Monday, October 25, 2010

Penelusuran Hadis dengan Jawami'u al-Kalim v4.5

Hadis lengkapnya:



حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ التُّسْتَرِيُّ حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ الْمُوَفَّقِ أَبُو الْجَهْمِ حَدَّثَنَا فُضَيْلُ بْنُ مَرْزُوقٍ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ إِلَى الصَّلَاةِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ وَأَسْأَلُكَ بِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا فَإِنِّي لَمْ أَخْرُجْ أَشَرًا وَلَا بَطَرًا وَلَا رِيَاءً وَلَا سُمْعَةً وَخَرَجْتُ اتِّقَاءَ سُخْطِكَ وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ فَأَسْأَلُكَ أَنْ تُعِيذَنِي مِنْ النَّارِ وَأَنْ تَغْفِرَ لِي ذُنُوبِي إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ أَقْبَلَ اللَّهُ عَلَيْهِ بِوَجْهِهِ وَاسْتَغْفَرَ لَهُ سَبْعُونَ أَلْفِ مَلَكٍ



HR Ibnu Majah No 770 – Maktabah Syamilah



Artinya:



“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sa’id bin Yazid bin Ibrahim at-Tusturi, telah menceritakan kepada kami al-Fadhl bin al-Muwaffaq Abu al-Jahm, telah menceritakan kepada kami Fudhail bin Marzuq dari ‘Athiyah dari Abi Sa’id al-Khudri, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: Barang siapa keluar dari rumahnya untuk mengerjakan shalat kemudian berkata: Ya ALLAH sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dengan hak orang-orang yang meminta kepada-Mu dan aku meminta kepada-Mu dengan hak jalanku, sesungguhnya aku tidaklah keluar mengkufuri nikmat tidak pula sombong, tidak pula riya’, tidak pula sum’ah, dan aku keluar takut akan murka-Mu dan mengharapkan ridha-Mu, maka aku meminta kepada-Mu untuk melindungiku dari api neraka dan mengampuni dosa-dosaku sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau. ALLAH menghadapkan wajah-Nya kepadanya dan tujuh puluh ribu malaikat memohonkan ampun untuknya.”





Derajat hadis:



Berdasar pencarian di www.dorar.net milik Syaikh ‘Alwi as-Saqqaf, didapatkan beberapa pendapat:



al-Hafidz al-Mundziri : dalam isnadnya ada pembicaraan kemudian beliau menukil dari syaikhnya yakni Abu al-Hasan bahwa hadisnya hasan.



Ibnu Taimiyah: dalam isnadnya ada ‘Athiyah al-‘Aufiy dan dia lemah menurut kesepakatan ahli ilmu.



al-Hafidz al-‘Iraqi : isnadnya hasan.



al-Hafidz Ibnu Hajar : hasan.



al-Albani: dha’if, isnadnya dha’if, munkar.



Sedangkan pencarian dalam Maktabah Syamilah didapatkan:



al-Baushiri: isnadnya lemah karena kelemahan ‘Athiyah dan rawi darinya.



al-Hafidz al-‘Iraqi: isnadnya hasan.



‘Alwi bin ‘Abdi al-Qadir as-Saqqaf dalam takhrij fii dzilal ... : dha’if



al-Hafidz Ibnu Hajar: hasan.



Terdapat perbedaan di antara para ulama hadis dan ini wajar pada hadis-hadis antara hasan lighairihi dan dha’if. Bagaimana kita memilih pendapat-pendapat tersebut?




Salah satu permasalahan dari rawi-rawi tersebut adalah ada pada ‘Athiyah al-‘Aufiy. Apa kata para ulama jarh wa ta’dil?



Dengan bantuan Jawami’u al-Kalim v4.5 dan Mausu’ah Ruwatu al-Hadis didapatkan:



al-Jauzajani: dha’if, ma’il.

al-Jurjani: bersamaan dengan dha’ifnya ditulis hadisnya, dia termasuk syi’ah Kufah.

al-Baihaqi: dha’if, tidak boleh berhujjah dengannya.

al-‘Uqaili: menyebutkannya dalam orang-orang dha’if.

Abu Hatim ar-Razi: dha’if, ditulis hadisnya.

Ibnu Hibban: tidak halal berhujjah dengannya tidak pula ditulis hadisnya kecuali dari sisi ta’ajjub.

Abu Dawud as-Sijistani: bukan termasuk orang yang dijadikan sandaran.

Ahmad bin Hanbal: hadisnya dha’if.

Ibnu Hajar: (dalam at-Taqrib) shaduq (jujur), banyak melakukan kesalahan, dan dia seorang syi’ah yang mudallis (suka menyamarkan hadis atau syaikh).

ad-Daruquthni: dha’if, hadisnya mudhtharib (guncang).

adz-Dzahabi: mereka mendha’ifkannya.

as-Saji: bukan hujjah.

Sufyan ats-Tsauri: hadisnya dilemahkan.

al-Waqidi: tsiqah insya ALLAH, dia punya hadis-hadis yang baik, dan sebagian orang tidak berhujjah dengannya.

Hasyim bin Basyir al-Wasithi: dia membicarakannya, melemahkan hadisnya.

Yahya al-Qaththan: dha’if.

Yahya bin Ma’in: shalih, dha’if kecuali bahwa dia ditulis hadisnya.



Didapatkan juga keterangan dari Ibnu Hibban dalam adh-Dhu’afa’ bahwa tadlis (penyamaran) ‘Athiyah adalah menyamarkan al-Kalbi seorang pendusta hadis dengan kunyah Abu Sa’id sehingga seakan-akan itu Abu Sa’id al-Khudri (sahabat). Ini tadlis yang sangat buruk dengan menyamarkan syaikhnya yang lemah seakan-akan syaikhnya yang tsiqah. Sehingga Ibnu Hajar mengatakan dia adalah mudallis. Ibnu Hajar dalam Thabaqat al-Mudallisin (1/50 Maktabah Syamilah) memasukkan ‘Athiyah dalam tingkatan empat dari lima tingkat (tingkat lima adalah yang terburuk). Ibnu Hajar menyebutkan ‘Athiyah masyhur dengan tadlis qabih (jelek).



Dari keterangan tersebut jelas ‘Athiyah seorang yang dha’if tetapi bisa terangkat hadisnya menjadi hasan lighairihi jika ada penguat (mutaba’ah) dari jalur yang lain (diisyaratkan dengan ditulis hadisnya tapi tidak bisa jadi hujjah jika menyendiri). Dengan catatan ada keterangan bahwa riwayat itu betul-betul dari Abu Sa’id al-Khudri bukan dari al-Kalbi.



Sehingga dalam Jawami’ul Kalim disimpulkan : dha’if al-hadis (hadisnya lemah).



Pertanyaanya adalah: Apakah ada penguat? kalau ada apakah cukup kuat untuk menjadi penguat?



Dengan bantuan Jawami’ul Kalim v4.5 didapatkan:



Penguat pertama:



حَدَّثَنَا ابْنُ مَنِيعٍ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ ثَابِتٍ الْجَزَرِيُّ، عَنِ الْوَازِعِ بْنِ نَافِعٍ الْعُقَيْلِيِّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ بِلالٍ مُؤَذِّنِ الرَّسُولِ K قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ K إِذَا خَرَجَ إِلَى الصَّلاةِ قَالَ: " بِسْمِ اللَّهِ، آمَنْتُ بِاللَّهِ، تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ، اللَّهُمَّ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ، وَبِحَقِّ مَخْرِجِي هَذَا، فَإِنِّي لَمْ أَخْرُجْهُ أَشَرًا وَلا بَطَرًا وَلا رِيَاءً وَلا سُمْعَةً، خَرَجْتُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ، وَاتِّقَاءَ سَخَطِكَ، أَسْأَلُكَ أَنْ تُعِيذَنِي مِنَ النَّارِ، وَتُدْخِلَنِي الْجَنَّةَ "



HR Ibnu Sunni dalam ‘Amalu al-Yaumi wa al-Lailah No. 84(85) (Jawami’u al-Kalim v4.5)





Semua rawinya terpercaya kecuali al-Wazi’ bin Nafi’ al-‘Uqaili, lemah bahkan sebagian menyatakan dia memalsukan hadis. Jawami’ul Kalim v4.5 menyimpulkan matruk al-hadis. Sehingga tidak bisa jadi penguat bagi hadis ‘Athiyah.



Penguat kedua:



أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ الْحَرَّانِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ أَحْمَدُ بْنُ يَعْقُوبَ الأَهْوَازِيُّ الْخَطِيبُ، قَالَ: حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ حَمْدَوَيْهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَشِيدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عُبَيْدَةَ، عَنِ الْحَسَنِ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ الأَسْلَمِيُّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ كَانَ إِذَا أَتَى الصَّلاةَ، قَالَ: " اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ وَإِقْبَالِي إِلَيْكَ لَمْ أُقْبِلُ أَشِرًا وَلا بَطَرًا وَلا رِيَاءً وَلَكِنْ أَقْبَلْتُ ابْتِغَاءَ طَاعَتِكَ، تَنْزِيهًا عَنْ سَخَطِكَ، فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي، فَإِنَّهُ لا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلا أَنْتَ ".قَالَ: " مَنْ قَالَهَا أَقْبَلَ اللَّهُ بِوَجْهِهِ إِلَيْهِ، وَحُفَّتْ حَوْلَهُ الْمَلائِكَةُ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ صَلاتِهِ "





HR Abul Husain bin Muhammad bin ‘Ali bin al-Muhtadi billah dalam al-Awwal min Masyaikhah Abi al-Husain bin al-Muhtadi billah No. 139 (Jawami’u al-Kalim v4.5)



Di dalam sanadnya ada rawi yang bermasalah:



1. Abu ‘Ubaidah Maja’ah bin az-Zubair.



al-Jurjani berkata: dia termasuk yang mungkin (yuhtamalu), dan hadisnya ditulis.

al-‘Uqaili menyebutnya dalam adh-Dhu’afa’

Ibnu Hibban menyebutkan dalam ats-Tsiqat, hadisnya mustaqim dari para tsiqaat.

Ahmad bin Hanbal mengatakan tidak ada masalah pada dirinya.

ad-Daruquthni menyebutkan dalam sunan-nya dan berkata: dha’if.

Syu’bah mengatakan dia banyak puasa dan shalat.

‘Abdurrahman bin Yusuf bin Kharrasy mengatakan: dia tidak dijadikan i’tibar.

Jawami’u al-Kalim v4.5 menyimpulkan: shaduq, hasan al-hadis.



Saya cukup heran dengan kesimpulan Jawami’u al-Kalim ini sebab tidak ada yang mentsiqahkan kecuali Ibnu Hibban yang secara umum tidak diterima pentsiqahannya kecuali dengan syarat-syarat tertentu. Pujian Syu’bah hanya dalam masalah ibadah, begitu juga sepertinya komentar Ahmad bin Hanbal. Bahkan al-‘Uqaili mendha’ifkannya, dan ‘Abdurrahman Kharrasy tidak menjadikan hadisnya i’tibar (tidak bisa mengangkat menjadi hadis hasan lighairihi). Pendapat yang pertengahan adalah hadisnya ditulis untuk i’tibar, ALLAH A’lam. Dalam hal ini bisa menguatkan hadis ‘Athiyah.





2. ‘Abdullah bin Rasyid



al-Baihaqi berkata: tidak boleh berhujjah dengannya.

Ibnu Hibban menyebutkannya dalam ats-Tsiqaat.

Abu ‘Awanah al-Isfaraini mentsiqahkannya.

adz-Dzahabi mengatakan: tidak kuat dan ada jahalah pada dirinya.

Jawami’u al-Kalim v4.5 menyimpulkan: maqbul (diterima jika ada mutaba’ah). Dalam dirayah Jawami’u al-Kalim v4.5 disebut laisa bilqawiy (tidak kuat).



3. Ja’far bin Hamdawaih yakni Ja’far bin Muhammad



Disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim ar-Razi dalam al-Jarh wa at-Ta’dil. Beliau berkata: dia meriwayatkan dari ‘Abdillah bin Abi Bakr al-‘Atki, Abu Hamid Ahmad bin Sahal al-Isfaraini dan ‘Abdan al-Jawaliqi meriwayatkan darinya.

Jawami’ul Kalim v4.5 menyimpulkan majhul hal dan laisa bilqawiy (tidak kuat).



Di dalam Maktabah Syamilah juga hanya ada keterangan dari Ibnu Abi Hatim di al-Jarh wa at-Ta’dil sama dengan di Jawami’u al-Kalim v4.5. Setidaknya dua orang tsiqah yang meriwayatkan darinya dalam Jawami’u al-Kalim v4.5. sehingga betul kalau majhul hal.



4. Abu al-‘Abbas Ahmad bin Ya’qub al-Ahwazi al-Khatib yakni Muhammad bin Ya’qub al-Khatib.



Tidak didapatkan jarh wa ta’dil hanya Ibnu Hibban dan ath-Thabrani meriwayatkan darinya. Jawami’u al-Kalim v4.5 menyimpulkan: jujur, hadisnya hasan. Saya tidak tahu dari mana kesimpulan ini.

Di dalam Maktabah Syamilah pun tidak ditemukan pentsiqahannya walaupun para tsiqah meriwayatkan darinya (dalam Jawami’u al-Kalim v4.5 ada setidaknya lima tsiqah). Sehingga setinggi-tingginya majhul hal.



5. Muhammad bin Ahmad bin ‘Ali



Tidak ada keterangan jarh wa ta’dil. al-Khatib hanya menyebutkan beliau di Tarikh Baghdad. Tercatat hanya Muhammad bin ‘Ali al-Qurasyi yang meriwayatkan darinya. Jawami’u al-Kalim v4.5 menyimpulkan maqbul dan laisa bilqawiy. Kalau dilihat dari data yang ada lebih tepat majhul ‘ain karena hanya satu rawi saja yang meriwayatkan darinya sehingga tidak bisa jadi penguat bagi hadis ‘Athiyah.



Dalam Tarikh Baghdad 1/146 Maktabah Syamilah, disebutkan bahwa Muhammad bin ‘Ali bin al-Muhtadi billah mengatakan pada al-Khatib al-Baghdadi: beliau (Muhammad bin Ahmad bin ‘Ali) adalah hamba yang shalih dan memujinya dengan pujian yang baik.



Saya tidak tahu apakah ini cukup untuk pentsiqahan beliau ataukah pujian biasa karena ibadahnya, sebab lafadznya tidak jelas sebagai pentsiqahan.





Dari uraian di atas terasa berat mengangkat hadis ‘Athiyah menjadi hasan lighairihi dengan penguat kedua ini mengingat banyak rawi yang bermasalah bahkan sampai pada majhul ‘ain. Walaupun begitu Jawami’ul Kalim v4.5 menyimpulkan derajatnya hasan lighairihi. ALLAH A’lam.



Sedangkan permasalahan Fudhail bin Marzuq telah ditutupi oleh al-Fudhail bin Ghazwan dalam riwayat Ibnu Basyran dalan Amali-nya, begitu pula kelemahan al-Fadhl bin al-Muwaffaq telah ditutupi di antaranya oleh Yazid bin Harun dalam riwayat Ahmad dalam Musnad-nya. Sehingga inti permasalahan ada di ‘Athiyah. Sedangkan tadlisnya tertutupi dengan penyebutan al-Khudri bukan sekedar Abu Sa’id yang biasa dia lakukan kepada al-Kalbi walaupun ada kemungkinan penyebutan al-Khudri ini dilakukan oleh rawi-rawi setelahnya mengingat tadlis ini yang dilakukan ‘Athiyah supaya orang-orang yang meriwayatkan darinya mengira dari Abu Sa’id al-Khudri padahal al-Kalbi.



Dari informasi di atas maka saya lebih cenderung memilih bahwa hadis ini lemah dan tidak cukup terangkat menjadi hasan lighairihi dengan sebab tidak adanya penguat yang cukup dan adanya kemungkinan tadlis ‘Athiyah dengan nama Abu Sa’id sebab kata al-Khudri kemungkinan dari rawi-rawi setelahnya. ALLAH A’lam.



Mohon masukan jika ada tambahan informasi.



Makna Hadis:



Kalau seandainya hadis itu hasan maka tawassul yang diperbolehkan adalah dengan hak orang-orang yang meminta yang artinya ijabah (jawaban) ALLAH Ta’ala atas permintaan orang-orang yang meminta (saa’iliin). Begitu juga hak jalan seorang muslim ke masjid yakni diberi pahala, ampunan dan rahmah oleh ALLAH Ta’ala. Sehingga tidak tepat diqiyaskan dengan tawassul dengan diri (zat) atau kehormatan para Nabi atau orang shalih. Jadi seandainya ingin bertawassul dengan dasar hadis ini maka penyebutannya harus sama yakni dengan hak baik orang-orang yang meminta pada ALLAH maupun amal shalih (jalan ke masjid).



ALLAH A’lam






Read more...

Monday, September 13, 2010

Prasangka Boleh atau Terlarang?

Dalil tidak bolehnya persangkaan:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمُُ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari sangkaan (supaya kamu tidak menyangka sangkaan yang dilarang) kerana sesungguhnya sebahagian dari sangkaan itu adalah dosa ...” QS al-Hujurat:12.

Ayat ini menunjukkan perintah untuk menjauhi kebanyakan sangkaan karena sebagian sangkaan itu dosa. Mafhumnya ada di sana sangkaan yang tidak berdosa dan tidak diperintahkan untuk menjauhinya. Kita lihat tafsir para ulama tentang hal ini:

Ibnu Katsir: “ALLAH Ta’ala berfirman dalam rangka melarang hamba-hambanya yang beriman terhadap kebanyakan prasangka yakni tuduhan dan tuduhan khianat tidak pada tempatnya terhadap keluarga, kerabat dan manusia. Karena sebagian (prasangka) itu hanyalah dosa maka hendaknya menjauhi kebanyakan darinya (prasangka) dalam rangka berhati-hati.”

Beliau menafsirkan prasangka yang dimaksud dengan tuduhan dan tuduhan khianat. Sebagai contoh ketika ada orang dimintai sumbangan tidak memberi terus kita tuduh bakhil. Orang yang menasihati kita kita tuduh dengki. Orang yang memperingatkan kesalahan seseorang kita tuduh ghibah, buruk sangka dan lain sebagainya.



al-Qurthubi berkata: “Ulama kami berkata, prasangka di sini dan di dalam ayat ini adalah tuduhan. Sisi peringatan dan pelarangan (dalam ayat ini) hanyalah tuduhan tanpa sebab yang mewajibkannya (menunjukkannya) sebagaimana orang yang dituduh berbuat keji atau minum khamr –misalnya-- padahal tidak nampak atasnya apa yang menunjukkan hal tersebut.”

Ibnu Jauzi menukil pendapat az-Zujaj tentang ayat ini: “Yaitu berprasangka kepada orang yang baik dengan kejelekan, sedangkan orang yang buruk dan fasik maka bagi kita berprasangka sama dengan apa yang nampak dari mereka”.

Sehingga berprasangka buruk kepada orang-orang yang menampakkan keburukannya tidak termasuk prasangka yang dilarang. Contohnya adalah hadis:

Datang seseorang minta izin kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka beliau berkata: "Sejelek-jelek saudara kerabat(kabilah)!", ketika orang itu duduk beliau berseri-seri wajahnya dan ramah kepadanya...." (HR Bukhari dan Muslim)

Tidaklah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut prasangka yang diharamkan.

Bahkan di dalam syari’at Islam banyak hal yang didasarkan persangkaan:

Ketika seorang Qadhi atau Hakim menghukum seseorang yang berbuat kejahatan, tidak mungkin dia lepas dari persangkaan sebab bukti-bukti serta saksi saksi tidaklah sampai ke derajat yakin. Kalau persangkaan Hakim berdasar bukti-bukti serta saksi yang ada bahwa si penjahat bersalah lebih kuat dari sangkaan bahwa si penjahat tidak bersalah, maka Qadhi atau Hakim boleh menjatuhkan hukuman, jika sebaliknya maka tidak boleh. Tidak perlu harus sampai kepada derajat yakin atau pasti.
Bahkan si Hakim pun boleh menolak persaksian seseorang berdasar persangkaan melalui data-data yang ada walaupun tidak sampai ke level yakin atau pasti.

Begitu pula mengamalkan hadis-hadis yang shahih walaupun hanya dari satu jalur riwayat tentu tidak lepas dari persangkaan.

So janganlah kita mudah menuduh orang lain yang tidak sejalan dengan kita dengan label-label : buruk sangka kepada saudaranya. Sebab menuduh orang lain tanpa bukti itu adalah salah satu dari persangkaan yang dilarang.

ALLAH A’lam


Read more...

Cinta dan Kekerasan, Benci dan Kelembutan

Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

"Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga mencintai untuk saudaranya apa-apa yang dia cintai untuk dirinya"

"maa" adalah isim maushul berarti apa-apa sebagai maf'ul bihi (objek) dari yuhibba. Kalau "sebagaimana" dalam bahasa arab dengan kata "kamaa".

Hadis ini --sebagaimana kadang-kadang disalah fahami-- tidak bicara cinta kepada saudaranya tapi mencintai (sesuatu) untuk saudaranya. Artinya berbeda antara cinta
kepada saudara dengan mencintai (sesuatu) untuk saudara.



Contoh cinta kepada saudara: aku cinta kepada dia karena dia ibadahnya bagus.

Contoh cinta untuk saudara (apa-apa yang dia cintai untuk dirinya):

aku cinta punya mobil maka aku juga suka saudaraku punya mobil.

aku cinta mengikuti kebenaran maka aku juga cinta saudaraku mengikuti kebenaran.

Sehingga kelaziman atau konsekuensi cinta untuk saudaranya itu adalah mengajarinya, menasihatinya, menegurnya kalau melenceng dari kebenaran sampai menghukumnya kalau diperlukan supaya tetap di atas kebenaran.

Cinta tidak selalu identik dengan lembut walaupun asal dari cinta adalah lembut, kadang-kadang bahkan seringkali cinta itu menjadi harus keras. Contoh ketika Rasulullah shallallah 'alaihi wa sallam melihat tumit para sahabat tidak terkena air wudhu, apa teguran beliau?

ويل للأعقاب من النار

"Celakalah tumit-tumit dari neraka" (HR Bukhari dan Muslim)

Pertanyaan saya, ini sikap keras atau lembut?
Ini beliau shallallahu 'alaihi wa sallam lakukan karena cinta atau bukan?

Contoh yang kedua: Saat seorang sahabat memakai cincin emas, apa yang Rasulullah shallallah 'alaihi wa sallam?

beliau mencopot paksa dan mebuangnya sambil berkata:

يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَجْعَلُهَا فِي يَدِهِ

"Salah seorang kalian bermaksud dengan kerikil (bara) dari api kemudian dia jadikan di tangannya" (HR Muslim)

Pertanyaan saya, ini sikap keras atau lembut?
Ini beliau shallallahu 'alaihi wa sallam lakukan karena cinta atau bukan?

Contoh yang lain banyak banyak sekali baik dan juga dicontohkan sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in.

Salah satu contoh ada di tafsir QS At-Taubah: 118 dan kisah asbabun nuzulnya tentang Kisah Ka'ab bin Malik yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim serta disebut an-Nawawi dalam Riyadhush Shalihin dalam Bab Taubat.

Bagaimana di situ sedih dan sampai menangisnya Ka'ab bin Malik diboikot Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan seluruh sahabat, bahkan oleh istrinya sendiri karena tidak ikut perang Tabuk, padahal orang-orang munafik yang berbohong dengan meyampaikan 'udzur tidak ikut perang malah disikapi baik dan dimohonkan ampun oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (karena melihat dzahirnya, bukan melihat hatinya). Kalau mau cari kebenaran silakan dibaca, kalau tidak punya bisa saya kirimi.

Sikap keras luar biasa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabat kepada Ka'ab bin Malik dan dua sahabatnya ini karena cinta atau bukan?

Sikap lembut dan memohonkan ampun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada orang-orang munafik ini apakah berarti cinta pada orang munafik? tentu saja tidak sebab orang-orang munafik ini ma'ruf dan dikenal di kalangan sahabat.

Sebaliknya sikap lembut tidak selalu identik dengan cinta, contoh:
Dari 'Aisyah radhiallahu 'anha:
Datang seseorang minta izin kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka beliau berkata: "Sejelek-jelek saudara kerabat(kabilah)!", ketika orang itu duduk beliau berseri-seri wajahnya dan ramah kepadanya...." (HR Bukhari dan Muslim)

Apakah lemah lembutnya itu karena cinta atau bukan? padahal orang itu di-"ghibah" dengan sejelek jelek saudara kerabat (kabilah). Ini menunjukkan bahwa ghibah juga tidak selalu terlarang sebagaimana Imam Nawawi menjelaskan ghibah yang dibolehkan dalam Riyadhush Shalihin.

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menukil al-Imam al-Khattabi berkaitan dengan “ghibah” yang dilakukan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: Justru wajib atas beliau untuk menjelaskan hal tersebut (kejelekan orang itu) dan membuka dan memperkenalkan pada orang banyak keadaan orang tersebut (kejelekannya) karena itu termasuk bab nasihat dan kasih sayang kepada ummat ini.

Ibnu Hajar dalam Fathul Bari juga menukil perakatan al-Imam al-Qurthubi:

Dalam hadis ini terdapat bolehnya ghibah kepada orang yang terang-terangan melakukan kefasikan atau kekejian dan semacamnya seperti dzalim dalam hukum, penyeru bid’ah bersama kebolehan mudarah (bersikap lembut karena alasan agama) karena takut kejelekan mereka selama tidak mengarah kepada mudahanah (bersikap lembut karena alasan duniawi dengan mengorbankan agama) di dalam agama ALLAH Ta’ala.

Kemudian mengomentari hadis di atas sana (hadis tentang cinta pada saudara muslim), Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari menukil ucapan al-Hafidz al-Kirmani:

"Dan termasuk keimanan juga adalah membenci untuk saudaranya apa-apa yang dia benci untuk dirinya sendiri dari kejelekan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutnya sebab cinta pada sesuatu melazimkan benci pada sebaliknya, maka beliau meninggalkan nash atasnya (atas benci) karena telah mencukupi."

Lihatlah jelinya para Ulama dalam memahami hadis, jadi membenci itu termasuk kelaziman dari mencintai. Kalau mau beriman dengan sempurna maka bencilah untuk saudaranya apa-apa yang dia benci untuk dirinya sendiri. Kalau saudaranya berbuat salah, bid'ah dan maksiat ya jangan biarkan tapi ya diingatkan tapi tentu saja semata-mata karena ALLAH Ta'ala. Caranya bisa lembut bisa keras tergantung situasi dan kondisi.

Dan hal yang penting benci tidak identik dengan lembah lembut juga tidak identik dengan kasar dan keras. Benci bisa jadi lemah lembut kalau diperlukan, bisa jadi keras kalau diperlukan.

Benci dan cinta karena ALLAH ada pembahasannya tersendiri sedang sikap lembut dan keras ada pembahasannya sendiri. Semua ada timbangan syar'inya dan dasar ilmunya.

Apakah benci dan cinta serta keras dan lembut kita sudah berdasar ilmu atau hanya perasaan? silakan dijawab sendiri-sendiri.



ALLAH A'lam


Read more...

Followers

Google Friend Connect

Google Friend Wall

Powered By Blogger

  © Blogger template Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP