tidak bersabar terhadap suatu kemungkaran, sehingga berusaha menghilangkannya, namun malah menimbulkan sesuatu yang lebih besar dari kemungkaran itu sendiri.

Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dahulu di Makkah melihat kemungkaran-kemungkaran besar, namun beliau tidak mampu mengubahnya. Bahkan ketika Allah membuka kota Makkah dan menjadikannya sebagai negeri Islam, beliau berniat untuk merombak Ka’bah dan mengembalikannya sesuai dengan pondasi Nabi Ibrahim, namun beliau tidak melakukannya—padahal mampu—karena khawatir akan muncul sesuatu yang lebih besar akibat dari hal itu, yakni ketidakmampuan Quraisy untuk menerima perubahan tersebut, karena mereka baru saja masuk Islam dan belum lama meninggalkan kekufuran.

Karena itulah beliau tidak mengizinkan pengingkaran terhadap para penguasa dengan tangan, karena hal itu akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar, sebagaimana kenyataannya yang telah terjadi.


Diterjemahkan dari I'lamul Muwaqqi'in (3/12) oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 


Read more...

Followers

Google Friend Connect

Google Friend Wall

Powered By Blogger

  © Blogger template Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP