Showing posts with label Al-Hadits wa Al-Atsar. Show all posts
Showing posts with label Al-Hadits wa Al-Atsar. Show all posts

Monday, October 25, 2010

Penelusuran Hadis dengan Jawami'u al-Kalim v4.5

Hadis lengkapnya:



حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ التُّسْتَرِيُّ حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ الْمُوَفَّقِ أَبُو الْجَهْمِ حَدَّثَنَا فُضَيْلُ بْنُ مَرْزُوقٍ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ إِلَى الصَّلَاةِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ وَأَسْأَلُكَ بِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا فَإِنِّي لَمْ أَخْرُجْ أَشَرًا وَلَا بَطَرًا وَلَا رِيَاءً وَلَا سُمْعَةً وَخَرَجْتُ اتِّقَاءَ سُخْطِكَ وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ فَأَسْأَلُكَ أَنْ تُعِيذَنِي مِنْ النَّارِ وَأَنْ تَغْفِرَ لِي ذُنُوبِي إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ أَقْبَلَ اللَّهُ عَلَيْهِ بِوَجْهِهِ وَاسْتَغْفَرَ لَهُ سَبْعُونَ أَلْفِ مَلَكٍ



HR Ibnu Majah No 770 – Maktabah Syamilah



Artinya:



“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sa’id bin Yazid bin Ibrahim at-Tusturi, telah menceritakan kepada kami al-Fadhl bin al-Muwaffaq Abu al-Jahm, telah menceritakan kepada kami Fudhail bin Marzuq dari ‘Athiyah dari Abi Sa’id al-Khudri, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: Barang siapa keluar dari rumahnya untuk mengerjakan shalat kemudian berkata: Ya ALLAH sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dengan hak orang-orang yang meminta kepada-Mu dan aku meminta kepada-Mu dengan hak jalanku, sesungguhnya aku tidaklah keluar mengkufuri nikmat tidak pula sombong, tidak pula riya’, tidak pula sum’ah, dan aku keluar takut akan murka-Mu dan mengharapkan ridha-Mu, maka aku meminta kepada-Mu untuk melindungiku dari api neraka dan mengampuni dosa-dosaku sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau. ALLAH menghadapkan wajah-Nya kepadanya dan tujuh puluh ribu malaikat memohonkan ampun untuknya.”





Derajat hadis:



Berdasar pencarian di www.dorar.net milik Syaikh ‘Alwi as-Saqqaf, didapatkan beberapa pendapat:



al-Hafidz al-Mundziri : dalam isnadnya ada pembicaraan kemudian beliau menukil dari syaikhnya yakni Abu al-Hasan bahwa hadisnya hasan.



Ibnu Taimiyah: dalam isnadnya ada ‘Athiyah al-‘Aufiy dan dia lemah menurut kesepakatan ahli ilmu.



al-Hafidz al-‘Iraqi : isnadnya hasan.



al-Hafidz Ibnu Hajar : hasan.



al-Albani: dha’if, isnadnya dha’if, munkar.



Sedangkan pencarian dalam Maktabah Syamilah didapatkan:



al-Baushiri: isnadnya lemah karena kelemahan ‘Athiyah dan rawi darinya.



al-Hafidz al-‘Iraqi: isnadnya hasan.



‘Alwi bin ‘Abdi al-Qadir as-Saqqaf dalam takhrij fii dzilal ... : dha’if



al-Hafidz Ibnu Hajar: hasan.



Terdapat perbedaan di antara para ulama hadis dan ini wajar pada hadis-hadis antara hasan lighairihi dan dha’if. Bagaimana kita memilih pendapat-pendapat tersebut?




Salah satu permasalahan dari rawi-rawi tersebut adalah ada pada ‘Athiyah al-‘Aufiy. Apa kata para ulama jarh wa ta’dil?



Dengan bantuan Jawami’u al-Kalim v4.5 dan Mausu’ah Ruwatu al-Hadis didapatkan:



al-Jauzajani: dha’if, ma’il.

al-Jurjani: bersamaan dengan dha’ifnya ditulis hadisnya, dia termasuk syi’ah Kufah.

al-Baihaqi: dha’if, tidak boleh berhujjah dengannya.

al-‘Uqaili: menyebutkannya dalam orang-orang dha’if.

Abu Hatim ar-Razi: dha’if, ditulis hadisnya.

Ibnu Hibban: tidak halal berhujjah dengannya tidak pula ditulis hadisnya kecuali dari sisi ta’ajjub.

Abu Dawud as-Sijistani: bukan termasuk orang yang dijadikan sandaran.

Ahmad bin Hanbal: hadisnya dha’if.

Ibnu Hajar: (dalam at-Taqrib) shaduq (jujur), banyak melakukan kesalahan, dan dia seorang syi’ah yang mudallis (suka menyamarkan hadis atau syaikh).

ad-Daruquthni: dha’if, hadisnya mudhtharib (guncang).

adz-Dzahabi: mereka mendha’ifkannya.

as-Saji: bukan hujjah.

Sufyan ats-Tsauri: hadisnya dilemahkan.

al-Waqidi: tsiqah insya ALLAH, dia punya hadis-hadis yang baik, dan sebagian orang tidak berhujjah dengannya.

Hasyim bin Basyir al-Wasithi: dia membicarakannya, melemahkan hadisnya.

Yahya al-Qaththan: dha’if.

Yahya bin Ma’in: shalih, dha’if kecuali bahwa dia ditulis hadisnya.



Didapatkan juga keterangan dari Ibnu Hibban dalam adh-Dhu’afa’ bahwa tadlis (penyamaran) ‘Athiyah adalah menyamarkan al-Kalbi seorang pendusta hadis dengan kunyah Abu Sa’id sehingga seakan-akan itu Abu Sa’id al-Khudri (sahabat). Ini tadlis yang sangat buruk dengan menyamarkan syaikhnya yang lemah seakan-akan syaikhnya yang tsiqah. Sehingga Ibnu Hajar mengatakan dia adalah mudallis. Ibnu Hajar dalam Thabaqat al-Mudallisin (1/50 Maktabah Syamilah) memasukkan ‘Athiyah dalam tingkatan empat dari lima tingkat (tingkat lima adalah yang terburuk). Ibnu Hajar menyebutkan ‘Athiyah masyhur dengan tadlis qabih (jelek).



Dari keterangan tersebut jelas ‘Athiyah seorang yang dha’if tetapi bisa terangkat hadisnya menjadi hasan lighairihi jika ada penguat (mutaba’ah) dari jalur yang lain (diisyaratkan dengan ditulis hadisnya tapi tidak bisa jadi hujjah jika menyendiri). Dengan catatan ada keterangan bahwa riwayat itu betul-betul dari Abu Sa’id al-Khudri bukan dari al-Kalbi.



Sehingga dalam Jawami’ul Kalim disimpulkan : dha’if al-hadis (hadisnya lemah).



Pertanyaanya adalah: Apakah ada penguat? kalau ada apakah cukup kuat untuk menjadi penguat?



Dengan bantuan Jawami’ul Kalim v4.5 didapatkan:



Penguat pertama:



حَدَّثَنَا ابْنُ مَنِيعٍ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ ثَابِتٍ الْجَزَرِيُّ، عَنِ الْوَازِعِ بْنِ نَافِعٍ الْعُقَيْلِيِّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ بِلالٍ مُؤَذِّنِ الرَّسُولِ K قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ K إِذَا خَرَجَ إِلَى الصَّلاةِ قَالَ: " بِسْمِ اللَّهِ، آمَنْتُ بِاللَّهِ، تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ، اللَّهُمَّ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ، وَبِحَقِّ مَخْرِجِي هَذَا، فَإِنِّي لَمْ أَخْرُجْهُ أَشَرًا وَلا بَطَرًا وَلا رِيَاءً وَلا سُمْعَةً، خَرَجْتُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ، وَاتِّقَاءَ سَخَطِكَ، أَسْأَلُكَ أَنْ تُعِيذَنِي مِنَ النَّارِ، وَتُدْخِلَنِي الْجَنَّةَ "



HR Ibnu Sunni dalam ‘Amalu al-Yaumi wa al-Lailah No. 84(85) (Jawami’u al-Kalim v4.5)





Semua rawinya terpercaya kecuali al-Wazi’ bin Nafi’ al-‘Uqaili, lemah bahkan sebagian menyatakan dia memalsukan hadis. Jawami’ul Kalim v4.5 menyimpulkan matruk al-hadis. Sehingga tidak bisa jadi penguat bagi hadis ‘Athiyah.



Penguat kedua:



أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ الْحَرَّانِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ أَحْمَدُ بْنُ يَعْقُوبَ الأَهْوَازِيُّ الْخَطِيبُ، قَالَ: حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ حَمْدَوَيْهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَشِيدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عُبَيْدَةَ، عَنِ الْحَسَنِ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ الأَسْلَمِيُّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ كَانَ إِذَا أَتَى الصَّلاةَ، قَالَ: " اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ وَإِقْبَالِي إِلَيْكَ لَمْ أُقْبِلُ أَشِرًا وَلا بَطَرًا وَلا رِيَاءً وَلَكِنْ أَقْبَلْتُ ابْتِغَاءَ طَاعَتِكَ، تَنْزِيهًا عَنْ سَخَطِكَ، فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي، فَإِنَّهُ لا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلا أَنْتَ ".قَالَ: " مَنْ قَالَهَا أَقْبَلَ اللَّهُ بِوَجْهِهِ إِلَيْهِ، وَحُفَّتْ حَوْلَهُ الْمَلائِكَةُ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ صَلاتِهِ "





HR Abul Husain bin Muhammad bin ‘Ali bin al-Muhtadi billah dalam al-Awwal min Masyaikhah Abi al-Husain bin al-Muhtadi billah No. 139 (Jawami’u al-Kalim v4.5)



Di dalam sanadnya ada rawi yang bermasalah:



1. Abu ‘Ubaidah Maja’ah bin az-Zubair.



al-Jurjani berkata: dia termasuk yang mungkin (yuhtamalu), dan hadisnya ditulis.

al-‘Uqaili menyebutnya dalam adh-Dhu’afa’

Ibnu Hibban menyebutkan dalam ats-Tsiqat, hadisnya mustaqim dari para tsiqaat.

Ahmad bin Hanbal mengatakan tidak ada masalah pada dirinya.

ad-Daruquthni menyebutkan dalam sunan-nya dan berkata: dha’if.

Syu’bah mengatakan dia banyak puasa dan shalat.

‘Abdurrahman bin Yusuf bin Kharrasy mengatakan: dia tidak dijadikan i’tibar.

Jawami’u al-Kalim v4.5 menyimpulkan: shaduq, hasan al-hadis.



Saya cukup heran dengan kesimpulan Jawami’u al-Kalim ini sebab tidak ada yang mentsiqahkan kecuali Ibnu Hibban yang secara umum tidak diterima pentsiqahannya kecuali dengan syarat-syarat tertentu. Pujian Syu’bah hanya dalam masalah ibadah, begitu juga sepertinya komentar Ahmad bin Hanbal. Bahkan al-‘Uqaili mendha’ifkannya, dan ‘Abdurrahman Kharrasy tidak menjadikan hadisnya i’tibar (tidak bisa mengangkat menjadi hadis hasan lighairihi). Pendapat yang pertengahan adalah hadisnya ditulis untuk i’tibar, ALLAH A’lam. Dalam hal ini bisa menguatkan hadis ‘Athiyah.





2. ‘Abdullah bin Rasyid



al-Baihaqi berkata: tidak boleh berhujjah dengannya.

Ibnu Hibban menyebutkannya dalam ats-Tsiqaat.

Abu ‘Awanah al-Isfaraini mentsiqahkannya.

adz-Dzahabi mengatakan: tidak kuat dan ada jahalah pada dirinya.

Jawami’u al-Kalim v4.5 menyimpulkan: maqbul (diterima jika ada mutaba’ah). Dalam dirayah Jawami’u al-Kalim v4.5 disebut laisa bilqawiy (tidak kuat).



3. Ja’far bin Hamdawaih yakni Ja’far bin Muhammad



Disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim ar-Razi dalam al-Jarh wa at-Ta’dil. Beliau berkata: dia meriwayatkan dari ‘Abdillah bin Abi Bakr al-‘Atki, Abu Hamid Ahmad bin Sahal al-Isfaraini dan ‘Abdan al-Jawaliqi meriwayatkan darinya.

Jawami’ul Kalim v4.5 menyimpulkan majhul hal dan laisa bilqawiy (tidak kuat).



Di dalam Maktabah Syamilah juga hanya ada keterangan dari Ibnu Abi Hatim di al-Jarh wa at-Ta’dil sama dengan di Jawami’u al-Kalim v4.5. Setidaknya dua orang tsiqah yang meriwayatkan darinya dalam Jawami’u al-Kalim v4.5. sehingga betul kalau majhul hal.



4. Abu al-‘Abbas Ahmad bin Ya’qub al-Ahwazi al-Khatib yakni Muhammad bin Ya’qub al-Khatib.



Tidak didapatkan jarh wa ta’dil hanya Ibnu Hibban dan ath-Thabrani meriwayatkan darinya. Jawami’u al-Kalim v4.5 menyimpulkan: jujur, hadisnya hasan. Saya tidak tahu dari mana kesimpulan ini.

Di dalam Maktabah Syamilah pun tidak ditemukan pentsiqahannya walaupun para tsiqah meriwayatkan darinya (dalam Jawami’u al-Kalim v4.5 ada setidaknya lima tsiqah). Sehingga setinggi-tingginya majhul hal.



5. Muhammad bin Ahmad bin ‘Ali



Tidak ada keterangan jarh wa ta’dil. al-Khatib hanya menyebutkan beliau di Tarikh Baghdad. Tercatat hanya Muhammad bin ‘Ali al-Qurasyi yang meriwayatkan darinya. Jawami’u al-Kalim v4.5 menyimpulkan maqbul dan laisa bilqawiy. Kalau dilihat dari data yang ada lebih tepat majhul ‘ain karena hanya satu rawi saja yang meriwayatkan darinya sehingga tidak bisa jadi penguat bagi hadis ‘Athiyah.



Dalam Tarikh Baghdad 1/146 Maktabah Syamilah, disebutkan bahwa Muhammad bin ‘Ali bin al-Muhtadi billah mengatakan pada al-Khatib al-Baghdadi: beliau (Muhammad bin Ahmad bin ‘Ali) adalah hamba yang shalih dan memujinya dengan pujian yang baik.



Saya tidak tahu apakah ini cukup untuk pentsiqahan beliau ataukah pujian biasa karena ibadahnya, sebab lafadznya tidak jelas sebagai pentsiqahan.





Dari uraian di atas terasa berat mengangkat hadis ‘Athiyah menjadi hasan lighairihi dengan penguat kedua ini mengingat banyak rawi yang bermasalah bahkan sampai pada majhul ‘ain. Walaupun begitu Jawami’ul Kalim v4.5 menyimpulkan derajatnya hasan lighairihi. ALLAH A’lam.



Sedangkan permasalahan Fudhail bin Marzuq telah ditutupi oleh al-Fudhail bin Ghazwan dalam riwayat Ibnu Basyran dalan Amali-nya, begitu pula kelemahan al-Fadhl bin al-Muwaffaq telah ditutupi di antaranya oleh Yazid bin Harun dalam riwayat Ahmad dalam Musnad-nya. Sehingga inti permasalahan ada di ‘Athiyah. Sedangkan tadlisnya tertutupi dengan penyebutan al-Khudri bukan sekedar Abu Sa’id yang biasa dia lakukan kepada al-Kalbi walaupun ada kemungkinan penyebutan al-Khudri ini dilakukan oleh rawi-rawi setelahnya mengingat tadlis ini yang dilakukan ‘Athiyah supaya orang-orang yang meriwayatkan darinya mengira dari Abu Sa’id al-Khudri padahal al-Kalbi.



Dari informasi di atas maka saya lebih cenderung memilih bahwa hadis ini lemah dan tidak cukup terangkat menjadi hasan lighairihi dengan sebab tidak adanya penguat yang cukup dan adanya kemungkinan tadlis ‘Athiyah dengan nama Abu Sa’id sebab kata al-Khudri kemungkinan dari rawi-rawi setelahnya. ALLAH A’lam.



Mohon masukan jika ada tambahan informasi.



Makna Hadis:



Kalau seandainya hadis itu hasan maka tawassul yang diperbolehkan adalah dengan hak orang-orang yang meminta yang artinya ijabah (jawaban) ALLAH Ta’ala atas permintaan orang-orang yang meminta (saa’iliin). Begitu juga hak jalan seorang muslim ke masjid yakni diberi pahala, ampunan dan rahmah oleh ALLAH Ta’ala. Sehingga tidak tepat diqiyaskan dengan tawassul dengan diri (zat) atau kehormatan para Nabi atau orang shalih. Jadi seandainya ingin bertawassul dengan dasar hadis ini maka penyebutannya harus sama yakni dengan hak baik orang-orang yang meminta pada ALLAH maupun amal shalih (jalan ke masjid).



ALLAH A’lam






Read more...

Friday, August 28, 2009

Shalat Witir Satu Raka'at

عَنْ عَائِشَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي بِاللَّيْلِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْهَا بِوَاحِدَةٍ فَإِذَا فَرَغَ مِنْهَا اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ

Dari ‘Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam sebelas raka’at termasuk witir satu raka’at. Kemudian apabila selesai dari shalat tersebut beliau berbaring pada sisi sebelah kanan hingga datangnya muadzin kemudian beliau shalat dua raka’at ringan. (HR Muslim No 1215 –Maktabah Syamilah)

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ وَهِيَ الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَتَبَيَّنَ لَهُ الْفَجْرُ وَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ لِلْإِقَامَةِ

Dari ‘Aisyah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata: Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di antara habisnya shalat ‘Isya --yang biasa disebut dengan shalat ‘Atamah oleh orang-orang-- sampai fajar, sebelas raka’at dengan melakukan salam setiap dua raka’at dan melakukan witir dengan satu raka’at. Kemudian apabila muadzin shalat Fajar masih diam serta nampak nyata datangnya fajar dan muadzin telah datang, beliau berdiri dan shalat dua raka’at dengan ringan kemudian berbaring pada sisi sebelah kanan sampai datangnya muadzin untuk iqamah.

(HR Muslim No 1216 –Maktabah Syamilah)

Muslim memasukkan kedua hadits tersebut dalam Bab :
بَاب صَلَاةِ اللَّيْلِ وَعَدَدِ رَكَعَاتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي اللَّيْلِ وَأَنَّ الْوِتْرَ رَكْعَةٌ وَأَنَّ الرَّكْعَةَ صَلَاةٌ صَحِيحَةٌ

Bab Shalat malam dan jumlah raka’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam hari dan bahwa witir adalah satu raka’at dan bahwa satu raka’at adalah shalat yang sah.

Muslim mengambil hukum dengan hadits tersebut untuk menyatakan bahwa witir satu raka’at adalah sunnah dan sah.

Pendapat para ulama tentang masalah witir satu raka’at:

An-Nawawi berkata dalam al-Majmu’ (3/506):
Witir adalah sunnah menurut madzhab kami (madzhab Syafi’i) tanpa ada perbedaan pendapat, dan minimum adalah satu raka’at tanpa ada perbedaan pendapat.

Beliau juga berkata dalam kitab yang sama (3/507):
Apabila seseorang hendak melakukan witir tiga raka’at maka lebih afdhal ada tiga pendapat dalam madzhab Syafi’i, yang shahih adalah yang lebih afdhal dengan melakukannya terpisah dengan dua salam ( 2 raka’at salam kemudian 1 raka’at salam ) karena banyak hadits-hadits shahih tentang masalah ini.

Beliau juga berpendapat dalam al-Minhaj Syarh Muslim (3/73 –Maktabah Syamilah):
Maka yang lebih afdhal adalam salam setiap dua raka’at dan itu adalah masyhur dilakukan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memerintahkan untuk shalat malam dengan dua raka’at dua raka’at.

Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (2/578) berkata:
Ahmad berkata: Kami berpendapat satu raka’at dalam witir. Hal itu diriwayatkan dari ‘Utsman bin ‘Affan, Sa’ad bin Abi Waqqash, Zaid bin Tsabit, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Zubair, Abu Musa, Mu’awiyah dan ‘Aisyah radhiallahu ‘anhum.
Ibnu Qudamah juga menyebutkan: Ibnu ‘Umar berkata: Witir satu raka’at, itu adalah witir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan ‘Umar. Ini juga pendapat Sa’id bin Musayyab, ‘Atha, Malik, al-Auza’i, asy-Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur. Mereka berkata: Shalat dua raka’at kemudian salam kemudian witir dengan satu raka’at.

al-Albani berkata dalam Shalatu at-Tarawih (1/110 –Maktabah Syamilah):
Yang kami pilih bagi orang yang hendak shalat malam di bulan Ramadhan dan selain bulan Ramadhan yakni dengan melakukan salam setiap dua raka’at sehingga apabila hendak melakukan shalat tiga raka’at maka membaca Sabbihisma Rabbikal-A’laa (al-A’laa) di raka’at pertama dan membaca Qul Yaa Ayyuhal-Kaafiruun (al-Kaafiruun) di raka’at kedua dan bertasyahhud di raka’at kedua dan salam kemudian berdiri dan shalat satu raka’at dengan membaca al-Faatihah dan Qul Huwallaahu Ahad (al-Ikhlaas) serta mu’awwidzatain (al-Falaq dan an-Naas).

al-Albani juga menyebutkan afdhalnya salam setiap dua raka’at dalam Qiyamu Ramadhan (1/29).

NB:
Hadits shalat malam dua raka’at dua raka’at dikeluarkan oleh al-Bukhari.
Riwayat yang menyebutkan raka’at witir terakhir membaca al-Ikhlas dengan tambahan mu’awwidzatain (al-Falaq dan an-Naas) adalah lemah sedangkan yang shahih hanya membaca al-Ikhlas saja sebagaimana disebutkan dalam Shahih Fiqh as-Sunnah (1/388) oleh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid.



Read more...

Saturday, March 7, 2009

Bincang-bincang Surat al-Insyirah Ayat 5-6

Al-Insyirah Ayat 5-6

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (5) إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (6)


fa inna ma'a al-'usri yusran,
inna ma'a al-'usri yusran

kalimat normalnya inna yusran ma'a al-'usri, tapi ditekankan ke ma'a al

-'usri nya sehingga jadi seperti kalimat di atas.

al-'usru dibaca al-'usri karena ketemu ma'a, sedang yusrun dibaca yusran

karena ketemu inna

kata 'usrun diberi alif lam (al) menjadi al-'usru, dalam bahasa arab berubah

dari nakirah ke ma'rifat yang boleh diartikan

'usrun = kesulitan = difficulty
al-'usru = kesulitan itu = the difficulty

maka



yusrun = kemudahan = relief
al-yusru = kemudahan itu = the relief

sehingga makna ayat tersebut
fa inna ma'a al-'usri yusran = sebab sesungguhnya bersama kesulitan ITU ada

kemudahan = because verily with THE difficulty there is relief

inna ma'a al-'usri yusran = sesungguhnya bersama kesulitan ITU ada kemudahan

= verily with THE difficulty there is relief


Kita hitung al-'usri disebut dua kali dan yusran juga disebut dua kali,
Orang Arab apabila mengulang kata ma'rifat (tertentu) yakni al-'usri dalam

dua kalimat yang sama berarti kata ma'rifat itu adalah benda yang sama,

sedang kata yusran yang diulang dua kali berupa nakirah (tak tentu) yang

menunjukkan benda yang berbeda.

Sehingga kata al-'usri disebut dua kali tapi bendanya satu karena ma'rifat
sedangkan kata yusran disebut dua kali bendanya dua karena nakirah

maka disimpulkan bersama satu kesulitan ada dua kemudahan.

Sesuai hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Satu kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan ..."

HR al-Hakim dalam al-Mustadrak No 3910 (al-Maktabah asy-Syaamilah)

Akan tetapi hadits ini adalah mursal sehingga masuk kategori hadis lemah.

Hadits mursal adalah hadits yang terputus mata rantai riwayatnya, yakni

tabi'in (murid sahabat) langsung menukil dari Rasulullah shallallah 'alaihi

wa sallam tanpa melalui sahabat. Dalam hadits ini Hasan al-Bashri menukil

langsung dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam padahal beliau tidak

pernah bertemu dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan tidak

ada penguat yang mampu mengangkatnya menjadi hadits hasan li ghairihi.

al-Albani melemahkan hadits ini dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha'ifah No.

4342

Ada faedah lain yang bisa kita dapatkan dari dua ayat di atas

Inna ma'a al-'usri yusran = sesungguhnya bersama kesulitan ITU ada kemudahan

= verily with THE difficulty there is relief

kalimat normalnya

Inna yusran ma'a al-'usri, diubah menjadi Inna ma'a al-'usri yusran, apa

faidahnya?

Kasus ini adalah kasus "taqdiimu al-ma'muul yufiidu al-hashr" kaidah tafsir

yakni "didahulukannya ma'muul atau 'objek' memberi faidah hashr

(pengkhususan)"

Sehingga memberi makna mendalam = Sesungguhnya kemudahan itu didapat jika

dan hanya jika bersama dengan kesulitan.

Semoga bisa menjadi renungan kita bersama.



al-Faqiir ilaa Rabbihi

NA Setiawan


Read more...

Tuesday, January 6, 2009

Qunut Nazilah Untuk Muslimin Palestina (Bagian 2)

...lanjutan bagian 1

2. Hadits Abu Hurairah

A.

عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ وَأَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى أَحَدٍ أَوْ يَدْعُوَ لِأَحَدٍ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ فَرُبَّمَا قَالَ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ يَجْهَرُ بِذَلِكَ وَكَانَ يَقُولُ فِي بَعْضِ صَلَاتِهِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلَانًا وَفُلَانًا لِأَحْيَاءٍ مِنْ الْعَرَبِ حَتَّى أَنْزَلَ اللَّهُ
{ لَيْسَ لَكَ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ }
الْآيَةَ

Dari Sa’id bin al-Musayyab dan Abu Salamah bin ‘Abdurrahman dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berkehendak untuk berdoa atas (kecelakaan) seseorang atau berdoa untuk (kebaikan) seseorang beliau qunut setelah ruku’. Kadang-kadang beliau berkata apabila selesai berkata “Sami’allaahu liman hamidah Allaahumma rabbanaa lakal hamdu”,”Allaahumma anji al-Walid bin al-Walid wa Salamah bin Hisyam wa ‘Ayyasy bin Abii Rabii’ah, Allaahummasydud wath’ataka ‘alaa Mudhar waj’alhaa siniina kasinii Yuusuf” (Yaa ALLAH selamatkanlah al-Walid bin al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyasy bin Abii Rabii’ah, Yaa ALLAH keraskanlah ‘adzabMu atas Mudhar dan jadikanlah (‘AdzabMu) berupa musim kering yang panjang sebagaimana musim kering zaman Nabi Yusuf ‘alaihi as-salaam). Beliau mengeraskannya. Beliau kadang berkata (berdoa) dalam sebagian shalat beliau saat salat fajar (subuh): “Allaahummal’an fulaanan wa fulaanan” (Yaa ALLAH la’natlah fulan dan fulan) dan untuk beberapa qabilah arab hingga ALLAH menurunkan ayat {Laisa laka min al-amri syai’un ...}. (HR al-Bukhari No 4194 [MS]).



B.

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ قَنَتَ اللَّهُمَّ أَنْجِ عَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ اللَّهُمَّ أَنْجِ سَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ

Dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berkata “ Sami’allaahu liman hamidah” di dalam raka’at terkakhir dari shalat ‘isya’ beliau qunut “Allaahumma anji ‘Ayyasy bin Abii Rabii’ah, Allaahumma anji al-Walid bin al-Walid, Allaahumma anji Salamah bin Hisyam, Allahumma anjilmustadh’afiin minalmu’miniin, Allaahummasydud wath’ataka ‘alaa Mudhar Allaahummaj’alhaa siniina kasinii Yuusuf” (Yaa ALLAH selamatkanlah ‘Ayyasy bin Abii Rabii’ah, Yaa ALLAH selamatkanlah al-Walid bin al-Walid, Yaa ALLAH selamatkanlah Salamah bin Hisyam, Yaa ALLAH selamatkanlah orang-orang yang lemah dari orang-orang yang beriman, Yaa ALLAH keraskanlah ‘adzabMu atas Mudhar, Yaa ALLAH jadikanlah (‘AdzabMu) atas mereka berupa musim kering yang panjang sebagaimana musim kering zaman Nabi Yusuf ‘alaihi as-salaam). (HR al-Bukhari No 5914 [MS]).


C.

حَدَّثَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاةِ الْعَتَمَةِ شَهْرًا يَقُولُ فِي قُنُوتِهِ اللَّهُمَّ نَجِّ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ اللَّهُمَّ نَجِّ سَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ اللَّهُمَّ نَجِّ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَأَصْبَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَلَمْ يَدْعُ لَهُمْ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ وَمَا تُرَاهُمْ قَدْ قَدِمُوا

Telah menceritakan kepadaku Abu Salamah bin ‘Abdurrahman dari Abu Hurairah, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut di dalam shalat al-‘atamah (‘isyaa’) selama sebulan, beliau berkata di dalam qunutnya: “Allaahumma najji al-Walid bin al-Walid, Allaahumma najji Salamah bin Hisyaam, Allahumma najjil-mustadh’afiin minal-mu’miniin, Allaahummasydud wath’ataka ‘alaa Mudhar, Allaahummaj’alhaa ‘alaihim siniina kasinii Yuusuf”. (Yaa ALLAH selamatkanlah al-Walid bin al-Walid, Yaa ALLAH selamatkanlah Salamah bin Hisyaam, Yaa ALLAH selamatkanlah orang-orang lemah dari kaum mu’minin, Yaa ALLAH keraskanlah ‘adzabMu atas Mudhar, Yaa ALLAH jadikanlah (‘adzabMu) atas mereka berupa musim kering yang panjang sebagaimana musim kering pada masa Yusuf (‘alaihi as-salam). (HR Muslim No 1230 [MS]).


D.

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُمْ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ بَعْدَ الرَّكْعَةِ فِي صَلَاةٍ شَهْرًا إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ يَقُولُ فِي قُنُوتِهِ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ اللَّهُمَّ نَجِّ سَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ اللَّهُمَّ نَجِّ عَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ اللَّهُمَّ نَجِّ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ ثُمَّ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرَكَ الدُّعَاءَ بَعْدُ فَقُلْتُ أُرَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ تَرَكَ الدُّعَاءَ لَهُمْ قَالَ فَقِيلَ وَمَا تُرَاهُمْ قَدْ قَدِمُوا

Dari Abu Salamah bahwa sesungguhnya Abu Hurairah menceritakan pada mereka bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut setelah rak’ah (ruku’) di dalam shalat selama sebulan, apabila beliau telah berkata “Sami’allaahu liman hamidah” beliau berkata di dalam qunutnya “Allaahumma anji al-Walid bin al-Walid, Allaahumma najji Salamah bin Hisyaam, Allaahumma najji ‘Ayyaasy bin Abii Rabii’ah, Allaahumma najjil-mustadh’ifiin minal-mu’miniin, Allaahummasydud wath’ataka ‘alaa Mudhar, Allaahummaj’alhaa ‘alaihim siniina kasinii yuusuf” (Yaa ALLAH selamatkanlah al-Walid bin al-Walid, Yaa ALLAH selamatkanlah Salamah bin Hisyaam, Yaa ALLAH selamatkanlah ‘Ayyaasy bin Abii Rabii’ah, Yaa ALLAH selamatkanlah orang-orang lemah dari kaum mu’minin, Yaa ALLAH keraskanlah ‘adzabMu atas Mudhar, Yaa ALLAH jadikanlah ‘adzabMu atas mereka berupa musim kering yang panjang sebagaimana musim kering zaman Yuusuf (‘alaihi as-salaam)). Abu Hurairah berkata: kemudian aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan doa tersebut setelah melakukannya. Maka aku berkata (Abu Hurairah): Ditampakkan padaku bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggalkan berdoa untuk mereka. Beliau (Abu Hurairah) berkata: maka dikatakan: Apakah tidak diperlihatkan padamu bahwa mereka sudah datang.

Dalam riwayat yang lain dari Yahya dari Abi Salamah

أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَمَا هُوَ يُصَلِّي الْعِشَاءَ إِذْ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ثُمَّ قَالَ قَبْلَ أَنْ يَسْجُدَ اللَّهُمَّ نَجِّ عَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ ثُمَّ ذَكَرَ بِمِثْلِ حَدِيثِ الْأَوْزَاعِيِّ إِلَى قَوْلِهِ كَسِنِي يُوسُفَ وَلَمْ يَذْكُرْ مَا بَعْدَهُ

Bahwa Abu Hurairah memberitahukan bahwa Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam ketiak beliau shalat ‘Isyaa’ pada saat berkata “Sami’allaahu liman hamidah” kemudian berkata sebelum sujud: “ Allaahumma najji ‘Ayyaasy bin Abii Rabii’ah, kemudian menyebutkan seperti hadits al-‘Auza’i (hadits di atas) sampai perkataan beliau “Kasinii Yuusuf” dan tidak menyebutkan setelahnya (dari hadits di atas). (HR Muslim No 1083 [MS])


3. Hadits Ibnu ‘Abbas

عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَصَلَاةِ الصُّبْحِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ

Dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama sebulan terus menerus di dalam shalat dzuhur, ‘ashar, maghrib, ‘isyaa’ dan shalat subuh di setiap akhir shalat apabila beliau berkata “Sami’allaahu liman hamidah” dari raka’at akhir, berdoa atas (kecelakaan) qabilah-qabilah dari Bani Sulaim, atas Ra’l, Dzakwan dan ‘Ushayyah dan orang-orang di belakangnya mengamininya. (HR Abu Dawud No 1231 [MS]). Hadits ini dihasankan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Abu Dawud No 1443 [MS]). Hadits ini juga dihukumi hasan atau shahih oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’ 3/502 [MS].

4. Hadits al-Baraa’ bin ‘Aazib

حَدَّثَنَا الْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ وَالْمَغْرِبِ

Telah menceritaknan kepada kami al-Baraa’ bin ‘Azib bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut di dalam shalat subuh dan maghrib. (HR Muslim No 1093 [MS] , HR Abu Dawud No 1229 [MS] dan HR at-Tirmidzi No 367 [MS])



Faidah-faidah dari hadits-hadits yang telah disebutkan:

1. Disyari’atkannya qunut nazilah atau qunut nawaazil. Hampir semua hadits yang disebutkan baik dari Anas bin Malik, Abu Hurairah dan Ibnu ‘Abbas menunjukkan bahwa qunut yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah minta kepada ALLAH untuk keselamatan para penghafal al-Quran dan kecelakaan bagi orang-orang musyrik yang berkhianat dan berbuat aniaya terhadap para al-qurra’ (penghafal al-Quran) tersebut. Hal ini sangat jelas disebutkan sekaligus juga sebabnya dalam hadits 1A, 1C, 1D, 1F, 1H dan 1K. Sedangkan hadits 1B, 1E, 1G, 1I, 1J, 1L, 1M, 2ABCD dan 3 menunjukkan doa kecelakaan bagi orang-orang musyrik pengkhianat tanpa dijelaskan sebabnya sebagian ditambah doa keselamatan atas para penghafal al-Quran dan juga ada disebutkan doa untuk orang-orang lemah dari kaum mu’minin. Hadits 1N, 1O, 1P, 1Q dan 4 hanya menunjukkan tentang masalah qunut tanpa penjelasan mendetail. Akan tetapi apabila diperhatikan nampak bahwa keseluruhan hadits sebenarnya menunjukkan tentang disyari’atkannya qunut nazilah dengan sebab dan tatacaranya. Untuk memahami suatu hadits, para ulama hadits selalu mengumpulkan seluruh hadits yang berhubungan sehingga informasi yang didapatkan akan semakin lengkap dan terhindar dari istimbath hukum dengan informasi yang masih kurang. Inilah yang membuat madzhab ahli hadits unggul dalam hujjah dibanding madzhab-madzhab yang lain.

Pendapat para ulama:

Ulama-ulama Syafi’iyyah, Hanabilah (Hanbaliyyah), Hanafiyyah berpendapat disunnahkannya qunut nazilah pada shalat-shalat wajib apa bila ada kesusahan yang menimpa kaum muslimin. Hanafiyyah berpendapat qunut nazilah hanya khusus untuk shalat jahriyyah (maghrib, ‘isyaa dan subuh) (Taudhih al-Ahkam 2/249). Sedangkan Hanbaliyyah berpendapat hanya saat shalat subuh serta dipimpin oleh Imam (Khalifah)(al-Mughni 3/369 [MS]).

al-Imam Nawawi berhujjah dengan hadits-hadits qunut nazilah untuk menyatakan bahwa qunut nazilah adalah sunnah dilakukan setiap shalat wajib. Beliau juga menukil bahwa pendapat al-Imam asy-Syafi’i juga demikian (al-Majmu’ 3/494 [MS]).

2. Qunut nazilah dilakukan setelah ruku’ raka’at terakhir setelah bacaan i’tidal “sami’allaahu liman hamidah”. Sebagaimana disebutkan di hadits-hadits 1ADEGHIJKNOQ, 2ABD dan 3.

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: Keseluruhan riwayat yang datang dari Anas bahwa qunut untuk keperluan (nazilah) adalah setelah ruku’, tidak ada perbedaan riwayat dari beliau tentang masalah ini. Sedangkan untuk yang selain keperluan (bukan nazilah) maka yang lebih shahih dari beliau adalah sebelum ruku’. Para shahabat berbeda amalan dalam masalah ini. Dzahirnya ini adalah perbedaan pendapat yang dibolehkan (Fath al-Bari 3/434 [MS]).

3. Qunut nazilah dilakukan pada seluruh shalat wajib. Kebanyakan riwayat menunjukkan bahwa qunut dilakukan dalam shalat shubuh. Tentang qunut saat shalat subuh ditunjukkan oleh hadits-hadits 1FIJNO, 2A, 3 dan 4. Tentang qunut saat shalat ‘isyaa’ ditunjukkan oleh hadits-hadits 2BC dan 3. Qunut di shalat maghrib ditunjukkan di hadits 4. Sedangkan qunut dzuhur dan ‘ashar ada di hadits 3. Telah disebutkan pendapat ulama dalam masalah ini di faidah pertama. Pendapat an-Nawawi dan asy-Syafi’i tentang qunut nazilah ini sesuai dzahir hadits-hadits tersebut.

4. Qunut dilakukan secara sebentar saja sebagaimana ditunjukkan oleh hadits 1O dan 1N.

5. Doa-doa yang diucapkan saat nazilah mestilah berhubungan dengan nazilah atau peristiwa yang sedang terjadi dan tidak ditambah-tambahi doa yang tidak ada hubungannya dengan peristiwa atau nazilah tersebut. Dalam hadits-hadits tersebut Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam mencukupkan diri dengan doa-doa tersebut.

6. Tidak ada do’a khusus dan tertentu untuk qunut nazilah, doa yang diucapkan adalah sesuai dengan peristiwa yang terjadi. Dalam hadits-hadits tersebut doa yang diucapkan betul-betul sesuai dengan peristiwa yang terjadi pada saat itu.

7. Doa qunut disunnahkan untuk dikeraskan (jahr) sebagaimana ditunjukkan oleh hadits 2A.

al-Imam an-Nawawi menyebutkan disunnahkan mengeraskan bacaan qunut (al-Majmu’ 3/501-502 [MS])

8. Disunnahkan untuk diamini oleh ma’mum. Hal ini ditunjukkan oleh hadits 3. Ar-Rafi’i dan al-Ashaab (Sahabat-sahabat asy-Syafi’i) berhujjah dengan hadits Ibnu Abbas ini (3) untuk menunjukkan disunnahkannya mengamini imam yang sedang qunut. (al-Majmu’ 3/502 [MS]).

Beberapa yang tidak dibahas dalam hadits-hadits tersebut adalah tentang mengangkat kedua tangan saat berdoa qunut. Terdapat hadits yang membahas masalah ini :


فَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاةِ الْغَدَاةِ رَفَعَ يَدَيْهِ فَدَعَا عَلَيْهِمْ

Dari Anas, Aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam shalat subuh mengangkat kedua tangannya dan berdoa atas mereka (HR Ahmad No 11953 [MS]). Syaikh Ahmad Syakir mengatakan sanadnya shahih (Musnad Ahmad 10/444, Tahqiq Ahmad Syakir).

Tidak ada dalil yang shahih yang menunjukkan mengusap wajah setelah selesai doa qunut. an-Nawawi menyebutkan pendapat al-Baihaqi dalam masalah tersebut, dan inilah pendapat beliau (al-Majmu’ 3/501 [MS]).

Ada beberapa hal yang juga tidak dibahas dalam masalah tersebut yakni qunut nazilah di dalam shalat jum’at, qunut nazilah di dalam shalat sunnah dan qunut nazilah saat shalat sendirian (tidak berjamaah). Bagi yang berjamaah sebaiknya mengikuti imamnya dalam qunut, tidak disarankan berqunut sendirian saat imam tidak berqunut, karena mengikuti imam adalah wajib, termasuk juga mengikuti imam dalam perkara ijtihad di dalam shalat.

Tentang qunut nazilah saat shalat jum’at banyak perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh. Sebagian membolehkan mengqiyaskan dengan shalat wajib, sebagian melarangnya karena tidak ada dalil dalam masalah itu. Syaikh al-‘Utsaimin mengatakan : dzahirnya boleh qunut di dalam shalat Jum’at ( asy-Syarh al-Mumti’ 4/47 [MS]). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila menyebutkan shalat wajib selalu menyebut shalat lima waktu. Shalat Jum’at tidak disebutkan khusus, padahal termasuk wajib ‘ain bagi laki-laki dan mengganti shalat dzuhur. Dengan dasar ini dzahirnya tidak masalah qunut nazilah saat shalat Jum’at disamakan dengan shalat lima waktu.

Sedangkan qunut nazilah saat shalat wajib sendirian, dzahirnya hadits adalah boleh, karena qunut adalah ibadah di dalam shalat tidak terkait dengan berjamaah atau tidak. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Taimiyah sebagaimana dinukil oleh Syaikh al-‘Utsaimin di dalan asy-Syarh al-Mumti’ 4/44 [MS] dengan keumuman dalil:

صَلُّوا كما رأيتُمُوني أُصَلِّي

Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat. (HR al-Bukhari No 595 [MS]).

Sedangkan qunut nazilah dalam shalat sunnah tidak ada satu dalilpun yang menunjukkan disyari’atkannya qunut nazilah di dalamnya. Hadits-hadits qunut yang ada di dalam shalat sunnah adalah qunut witir dan tidak terkait dengan peristiwa apapun (nazilah).

Kemudian tidak disyaratkan hanya boleh dilakukan oleh imam (khalifah), karena Abu Hurairah melakukan qunut nazilah sedangkan beliau bukan imam atau khalifah.

أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ
وَاللَّهِ لَأُقَرِّبَنَّ بِكُمْ صَلَاةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَقْنُتُ فِي الظُّهْرِ وَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ وَصَلَاةِ الصُّبْحِ وَيَدْعُو لِلْمُؤْمِنِينَ وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ

Abu Salamah bin ‘Abdurrahman mendengar Abu Hurairah berkata: Demi ALLAH aku betul-betul akan mendekatkan (menyamakan) kalian dengan shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Hurairah melakukan qunut di dalam shalat Dzuhur, ‘Ashar, ‘Isyaa’, dan shalat Subuh dan berdoa untuk orang-orang mu’min dan melaknat orang-orang kafir. (HR Muslim No 1084 [MS]).


Contoh lafadz doa qunut nazilah (dengan contoh kasus Palestina):

Doa ini diambil dari lafadz-lafadz hadits-hadits di atas:

اللهم أنج إخواننا المسلمين في فلسطين ، اللهم انصرهم ، اللهم اشدد وطأتك على اليهود المجرمين ومن شايعهم وأعانهم، اللهم العنهم، اللهم اجعلها عليهم سنين كسني يوسف

“Allaahumma anji ikhwaananaa fii Falisthiin, Allaahummanshurhum, Allaahummasydud wath’ataka ‘alal-yahuudil-mujrimiina wa man syaaya’ahum wa a’aanahum, Allaahummal’anhum, Allaahummaj’alhaa ‘alaihim siniin kasinii Yuusuf”

Yaa ALLAH selamatkanlah saudara-sauadara kami orang-orang islam di Palestina, Yaa ALLAH tolonglah mereka, Yaa ALLAH keraskanlah ‘adzabMu atas Yahudi yang berbuat jahat dan aniaya, siapapun yang bersekutu dengan mereka dan membantu mereka, Yaa ALLAH la’natlah mereka, Yaa ALLAH jadikanlah ‘adzabMu atas mereka berupa musim kering yang panjang sebagaimana musim kering di zaman Nabi Yusuf (‘alaihi as-salam)

Contoh yang diriwayatkan dari ‘Umar radhiallahu ‘anhu (sanadnya belum diketahui derajatnya, tapi kita lihat maknanya)

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ ، وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ ، وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِهِمْ وَانْصُرْهُمْ عَلَى عَدُوِّكَ وَعَدُوِّهِمْ ، اللَّهُمَّ الْعَنْ كَفَرَةَ أَهْلِ الْكِتَابِ ، الَّذِينَ يُكَذِّبُونَ رُسُلَكَ ، وَيُقَاتِلُونَ أَوْلِيَاءَكَ ، اللَّهُمَّ خَالِفْ بَيْنَ كَلِمَتِهِمْ وَزَلْزِلْ أَقْدَامَهُمْ وَأَنْزِلْ بِهِمْ بَأْسَكَ الَّذِي لَا يُرَدُّ عَنْ الْقَوْمِ الْمُجْرِمِينَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْتَعِينُكَ

Yaa ALLAH ampunilah orang-orang mu’min laki-laki dan perempuan, orang-orang muslim laki-laki dan perempuan, Satukanlah hati-hati mereka, perbaikilah hubungan antara mereka, tolonglah mereka atas musuhMu dan musuh mereka, Yaa ALLAH la’natlah orang-orang kafir ahli kitab yang telah mendustakan Rasul-rasulMu, memerangi wali-waliMu, Yaa ALLAH pecah-belahlah kalimat mereka, guncangkanlah kaki-kaki mereka, turunkanlah ‘adzabMu yang tidak bisa dihindarkan dari kaum yang aniaya. Yaa ALLAH sesungguhnya kami mohon pertolongan kepadaMU.

Demikian pembahasan tentang qunut nazilah semoga bermanfaat. Bagi saudara-saudara seiman yang belum bisa mengamalkan qunut nazilah karena imam di masjidnya tidak melakukannya atau karena halangan yang lain, maka bantulah dengan doa yang semacamnya di saat-saat mustajab seperti :

Akhir malam (waktu sahur atau 1/3 malam terakhir), di akhir shalat wajib lima waktu, antara adzan dan iqamah, ketika adzan shalat wajib, ketika turun hujan, saat tertentu pada hari jum’at (sebagian berpendapat saat duduknya khatib di antara dua khutbah), di dalam sujud saat shalat, saat setelah bangun malam, saat bepergian (musafir), saat berpuasa, saat berbuka puasa, dan waktu-waktu mustajab yang lain.

Pembahasan dalil-dalil waktu mustajab tidak akan dibahas di sini, insya ALLAH di tulisan yang lain.

Semoga ALLAH memudahkan kita untuk melakukan qunut nazilah, berdoa di waktu-waktu mustajab dan segala usaha kita untuk meringankan beban saudara-saudara kita di Palestina.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Dan Tuhanmu berfirman: "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". (QS al-Mu’min : 60)

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS al-Baqarah : 186).

ALLAH A’lam bi ash-shawab

*[MS] = al-Maktabah asy-Syamilah







Read more...

Qunut Nazilah Untuk Muslimin Palestina (Bagian 1)

Kejadian yang menimpa saudara-saudara kita seaqidah di Palestina mengharuskan kita secara syar’i untuk membantu mereka dengan segala yang kita mampu. Baik membebaskan mereka dari kezaliman orang-orang kafir Yahudi atas mereka dengan jiwa dan harta kita, maupun mengajarkan apa yang diwajibkan ALLAH atas mereka serta berdoa untuk mereka. Di antara bentuk doa yang disyari’atkan saat menghadapi situasi sulit seperti yang terjadi di Palestina adalah dengan melalui ibadah khusus yang dinamakan “qunut nazilah”. Doa di dalam qunut nazilah jauh lebih afdhal dibandingkan doa-doa di luar qunut tersebut. Hal ini karena qunut nazilah adalah cara berdoa yang dipilih oleh Rasulullah ‘alaihi ash-shalatu wa as-salam saat menghadapi situasi yang sangat berat seperti yang terjadi di Palestina kini. Apa yang dipilih Rasulullah ‘alaihi ash-shalatu wa as-salam adalah sebaik-baik teladan bagi kita dalam bersikap terhadap masalah Palestina ini dalam memohon pertolongan kepada ALLAH ‘azza wa jalla.

Qunut nazilah terdiri dari dua kata yakni qunut dan nazilah. Qunut secara bahasa artinya keta’atan, kemudian berdiri pada saat shalat juga dinamakan qunut (Mukhtar ash-Shihah 1/262 [MS]). Qunut juga berarti doa pada saat shalat (Lisan al-‘Arab 2/73 [MS]). Sedangkan nazilah adalah masa-masa yang sulit dan berat (Mukhtar ash-Shihah 1/310 [MS] dan Lisan al-‘Arab 11/656 [MS]). Sehingga qunut nazilah adalah doa pada saat berdiri dalam shalat yang dilakukan pada masa-masa sulit dan berat. Sebagian ulama berpendapat bahwa qunut nazilah ini dilakukan setelah ruku raka’at kedua pada shalat subuh. Sebagian ulama membolehkan qunut nazilah pada setiap shalat fardhu lima waktu setelah ruku’ pada raka’at terakhir (Taudhih al-Ahkam 2/246-248)

Hadits-hadits yang menyatakan disyari’atkannya qunut nazilah adalah sebagai berikut (saya mencukupkan dengan kutub as-sittah) :



1. Hadits Anas bin Malik radhiallaahu ‘anhu

A.
عَاصِمٌ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ
عَنْ الْقُنُوتِ فَقَالَ قَدْ كَانَ الْقُنُوتُ قُلْتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ أَوْ بَعْدَهُ قَالَ قَبْلَهُ قَالَ فَإِنَّ فُلَانًا أَخْبَرَنِي عَنْكَ أَنَّكَ قُلْتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ فَقَالَ كَذَبَ إِنَّمَا قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الرُّكُوعِ شَهْرًا أُرَاهُ كَانَ بَعَثَ قَوْمًا يُقَالُ لَهُمْ الْقُرَّاءُ زُهَاءَ سَبْعِينَ رَجُلًا إِلَى قَوْمٍ مِنْ الْمُشْرِكِينَ دُونَ أُولَئِكَ وَكَانَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَهْدٌ فَقَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَيْهِمْ


’Ashim berkata: Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang qunut, maka beliau berkata: Ada qunut. Aku berkata: sebelum ruku’ atau setelah nya? Beliau berkata: Sebelumnya (ruku’). Dia (‘Ashim) berkata: Sesungguhnya fulan memberitahuku darimu bahwa engkau mengatakan setelah ruku’. Maka Dia (Anas) berkata: Dia telah salah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya qunut setelah ruku’ selama sebulan. Diperlihatkan padaku bahwa beliau mengutus satu kaum yang dinamakan al-Qurra (para penghafal al-Quran) kurang lebih tujuh puluh laki-laki kepada suatu kaum dari kalangan musyrikin selain mereka. Dan antara mereka dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada perjanjian. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama sebulan berdoa atas (kecelakaan) mereka (musyrikin). (HR al-Bukhari No 947 [MS]).


B.

عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
قَنَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ

Dari Abi Mijlaz dari Anas bin Malik beliau berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama sebulan berdoa atas Ri’l dan Dzakwan (HR al-Bukhari No 948 [MS]).

C.

حَدَّثَنَا عَاصِمٌ الْأَحْوَلُ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا حِينَ قُتِلَ الْقُرَّاءُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَزِنَ حُزْنًا قَطُّ أَشَدَّ مِنْهُ

Telah bercerita kepada kami ‘Ashim al-Ahwal dari Anas radhiallahu ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama sebulan pada saat al-Qurra’ (para penghafal al-Quran) dibunuh. Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih sedih dibanding saat itu. (HR al-Bukhari No 1217)


D.

عَاصِمٌ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ الْقُنُوتِ قَالَ قَبْلَ الرُّكُوعِ فَقُلْتُ إِنَّ فُلَانًا يَزْعُمُ أَنَّكَ قُلْتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ فَقَالَ كَذَبَ ثُمَّ حَدَّثَنَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَنَتَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ قَالَ بَعَثَ أَرْبَعِينَ أَوْ سَبْعِينَ يَشُكُّ فِيهِ مِنْ الْقُرَّاءِ إِلَى أُنَاسٍ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَعَرَضَ لَهُمْ هَؤُلَاءِ فَقَتَلُوهُمْ وَكَانَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَهْدٌ فَمَا رَأَيْتُهُ وَجَدَ عَلَى أَحَدٍ مَا وَجَدَ عَلَيْهِمْ

‘Ashim berkata: Aku bertanya kepada Anas radhiallahu ‘anhu tentang qunut. Beliau berkata: Sebelum ruku’. Maka aku berkata: Sesungguhnya fulan beranggapan bahwa Engkau berkata setelah ruku’. Maka beliau berkata: Dia telah salah, kemudian beliau bercerita kepada kami dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau qunut selama sebulan setelah ruku’ berdoa atas qabilah-qabilah dari bani Sulaim. Beliau berkata: Beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengutus empat puluh atau tujuh puluh, beliau (Anas) ragu, dari para al-Qurra’ (penghafal al-Quran) kepada orang-orang dari kalangan musyrikin, kemudian mereka menghadang para qurra’ tersebut kemudian mereka membunuh para qurra’ tersebut padahal antara mereka dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada perjanjian. Aku tidak pernah mendapati atas seseorang sebagaimana apa yang beliau dapati. (HR al-Bukhari No 2934 [MS]).

E.

حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ قَالَ
قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ الْعَرَبِ

Qotadah telah bercerita kepada kami dari Anas, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama satu bulan setelah ruku’ berdoa atas (kecelakaan) beberapa qabilah arab. (HR al-Bukhari No 3780 [MS])

F.

عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رِعْلًا وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَبَنِي لَحْيَانَ اسْتَمَدُّوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عَدُوٍّ فَأَمَدَّهُمْ بِسَبْعِينَ مِنْ الْأَنْصَارِ كُنَّا نُسَمِّيهِمْ الْقُرَّاءَ فِي زَمَانِهِمْ كَانُوا يَحْتَطِبُونَ بِالنَّهَارِ وَيُصَلُّونَ بِاللَّيْلِ حَتَّى كَانُوا بِبِئْرِ مَعُونَةَ قَتَلُوهُمْ وَغَدَرُوا بِهِمْ فَبَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو فِي الصُّبْحِ عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَبَنِي لَحْيَانَ قَالَ أَنَسٌ فَقَرَأْنَا فِيهِمْ قُرْآنًا ثُمَّ إِنَّ ذَلِكَ رُفِعَ بَلِّغُوا عَنَّا قَوْمَنَا أَنَّا لَقِينَا رَبَّنَا فَرَضِيَ عَنَّا وَأَرْضَانَا وَعَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ حَدَّثَهُ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَبَنِي لِحْيَانَ
زَادَ خَلِيفَةُ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ حَدَّثَنَا أَنَسٌ أَنَّ أُولَئِكَ السَّبْعِينَ مِنْ الْأَنْصَارِ قُتِلُوا بِبِئْرِ مَعُونَةَ قُرْآنًا كِتَابًا نَحْوَهُ

Dari Qotadah dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwasanya Ri’l, Dzakwan, ‘Ushayyah dan Bani Lahyan meminta tambahan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atas musuh dengan tujuh puluh dari kaum anshar, kami menamakan mereka al-Qurra’ (para penghafal al-Quran) pada zaman mereka. Mereka mencari kayu bakar (bekerja) di siang hari dan shalat di malam hari hingga mereka sampai sumur Ma’unah, orang-orang musyrik membunuh mereka dan berkhianat maka sampailah (berita itu) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau qunut selama sebulan berdua saat shalat subuh atas (kecelakaan) qabilah dari qabilah-qabilah arab atas Ri’l, Dzakwan, ‘Ushayyah dan Bani Lahyan. Anas berkata: Maka kami membaca ayat al-Quran tentang mereka kemudian ayat itu diangkat (mansukh) “Ballighuu ‘annaa qaumanaa annaa laqiinaa rabbanaa faradhia ‘annaa wa ardhaanaa” (Sampaikanlah kaum kami oleh kalian dari kami bahwasanya kami berjumpa dengan Rabb kami kemidian Dia ridha dengan kami dan membuat kami ridha). Dan dari Qotadah dari Anas bin Malik, beliau menceritakannya bahwa Nabi ALLAH shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama sebulan di dalam shalat subuh berdoa atas beberapa qabilah dari qabilah-qabilah arab atas Ri’l, Dzakwan, ‘Ushayyah, dan Bani Lahyan. Khalifah menambah: Telah mencertiakan kepada kami Yazid bin Zurai’, telah menceritakan kepada kami Sa’id dari Qotadah, telah bercerita kepada kami Anas bahwa mereka adalah tujuh puluh dari kalangan anshar, dibunuh di sumur ma’unah. Lafadz Qur’an diganti Kitab semacamnya. (HR al-Bukhari No 3781 [MS])

G.

عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَنَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الرُّكُوعِ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَيَقُولُ عُصَيَّةُ عَصَتْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

Dari Abi Mijlaz dari Anas radhiallahu ‘anhu beliau berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama sebulan setelah ruku’ berdoa atas Ri’l, Dzakwan dan berkata ‘Ushayyah telah durhaka kepada ALLAH dan RasulNya. (HR al-Bukhari No 3785 [MS])

H.

حَدَّثَنَا عَاصِمٌ الْأَحْوَلُ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ الْقُنُوتِ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ نَعَمْ فَقُلْتُ كَانَ قَبْلَ الرُّكُوعِ أَوْ بَعْدَهُ قَالَ قَبْلَهُ قُلْتُ فَإِنَّ فُلَانًا أَخْبَرَنِي عَنْكَ أَنَّكَ قُلْتَ بَعْدَهُ قَالَ كَذَبَ إِنَّمَا قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الرُّكُوعِ شَهْرًا أَنَّهُ كَانَ بَعَثَ نَاسًا يُقَالُ لَهُمْ الْقُرَّاءُ وَهُمْ سَبْعُونَ رَجُلًا إِلَى نَاسٍ مِنْ الْمُشْرِكِينَ وَبَيْنَهُمْ وَبَيْنَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَهْدٌ قِبَلَهُمْ فَظَهَرَ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ كَانَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَهْدٌ فَقَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الرُّكُوعِ شَهْرًا يَدْعُو عَلَيْهِمْ

Telah menceritakan kepada kami ‘Ashim al-Ahwal, beliau berkata: Aku bertanya kepada Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu tentang qunut di dalam shalat. Maka beliau berkata: Betul. Kemudian aku berkata: Sebelum ruku’ atau setelahnya?. Beliau menjawab: Sebelumnya. Aku berkata: Sesungguhnya fulan menceritakan kepadaku darimu bahwa engkau berkata setelahnya (ruku’). Beliau berkata: Dia telah salah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut setelah ruku’ hanya sebulan. Beliau mengutus orang-orang yang dinamakan al-Qurra’ (penghafal al-Quran), mereka berjumlah tujuh puluh laki-laki kepada orang-orang dari kalangan musyrikin, dan di antara mereka dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada perjanjian dari sisi mereka. Maka muncullah orang-orang yang ada perjanjian antara mereka dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut setelah ruku’ selama sebulan berdoa atas mereka. (HR al-Bukhari No 3787 [MS]).

I.

عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَيَقُولُ عُصَيَّةُ عَصَتْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

Dari Abi Mijlaz dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama sebulan setelah ruku’ di dalam shalat subuh berdoa atas Ri’l, Dzakwan dan berkata ‘Ushayyah telah durhaka kepada ALLAH dan RasulNya. (HR Muslim No 1087 [MS])

J.

أَخْبَرَنَا أَنَسُ بْنُ سِيرِينَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ يَدْعُو عَلَى بَنِي عُصَيَّةَ

Telah memberi tahu kami Anas bin Sirin dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama sebulan setelah ruku’ di dalam shalat fajar (subuh), berdoa atas bani ‘Ushayyah. (HR Muslim 1088 [MS]).


K.

عَنْ عَاصِمٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ
سَأَلْتُهُ عَنْ الْقُنُوتِ قَبْلَ الرُّكُوعِ أَوْ بَعْدَ الرُّكُوعِ فَقَالَ قَبْلَ الرُّكُوعِ قَالَ قُلْتُ فَإِنَّ نَاسًا يَزْعُمُونَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ فَقَالَ إِنَّمَا قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أُنَاسٍ قَتَلُوا أُنَاسًا مِنْ أَصْحَابِهِ يُقَالُ لَهُمْ الْقُرَّاءُ

Dari ‘Ashim dari Anas, beliau (‘Ashim) bertanya kepadanya (Anas) tentang qunut apakah sebelum ruku’ atau setelah ruku? Maka beliau menjawab: sebelum ruku’. Beliau (‘Ashim) berkata: Aku berkata: Orang-orang beranggapan bahwa Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam qunut setelah ruku’. Maka beliau (Anas) berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya qunut selama sebulan berdoa atas orang-orang yang membunuh orang-orang dari sahabat beliau yang dinamakan al-Qurra’ (penghafal al-Quran). (HR Muslim No 1089 [MS]).

L.

عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَلْعَنُ رِعْلًا وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَوْا اللَّهَ وَرَسُولَهُ

Dari Qotadah dari Anas bin Malik bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama sebulan melaknat Ri’l, Dzakwan dan ‘Ushayyah, mereka durhaka kepada ALLAH dan RasulNya. (HR Muslim No 1091 [MS]).

M.

عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ

Dari Qotadah dari Anas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama sebulan berdoa atas qabilah-qabilah dari qabilah-qabilah arab kemudian beliau meninggalkannya (yakni qunut). (HR Muslim No 1092 [MS])

N.

عَنْ مُحَمَّدٍ قَالَ قُلْتُ لِأَنَسٍ
هَلْ قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ قَالَ نَعَمْ بَعْدَ الرُّكُوعِ يَسِيرًا
Dari Muhammad beliau berkata: Aku berkata kepada Anas: Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut di dalam shalat subuh? Beliau menjawab: Iya setelah ruku’ secara ringan saja (pendek). (HR Muslim No 1086 [MS]).

O.

عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
أَنَّهُ سُئِلَ هَلْ قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ فَقَالَ نَعَمْ فَقِيلَ لَهُ قَبْلَ الرُّكُوعِ أَوْ بَعْدَ الرُّكُوعِ قَالَ بَعْدَ الرُّكُوعِ قَالَ مُسَدَّدٌ بِيَسِيرٍ

Dari Muhammad dari Anas bin Malik, bahwa beliau ditanya: Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut di dalam shalat subuh? Beliau berkata: Iya. Maka dikatakan pada beliau: Apakah sebelum ruku’ atau setelah ruku’? Beliau berkata: Setelah ruku’. Musaddad berkata: dengan ringan saja (pendek). (HR Abu Dawud No 1232 [MS])
Hadits ini dishahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud No 1444 [MS].

P.

عَنْ أَنَسِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا ثُمَّ تَرَكَهُ

Dari Anas bin Sirin dari Anas bin Malik sesungguhnya Nabi shalllallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama sebulan kemudian beliau meninggalkannya. (HR Abu Dawud No 1233 [MS]).
Hadits ini dishahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud No 1445 [MS].

Q.

عَنْ مُحَمَّدٍ قَالَ
سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ الْقُنُوتِ فَقَالَ قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الرُّكُوعِ

Dari Muhammad, beliau berkata: Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang qunut. Maka beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut setelah ruku’. (HR Ibnu Majah No 1174 [MS]).
Hadits ini dishahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah No 1184 [MS].


.... bersambung ke bagian 2


Read more...

Friday, December 26, 2008

Hadits Kuraib Tentang Hilal Ramadhan

Hadits Kuraib lengkapnya sebagaimana dalam Shahih Muslim (No. 1819
Maktabah Syamilah)

Dari Kuraib bahwasanya Umm al-Fadhl binti al-Harits mengutusnya kepada
Mu'awiyah ke Syam, Kuraib berkata : Aku telah sampai Syam maka aku
menyelesaikan keperluannya (Umm al-Fadhl), Ramadhan telah dimulai
atasku dan aku di Syam, maka aku melihat hilal pada malam Jum'at
kemudian akau sampai Madinah di akhir bulan (Ramadhan), maka Abdullah
ibnu Abbas r.a. bertanya kepadaku kemudian beliau menyebut hilal dan
berkata " Kapan engkau melihat hilal?" maka aku menjawab "Kami
melihatnya malam Jum'at" maka beliau berkata "Apakah engkau benar-benar
melihat?" maka aku jawab "Iya dan orang-orang juga melihatnya terus
berpuasa dan Mu'awiyahpun berpuasa", beliau berkata "Akan tetapi kami
melihatnya malam Sabtu maka kami akan terus berpuasa 30 hari atau
sampai kami melihatnya (hilal)", aku berkata "Apakah kita tidak
mencukupkan dengan rukyat Mu'awiyah dan puasanya?", beliau berkata
"Tidak, seperti inilah Rasulullah 'alaihi shalatu wa salam
memerintahkan kami".



Titik pangkal perbedaan adalah pada kata-kata "Tidak, seperti inilah
Rasulullah 'alaihi shalatu wa salam memerintahkan kami" yang oleh
sebagian Ulama dimaknai bahwa masing-masing negeri mempunyai mathla' sendiri
dengan alasan karena itu perintah Rasul 'alaihi shalatu wa salam dan
tidak cukup dengan rukyat Mu'awiyah (rukyat penduduk Syam).

Sebenarnya hal itu masih bisa dipertanyakan yakni apakah yang
diperintahkan Rasul 'alaihi shalatu wa salam adalah perintah melihat
hilal atau perintah masing-masing negeri dengan mathla'nya sendiri? saya
cenderung pendapat bahwa perintah itu adalah perintah tidak beridul
fithri sampai melihat hilal atau digenapkan 30 jika tidak tampak.

Kemudian terhadap apakah tidak cukup rukyat Mu'awiyah? jelas tidak
mungkin bagi Ibnu Abbas mengikuti rukyat Mu'awiyah karena tidak ada
informasi yang sampai kepada beliau malam saat Kuraib melihat hilal,
Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya. Maka Ibnu Abbas
mengamalkan rukyatnya sendiri dan penduduk Madinah, apabila malam
Jumat ada info bahwa hilal telah tampak dari penduduk Syam mungkin
Ibnu Abbas akan memulai Jumat bukan Sabtu.
Ini berlaku juga misalnya apabila kita menggenapkan 30 hari sya'ban
karena hilal samar atau tertutup sehingga tidak tampak ternyata
seminggu kemudian datang berita kalau Hilal telah tampak di negeri
lain, maka kita tidak perlu menghitung mundur dengan mengikuti hilal
negeri lain tersebut dan tidak perlu mengqadha puasa yang menurut
versi negeri lain sudah tanggal 1 Ramadhan. Cukuplah kita berpuasa
sampai kita melihat hilal atau ada yang menginformasikan hilal telah
tampak untuk beridul fithri kecuali kalau ternyata kita salah yang
berakibat puasa 28 hari atau 31 hari ini jelas pasti kita salah
(tidak mungkin Ramadhan 28 hari atau 31 hari).


Read more...

Bincang-bincang Hadits Khilafah (2)


Kemudian penulis berkata :


> Salah satu rawi Hadis di atas bernama Habib bin Salim. Menurut Imam Bukhari,

> "fihi nazhar". Inilah sebabnya imam Bukhari tidak pernah menerima hadis yang

> diriwayatkan oleh Habib bin Salim tsb. Di samping itu, dari 9 kitab utama

> (kutubut tis'ah) hanya Musnad Ahmad yang meriwayatkan hadis tsb. Sehingga

> "kelemahan" sanad hadis tsb tidak bisa ditolong.


Dalam hal ini al-Bukhari menyendiri, sebab Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan imam-imam yang lainnya meriwayatkan dari Habib bin Salim walaupun bukan hadits khilafah tersebut. Menyimpulkan hadits itu “lemah” hanya dengan pendapat al-Bukhari tanpa mempertimbangkan pendapat para imam yang lain adalah terlalu tergesa-gesa dan gegabah. Bukti bahwa penulis ini tidaklah faham kaidah-kaidah jarh wa ta’dil menurut para ulama hadits sebagaimana dijelaskan di atas. Apabila kaidah penulis ini diberlakukan maka banyak sekali hadits-hadits yang shahih menjadi “lemah” bahkan hadits-hadits yang di dalam al-Bukhari dan Muslim pun akan menjadi lemah mengingat banyak rawi-rawi al-Bukhari dan Muslim yang tidak lepas dari jarh. Kaidah penulis ini juga menjadikan ilmu hadits sangat sederhana yakni dengan melihat Shahih al-Bukhari saja atau dengan melihat 9 kitab utama hadits. Padahal tidak sedikit hadits-hadits yang shahih di luar 9 kitab utama tersebut sehingga banyak ulama yang menyusun kitab-kitab “zawa’id” yang merupakan tambahan dari kitab-kitab hadits yang dianggap utama.


Kemudian penulis berkata:


> Rupanya Habib bin salim itu memang cukup "bermasalah" . Dia membaca hadis

> tsb di depan khalifah 'umar bin abdul aziz utk menjustifikasi bhw

> kekhilafahan 'umar bin abdul azis merupakan khilafah 'ala

> minhajin nubuwwah. Saya menduga kuat bhw Habib mencari muka di depan

> khalifah karena sebelumnya ada sejumlah hadis yang mengatakan:

>

> "*setelah kenabian akan ada khilafah 'ala minhajin nubuwwah, lalu akan

> muncul para raja*."

>

> Hadis ini misalnya diriwayatkan oleh thabrani (dan dari penelaahan saya

> ternyata sanadnya majhul). Saya duga hadis thabrani ini muncul pada masa

> mu'awiyah atau yazid sebagai akibat pertentangan

> politik saat itu.


Beginilah akhlaq penulis yang mudah berburuk sangka sesama muslim apalagi muslim yang sudah meninggal dari kalangan tiga generasi awal umat ini yang dijamin oleh Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik.



خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ أَقْوَامٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ



“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian setelah mereka kemudian setelah mereka kemudian akan datang kaum-kaum yang persaksiannya mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya” (HSR al-Bukhari No. 2458 [MS])



Habib bin Salim adalah tabi’in pertengahan. Tidak ada seorangpun ulama yang mencela sisi keadilannya baik ulama semasa beliau ataupun setelahnya. al-Bukhari mengkritik beliau hanya melihat sisi ke”dhabit” annya (tingkat hafalan dan penjagaan hadits) bukan keadilannya. Kemudian datanglah penulis ini mencela keadilan Habib bin Salim dengan menuduh Habib membuat hadits untuk mencari muka di depan ‘Umar bin Abdu al-‘Aziz. Perbuatan mencari muka dengan membuat hadits adalah perbuatan yang sangat tercela, seolah-olah Habib ini tidak takut dengan ancaman berdusta atas nama Nabi ‘alaihi ash-shalatu wa as-salam. Adalah hal yang aneh sekali kalau seandainya hadits ini dibuat oleh Habib dan tidak ada ulama-ulama hadits zaman itu dan setelahnya yang tidak memperingatkan dia dan kaum muslimin kalau Habib benar-benar membuat-buat hadits. Sudah biasa di kalangan para ulama hadits bahwa para pemalsu hadits sangat mudah dikenali dan diketahui.

Kalau penulis ini mau mencermati matan haditsnya dengan hati-hati dan penuh baik sangka dengan sesama muslim maka tidak selayaknya dia berburuk sangka dengan Habib bin Salim.

“Habib berkata : Ketika ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Aziz menjadi raja dan Yazid bin an-Nu’man bin Basyir adalah sahabatnya maka akau menulis surat kepadanya (Yazid) dengan hadits ini dengan menyebutkan hadits itu kepadanya, kemudian aku berkata kepadanya sesungguhnya aku berharap Amir al-Mu’minin yakni ‘Umar adalah setelah kerajaaan yang mengiggit dan kerajaan yang arogan. Kemudian kitabku ini dimasukkan kepada ‘Umar bin Abdu al-‘Aziz maka beliau bahagia dan ta’jub.”

Jelas sekali Habib bin Salim hanya berharap supaya ‘Umar bin Abdu al-‘Aziz termasuk khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Apakah salah seseorang berharap seperti itu??. Walaupun harapan Habib ini tidak mesti benar. Tetapi sama sekali tidak menjatuhkan kredibilitas dia, apalagi sampai melemahkan haditsnya atau bahkan menuduh dia membuat-buat hadits. Kemudian Yazid bin an-Nu’manlah yang menyampaikan kepada ‘Umar bin Abdu al-‘Aziz bukan Habib sendiri.

Kemudian tidak ada kelaziman bahwa Habib menyampaikan hadits ini hanya setelah ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Aziz menjadi raja. Dari konteksnya sangat mungkin Habib sudah jauh-jauh hari menyampaikan hadits ini sebelum ‘Umar menjadi raja. ALLAH A’lam.

Sebenarnya tidak hanya Habib saja yang menyampaikan hadits ini, bahkan tidak hanya Hudzaifah tapi dari sahabat yang lain walaupun tidak selengkap versi Habib ini, seperti (saya tidak menyampaikan lengkap sebab akan panjang sekali, silakan dirujuk sendiri kitab-kitab tersebut):

Ibnu ‘Abbas (al-Mu’jam al-Kabir ath-Thabrani No. 10975[MS]), dalam lafadz ini disebutkan an-nubuwwah wa rahmah, khilafah wa rahmah, mulkan wa rahmah dan imarah wa rahmah. al-Albani mengatakan isnadnya jayyid dalam Silsilah ash-Shahihah No. 3270.

Mu’adz bin Jabal dan Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah (Musnad ath-Thayalisi No. 222[MS])

al-Haitsami berkata : “Di dalam sanadnya ada Laits bin Abi Salim, dia tsiqah tapi mudallis, rijal-rijal yang lain tsiqaat (Majma’ az-Zawaid (5/189[MS]))

al-Albani menilai sanadnya lemah, dan matannya munkar, kecuali bagian awal yang sama dengan hadits hudzaifah (Silsilah adh-Dha’ifah No. 3055)

Memang pandangan penulis bisa dipertimbangkan karena riwayat Habib ini ada tambahan khilafah ‘alaa minhaj an-nubuwwah, akan tetapi tidaklah boleh memperkirakan dengan menuduh Habib berusaha mencari muka kepada ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Aziz kemudian menambah-nambah sendiri, ini buruk sangka kepada sesama muslim. Dalam masalah ini berlaku kasus ziadatu ats-tsiqaat yakni tambahan seorang yang tsiqah terhadap suatu hadits. Ziadatu ats-tsiqah diterima selama tidak berlawanan dengan hadits-hadits yang ditambahi sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab musthalah, bahkan mayoritas ahli ushul fiqh menerimanya mutlak tanpa syarat. Tambahan riwayat Habib ini tidak menyelisihi riwayat Ibnu ‘Abbas.



Lihat sikap penulis dengan mengatakan


> "Khilafah 'ala minhajin nubuwwah" di teks thabrani ini me-refer ke khulafa

> al-rasyidin, lalu "raja" me-refer ke mu'awiyah dkk. Tapi tiba-tiba muncul

> umar bin abdul azis --dari dinasti umayyah—yang baik dan adil. Apakah beliau

> termasuk "raja" yg ngawur dlm hadis tsb?

>

> Maka muncullah Habib bin Salim yg bicara di depan khalifah Umar bin Abdul

> Azis bhw hadis yg beredar selama ini tidak lengkap. Menurut versi Habib,

> setelah periode para raja, akan muncul lagi khilafah 'ala minhajin

> nubuwwah--> dan ini merefer ke umar bin abdul azis. Jadi nuansa politik

> hadis ini sangat kuat.



Tampak nyata penyamaran penulis terhadap kisah yang sebenarnya.

Masa “mulkan ‘aadhdhan” atau kerajaan yang mengigit (dengan kedzaliman) tidak berarti menghukumi semua raja adalah dzalim, tapi lafadz ini menunjukkan ghalibnya (mayoritas) adalah dzalim terhadap rakyatnya. Sehingga tidak menafikkan kalau ada raja yang adil seperti ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Aziz dengan masa pemerintahan yang sangat pendek di antara raja-raja yang dzalim. Di tambah dalam riwayat Ibnu ‘Abbas ada tambahan rahmah, sehingga walaupun masa raja-raja tapi masih ada rahmah di sana, mungkin salah satunya adalah ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Aziz. Apakah hanya karena salah faham atau tidak bisa memahami kemudian menganggap hadits yang shahih atau hasan menjadi dha’if begitu saja??



بَلْ كَذَّبُواْ بِمَا لَمْ يُحِيطُواْ بِعِلْمِهِ



“Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna “ (QS Yunus: 39)



Ketidakfahaman kita dengan ayat-ayat al-Quran tidaklah kemudian boleh kita menyimpulkan bahwa ayat-ayat al-Quran tidak benar. Begitu pula ketidakfahaman kita dengan hadits-hadits nabawi tidaklah kemudian boleh kita menyimpulkan bahwa hadits tersebut tidak benar.

Tampak nyata juga pertentangan pemikiran penulis setelah sebelumnya mengatakan hadits riwayat Thabrani ini sanadnya majhul tapi kemudian menggunakannya untuk menjatuhkah Habib bin Salim. Bagaimana boleh dengan hadits yang dia nilai sendiri majhul dia gunakan sebagai hujjah untuk menjatuhkan Habib bin Salim. Bukankah ini fikiran yang bertentangan??

Kemudian dia juga menghukumi hadits yang majhul itu sebagai hadits buatan semasa Mu’awiyyah dan Yazid, padalah hadits majhul tidak serta merta menjadi hadits palsu. Kemudian apa hujjah dia sehingga bisa mengatakan seperti itu?? Bukankan tanpa hujjah berarti mengikuti hawa nafsu??

Hadits riwayat ath-Thabrani No. 372[MS] dengan lafadz hampir sama dengan hadits Habib hanya saja tanpa tambahan khilafah ‘alaa minhaj an-nubuwwah setelah mulkan jabriyyah sebagaimana kata penulis akan tetapi di dalam sanadnya ada rawi yang tidak disebutkan namanya (mubham) sehingga majhul ‘ain yakni “ ‘an rajulin min quraisy” (dari seorang laki-laki quraisy). al-Haitsami juga mengatakan demikian ketika menilai hadits ini dalam Majma’ az-Zawaid (5/185[MS]).

Hadits majhul ini tidak bisa digunakan sebagai hujjah untuk menjatuhkan Habib, bagaimana mungkin riwayat yang lebih lemah menjatuhkan riwayat yang lebih kuat (riwayat Habib).



Penulis berkata :



> Repotnya, term khilafah 'ala minhajin nubuwwah yg dimaksud oleh Habib (yaitu

> Umar bin abdul azis) sekarang dipahami oleh ------ (dan kelompok

> sejenis) sebagai jaminan akan datangnya khilafah lagi di kemudian hari.

> Mereka pasti repot menempatkan umar bin abdul azis dalam urutan di atas

> tadi: kenabian, khilafah 'ala mihajin nubuwwah periode pertama (yaitu

> khulafa al-rasyidin) , lalu para raja, dan khilafah 'ala minhajin nubuwwah

> lagi. Kalau khilafah 'ala minhajin nubuwwah periode yg kedua baru muncul di

> akhir jaman maka umar bin abdul azis termasuk golongan para raja yang ngawur

> :-)

>



Tidaklah repot menempatkan ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Azis, karena pemahaman mulkan entah yang ‘aadhdhan ataupun jabriyyah tidak menafikan adanya raja atau pemimpin yang adil di tengah-tengah raja-raja dan pemimpin-pemimpin yang dzalim. Tidak ragu lagi bahwa ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Azis adalah pada periode mulkan (raja-raja) karena Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam bersabda :



الْخِلَافَةُ فِي أُمَّتِي ثَلَاثُونَ سَنَةً ثُمَّ مُلْكٌ بَعْدَ ذَلِكَ



“Khilafah di dalam ummatuku adalah 30 tahun kemudian kerajaan setelah itu…”



Hadits riwayat at-Tirmidzi dan beliau berkata ini hadits hasan (Sunan at-Tirmidzi No. 2152[MS]). al-Albani menshahihkannya dalam Silsilah ash-Shahihah No. 459[MS])

Kemudian dari riwayat Ibnu ‘Abbas periode setelah khilafah itu ada mulk (kerajaan) dan imarah (pemerintahan).

Khilafah selama 30 tahun itu berakhir dengan terbunuhnya ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan diangkatnya Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhuma yang akhirnya beliau memberikannya kepada Mu’awiyyah radhiallahu ‘anhu maka jadilah Mu’awiyah menjadi raja yang pertama. Sehingga tidak bisa tidak ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Azis dan juga semua pemerintahan setelah 30 tahun tersebut masuk periode kerajaan bukan khilafah ‘alaa minhaj an-nubuwwah. Kemudain berita yang mutawatir tentang akan datangnya al-Mahdi dan turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihi as-salam menunjukkan bahwa khilafah ‘alaa minhaj an-nubuwwah adalah masa al-Imam al-Mahdi. Riwayat tentang al-Mahdi mencapai derajat mutawatir tanpa ada perbedaan pendapat menurut para ulama hadits sehingga tidak boleh diragukan lagi.


Penulis berkata:


> Saya kira kita memang haus bersikap kritis terhadap hadis-hadis berbau

> politik. Sayangnya sikap kritis ini yang sukar ditumbuhkan di kalangan para

> pejuang khilafah.



Apa kriteria hadis-hadis politik?? apa definisinya, jangan-jangan cara menentukannya hanya sesuai hawa nafsu saja tidak ada kaidahnya. Kemudian sikap kritis itu apa? apakah asal-asalan menolak disebut kritis?? Asal kontroversial terus dianggap kritis??

Seseorang mampu kritis dalam bidang engineering apabila dia menguasai prinsip-prinsip engineering begitu pula seseorang mampu kritis dalam ilmu hadits apabila dia menguasai prinsip-prinsip ilmu hadits. Kalau tidak, niatnya mengkritisi justru berbalik menjadi dikritisi dan nampak ketidaktahuannya dalam ilmu tersebut. ALLAH a’lam.

“Kekritisan” penulis selanjutnya sebenarnya mudah sekali dikritisi tapi memerlukan waktu dan penelaahan referensi. Kalau ada kesempatan insya ALLAH “kekritisan” beliau bisa dikritisi lagi.



Note: [MS] = Maktabah Asy-Syamilah

[MRH] = Mausu’ah Ruwaat al-Hadits

Referensi lainnya edisi cetak yang telah di pdf kan


Read more...

Followers

Google Friend Connect

Google Friend Wall

Powered By Blogger

  © Blogger template Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP