Saturday, December 27, 2008

Tafsir Surat Al-Bayyinah Ayat 7-8

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” (QS Al-Bayyinah 7)

Ibnu Jarir ath-Thabari berkata dalam tafsirnya :

ALLAH Ta’aalaa berkata (yang bermakna) : Sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada ALLAH dan Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyembah ALLAH semata dengan mengikhlaskan agama ini hanya untuk-Nya dengan hanif cenderung kepada tauhid, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan menta’ati ALLAH dalam perintah dan larangan-Nya (dengan meninggalkan larangan-Nya). . .
Barang siapa melaksanakan itu semua dari kalangan manusia maka mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.

Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya :

Kemudian ALLAH Ta’aalaa menceritakan tentang keadaan orang-orang yang berbakti yaitu orang-orang yang beriman dengan hati-hati mereka dan beramal shalih dengan badan-badan mereka bahwa mereka adalah sebaik-baik makhluk.
Abu Hurairah dan sebagian ulama berdalil dengan ayat ini atas keutamaan orang-orang yang beriman dari kalangan makhluk atas para malaikat karena firman-Nya (yang bermakna) “mereka itu adalah sebaik-baik makhluk”.



Dalam ayat ini dibicarakan tentang sebaik-baik makhluk. Ada beberapa ayat yang menyatakan bahwa manusia itu adalah sebaik-baik makhluk. Dari sisi penciptaan ALLAH berfirman:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS Al-Israa’ 70)

لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya . (QS At-Tiin 4)

Dalam kedua ayat tersebut jelas-jelas bahwa manusia itu telah dimuliakan dalam penciptaannya melebihi dari makhluk-makhluk lain, bahkan ALLAH memerintahkan Iblis untuk bersujud kepada Nabi Adam ‘alaihi as-salam. Akan tetapi sifat manusia yang dzalim dan jahil (bodoh) sebagaimana ALLAH katakan :

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, (QS Al-Ahzab 72)

menyebabkan terjerumus kepada kekafiran dan kemusyrikan sehingga jatuh kepada kedudukan sejelek-jeleknya makhluk sebagaimana firman ALLAH :

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (QS Al-Bayyinnah 6)

dan juga

ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ

Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), (QS At-Tiin 5)

Itulah kebanyakan manusia yang tidak bersyukur kepada Penciptanya yang telah memuliakan penciptaannya dan menjadikannya sebaik-baik bentuk, dan memang kebanyakan manusia adalah merugi kecuali yang beriman dan beramal shalih.

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)

Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS Al-‘Ashr 1-3)

Orang-orang yang tidak merugi inilah yang dimaksud sebaik-baik makhluk dalam QS Al-Bayyinah 7.
Sebaik-baik makhluk hanya bisa dicapai dengan iman dan amal shalih yang tingkatan-tingkatannya terbagi empat :

Para Nabi ‘alaihim ashshalatu wa assalam
Para Shiddiiqiin
Para Syuhadaa’
Para Shalihiin

Sebagaimana firman ALLAH:

ومن يطع الله والرسول فأولئك مع الذين أنعم الله عليهم من النبيين والصديقين والشهداء والصالحين

Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, syuhadaa’, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS An-Nisaa’ 69)

Kedudukan yang tertinggi adalah para Nabi, berikutnya adalah Shiddiqiin maknanya adalah pengikut para Nabi dan bersungguh-sungguh membenarkan dan melaksanakan ajaran mereka. Kata shiddiq adalah bentuk penyangatan (mubalaghah) memberi arti sangat-sangat membenarkan baik dengan hati, ucapan dan perbuatan. Contoh dari umat ini adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Contoh ummat yang lalu adalah Maryam Ash-Shiddiiqah ibunda Nabi ‘Isa ‘alaihimaa as-salaam. Sedangkan Syuhadaa’ adalah orang-orang yang terbunuh di jalan ALLAH dalam rangka menegakkan kalimat-Nya seperti ‘Umar bin al-Khattab, ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallaahu ‘anhum. Shalihiin adalah orang-orang yang amal bathin dan dzahirnya shalih atau baik sesuai syari’at.


جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ


Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya. (QS Al-Bayyinah 8)

Ibnu Jarir ath-Thabari berkata dalam tafsirnya :

ALLAH Ta’aalaa berkata (yang bermakna) : Pahala mereka yang beriman dan beramal shalih di sisi Rabb mereka pada hari kiamat adalah “surga ‘Adn” yakni kebun-kebun atau taman-taman tempat tinggal menetap. Mengalir di bawah pohon-pohonnya sungai-sungai.
“Mereka kekal di dalamnya”. ALLAH berkata (yang bermakna): mereka tinggal di dalamnya selama-lamanya, mereka tidak keluar dari surga itu dan tidaklah mengalami kematian.
“ALLAH ridha pada mereka” dengan sebab mereka mentaati-Nya di dunia dan beramal untuk keselamatan mereka dari ‘adzab-Nya. “Mereka ridha pada-Nya” dengan sebab ALLAH memberi mereka pahala pada hari itu atas ketaatan mereka kepada Rabb mereka di dunia dan ALLAH membalas mereka atas itu semua dengan kemuliaan.

Firman-Nya “Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya”. ALLAH berkata (yang bermakna) : Kebaikan yang Aku sifatkan ini dan Aku janjikan pada hari kiamat kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih, “bagi orang yang takut kepada Rabbnya” yakni : bagi orang yang takut kepada ALLAH di dunia dalam keadaan sendirian atau dilihat orang banyak, kemudian bertakwa kepada-Nya dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya dan menjauhi maksiat-maksiat kepada-Nya.

Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya:

Kemudian ALLAH berkata “Balasan mereka di sisi Tuhan mereka” yakni pada hari kiamat “ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya” yakni tidak terpisah, tidak terputus dan tidak ada habisnya.
“Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya” dan tingkatan (keutamaan) ridhaNya jauh lebih tinggi dari nikmat yang abadi yang diberikanNya kepada mereka.
“Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya” yakni balasan ini adalah hasil dari orang yang takut kepada ALLAH, bertakwa kepadaNya dengan sebenar-benar takwa, menyembahNya seakan-akan melihatNya dan mengetahui bahwa walaupun dia tidak mampu melihatNya maka sesungguhnya Dia selalu melihatnya.

Beberapa faidah yang bisa dipetik dari ayat tersebut :

“Balasan mereka di sisi Tuhan mereka” perkataan “di sisi” atau bahasa arabnya adalah “’inda” menunjukkan bahwa balasan itu semata-mata pemberian dan kemurahan ALLAH Ta’aalaa, bukan hak kita bukan balasan yang sebanding dengan amal kita akan tetapi semata-mata karena fadhilah dan kemurahanNya. Dalam bahasa arab balasan yang berupa hak atau sebanding adalah dengan kata “’alaa” yang bermakna “atas”. Sehingga tidak dikatakan “Balasan mereka atas (‘alaa)Tuhan mereka” akan tetapi “Balasan mereka di sisi (‘inda) Tuhan mereka”. Hal ini ditunjukkan oleh ALLAH dalam :

جَزَاءً مِنْ رَبِّكَ عَطَاءً حِسَابًا
“Sebagai balasan dari Tuhanmu berupa pemberian (anugerah) yang banyak (mencukupi)”(QS An-Naba' 36)

Makna “’Athaa’an” yakni “tafadhullan” yang bermakna pemberian, anugerah dimana ALLAH membalas satu kebaikan dengan sepuluh bahkan tujuh ratus lipat balasan. Bukankah ini pemberian dan anugerah yang luar biasa??

Sungai-sungai yang mengalir disebutkan dalam :

مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ فِيهَا أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍ غَيْرِ آَسِنٍ وَأَنْهَارٌ مِنْ لَبَنٍ لَمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ وَأَنْهَارٌ مِنْ خَمْرٍ لَذَّةٍ لِلشَّارِبِينَ وَأَنْهَارٌ مِنْ عَسَلٍ مُصَفًّى وَلَهُمْ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَمَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ كَمَنْ هُوَ خَالِدٌ فِي النَّارِ وَسُقُوا مَاءً حَمِيمًا فَقَطَّعَ أَمْعَاءَهُمْ

(Apakah) perumpamaan (penghuni) jannah yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka, sama dengan orang yang kekal dalam jahannam dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong ususnya? (QS Muhammad 15)


“Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya.”
ALLAH menyebutkan balasan yang umum setelah balasan yang khusus (surga) yakni ridhaNya yang mencakup kehidupan di dunia apalagi di akhirat yang berupa surga dan kenikamatan di dalamnya serta melihat wajahNya. Dalam ayat ini menunjukkan bahwa balasan kebaikan itu tidak hanya diberikan saat di akhirat saja tapi juga di dunia dengan ridhaNya. ALLAH menyatakan ridha di dunia sebagaimana dalam :

لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا

Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu'min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). (QS Al-Fath 18)

ALLAH ridha terhadap orang-orang mu’min yang berbai’at setia kepada Nabi ‘alaihi ash-shalatu wa as-salam kemudian diberi balasan di dunia berupa ketenangan dan kemenangan yang dekat.

Iman dan ‘amal shalih pasti akan diberikan balasan di dunia selain balasan yang lebih baik dan kekal di akhirat kelak.

“Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut (khasyiya) kepada Tuhannya”
ALLAH menggunakan kata “khasyiya” bukan “khaafa” di mana dalam bahasa kita diartikan takut. Ada perbedaan sedikit di mana “khasyiya” lebih memberi makna takut di banding “khaafa”. “khasiya” adalah “khaafa” atau takut disertai dengan ilmu tentang keagungan dan kemahaperkasaan yang ditakuti. Sehingga ilmu tentang ALLAH sangat berperan terhadap munculnya rasa takut yang disebut “khasyah”. Oleh karena itu orang-orang yang bisa “khasyiya” hanyalah orang-orang yang berilmu sebagaimana dalam:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba- Nya, hanyalah ulama (QS Faathir 28)

Sehingga pujian ALLAH Ta’aalaa bagi orang yang berilmu atau ulama banyak sekali di dalam Al-Quran.

Kemudian ayat 7 dan 8 QS Al-Bayyinah ini menunjukkan betapa eratnya hubungan rasa takut (khasyah) dengan iman dan ‘amal shalih. Di mana hal ini menunjukkan bahwa dalam beriman dan beramal shalih selalu diiringi dengan rasa takut yang biasa disebut “khauf, rahbah dan khasyah” di samping rasa mengharap yang biasa disebut “rajaa’, raghbah” dan rasa cinta atau “mahabbah”.

ALLAH A’lam

Referensi

Tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari
Tafsir Ibnu Katsir
Tafsir Adhwa al-Bayan oleh Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi dan Tatimmahnya oleh Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim
Tafsir Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin


Read more...

I’rab Surat Al-Bayyinah Ayat 7-8

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” (QS Al-Bayyinah 7)


إِنَّ الَّذِينَ

“Inna” huruf nashab dan taukid (penegas). “Alladziina” isim maushul mabni atas fathah fii mahali nashbi isimnya “inna”.


آَمَنُوا

“Aamanuu” fi’il madhi mabniy atas dhammah karena bersambung dengan wawu jama’ah, wawu sebagai dhamir (kata ganti) muttashil (bersambung) fii mahali raf’i faa’il. Jumlah “Aamanuu” shilatu al-maushuul laa mahala lahaa min al-I’raab.


وَعَمِلُوا

“Wa ‘amiluu” ma’thuf (di-‘athaf) dengan wawu atas “Aamanuu” dan dii’rab sebagaimana i’rabnya.

الصَّالِحَاتِ

“Ash-shalihaati” maf’ul bihi manshub, alamat nashabnya kasrah sebagai badal dari fathah karena diikutkan jamak muannats salim.



أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ

Jumlah ismiyah fii mahali raf’i khabar kedua dari “inna”. “Ulaa’i” isim isyarah mabniy atas kasrah fii mahali raf’i mubtada. Kaf adalah huruf khitab. “Hum” adalah dhamir rafa’ munfashil (terpisah) fii mahali raf’i mubtada kedua (bagian dari khabar ghairu mufrad). “Khairu” khabar dari “hum” marfu’ dengan dhammah. “al-bariyyati” mudhaf ilaihi majrur dengan sebab idhafah, alamat jarnya adalah kasrah. Jumlah ismiyyah “Hum khairu al-bariyyati” fii mahali raf’i khabar “ulaaika” .


جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ

“Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS Al-Bayyinah 8)


جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ

“Jazaa’uhum” mubtada marfu’ dengan tanda rafa’nya adalah dhammah. “Hum” adalah dhamir ghaibiin (orang ketiga jamak laki-laki) fii mahali jarrin dengan sebab idhafah. “’Inda” dzaraf makan (keterangan tempat) manshub atas dzarfiyyah muta’alliq (bergantung) dengan khabarnya mubtada. “’inda” juga sebagai mudhaf. Jumlah ismiyyah “jazaa’uhum” bersama khabarnya fii mahali raf’i khabar kedua dari mubtada “ulaa’ika”.

رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ

“Rabbi” mudhaf ilaihi majrur dengan sebab idhafah dan alamat jarnya adalah kasrah. “Rabbi” juga sebagai mudhaf dan “him” adalah dhamir ghaa’ibiin fii mahali jarrin dengan sebab idhafah. “Jannaatin” khabar “jazaa’uhum” marfu’ dengan alamat dhammah. “’Adnin” mudhaf ilaihi majrur dengan sebab idhafah dan alamat jarrnya adalah kasrah. Makna “’adnin” adalah tempat tinggal (menetap).

تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ

Jumlah fi’liyyah fii mahali raf’i shifat atau na’at dari “jannaati”. “Tajrii” fi’il mudhari’ marfu’ dengan alamat dhammah yang diperkirakan atas yaa’ karena berat (diucapkan) atau tsiqal. “Min tahti” jar wa majrur muta’alliq bi “tajrii”. “haa” dhamir muttashil mabniy atas sukun fii mahali jarrin karena idhafah. “al-anhaaru” faa’il marfu’ dengan alamat dhammah.

خَالِدِينَ فِيهَا

“Khaalidiina” adalah haal manshub dengan alamat nashabnya adalah yaa’ karena jamak mudzakkar salim. “Fiihaa” jarr wa majrur muta’alliq dengan “khaalidiina”.

أَبَدًا

Dzaraf zaman manshub karena dzaraf menunjukkan makna terus menerus dan menegaskan “khaalidiina”.


رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ

“Radhiya” fi’il madhi mabni atas fathah. اللَّهُ lafadz jalalah sebagai faa’il marfu’ dengan alamat dhammah. “’An” huruf jar dan “hum” dhamir ghaaibiin fii mahali jarrin dengan sebab “’an”. Jarr wa majrur muta’alliq dengan “radhiya”. Jumlah fi’iliyah fii mahali nashbi haal dari dhamir dalam “jazaauhum”.

وَرَضُوا عَنْهُ

“Wawu” adalah wawu ‘athaf. “Radhuu” adalah fi’il madhi mabniy atas dhammah yang dzahir di atas yaa’ karena bersambung dengan wawu jama’ah. Wawu dalam fi’il itu sebagai dhamir muttashil fii mahali raf’i faa’il. “’Anhu” jarr wa majrur muta’alliq dengan “ radhuu”.

ذَلِكَ لِمَنْ

“Dzaalika” isim isyarah mabniy atas sukun fii mahali raf’i mubtada. Laam adalah huruf jarr. “Man” adalah isim maushul mabniy atas sukun fii mahali jarrin karena laam. Jarr wa majrur muta’alliq dngan khabarnya “dzaalika”. Jumlah fi’liyah setelah “man” adalah shilah dari isim maushul laa mahala lahaa min al-i’rab.
خَشِيَ رَبَّهُ

“Khasyiya” fi’il madhi mabni atas fathah. Faa’ilnya adalah dhamir mustatir fiihi jawaazan perkiraannya adalah “huwa”. “Rabba” maf’ul bihi manshub dengan alamat fathah. “hu” adalah dhamir muttashil mabniy atas dhammah fii mahali jarrin dengan sebab idhafah.

ALLAH A’lam

Referensi :

Al-I’raab Al-Mufashshal Li KitaabiLLAAH Al-Murattal oleh Bahjat Abdu al-Wahid Shalih
I’raab al-Quraan oleh Ibnu Sayyidihi


Read more...

Friday, December 26, 2008

Hadits Kuraib Tentang Hilal Ramadhan

Hadits Kuraib lengkapnya sebagaimana dalam Shahih Muslim (No. 1819
Maktabah Syamilah)

Dari Kuraib bahwasanya Umm al-Fadhl binti al-Harits mengutusnya kepada
Mu'awiyah ke Syam, Kuraib berkata : Aku telah sampai Syam maka aku
menyelesaikan keperluannya (Umm al-Fadhl), Ramadhan telah dimulai
atasku dan aku di Syam, maka aku melihat hilal pada malam Jum'at
kemudian akau sampai Madinah di akhir bulan (Ramadhan), maka Abdullah
ibnu Abbas r.a. bertanya kepadaku kemudian beliau menyebut hilal dan
berkata " Kapan engkau melihat hilal?" maka aku menjawab "Kami
melihatnya malam Jum'at" maka beliau berkata "Apakah engkau benar-benar
melihat?" maka aku jawab "Iya dan orang-orang juga melihatnya terus
berpuasa dan Mu'awiyahpun berpuasa", beliau berkata "Akan tetapi kami
melihatnya malam Sabtu maka kami akan terus berpuasa 30 hari atau
sampai kami melihatnya (hilal)", aku berkata "Apakah kita tidak
mencukupkan dengan rukyat Mu'awiyah dan puasanya?", beliau berkata
"Tidak, seperti inilah Rasulullah 'alaihi shalatu wa salam
memerintahkan kami".



Titik pangkal perbedaan adalah pada kata-kata "Tidak, seperti inilah
Rasulullah 'alaihi shalatu wa salam memerintahkan kami" yang oleh
sebagian Ulama dimaknai bahwa masing-masing negeri mempunyai mathla' sendiri
dengan alasan karena itu perintah Rasul 'alaihi shalatu wa salam dan
tidak cukup dengan rukyat Mu'awiyah (rukyat penduduk Syam).

Sebenarnya hal itu masih bisa dipertanyakan yakni apakah yang
diperintahkan Rasul 'alaihi shalatu wa salam adalah perintah melihat
hilal atau perintah masing-masing negeri dengan mathla'nya sendiri? saya
cenderung pendapat bahwa perintah itu adalah perintah tidak beridul
fithri sampai melihat hilal atau digenapkan 30 jika tidak tampak.

Kemudian terhadap apakah tidak cukup rukyat Mu'awiyah? jelas tidak
mungkin bagi Ibnu Abbas mengikuti rukyat Mu'awiyah karena tidak ada
informasi yang sampai kepada beliau malam saat Kuraib melihat hilal,
Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya. Maka Ibnu Abbas
mengamalkan rukyatnya sendiri dan penduduk Madinah, apabila malam
Jumat ada info bahwa hilal telah tampak dari penduduk Syam mungkin
Ibnu Abbas akan memulai Jumat bukan Sabtu.
Ini berlaku juga misalnya apabila kita menggenapkan 30 hari sya'ban
karena hilal samar atau tertutup sehingga tidak tampak ternyata
seminggu kemudian datang berita kalau Hilal telah tampak di negeri
lain, maka kita tidak perlu menghitung mundur dengan mengikuti hilal
negeri lain tersebut dan tidak perlu mengqadha puasa yang menurut
versi negeri lain sudah tanggal 1 Ramadhan. Cukuplah kita berpuasa
sampai kita melihat hilal atau ada yang menginformasikan hilal telah
tampak untuk beridul fithri kecuali kalau ternyata kita salah yang
berakibat puasa 28 hari atau 31 hari ini jelas pasti kita salah
(tidak mungkin Ramadhan 28 hari atau 31 hari).


Read more...

Penentuan Awal Ramadhan

Masalah penentuan awal puasa ramadhan dan kapan idul Fithri memang
menuai kontroversi sejak dahulu, bahkan mungkin termasuk perkara yang
paling banyak memunculkan perbedaan pendapat di kalangan para Ulama
sejak dahulu maupun sekarang.

Dasar penentuan puasa Ramadhan maupun Idul Fithri bahkan juga Idul
Adha berdasar pada hadits yang maknanya :

"Puasalah kalian karena ru'yatnya dan berbukalah (idul fithri) karena
rukyatnya, jika tertutup (awan) sempurnakanlah hitungan itu" (HSR
Muslim dari Abu Hurairah)

dalam riwayat al-Bukhari "...sempurnakanlah hitungan Sya'ban menjadi
30 hari"
hadits semakna juga dikeluarkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i
dan Ibnu Majah dengan lafadz yang berlainan tetapi maknanya
berdekatan.

Bermula dari hadits inilah pemahaman para Ulama berbeda-beda

1. Apakah yang dimaksud rukyat, apakah melazimkan basyariah haqiqiah
(mata manusia) atau boleh dengan rukyat maknawiyah (dengan
hitung-hitungan astronomi)? sehingga muncullah metode hisab astronomi
(Muhammadiyyah, Persis,..). Imam empat madzhab dan para salaf
(sahabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in) tidak ada yang mengenal hisab
sehingga otomatis mereka menggunakan rukyat basyariah. Saya tidak akan
panjang lebar menyebutkan perkataan para Ulama tentang hal ini. Saya
sendiri cenderung dengan rukyat basyariah karena

A. Itu yang diperintahkan Rasulullah 'alaihi shalatu wa salam,
maknanya kalau rukyat basyariah pasti sesuai dzahirnya teks hadits
sedang rukyat hisabiyah (yang merupakan pemaknaan yang tidak sesuai
dzahir teks (takwil)) bagi saya sekedar membantu dan memberikan
masukan pengetahuan yang bersifat optional (tidak pakai hisab pun
puasa tetap sah selama sesuai perintah dalam hadits tersebut), karena
puasa pertama Rasulullah 'alaihi shalatu wa salam tetap sah saat
menyempurnakan Sya'ban 30 karena tertutup awan walaupun pada waktu itu
kalau seandainya dihitung dengan hisab astronomi mungkin sudah masuk
tanggal 2 Ramadhan (secara astronomi) sehingga secara syar'i tidak
perlu mengganti puasa tanggal 1 Ramadhan versi astronomi karena secara
syar'i memang belum masuk 1 Ramadhan.

B.Lebih sederhana dan sesuai prinsip agama Islam yang sederhana serta
mudah. Melihat hilal cukup dengan mata telanjang tidak perlu teleskop
maupun advanced methods seperti hisab dan sejenisnya. Jadi saya
cenderung memahami puasa bulan Ramadhan secara syar'i bukan bulan
Ramadhan secara astronomi, kalau secara syar'i (perintah teks hadits)
hilal tidak terlihat entah karena mendung atau yang lain berarti
Sya'ban 30 hari secara syar'i walaupun secara astronomi sebenarnya
Sya'ban hanya 29. Dalil yang membuat saya cenderung bahwa bulan
Ramadhan yang dimaksud untuk berpuasa adalah bulan syar'i bukan
astronomi adalah :
Perintah Rasulullah 'alaihi shalatu wa salam untuk mengikuti orang-orang
(dimaknai dengan mayoritas atau pemimpin) saat ru'yat kita tidak
diterima oleh mayoritas manusia atau pemimpin kaum muslimin (khalifah,
raja, sultan, presiden, ...dst) yakni :
hadits yang bermakna "Puasa itu adalah hari kalian berpuasa, Idul
Fithri itu itu hari kalian beridul Fithri dan Idul Adha itu adalah
hari kalian menyembelih (hewan kurban)" (HR at-Tirmidzi dari Abu
Hurairah beliau berkata hasan gharib dan disebutkan al-Albani dalam
Silsilah Hadits Shahih) dalam lafadz yang lain dari 'Aisyah "Idul
Fithri itu adalah hari di mana orang-orang berIdul Fithri, Idul Adha
adalah hari di mana orang-orang menyembelih (kurban)" (HR at-Tirmidzi
dan beliau berkata hasan gharib shahih min hadza al-wajhi, Al-Albani
menyebutkan dalam Shahih at-Tirmidzi)
Berdasar teks hadits tersebut, sebagian ulama menyatakan bahwa bagi
seorang yang melihat hilal sendirian tetapi menyelisihi mayoritas kaum
muslimin setempat atau menyelisihi pemimpin karena persaksiannya
melihat hilal ditolak hakim (qadhi) maka bagi dia harus mengikuti
mayoritas atau pemimpin dan tidak boleh mengamalkan rukyatnya
sendirian.
Bagi saya ini adalah dalil bahwa puasa adalah mengikuti arahan
syari'at bukan astronomi, bulan ramadhan yang diperintahkan untuk
berpuasa adalah bulan syar'i bukan bulan astronomi.
Dalam hadits ini juga perintah untuk menjaga persatuan dan jama'ah
bersama mayoritas masyarakat muslim selama masyarakat juga berdasar
dalil-dalil dan ijtihad yang syar'i walaupun bertentangan dengan ra'yu
(pendapat) kita pribadi khususnya masalah puasa, idul fitri dan idul
adha dan juga masalah-masalah yang lain, boleh berbeda pendapat tapi
persatuan dan jama'ah tetap dijaga. Dalam hal ini pula saya mengikuti
pemerintah Malaysia dan mayoritas masyarakat muslim Tronoh untuk
berhari raya. Sedangkan yang di Indonesia mengikuti mayoritas
masyarakat setempat selama mereka menggunakan dasar dari ijtihad yang
syar'i.

2.Apakah rukyat pada suatu negeri melazimkan negeri yang lain menerima
rukyat itu?
Sebagian ulama memahami setiap negeri punya rukyat sendiri, atau
sesuai mathla' dan bujur astronomi.
sebagian memahami rukyat berlaku ke negeri-negeri lainnya tanpa dibatasi
mathla' atau bujur astronomi berdasar teks hadits yang tidak menyebut
bahwa masing-masing negeri punya rukyat sendiri, pendapat terakhir ini
yang saya pilih berdasar teks hadits di atas, yakni apabila ada khabar
hilal telah terlihat maka besoknya waktu berpuasa, tidak peduli yang
melihat di arab, afrika, malaysia, eropa, amerika dll selama orang
yang memberi informasi terpercaya.
Akan tetapi pendapat saya ini akan tetap tunduk dengan mayoritas kaum
muslimin dan pemerintahnya di tempat saya tinggal (tronoh). Misalnya
jika negara lain menyatakan terlihat, tetapi masyarakat cenderung
menggunakan rukyat negerinya sendiri dan tidak terlihat, maka saya
ikut mereka (masyarakat) walaupun bertentangan dengan pendapat pribadi
saya.

Sebagai informasi, metode hisab sendiri berbeda dalam menyatakan awal
bulan


-kriteria wujudul hilal yakni jika
hilal di atas 0 derajat
(0.0000000000000000000000000000000000000000000000000009 derajat
misalnya) maka sudah masuk bulan Ramadhan sepertinya ini hitungan
bulan versi astronomi CMIIW


-kriteria imkan ar-ru'yah inipun berbeda-beda dalam menentukan derajat ketinggian hilal yang mungin dilihat mata telanjang (ada yang 2 derajat, 5, 7 dst, saya tidak hafal), misalnya
jika sudah 2 derajat artinya masuk bulan Ramadhan (bagi yang mensyaratkan min 2 derajat), metode ini berusaha menentukan bulan secara syar'i (mungkin tidaknya terlihat mata telanjang) tapi dengan metode hisab.

Ada satu pertanyaan saya, apakah metode hisab ini bisa dikatakan pasti
atau bisa mengandung error? mungkin kawan-kawan ahli astronomi bisa
menjawabnya.

Maka secara sederhana, saya akan mengikuti masyarakat dan pemimpin di
mana saya tinggal selama mereka menggunakan ijtihad syar'i walaupun
bertentangan dengan pendapat pribadi saya sendiri demi persatuan dan
jama'ah.

Allahu a'lam.


Read more...

Tentang Makan dan Minum Sambil Berdiri

Masalah makan dan minum sambil berdiri termasuk perkara fiqh yang banyak sekali perbedaan pendapat, diringkas menjadi tiga pendapat :

1. Tarjih, yakni hadits-hadits yang membolehkan lebih kuat dari yang melarang

2. Nasakh, yakni hadits-hadits yang membolehkan menasakh (menghapus) hadits-hadits yang melarang

3. Jama', ini pendapat mayoritas ulama, yakni hadits-hadits yang melarang menunjukkan makruh tanzih, atau irsyad atau saat tidak ada 'udzur artinya makan dan minum sambil berdiri boleh dilakukan tapi lebih utama ditinggalkan, atau lebih baik ditinggalkan, atau boleh dilakukan jika ada 'udzur seperti tidak adanya tempat duduk, tempat penuh sesak dan seterusnya.

Untuk pembahasan haditsnya saya tulis satu per satu mulai dari hadits-hadits yang disebutkan :

> Dari Anas dan Qatadah ra, dari Nabi SAW:
> Sesungguhnya beliau melarang seseorang minum sambil
> berdiri, Qotadah ra berkata:"Bagaimana dengan makan?"
> beliau menjawab: "Itu kebih buruk lagi". (HR. Muslim> dan Tirmidzi)

Sebenarnya hadits itu dari Qotadah (tabi'in, bukan sahabat) dari Anas dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau melarang minumnya seseorang sambil berdiri, Qotadah berkata "maka kami bertanya, "bagaimana dengan makan?"" maka beliau (Anas) berkata itu lebih buruk atau lebih kotor". (HR Muslim). Sedangkan riwayat at-Tirmidzi semakna dari jalur Qotadah juga dengan redaksi " ... bahwa beliau melarang ...berdiri, kemudian dikatakan "Bagaimana dengan makan?", beliau (Anas) berkata "Itu lebih parah". (HR Tirmidzi beliau berkata "ini hadits hasan shahih".Hadits dengan lafadz tersebut dishahihkan para 'Ulama hadits termasuk al-Albani.

> Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda:
> "Jangan kalian minum sambil berdiri ! Apabila kalian
> lupa, maka hendaknya ia muntahkan !" (HR. Muslim)

Redaksi "Janganlah sekali-sekali salah seorang dari kalian minum sambil berdiri, barangsiapa lupa hendaklah dia memuntahkannya!"(HR Muslim)

Hadits ini walaupun diriwayatkan Muslim khusus untuk jalur dan lafadz ini, dikatakan munkar oleh al-Albani(silsilah al-ahadits adh-dha'ifah 2/427 (maktabahsyamilah)) karena ada rawi yang bernama 'Umar bin Hamzah dilemahkan para Ulama seperti Imam Ahmad (beliau mengatakan hadits-haditsnya munkar),an-Nasa'i, Yahya bin Ma'in, juga adz-Dzahabi dan Ibnu Hajar. Mungkin Imam Muslim menjadikannya sebagai penguat hadits-hadits semakna sebelumnya dalam Bab Makruhnya minum sambil berdiri, karena 'Umar bin Hamzah termasuk yang ditulis haditsnya untuk i'tibar (penguat,..dst),ini bukan berarti mengatakan hadits riwayat Muslim ada yang lemah karena hadits-hadits muslim yang sebagai penguat memang beberapa sanadnya bermasalah untuk pokok (hujjah) tetapi boleh untuk penguat, sehingga hadits Muslim tentang larangan minum sambil berdiri jelas-jelas sahih tetapi ada beberapa lafadz yang dipertanyakan seperti perintah untuk memuntahkan, menjadi pertanyaan karena hadits dengan lafadz tersebut tidak sahih akan tetapi sebagian ulama mengatakan mustahab (disukai) memuntahkannya dengan dalil yang lain misalnya:

"Kalau orang yang minum sambil berdiri itu tahu apa yang ada di dalam perutnya dia musti sudah memuntahkannya"

dikeluarkan Ahmad dari Abu Hurairah, al-Albani mengatakan sanadnya shahih, al-Haitsami mengatakan rijalnya shahih (lihat silsilah al-ahadits ash-shahihah 1/175(maktabah syamilah))

Sedang hadits-hadits yang membolehkan misalnya :

Dari an-Nazzal beliau berkata: 'Ali radhiallahu 'anhu datang di pintu ar-rahbah (tempat yang luas) maka beliau minum sambil berdiri dan mengatakan : sesungguhnya orang-orang membenci minum sambil berdiri dan sesungguhnya aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan sebagaimana kalian melihatku melakukannya (minum sambil berdiri). (HR al-Bukhari dalam bab Minum sambil berdiri (17/331) (maktabahsyamilah))

Dari Ibnu 'Abbas beliau berkata : Nabi shallallahu 'alaihi wa sallamminum air zamzam sambil berdiri. (HR HR al-Bukhari dalam bab Minum sambil berdiri (17/333) (maktabah syamilah))
Dari Ibnu 'Umar beliau berkata : Kami makan pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sambil berjalan, kami minum sambil berdiri. (HR at-Tirmidzi dan beliau berkata ini hadits shahih gharib(7/90)(maktabah syamilah)), Al-Albani menshahihkannya dalam Shahih wa Dha'if at-Tirmidzi (4/381)(maktabahsyamilah)dan hadits-hadits yang semakna.


Bolehnya makan dan minum sambil berdiri diriwayatkan darisahabat 'Umar,'Ali,'Aisyah dan lainnya.

Silakan direnungkan dan dipilih yang paling kuat sesuai kapasitas kitamasing-masing

Allahu a'lam


Read more...

Silaturrahim

Silaturrahmi, silaturrahim atau yang lebih tepatnya shilaturrahim adalah istilah yang sudah biasa kita dengar untuk menggambarkan hubungan yang baik antar manusia apakah itu dalam lingkup tertentu seperti keluarga, kampung, organisasi atau sampai pada tingkatan yang besar seperti bangsa dan negara maupun antar negara.

Sebagai seorang muslim yang baik yang tentunya selalu melandasi seluruh sendi kehidupannya berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah harus memahami istilah shilaturrahim berdasarkan pengertian al-Qur’an dan as-Sunnah. Tulisan ini menelaah pengertian shilaturrahmi yang diperintahkan Allah subhananu wa ta’aala di dalam Islam berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Istilah shilaturrahim untuk selanjutnya biasa kita sebut silaturrahim secara bahasa terdiri dari dua kata yaitu “ash-shilatu” yang bermakna menyambung atau tidak meninggalkan dan “ar-rahimu” yang bermakna rahim seorang ibu atau bermakna kerabat (keluarga) dan sebab-sebab kekerabatan. Shilatu ar-rahimi (shilaturrahimi) bermakna menyambung kekerabatan. Kekerabatan di sini bisa karena keturunan atau nasab seperti ayah, ibu, saudara kandung dan lainnya bisa juga karena pernikahan seperti hubungan dengan mertua dan saudara-saudaranya serta ipar. Sehingga secara bahasa silaturrahim adalah menjaga hubungan kerabat atau keluarga dan bukan dengan orang lain yang tidak ada hubungan kerabat. Sedangkan hubungan dengan orang lain yang bukan kerabat diatur sendiri dalam Islam dan tidaklah sama dengan silaturrahim baik secara hukum maupun pahala. Hubungan-hubungan selain shilaturrahim itu bisa berupa hubungan akidah (ukhuwah islamiyyah) atau hubungan tetangga, profesi dan sebagainya yang diatur secara lengkap di dalam Islam. Kemudian perintah silaturrahim di dalam Islam terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.


يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا


Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS an-Nisaa:1)

Makna وَالأَرْحَامَ adalah: takutlah dengan rahim-rahim (kekerabatan) untuk jangan engkau putuskan, ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas, adh-Dhahak, Mujahid, ‘Ikrimah dan lainnya (Lihat tafsir ath-Thabari, Ibnu Katsir dan al-Baghawi).

وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الحِسَابِ


dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. (QS: ar-Ra’du:21)

Makna “dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan” adalah hubungan silaturrahim, ini adalah pendapat mayoritas ahli tafsir (lihat tafsir ath-Thabari, Ibnu Katsir dan al-Baghawi).

Masih banyak ayat-ayat yang semakna dengan ayat-ayat tersebut.

Sedangkan larangan untuk memutusnya adalah :


فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ



Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? (QS Muhammad:22)

Ibnu Katsir berkata: “ Dan ini adalah larangan secara umum dari berbuat kerusakan di muka bumi dan secara khusus larangan dari memutus tali silaturrahim. Sebaliknya Allah memerintahkan untuk berbuat baik di muka bumi dan menyambung tali silaturrahim yaitu berbuat baik kepada kerabat dengan ucapan, perbuatan dan harta.”

Sedangkan hadits-hadits yang shahih berkaitan dengan silaturrahim ini banyak sekali di antaranya:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ قَامَتْ الرَّحِمُ فَقَالَتْ هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ مِنْ الْقَطِيعَةِ قَالَ نَعَمْ أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ قَالَتْ بَلَى قَالَ فَذَاكِ لَكِ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمْ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى
قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا


dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta'ala menciptakan makhluk sehingga setelah selesai menciptakan mereka, maka rahim berdiri dan berkata: Ini adalah kedudukan yang tepat bagi orang yang berlindung dari memutuskan hubungan (silaturrahim), Allah Ta'ala berfirman: "Benar, bukankah engkau ridha jika Aku menyambung orang yang menyambungmu dan Aku memutus orang yang memutuskanmu. Dia berkata: "Ya, Allah Ta'ala berfirman: "Itulah permohonanmu yang Aku kabulkan." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bacalah jika kalian mau firman Allah Ta'ala (artinya): "Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dila'nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka. Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quraan ataukah hati mereka terkunci?" (QS Muhammad: 22-24) (HR Muslim No. 4634)

Makna rahim adalah kekerabatan, masalah ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan pendapat adalah tentang definisi kerabat, pendapat yang dikuatkan an-Nawawi adalah yang terdapat hubungan waris. Sedangkan orang pertama yang paling wajib untuk kita berbuat baik kepadanya adalah ibu, kemudan bapak, baru kemudian yang dibawahnya seperti saudara, kakek, paman, bibi dan seterusnya sesuai tingkat jauh dekat kekerabatan. Para ulama juga tidak berbeda pendapat tentang wajibnya silaturrahim dan memutusnya adalah haram bahkan termasuk dosa besar. Tentang teknis dan penjelasan yang lebih panjang tentang silaturrahmi, yang tidak mungkin ditulis dalam satu dua lembar kertas, para ulama telah menulis dan mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits shahih dalam buku-buku mereka di antaranya adalah Riyadhu ash-Shalihin karya al-Imam an-Nawawi dalam bab “Birr al-Walidain wa Shilatu al-Arham” yang artinya “Berbakti pada Orang Tua dan Silaturrahim”.

Tulisan di atas menjelaskan kembali tentang makna silaturrahmi yang telah terjadi salah kaprah sehingga banyak di antara kita yang menyambung hubungan dengan orang lain yang bukan kerabat kita akan tetapi lupa menjaga dan merawat hubungan dengan orang-orang yang seharusnya lebih layak kita perhatikan yakni kerabat-kerabat kita. Hal ini tidak berarti kita tidak menjaga hubungan dengan orang lain. Masalah ini telah dijelaskan oleh Allah Ta’ala :

وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh , dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (QS an-Nisaa’:36)

Makna teman sejawat menurut para ahli tafsir bisa berarti istri, teman senasib dan sepenanggungan dalam perjalanan, sahabat dekat yang shalih, sahabat yang kita mengharap manfaatnya. Teman senasib di universitas saat kita belajar di luar negeri masuk kepada kriteria teman sejawat dari sisi kita sama-sama di negeri asing, sama-sama pelajar, dan di antara kita ada yang bersahabat secara dekat, ada yang bisa saling memberi manfaat sesama kita insya Allah. Sedangkan hubungan yang lain adalah kita sama-sama muslim di mana sesama muslim dan mu’min adalah bersaudara (QS al-Hujurat:10).

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا وَلَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ

Rasulullahi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ”Janganlah kalian saling membenci, janganlah saling dengki, janganlah saling membelakangi dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara dan tidaklah halal seorang muslim membiarkan saudaranya lebih dari tiga hari”. (HR al-Bukhari No. 5605)

Hadits yang memerintahkan kita bersaudara dan saling menjaga hak-hak persaudaraan sangat banyak. Wajib bagi kita untuk melaksanakan hak-hak persaudaraan sesama muslim akan tetapi tingkat kewajibannya tidak lebih tinggi dari silaturrahim yang sangat ditekankan dalam Islam. Hak-hak persaudaraan ini dibahas para ulama dalam bab tersendiri.

Allahu a’lamu bi ash-shawab.


Read more...

Hikmah dan Syari’ah Ibadah Qurban

Ibadah qurban adalah ibadah menyembelih binatang qurban yang dilakukan pada hari raya qurban atau ‘Ied al-Adha. ‘Ied al-Adha adalah salah satu dari dua hari raya yang disyari’atkan Allah Ta’ala kepada seluruh muslimin di seluruh dunia. Hari raya yang lain yang disyari’atkan adalah ‘Ied al-Fithri. Hal ini ditegaskan oleh Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu



قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ



bahwa Rasulullah ‘alaihi ash-shalatu wa as-salam datang, sedangkan penduduk Madinah di masa jahiliyyah memiliki dua hari raya yang mereka bersuka ria padanya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apakah dua hari yang kalian rayakan itu?”, mereka menjawab:”Kami bersuka ria pada hari-hari tersebut pada masa jahiliyyah”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:” Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari raya yang lebih baik dari keduanya: hari raya al-Adha dan hari raya al-Fithri.” (HR Abu Dawud, an-Nasa’i, Ahmad, al-Hakim, al-Baghawi dengan lafadz Abu Dawud, hadits dishahihkan al-Albani, al-Baghawi, al-Hakim dan disepakati adz-Dzahabi)

Istilah “qurban” secara bahasa bermakna apa yang dengannya dia mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Sedangkan “adha” bentuk jama’ (plural) dari “adhaah” yang semakna dengan “udhiyah” yang berarti kambing sembelihan pada ‘Ied al-Adha (Mukhtar ash-Shihah), dari makna bahasa ini maka menyembelih binatang pada ‘Ied al-Adha adalah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala semata-mata. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:


لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ



“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS al-Hajj:37)

Ibnu Katsir berkata: ”Sesungguhnya Allah mensyari’atkan penyembelihan binatang-bingatang qurban supaya kamu ingat kepada-Nya ketika menyembelih, karena sesungguhnya Dia Maha Menciptakan dan Maha Memberi rizqi. Daging dan darahnya tidak akan sampai kepada-Nya sedikitpun karena Dia Maha Kaya dari semua makhluq-Nya.”
Beliau juga berkata: ”Sesungguhnya mereka pada masa Jahiliyyah apabila menyembelih binatang-binatang qurban untuk sesembahan-sesembahan mereka, mereka meletakkan dagingnya pada sesembahan-sesembahan itu dan memercikkan darahnya pada sesembahan-sesembahan itu. Maka Allah menurunkan ayat tersebut.” (Tafsir Ibnu Katsir dengan saduran)

Ibadah qurban kita semata-mata karena ketaqwaan kita dalam rangka mendekatkan diri kita kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala tidaklah memerlukan daging dan darahnya karena Allah Maha Kaya dari seluruh makhluq-Nya.

Dalam hal ini terdapat contoh bagi kita semua pada diri Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il ’alaihima as-salam


فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ -102
فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ -103
وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ -104
قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ -105
إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ -106
وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ -107



Maka tatkala anak (Isma’il) itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ”Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: ”Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Dan Kami panggillah dia: ”Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (QS ash-Shaffat:102-107)

Di dalam kisah tersebut jelas sekali bagaimana ketaqwaan kedua Nabi Allah yaitu Ibrahim dan Isma’il ’alaihima as-salam. Keduanya berhasil lulus dalam ujian Allah Ta’ala yang nyata. Mereka berdua diberi balasan oleh Allah Ta’ala karena mereka termasuk orang-orang yang berbuat baik dengan kesabaran mereka yakni kesabaran dalam menta’ati seluruh perintah Allah Ta’ala tanpa terkecuali dan lebih mendahulukan perintah-Nya dibanding hawa nafsu dan akal fikirannya. Ujian kedua Nabi Allah Ta’ala itu sungguh jauh lebih berat dibandingkan sekedar menyisihkan sebagian rizki kita untuk membeli seekor kambing atau bertujuh membeli seekor lembu maupun unta dalam rangka melaksanakan ibadah qurban ikhlas karena Allah Ta’ala. Bagaimana mungkin kita mampu menegakkan seluruh syari’at-Nya kalau dalam hal seperti ibadah qurban ini kita masih gamang dan ragu-ragu terutama apabila kita termasuk golongan yang mampu berqurban.

Allah Ta’ala tidaklah memerlukan daging dan darah binatang qurban, maka Allah mengetuk hati kita untuk ingat dan berbagi dengan saudara-saudara kita terutama orang-orang faqir dan miskin.



لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ


supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS al-Hajj:28)

Salah satu tafsiran para ahli tafsir dan ahli fiqh tentang “hari yang telah ditentukan” adalah hari-hari “nahr” atau menyembelih yakni ‘Ied al-Adha (10 Dzulhijjah) dan tiga hari setelahnya yakni hari-hari tasyriq (11-13 Dzuhijjah). Sehingga perintah untuk memberi makan orang-orang faqir mencakup juga ibadah qurban ‘Ied al-Adha selain ibadah qurban bagi jama’ah haji atau yang biasa disebut “al-hadyu” (Tafsir Ibnu Katsir, al-Baghawi dan ath-Thabari). Hal ini juga berdasar riwayat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu:

أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَمَرَهُ أَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا فِي الْمَسَاكِينِ وَلَا يُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا مِنْهَا شَيْئًا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku untuk mengurusi kurban-kurbannya; membagi-bagikan daging, kulit dan pakaiannya kepada orang-orang miskin, dan aku tidak diperbolehkan memberi suatu apapun dari kurban kepada penyembelihnya. (HR al-Bukhari dan Muslim dengan lafadz Muslim)

Selain dibagikan kepada orang miskin disunnahkan kita memakan daging sembelihan serta berbagi dengan kerabat, sahabat dan tetangga berdasar QS al-Hajj:28. Hal ini akan mempererat hubungan kerabat dalam rangka menyambung silaturrahim, mempererat hubungan persahabatan dan persaudaraan khususnya sesama muslim dan juga berbuat baik kepada tetangga yang juga merupakan ajaran syari’at Islam. Tentu saja masih banyak hikmah dari ibadah qurban dan juga syari’at Allah Ta’ala karena Allah adalah al-Hakim, yakni seluruh apa yang diperintahkan-Nya pasti penuh hikmah dan kebaikan bagi umat manusia dan umat Islam khususnya akan tetapi sebagian besar manusia tidaklah mengetahui.

Ibadah qurban disyari’atkan kepada umat Islam berdasarkan al-Quran, as-Sunnah dan Ijma’.
Allah Ta’ala berfirman:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah . (QS al-Kautsar:2)

Makna ” وَانْحَرْ (wanhar)” adalah menyembelih binatang qurban menurut ahli tafsir dari para salaf ash-shalih seperti Ibnu ’Abbas, ’Atha, Mujahid, ’Ikrimah, Qatadah, adh-Dhahak dan al-Hasan. Pendapat ini juga dipilih dan dikuatkan oleh Ibnu Katsir dan ath-Thabari (Tafsir Ibnu Katsir dan ath-Thabari).

Sedangkan dari sunnah adalah riwayat Anas bin Malik radhiallahu ’anhu:

ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ يُسَمِّي وَيُكَبِّرُ

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menyembelih dua ekor kambing beliau membaca basmalah dan bertakbir. (HR al-Bukhari dan Muslim dengan lafadz al-Bukhari)

Ibnu Qudamah menyatakan ijma’ dalam masalah ini di kitabnya al-Mughni. al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat bahwa ibadah qurban termasuk syi’ar-syi’ar agama. Perbedaan pendapat hanya terjadi tentang hukum dari ibadah qurban. Sebagian menyatakan wajib, sebagian menyatakan sunnah muakkadah dan ini adalah pendapat mayoritas ulama sebagaimana dinyatakan al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari. Rincian hukum-hukum tentang ibadah qurban dibahas oleh para ulama dalam kitab-kitab fiqh. Allahu a’lam bi ash-shawab.


Read more...

Bincang-bincang Hadits Khilafah (2)


Kemudian penulis berkata :


> Salah satu rawi Hadis di atas bernama Habib bin Salim. Menurut Imam Bukhari,

> "fihi nazhar". Inilah sebabnya imam Bukhari tidak pernah menerima hadis yang

> diriwayatkan oleh Habib bin Salim tsb. Di samping itu, dari 9 kitab utama

> (kutubut tis'ah) hanya Musnad Ahmad yang meriwayatkan hadis tsb. Sehingga

> "kelemahan" sanad hadis tsb tidak bisa ditolong.


Dalam hal ini al-Bukhari menyendiri, sebab Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan imam-imam yang lainnya meriwayatkan dari Habib bin Salim walaupun bukan hadits khilafah tersebut. Menyimpulkan hadits itu “lemah” hanya dengan pendapat al-Bukhari tanpa mempertimbangkan pendapat para imam yang lain adalah terlalu tergesa-gesa dan gegabah. Bukti bahwa penulis ini tidaklah faham kaidah-kaidah jarh wa ta’dil menurut para ulama hadits sebagaimana dijelaskan di atas. Apabila kaidah penulis ini diberlakukan maka banyak sekali hadits-hadits yang shahih menjadi “lemah” bahkan hadits-hadits yang di dalam al-Bukhari dan Muslim pun akan menjadi lemah mengingat banyak rawi-rawi al-Bukhari dan Muslim yang tidak lepas dari jarh. Kaidah penulis ini juga menjadikan ilmu hadits sangat sederhana yakni dengan melihat Shahih al-Bukhari saja atau dengan melihat 9 kitab utama hadits. Padahal tidak sedikit hadits-hadits yang shahih di luar 9 kitab utama tersebut sehingga banyak ulama yang menyusun kitab-kitab “zawa’id” yang merupakan tambahan dari kitab-kitab hadits yang dianggap utama.


Kemudian penulis berkata:


> Rupanya Habib bin salim itu memang cukup "bermasalah" . Dia membaca hadis

> tsb di depan khalifah 'umar bin abdul aziz utk menjustifikasi bhw

> kekhilafahan 'umar bin abdul azis merupakan khilafah 'ala

> minhajin nubuwwah. Saya menduga kuat bhw Habib mencari muka di depan

> khalifah karena sebelumnya ada sejumlah hadis yang mengatakan:

>

> "*setelah kenabian akan ada khilafah 'ala minhajin nubuwwah, lalu akan

> muncul para raja*."

>

> Hadis ini misalnya diriwayatkan oleh thabrani (dan dari penelaahan saya

> ternyata sanadnya majhul). Saya duga hadis thabrani ini muncul pada masa

> mu'awiyah atau yazid sebagai akibat pertentangan

> politik saat itu.


Beginilah akhlaq penulis yang mudah berburuk sangka sesama muslim apalagi muslim yang sudah meninggal dari kalangan tiga generasi awal umat ini yang dijamin oleh Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik.



خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ أَقْوَامٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ



“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian setelah mereka kemudian setelah mereka kemudian akan datang kaum-kaum yang persaksiannya mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya” (HSR al-Bukhari No. 2458 [MS])



Habib bin Salim adalah tabi’in pertengahan. Tidak ada seorangpun ulama yang mencela sisi keadilannya baik ulama semasa beliau ataupun setelahnya. al-Bukhari mengkritik beliau hanya melihat sisi ke”dhabit” annya (tingkat hafalan dan penjagaan hadits) bukan keadilannya. Kemudian datanglah penulis ini mencela keadilan Habib bin Salim dengan menuduh Habib membuat hadits untuk mencari muka di depan ‘Umar bin Abdu al-‘Aziz. Perbuatan mencari muka dengan membuat hadits adalah perbuatan yang sangat tercela, seolah-olah Habib ini tidak takut dengan ancaman berdusta atas nama Nabi ‘alaihi ash-shalatu wa as-salam. Adalah hal yang aneh sekali kalau seandainya hadits ini dibuat oleh Habib dan tidak ada ulama-ulama hadits zaman itu dan setelahnya yang tidak memperingatkan dia dan kaum muslimin kalau Habib benar-benar membuat-buat hadits. Sudah biasa di kalangan para ulama hadits bahwa para pemalsu hadits sangat mudah dikenali dan diketahui.

Kalau penulis ini mau mencermati matan haditsnya dengan hati-hati dan penuh baik sangka dengan sesama muslim maka tidak selayaknya dia berburuk sangka dengan Habib bin Salim.

“Habib berkata : Ketika ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Aziz menjadi raja dan Yazid bin an-Nu’man bin Basyir adalah sahabatnya maka akau menulis surat kepadanya (Yazid) dengan hadits ini dengan menyebutkan hadits itu kepadanya, kemudian aku berkata kepadanya sesungguhnya aku berharap Amir al-Mu’minin yakni ‘Umar adalah setelah kerajaaan yang mengiggit dan kerajaan yang arogan. Kemudian kitabku ini dimasukkan kepada ‘Umar bin Abdu al-‘Aziz maka beliau bahagia dan ta’jub.”

Jelas sekali Habib bin Salim hanya berharap supaya ‘Umar bin Abdu al-‘Aziz termasuk khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Apakah salah seseorang berharap seperti itu??. Walaupun harapan Habib ini tidak mesti benar. Tetapi sama sekali tidak menjatuhkan kredibilitas dia, apalagi sampai melemahkan haditsnya atau bahkan menuduh dia membuat-buat hadits. Kemudian Yazid bin an-Nu’manlah yang menyampaikan kepada ‘Umar bin Abdu al-‘Aziz bukan Habib sendiri.

Kemudian tidak ada kelaziman bahwa Habib menyampaikan hadits ini hanya setelah ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Aziz menjadi raja. Dari konteksnya sangat mungkin Habib sudah jauh-jauh hari menyampaikan hadits ini sebelum ‘Umar menjadi raja. ALLAH A’lam.

Sebenarnya tidak hanya Habib saja yang menyampaikan hadits ini, bahkan tidak hanya Hudzaifah tapi dari sahabat yang lain walaupun tidak selengkap versi Habib ini, seperti (saya tidak menyampaikan lengkap sebab akan panjang sekali, silakan dirujuk sendiri kitab-kitab tersebut):

Ibnu ‘Abbas (al-Mu’jam al-Kabir ath-Thabrani No. 10975[MS]), dalam lafadz ini disebutkan an-nubuwwah wa rahmah, khilafah wa rahmah, mulkan wa rahmah dan imarah wa rahmah. al-Albani mengatakan isnadnya jayyid dalam Silsilah ash-Shahihah No. 3270.

Mu’adz bin Jabal dan Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah (Musnad ath-Thayalisi No. 222[MS])

al-Haitsami berkata : “Di dalam sanadnya ada Laits bin Abi Salim, dia tsiqah tapi mudallis, rijal-rijal yang lain tsiqaat (Majma’ az-Zawaid (5/189[MS]))

al-Albani menilai sanadnya lemah, dan matannya munkar, kecuali bagian awal yang sama dengan hadits hudzaifah (Silsilah adh-Dha’ifah No. 3055)

Memang pandangan penulis bisa dipertimbangkan karena riwayat Habib ini ada tambahan khilafah ‘alaa minhaj an-nubuwwah, akan tetapi tidaklah boleh memperkirakan dengan menuduh Habib berusaha mencari muka kepada ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Aziz kemudian menambah-nambah sendiri, ini buruk sangka kepada sesama muslim. Dalam masalah ini berlaku kasus ziadatu ats-tsiqaat yakni tambahan seorang yang tsiqah terhadap suatu hadits. Ziadatu ats-tsiqah diterima selama tidak berlawanan dengan hadits-hadits yang ditambahi sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab musthalah, bahkan mayoritas ahli ushul fiqh menerimanya mutlak tanpa syarat. Tambahan riwayat Habib ini tidak menyelisihi riwayat Ibnu ‘Abbas.



Lihat sikap penulis dengan mengatakan


> "Khilafah 'ala minhajin nubuwwah" di teks thabrani ini me-refer ke khulafa

> al-rasyidin, lalu "raja" me-refer ke mu'awiyah dkk. Tapi tiba-tiba muncul

> umar bin abdul azis --dari dinasti umayyah—yang baik dan adil. Apakah beliau

> termasuk "raja" yg ngawur dlm hadis tsb?

>

> Maka muncullah Habib bin Salim yg bicara di depan khalifah Umar bin Abdul

> Azis bhw hadis yg beredar selama ini tidak lengkap. Menurut versi Habib,

> setelah periode para raja, akan muncul lagi khilafah 'ala minhajin

> nubuwwah--> dan ini merefer ke umar bin abdul azis. Jadi nuansa politik

> hadis ini sangat kuat.



Tampak nyata penyamaran penulis terhadap kisah yang sebenarnya.

Masa “mulkan ‘aadhdhan” atau kerajaan yang mengigit (dengan kedzaliman) tidak berarti menghukumi semua raja adalah dzalim, tapi lafadz ini menunjukkan ghalibnya (mayoritas) adalah dzalim terhadap rakyatnya. Sehingga tidak menafikkan kalau ada raja yang adil seperti ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Aziz dengan masa pemerintahan yang sangat pendek di antara raja-raja yang dzalim. Di tambah dalam riwayat Ibnu ‘Abbas ada tambahan rahmah, sehingga walaupun masa raja-raja tapi masih ada rahmah di sana, mungkin salah satunya adalah ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Aziz. Apakah hanya karena salah faham atau tidak bisa memahami kemudian menganggap hadits yang shahih atau hasan menjadi dha’if begitu saja??



بَلْ كَذَّبُواْ بِمَا لَمْ يُحِيطُواْ بِعِلْمِهِ



“Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna “ (QS Yunus: 39)



Ketidakfahaman kita dengan ayat-ayat al-Quran tidaklah kemudian boleh kita menyimpulkan bahwa ayat-ayat al-Quran tidak benar. Begitu pula ketidakfahaman kita dengan hadits-hadits nabawi tidaklah kemudian boleh kita menyimpulkan bahwa hadits tersebut tidak benar.

Tampak nyata juga pertentangan pemikiran penulis setelah sebelumnya mengatakan hadits riwayat Thabrani ini sanadnya majhul tapi kemudian menggunakannya untuk menjatuhkah Habib bin Salim. Bagaimana boleh dengan hadits yang dia nilai sendiri majhul dia gunakan sebagai hujjah untuk menjatuhkan Habib bin Salim. Bukankah ini fikiran yang bertentangan??

Kemudian dia juga menghukumi hadits yang majhul itu sebagai hadits buatan semasa Mu’awiyyah dan Yazid, padalah hadits majhul tidak serta merta menjadi hadits palsu. Kemudian apa hujjah dia sehingga bisa mengatakan seperti itu?? Bukankan tanpa hujjah berarti mengikuti hawa nafsu??

Hadits riwayat ath-Thabrani No. 372[MS] dengan lafadz hampir sama dengan hadits Habib hanya saja tanpa tambahan khilafah ‘alaa minhaj an-nubuwwah setelah mulkan jabriyyah sebagaimana kata penulis akan tetapi di dalam sanadnya ada rawi yang tidak disebutkan namanya (mubham) sehingga majhul ‘ain yakni “ ‘an rajulin min quraisy” (dari seorang laki-laki quraisy). al-Haitsami juga mengatakan demikian ketika menilai hadits ini dalam Majma’ az-Zawaid (5/185[MS]).

Hadits majhul ini tidak bisa digunakan sebagai hujjah untuk menjatuhkan Habib, bagaimana mungkin riwayat yang lebih lemah menjatuhkan riwayat yang lebih kuat (riwayat Habib).



Penulis berkata :



> Repotnya, term khilafah 'ala minhajin nubuwwah yg dimaksud oleh Habib (yaitu

> Umar bin abdul azis) sekarang dipahami oleh ------ (dan kelompok

> sejenis) sebagai jaminan akan datangnya khilafah lagi di kemudian hari.

> Mereka pasti repot menempatkan umar bin abdul azis dalam urutan di atas

> tadi: kenabian, khilafah 'ala mihajin nubuwwah periode pertama (yaitu

> khulafa al-rasyidin) , lalu para raja, dan khilafah 'ala minhajin nubuwwah

> lagi. Kalau khilafah 'ala minhajin nubuwwah periode yg kedua baru muncul di

> akhir jaman maka umar bin abdul azis termasuk golongan para raja yang ngawur

> :-)

>



Tidaklah repot menempatkan ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Azis, karena pemahaman mulkan entah yang ‘aadhdhan ataupun jabriyyah tidak menafikan adanya raja atau pemimpin yang adil di tengah-tengah raja-raja dan pemimpin-pemimpin yang dzalim. Tidak ragu lagi bahwa ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Azis adalah pada periode mulkan (raja-raja) karena Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam bersabda :



الْخِلَافَةُ فِي أُمَّتِي ثَلَاثُونَ سَنَةً ثُمَّ مُلْكٌ بَعْدَ ذَلِكَ



“Khilafah di dalam ummatuku adalah 30 tahun kemudian kerajaan setelah itu…”



Hadits riwayat at-Tirmidzi dan beliau berkata ini hadits hasan (Sunan at-Tirmidzi No. 2152[MS]). al-Albani menshahihkannya dalam Silsilah ash-Shahihah No. 459[MS])

Kemudian dari riwayat Ibnu ‘Abbas periode setelah khilafah itu ada mulk (kerajaan) dan imarah (pemerintahan).

Khilafah selama 30 tahun itu berakhir dengan terbunuhnya ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan diangkatnya Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhuma yang akhirnya beliau memberikannya kepada Mu’awiyyah radhiallahu ‘anhu maka jadilah Mu’awiyah menjadi raja yang pertama. Sehingga tidak bisa tidak ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Azis dan juga semua pemerintahan setelah 30 tahun tersebut masuk periode kerajaan bukan khilafah ‘alaa minhaj an-nubuwwah. Kemudain berita yang mutawatir tentang akan datangnya al-Mahdi dan turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihi as-salam menunjukkan bahwa khilafah ‘alaa minhaj an-nubuwwah adalah masa al-Imam al-Mahdi. Riwayat tentang al-Mahdi mencapai derajat mutawatir tanpa ada perbedaan pendapat menurut para ulama hadits sehingga tidak boleh diragukan lagi.


Penulis berkata:


> Saya kira kita memang haus bersikap kritis terhadap hadis-hadis berbau

> politik. Sayangnya sikap kritis ini yang sukar ditumbuhkan di kalangan para

> pejuang khilafah.



Apa kriteria hadis-hadis politik?? apa definisinya, jangan-jangan cara menentukannya hanya sesuai hawa nafsu saja tidak ada kaidahnya. Kemudian sikap kritis itu apa? apakah asal-asalan menolak disebut kritis?? Asal kontroversial terus dianggap kritis??

Seseorang mampu kritis dalam bidang engineering apabila dia menguasai prinsip-prinsip engineering begitu pula seseorang mampu kritis dalam ilmu hadits apabila dia menguasai prinsip-prinsip ilmu hadits. Kalau tidak, niatnya mengkritisi justru berbalik menjadi dikritisi dan nampak ketidaktahuannya dalam ilmu tersebut. ALLAH a’lam.

“Kekritisan” penulis selanjutnya sebenarnya mudah sekali dikritisi tapi memerlukan waktu dan penelaahan referensi. Kalau ada kesempatan insya ALLAH “kekritisan” beliau bisa dikritisi lagi.



Note: [MS] = Maktabah Asy-Syamilah

[MRH] = Mausu’ah Ruwaat al-Hadits

Referensi lainnya edisi cetak yang telah di pdf kan


Read more...

Bincang-bincang Hadits Khilafah (1)

Tulisan ini berawal dari artikel yang dinisbahkan kapada seorang penulis (selanjutnya disebut sebagai penulis) tentang masalah khilafah. Saya tidak berniat membela jama’ah-jama’ah pejuang khilafah atau siapapun, tapi saya melihat ada ketidakjujuran dan kesalahan fatal pada penulis ini terutama masalah hadits tentang khilafah yang dia lemahkan tanpa kaidah yang benar. Dengan sedikit ilmu yang saya miliki saya berusaha mendudukkan permasalahan sebenarnya sesuai yang saya ketahui. Berawal dari hadits:



حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنِي دَاوُدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنِي حَبِيبُ بْنُ سَالِمٍ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ

كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ بَشِيرٌ رَجُلًا يَكُفُّ حَدِيثَهُ فَجَاءَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ فَقَالَ يَا بَشِيرُ بْنَ سَعْدٍ أَتَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْأُمَرَاءِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ فَجَلَسَ أَبُو ثَعْلَبَةَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ

قَالَ حَبِيبٌ فَلَمَّا قَامَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَكَانَ يَزِيدُ بْنُ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ فِي صَحَابَتِهِ فَكَتَبْتُ إِلَيْهِ بِهَذَا الْحَدِيثِ أُذَكِّرُهُ إِيَّاهُ فَقُلْتُ لَهُ إِنِّي أَرْجُو أَنْ يَكُونَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ يَعْنِي عُمَرَ بَعْدَ الْمُلْكِ الْعَاضِّ وَالْجَبْرِيَّةِ فَأُدْخِلَ كِتَابِي عَلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ فَسُرَّ بِهِ وَأَعْجَبَهُ



Dari an-Nu’man bin Basyir, beliau berkata: “Kami duduk di dalam masjid bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (maksudnya di Masjid Nabawi) dan Basyir adalah seorang yang menjaga haditsnya. Kemudian datanglah Abu Tsa’labah al-Khusyani kemudian beliau berkata: Wahai Basyir bin Sa’ad apakah engkau hafal hadits Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang umara’ (para pemimpin/penguasa), maka Hudzaifah berkata : Saya menghafal khutbah beliau! kemudian Abu Tsa’labah duduk maka Hudzaifah berkata: Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam berkata: Ada kenabian sekarang di tengah-tengah kalian sepanjang dikehendaki ALLAH kemudian ALLAH mengangkatnya apabila Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah di atas metode kenabian sepanjang dikehendaki ALLAH kemudian ALLAH mengangkatnya apabila Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada kerajaan yang menggigit* (mulkan ‘aadhdhan) sepanjang dikehendaki ALLAH kemudian ALLAH mengangkatnya apabila Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada kerajaan yang arogan (mulkan jabriyyah) sepanjang dikehendaki ALLAH kemudian ALLAH mengangkatnya apabila Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah di atas metode kenabian kemudian beliau diam.” Habib berkata : Ketika ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Aziz menjadi raja dan Yazid bin an-Nu’man bin Basyir adalah sahabatnya maka akau menulis surat kepadanya (Yazid) dengan hadits ini dengan menyebutkan hadits itu kepadanya, kemudian aku berkata kepadanya sesungguhnya aku berharap Amir al-Mu’minin yakni ‘Umar adalah setelah kerajaaan yang mengiggit dan kerajaan yang arogan. Kemudian kitabku ini dimasukkan kepada ‘Umar bin Abdu al-‘Aziz maka beliau bahagia dan ta’jub.

*menggigit makanya ada kedzaliman seakan menggigit rakyatnya dengan gangguan (Gharib al-Hadits oleh Ibnu al-Jauzy (2/104[MS])) lihat juga makna ‘udhudh sebagai kedzaliman yang keji di Lisan al-‘Arab (7/188 [MS]) (al-Fath ar-Rabbani oleh as-Sa’ati (Ahmad Abdurrahman al-Banna) (23/10))

Lafadz hadits ini adalah lafadz al-Imam Ahmad dalam musnadnya.
Hadits ini dikeluarkan oleh: Ahmad dalam musnadnya (No. 17680 [MS]) (14/163) al-Baihaqi dalam Dala’il an-Nubuwwah (No. 2843 [MS]) ath-Thayalisi dalam musnadnya (No. 433 [MS]) al-Bazzar dalam musnadnya (No. 2429 [MS]) semua denga sanadnya sampai Dawud bin Ibrahim al-Wasithi Rawi-rawi dari al-Imam Ahmad sampai ke an-Nu’man bin Basyir adalah:

1. Sulaiman bin Dawud ath-Thayalisi

2. Dawud bin Ibrahim al-Wasithi

3. Habib bin Salim

Abu Dawud Sulaiman bin Dawud ath-Thayalisi
al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: tsiqah hafidz ghaladz fii ahaadiits (terpercaya penghafal hadits ada kesalahan dalam beberapa hadits) (Taqrib at-Tahdzib (1/250 [MS]) Beliau juga rawi al-Bukhari dalam hadits mu’allaq, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah (Tahdzib at-Tahdzib (4/160)[MS]).

al-Fallas berkata: Aku tidak melihat orang yang “ahfadz” (lebih hafal atau menjaga) hadits di kalangan ahli hadits dari Abu Dawud.

Ali bin al-Madini berkata: Aku tidak melihat orang yang “ahfadz” (lebih hafal) darinya.

Abdurrahman bin Mahdi berkata: Abu Dawud orang yang paling jujur/benar.


Dan masih banyak ta’dil (rekomendasi dan pujian) dari para imam ahli hadits dan ahli jarh wa ta’dil seperti Ahmad, al-‘Ajli, Ibnu ‘Adi, an-Nasa’i dan lainnya.
Kritikan sebagian ulama adalah kadang-kadang beliau salah (ghaladz).

Menurut al-‘Ajli beliau hafal 40000 hadits. Sedangkan Ibrahim al-Jauhari mengatakan beliau salah dalam 1000 hadits. Kesalahan ini berkaitan dengan masalah sanad yakni kadang-kadang beliau me “marfu’” kan “mauquf” atau me “maushul” kan yang “mursal”. (Tahdzib at-Tahdzib (4/160)[MS])(Tahdzib al-Kamal (MRH)). Jumlah 1000 dari 40000 (2.5%) adalah wajar karena beliau menghafal dari ingatannya dan tidaklah masalah ini menurunkan kredibilitas beliau. Apalagi kesalahan beliau adalah masalah marfu’ mauquf dan maushul mursal (bukan masalah teks haditsnya) yang memang kadang-kadang terjadi kesalahan. ALLAH A’lam bi ash-shawab.

Rawi berikutnya adalah Dawud bin Ibrahim al-Wasithi ath-Thayalisi sendiri mentsiqahkan beliau dalam musnadnya (No. 433 [MS]) Ibnu Hibban memasukkan beliau dalam ats-Tsiqaat, Ibnu al-Mubarak juga meriwayatkan dari beliau (ats-Tsiqaat 6/280[MS]).

Rawi berikutnya adalah Habib bin Salim
Rawi yang dipermasalahkan penulis. Abu Hatim ar-Razi mengatakan : Dia tsiqah (al-Jarh wa at-Ta’dil oleh Ibnu Abi Hatim ( 3/102 [MS]) Ibnu ‘Adi berkata: Tidak ada hadits munkar dalam teks hadits-haditsnya, akan tetapi sanad-sanadnya guncang dalam hadits-hadits yang diriwayatkan darinya. al-Aajuri berkata dari Abu Dawud : tsiqah Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah meriwayatkan darinya (Tahdzib at-Tahdzib (2/161[MS]), Tahdzib al-Kamal (5/375[MS])). Ibnu Hibban menyebutkannya dalam ats-Tsiqaat (4/139[MS]). al-Bukhari menjarhnya dengan mengatakan : “fiihi nadzar” (pada dia perlu ditinjau ulang) (Tarikh al-Kabir (2/318[MS]), lafadz ini menunjukkan jarh yang berat dari beliau (Muntaha al-Amani (1/308)).

Dalam hal ini tidak boleh kita berpegang hanya dengan jarh al-Bukhari karena Habib ditsiqahkan oleh imam-imam jarh wa ta’dil yang lain, kecuali apabila al-Bukhari menyebutkan secara rinci sebab-sebab “fiihi nadzar” nya kepada Habib. Apalagi Ibnu ‘Adi hanya menjarh dalam keguncangan sanadnya bukan masalah matan atau teks haditsnya (teks haditsnya tidak ada kemunkaran di dalamnya). Dalam riwayat ini tidak ditemukan idhtirab (keguncangan sanad) seperti yang dimaksud Ibnu ‘Adi. Walaupun ada kaidah jarh didahulukan dibanding ta’dil, akan tetapi jarh yang dimaksud harus “mufassar” yakni diperinci karena yang dijarh ditsiqahkan oleh ulama yang lain. al-Bukhari sama sekali tidak memperinci jarhnya. Kalau hanya dengan jarh saja seorang rawi tsiqah jatuh, maka tidak ada yang selamat hampir semua rawi, bahkan rawi-rawi al-Bukhari maupun Muslim seperti ‘Ikrimah, ‘Amru bin Marzuq dalam al-Bukhari, Suwaid bin Sa’id dalam Muslim dan masih banyak lagi. Akibatnya banyak nantinya hadits-hadits al-Bukhari dan Muslim yang tertolak, padahal telah ijma’ bahwa hadits-hadits al-Bukhari dan Muslim diterima oleh kaum muslimin khususnya ulamanya. Kemudian al-Bukhari juga bukanlah hujjah atas Abu Hatim ar-Razi maupun Abu Dawud. Contohnya adalah Muhammad Ibrahim at-Taimi, rawi hadits “innamaa al-a’maalu bi an-niyyaat” dalam al-Bukhari. al-Imam Ahmad menjarhnya dengan “yarwii manaakiir” yakni meriwayatkan hadits-hadits munkar. Padahal Malik, al-Bukhari dan Muslim berhujjah dengannya. Hadits tersebut (masalah niat) juga telah diterima mutlak oleh kaum muslimin baik ulama maupun orang awamnya. Masalah ini sudah dibahas oleh ulama-ulama hadits dahulu maupun sekarang.

Lihat masalah ini dalam kitab-kitab musthalah hadits:
an-Nukat ‘Alaa Muqaddimah Ibni ash-Shalah oleh al-Hafidz Ibnu Hajar (3/337) Tadrib ar-Rawi oleh al-Hafidz as-Suyuthi (1/166) al-Wasith fii ‘Ulum wa Musthalah al-Hadits oleh Dr Muhamad bin Muhammad Abu Syuhbah (1/393) Fath al-Mughits oleh al-Hafidz as-Sakhawi (2/176) ‘Ulum al-Hadits li al-Albani oleh ‘Isham Musa Hadi (1/66) at-Taqyid wa al-Idhah oleh al-Hafidz al-‘Iraqi (1/117) dan lainnya. Oleh karena itu tepatlah ijtihad al-Hafidz Ibnu Hajar yang mengatakan bahwa Habib ini adalah : “Laa ba’sa bihi” yakni tidak apa-apa (Taqrib at-Tahdzib 1/151) yakni selevel dengan “shaduq” yang merupakan lafadz ta’dil, sehingga sekurang-kurangnya haditsnya hasan.

Hadits ini juga telah dishahihkan para ‘ulama hadits:
al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah ( 1/4 [MS]) beliau juga menukil al-Hafidz al-‘Iraqi dalam Mahajjah al-Qarb Ilaa Mahabbah al-‘Arab (2/17): “hadits shahih”. al-Hafidz al-Haitsami mengatakan: “rijaaluhu tsiqaat” yakni rawi-rawinya terpercaya (Majma’ az-Zawa’id (5/189[MS]) Ahmad Syakir juga menyatakan shahih isnadnya dalam komentar beliau pada Musnad Ahmad (14/163).

bersambung ...

Note: [MS] = Maktabah Asy-Syamilah
[MRH] = Mausu’ah Ruwaat al-Hadits Referensi lainnya edisi cetak yang telah di pdf kan


Read more...

Followers

Google Friend Connect

Google Friend Wall

Powered By Blogger

  © Blogger template Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP