Bincang-bincang Hadits Khilafah (1)
Tulisan ini berawal dari artikel yang dinisbahkan kapada seorang penulis (selanjutnya disebut sebagai penulis) tentang masalah khilafah. Saya tidak berniat membela jama’ah-jama’ah pejuang khilafah atau siapapun, tapi saya melihat ada ketidakjujuran dan kesalahan fatal pada penulis ini terutama masalah hadits tentang khilafah yang dia lemahkan tanpa kaidah yang benar. Dengan sedikit ilmu yang saya miliki saya berusaha mendudukkan permasalahan sebenarnya sesuai yang saya ketahui. Berawal dari hadits:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنِي دَاوُدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنِي حَبِيبُ بْنُ سَالِمٍ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ
كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ بَشِيرٌ رَجُلًا يَكُفُّ حَدِيثَهُ فَجَاءَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ فَقَالَ يَا بَشِيرُ بْنَ سَعْدٍ أَتَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْأُمَرَاءِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ فَجَلَسَ أَبُو ثَعْلَبَةَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
قَالَ حَبِيبٌ فَلَمَّا قَامَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَكَانَ يَزِيدُ بْنُ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ فِي صَحَابَتِهِ فَكَتَبْتُ إِلَيْهِ بِهَذَا الْحَدِيثِ أُذَكِّرُهُ إِيَّاهُ فَقُلْتُ لَهُ إِنِّي أَرْجُو أَنْ يَكُونَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ يَعْنِي عُمَرَ بَعْدَ الْمُلْكِ الْعَاضِّ وَالْجَبْرِيَّةِ فَأُدْخِلَ كِتَابِي عَلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ فَسُرَّ بِهِ وَأَعْجَبَهُ
Dari an-Nu’man bin Basyir, beliau berkata: “Kami duduk di dalam masjid bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (maksudnya di Masjid Nabawi) dan Basyir adalah seorang yang menjaga haditsnya. Kemudian datanglah Abu Tsa’labah al-Khusyani kemudian beliau berkata: Wahai Basyir bin Sa’ad apakah engkau hafal hadits Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang umara’ (para pemimpin/penguasa), maka Hudzaifah berkata : Saya menghafal khutbah beliau! kemudian Abu Tsa’labah duduk maka Hudzaifah berkata: Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam berkata:
*menggigit makanya ada kedzaliman seakan menggigit rakyatnya dengan gangguan (Gharib al-Hadits oleh Ibnu al-Jauzy (2/104[MS])) lihat juga makna ‘udhudh sebagai kedzaliman yang keji di Lisan al-‘Arab (7/188 [MS]) (al-Fath ar-Rabbani oleh as-Sa’ati (Ahmad Abdurrahman al-Banna) (23/10))
Lafadz hadits ini adalah lafadz al-Imam Ahmad dalam musnadnya. Hadits ini dikeluarkan oleh: Ahmad dalam musnadnya (No. 17680 [MS]) (14/163) al-Baihaqi dalam Dala’il an-Nubuwwah (No. 2843 [MS]) ath-Thayalisi dalam musnadnya (No. 433 [MS]) al-Bazzar dalam musnadnya (No. 2429 [MS]) semua denga sanadnya sampai Dawud bin Ibrahim al-Wasithi Rawi-rawi dari al-Imam Ahmad sampai ke an-Nu’man bin Basyir adalah:
1. Sulaiman bin Dawud ath-Thayalisi
2. Dawud bin Ibrahim al-Wasithi
3. Habib bin Salim
Abu Dawud Sulaiman bin Dawud ath-Thayalisi al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: tsiqah hafidz ghaladz fii ahaadiits (terpercaya penghafal hadits ada kesalahan dalam beberapa hadits) (Taqrib at-Tahdzib (1/250 [MS]) Beliau juga rawi al-Bukhari dalam hadits mu’allaq, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah (Tahdzib at-Tahdzib (4/160)[MS]).
al-Fallas berkata: Aku tidak melihat orang yang “ahfadz” (lebih hafal atau menjaga) hadits di kalangan ahli hadits dari Abu Dawud.
Ali bin al-Madini berkata: Aku tidak melihat orang yang “ahfadz” (lebih hafal) darinya.
Abdurrahman bin Mahdi berkata: Abu Dawud orang yang paling jujur/benar.
Dan masih banyak ta’dil (rekomendasi dan pujian) dari para imam ahli hadits dan ahli jarh wa ta’dil seperti Ahmad, al-‘Ajli, Ibnu ‘Adi, an-Nasa’i dan lainnya. Kritikan sebagian ulama adalah kadang-kadang beliau salah (ghaladz).
Menurut al-‘Ajli beliau hafal 40000 hadits. Sedangkan Ibrahim al-Jauhari mengatakan beliau salah dalam 1000 hadits. Kesalahan ini berkaitan dengan masalah sanad yakni kadang-kadang beliau me “marfu’”
Rawi berikutnya adalah Dawud bin Ibrahim al-Wasithi ath-Thayalisi sendiri mentsiqahkan beliau dalam musnadnya (No. 433 [MS]) Ibnu Hibban memasukkan beliau dalam ats-Tsiqaat, Ibnu al-Mubarak juga meriwayatkan dari beliau (ats-Tsiqaat 6/280[MS]).
Rawi berikutnya adalah Habib bin Salim Rawi yang dipermasalahkan penulis. Abu Hatim ar-Razi mengatakan : Dia tsiqah (al-Jarh wa at-Ta’dil oleh Ibnu Abi Hatim ( 3/102 [MS]) Ibnu ‘Adi berkata: Tidak ada hadits munkar dalam teks hadits-haditsnya, akan tetapi sanad-sanadnya guncang dalam hadits-hadits yang diriwayatkan darinya. al-Aajuri berkata dari Abu Dawud : tsiqah Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah meriwayatkan darinya (Tahdzib at-Tahdzib (2/161[MS]), Tahdzib al-Kamal (5/375[MS])). Ibnu Hibban menyebutkannya dalam ats-Tsiqaat (4/139[MS]). al-Bukhari menjarhnya dengan mengatakan : “fiihi nadzar” (pada dia perlu ditinjau ulang) (Tarikh al-Kabir (2/318[MS]), lafadz ini menunjukkan jarh yang berat dari beliau (Muntaha al-Amani (1/308)).
Dalam hal ini tidak boleh kita berpegang hanya dengan jarh al-Bukhari karena Habib ditsiqahkan oleh imam-imam jarh wa ta’dil yang lain, kecuali apabila al-Bukhari menyebutkan secara rinci sebab-sebab “fiihi nadzar” nya kepada Habib. Apalagi Ibnu ‘Adi hanya menjarh dalam keguncangan sanadnya bukan masalah matan atau teks haditsnya (teks haditsnya tidak ada kemunkaran di dalamnya). Dalam riwayat ini tidak ditemukan idhtirab (keguncangan sanad) seperti yang dimaksud Ibnu ‘Adi. Walaupun ada kaidah jarh didahulukan dibanding ta’dil, akan tetapi jarh yang dimaksud harus “mufassar” yakni diperinci karena yang dijarh ditsiqahkan oleh ulama yang lain. al-Bukhari sama sekali tidak memperinci jarhnya. Kalau hanya dengan jarh saja seorang rawi tsiqah jatuh, maka tidak ada yang selamat hampir semua rawi, bahkan rawi-rawi al-Bukhari maupun Muslim seperti ‘Ikrimah, ‘Amru bin Marzuq dalam al-Bukhari, Suwaid bin Sa’id dalam Muslim dan masih banyak lagi. Akibatnya banyak nantinya hadits-hadits al-Bukhari dan Muslim yang tertolak, padahal telah ijma’ bahwa hadits-hadits al-Bukhari dan Muslim diterima oleh kaum muslimin khususnya ulamanya. Kemudian al-Bukhari juga bukanlah hujjah atas Abu Hatim ar-Razi maupun Abu Dawud. Contohnya adalah Muhammad Ibrahim at-Taimi, rawi hadits “innamaa al-a’maalu bi an-niyyaat” dalam al-Bukhari. al-Imam Ahmad menjarhnya dengan “yarwii manaakiir” yakni meriwayatkan hadits-hadits munkar. Padahal Malik, al-Bukhari dan Muslim berhujjah dengannya. Hadits tersebut (masalah niat) juga telah diterima mutlak oleh kaum muslimin baik ulama maupun orang awamnya. Masalah ini sudah dibahas oleh ulama-ulama hadits dahulu maupun sekarang.
Lihat masalah ini dalam kitab-kitab musthalah hadits: an-Nukat ‘Alaa Muqaddimah Ibni ash-Shalah oleh al-Hafidz Ibnu Hajar (3/337) Tadrib ar-Rawi oleh al-Hafidz as-Suyuthi (1/166) al-Wasith fii ‘Ulum wa Musthalah al-Hadits oleh Dr Muhamad bin Muhammad Abu Syuhbah (1/393) Fath al-Mughits oleh al-Hafidz as-Sakhawi (2/176) ‘Ulum al-Hadits li al-Albani oleh ‘Isham Musa Hadi (1/66) at-Taqyid wa al-Idhah oleh al-Hafidz al-‘Iraqi (1/117) dan lainnya. Oleh karena itu tepatlah ijtihad al-Hafidz Ibnu Hajar yang mengatakan bahwa Habib ini adalah : “Laa ba’sa bihi” yakni tidak apa-apa (Taqrib at-Tahdzib 1/151) yakni selevel dengan “shaduq” yang merupakan lafadz ta’dil, sehingga sekurang-kurangnya haditsnya hasan.
Hadits ini juga telah dishahihkan para ‘ulama hadits: al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah ( 1/4 [MS]) beliau juga menukil al-Hafidz al-‘Iraqi dalam Mahajjah al-Qarb Ilaa Mahabbah al-‘Arab (2/17): “hadits shahih”. al-Hafidz al-Haitsami mengatakan: “rijaaluhu tsiqaat” yakni rawi-rawinya terpercaya (Majma’ az-Zawa’id (5/189[MS]) Ahmad Syakir juga menyatakan shahih isnadnya dalam komentar beliau pada Musnad Ahmad (14/163).
bersambung ...
Note: [MS] = Maktabah Asy-Syamilah [MRH] = Mausu’ah Ruwaat al-Hadits Referensi lainnya edisi cetak yang telah di pdf
0 comments:
Post a Comment