Thursday, April 17, 2025

Allah Ta‘ala Mengajak Hamba-hamba-Nya dalam Al-Qur’an Untuk Mengenal-Nya Melalui Dua Jalan

Allah Ta‘ala mengajak hamba-hamba-Nya dalam Al-Qur’an untuk mengenal-Nya melalui dua jalan:


Pertama, dengan merenungi ciptaan-ciptaan-Nya (maf‘ūlātih).
Kedua, dengan merenungi dan mentadabburi ayat-ayat-Nya (āyātih); yang pertama adalah ayat-ayat yang disaksikan (kauniyyah), dan yang kedua adalah ayat-ayat yang didengar dan dipahami (syar‘iyyah).

Jenis pertama seperti firman-Nya:

> “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, dan kapal-kapal yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia...” (Al-Baqarah: 164)
Dan:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Ali ‘Imran: 190)
Ayat semacam ini sangat banyak dalam Al-Qur’an.



Jenis kedua seperti firman-Nya:

> “Maka apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur’an?” (An-Nisa’: 82)
“Maka apakah mereka tidak memikirkan perkataan (Al-Qur’an) itu?” (Al-Mu’minun: 68)
“Kitab yang Kami turunkan kepadamu yang penuh berkah agar mereka mentadabburi ayat-ayatnya.” (Shad: 29)
Dan ini pun banyak ditemukan dalam Al-Qur’an.



Adapun ciptaan-ciptaan (maf‘ūlāt) menunjukkan adanya perbuatan (af‘āl), dan perbuatan menunjukkan sifat-sifat (ṣifāt). Sebab, sebuah ciptaan menunjukkan adanya Pencipta yang melakukannya, dan itu meniscayakan adanya eksistensi, kemampuan, kehendak, dan ilmu dari Sang Pencipta. Karena tidak mungkin sebuah perbuatan yang bersifat pilihan muncul dari sesuatu yang tidak ada, atau dari sesuatu yang ada tapi tidak memiliki kemampuan, kehidupan, ilmu, dan kehendak.

Kemudian, segala bentuk pembatasan dan ragam dalam ciptaan menunjukkan adanya kehendak (irādah), dan bahwa perbuatan-Nya bukanlah terjadi secara alamiah dan seragam.
Apa yang terkandung dalam ciptaan dari manfaat, hikmah, dan tujuan yang baik menunjukkan hikmah-Nya.
Apa yang mengandung kebaikan dan pemberian menunjukkan rahmat-Nya.
Apa yang berupa azab dan hukuman menunjukkan murka-Nya.
Apa yang menunjukkan kemuliaan dan kedekatan menunjukkan cinta-Nya.
Apa yang mengandung kehinaan dan pengusiran menunjukkan kebencian dan kemurkaan-Nya.
Apa yang menunjukkan permulaan sesuatu dalam kelemahan hingga mencapai kesempurnaan menunjukkan kebenaran akan adanya kebangkitan (al-ma‘ād).
Apa yang tampak dalam tumbuhan, hewan, dan pengaturan air menunjukkan kemungkinan terjadinya kebangkitan.
Apa yang tampak dari tanda-tanda rahmat dan nikmat pada makhluk-Nya menunjukkan kebenaran kenabian.
Apa yang tampak dari kesempurnaan pada sesuatu yang bila tidak ada maka akan cacat, menunjukkan bahwa Dzat yang memberi kesempurnaan itu lebih berhak atasnya.

Maka ciptaan-ciptaan-Nya (maf‘ūlātuh) adalah salah satu bukti paling kuat tentang sifat-sifat-Nya, dan kebenaran apa yang diberitakan oleh para Rasul-Nya tentang diri-Nya.

Ciptaan-ciptaan-Nya menjadi saksi yang membenarkan ayat-ayat yang didengar, dan sekaligus mengingatkan manusia agar mengambil pelajaran dari tanda-tanda yang tercipta.

Allah Ta‘ala berfirman:

> “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar.” (Fussilat: 53)
Yakni bahwa Al-Qur’an adalah kebenaran. Maka Allah mengabarkan bahwa Dia akan memperlihatkan kepada manusia tanda-tanda nyata yang membuktikan kebenaran ayat-ayat yang dibacakan. Kemudian Allah juga menegaskan bahwa kesaksian-Nya saja sudah cukup atas kebenaran berita-Nya, karena Dia telah menegakkan bukti-bukti dan dalil atas kebenaran Rasul-Nya.



Ayat-ayat-Nya menjadi saksi atas kebenaran Rasul-Nya, dan Dia pun menjadi saksi atas kebenaran ayat-ayat tersebut melalui ayat-ayat-Nya. Maka Dia adalah yang bersaksi dan yang disaksikan untuk-Nya, dalil dan yang ditunjuk oleh dalil itu, sehingga Dia menjadi dalil atas diri-Nya sendiri.

Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ahli makrifat:

> “Bagaimana aku mencari dalil atas Dzat yang telah menjadi dalil bagiku atas segala sesuatu? Maka dalil apapun yang aku cari tentang-Nya, keberadaan-Nya lebih jelas dari dalil itu sendiri.”



Karena itu para Rasul berkata kepada kaum mereka:

> “Apakah kalian ragu terhadap Allah?” (Ibrahim: 10)
Dia lebih dikenal dari segala yang dikenal, lebih nyata dari segala dalil. Maka segala sesuatu pada hakikatnya dikenal melalui-Nya, meskipun secara pandangan dan istidlal dikenal melalui perbuatan dan hukum-hukum-Nya.

Diterjemahkan dari Al-Fawa'id oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 


Read more...

Tuesday, April 15, 2025

Tafsir Al-Furqan:73

Firman Allah Ta‘ala:


﴿وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا (٧٣)﴾
(Dan orang-orang yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah bersujud padanya dalam keadaan tuli dan buta) [Al-Furqan: 73].

Penafsiran para ulama:

Mujahid mengatakan: Apabila mereka diberi nasihat dengan Al-Qur’an, mereka tidaklah menjatuhkan diri padanya dalam keadaan tuli yang tidak mendengarnya atau buta yang tidak melihatnya, tetapi mereka mendengar, melihat, dan meyakininya.

Ibnu Abbas berkata: Mereka tidak berada padanya sebagai orang tuli dan buta, tetapi mereka tunduk dan khusyuk.

Al-Kalbi berkata: Mereka jatuh (bersujud) padanya sebagai orang-orang yang mendengar dan melihat.

Al-Farra’ berkata: Ketika Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka tidak tetap dalam keadaan sebelumnya, seolah-olah mereka tidak mendengarnya — inilah yang disebut “khurur” (jatuh), dan aku mendengar orang Arab berkata: ‘Dia duduk mencaciku’ sebagaimana dikatakan ‘Dia berdiri mencaciku’ atau ‘Dia datang mencaciku’. Makna dari ayat itu sebagaimana disebutkan: mereka tidak menjadi tuli dan buta terhadapnya.

Az-Zajjaj berkata: Maknanya adalah, ketika ayat-ayat dibacakan kepada mereka, mereka jatuh bersujud dan menangis, dalam keadaan mendengar dan melihat terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka.

Ibnu Qutaibah berkata: Yakni mereka tidak bersikap acuh seakan-akan mereka tuli dan tidak mendengarnya atau buta dan tidak melihatnya.


Saya (penyusun) berkata:
Di sini terdapat dua hal: penyebutan tentang “jatuh” (الخرور), dan penegasan penafian terhadap sifat tuli dan buta.

Apakah yang dimaksud dengan “jatuh” itu adalah jatuhnya hati (yakni ketundukan batin), ataukah jatuhnya badan untuk bersujud?

Dan apakah maknanya: bahwa kejatuhan mereka bukan karena tuli dan buta, namun mereka justru menjatuhkan diri secara hati dalam bentuk ketundukan atau secara fisik dalam bentuk sujud?

Ataukah tidak ada makna “jatuh” dalam arti sebenarnya, tetapi itu hanya kiasan dari sikap duduk dan mendengarkan?

Diterjemahkan dari Al-Fawa'id oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 


Read more...

Mengingkari Kemungkaran dan Syarat-Syaratnya


Contoh Pertama:

Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menetapkan kewajiban mengingkari kemungkaran bagi umatnya, agar dengan pengingkaran itu terwujud kebaikan (ma’ruf) yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Namun, jika pengingkaran terhadap kemungkaran justru menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dan lebih dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, maka pengingkaran tersebut tidak dibenarkan, meskipun perbuatan yang diingkari itu sendiri memang dibenci oleh Allah dan pelakunya dimurkai oleh-Nya.

Contohnya adalah pengingkaran terhadap para raja dan penguasa dengan cara memberontak; hal ini menjadi sumber dari segala keburukan dan fitnah hingga akhir zaman. Para sahabat pernah meminta izin kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- untuk memerangi para pemimpin yang mengakhirkan shalat dari waktunya, mereka berkata: “Tidakkah kami perangi mereka?” Maka beliau menjawab: “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat.”

Beliau juga bersabda: “Barang siapa melihat dari pemimpinnya sesuatu yang tidak disukainya, hendaklah ia bersabar dan janganlah mencabut tangan dari ketaatan kepadanya.”

Barang siapa merenungi apa yang terjadi dalam Islam berupa fitnah-fitnah besar maupun kecil, ia akan mendapati bahwa semuanya terjadi karena menyia-nyiakan prinsip ini (yaitu bersabar atas kemungkaran) dan tidak bersabar terhadap suatu kemungkaran, sehingga berusaha menghilangkannya, namun malah menimbulkan sesuatu yang lebih besar dari kemungkaran itu sendiri.

Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dahulu di Makkah melihat kemungkaran-kemungkaran besar, namun beliau tidak mampu mengubahnya. Bahkan ketika Allah membuka kota Makkah dan menjadikannya sebagai negeri Islam, beliau berniat untuk merombak Ka’bah dan mengembalikannya sesuai dengan pondasi Nabi Ibrahim, namun beliau tidak melakukannya—padahal mampu—karena khawatir akan muncul sesuatu yang lebih besar akibat dari hal itu, yakni ketidakmampuan Quraisy untuk menerima perubahan tersebut, karena mereka baru saja masuk Islam dan belum lama meninggalkan kekufuran.

Karena itulah beliau tidak mengizinkan pengingkaran terhadap para penguasa dengan tangan, karena hal itu akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar, sebagaimana kenyataannya yang telah terjadi.


Diterjemahkan dari I'lamul Muwaqqi'in (3/12) oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 


Read more...

Syariat Dibangun atas Dasar Maslahat bagi Para Hamba

Ini adalah pembahasan yang sangat penting, di mana banyak kekeliruan besar terhadap syariat terjadi karena kebodohan terhadap prinsip ini. Akibatnya, muncul kesulitan, beban yang tak sanggup dipikul, serta anggapan bahwa syariat datang membawa sesuatu yang berat dan tak mampu dilaksanakan — padahal syariat yang agung dan bercahaya ini tidak mungkin datang membawa hal semacam itu.

Hakikatnya, dasar dan fondasi syariat adalah:

Kebijaksanaan (hikmah),

Keadilan,

Rahmat, dan

Maslahat bagi manusia dalam urusan dunia dan akhirat.


Sehingga, setiap hukum atau fatwa yang keluar dari prinsip-prinsip tersebut — menuju kezaliman, kekerasan, kerusakan, atau kebodohan — maka itu bukan dari syariat, walau dimasukkan ke dalamnya melalui takwil (penafsiran).

Syariat adalah:

Keadilan Allah di antara hamba-Nya,

Rahmat-Nya kepada makhluk-Nya,

Cahaya dan petunjuk-Nya yang menunjukkan kebenaran dan jalan keselamatan,

Obat yang menyembuhkan,

Jalan lurus yang membawa keselamatan.


Ia adalah:

Kesenangan bagi mata yang melihatnya,

Kehidupan bagi hati yang menghayatinya,

Kenikmatan bagi ruh yang mendalaminya.


Melalui syariat:

Hidup menjadi hidup yang sejati,

Tercapai seluruh kebaikan,

Terhindar dari segala kekurangan.


Seandainya syariat ini diabaikan seluruhnya, maka dunia akan hancur dan realitas akan lenyap. Maka syariat yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah tiang penopang dunia, pusat keberuntungan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Diterjemahkan dari I'lamul Muwaqqi'in oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 


Read more...

Sunday, April 13, 2025

Hal-hal Pokok yang Dapat Digunakan untuk Mengenali Bahwa Suatu Hadis Adalah Maudhu‘ (Palsu) #2

Fasal


Di antaranya (tanda hadis palsu) adalah: rendahnya mutu isi hadis dan isinya yang terkesan mengada-ada atau menjadi bahan olok-olok, seperti hadis:

> "Seandainya beras itu adalah seorang lelaki, maka ia adalah seorang yang penyabar. Tidaklah seorang yang lapar memakannya, kecuali ia akan kenyang."
Hadis ini termasuk ucapan yang rendah dan tidak bermutu, yang seharusnya dijaga oleh orang-orang mulia—apalagi disandarkan kepada Pemimpin para nabi.



Dan (juga) hadis:

> "Kacang kenari adalah obat, keju adalah penyakit, tetapi jika keduanya bercampur dalam perut, maka menjadi penyembuh."
Semoga laknat Allah menimpa orang yang mengada-adakan hadis ini atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.



Dan hadis:

> "Seandainya manusia mengetahui keutamaan biji fenugreek (hilbah), niscaya mereka akan membelinya seharga emas."



Serta hadis:

> "Hadirkanlah sayur-sayuran hijau (daun-daunan) di atas meja makan kalian, karena itu dapat mengusir setan."

Dan (termasuk hadis yang bermasalah) adalah hadis:

> "Tidak ada satu daun pun dari tanaman hindiba (sejenis sayuran hijau) kecuali padanya terdapat setetes air dari surga."



Dan hadis:

> "Seburuk-buruk sayuran adalah selada air (jarjir). Barang siapa memakannya di malam hari, maka ia akan bermalam dalam keadaan jiwanya bergolak, dan urat kusta akan memukul hidungnya. Makanlah ia di siang hari, dan tinggalkanlah ia di malam hari."



Dan hadis:

> "Keutamaan minyak bunga violet dibandingkan minyak-minyak lainnya adalah seperti keutamaan Ahlul Bait atas seluruh makhluk."

Dan (termasuk hadis yang tidak sahih) adalah hadis:

> "Keutamaan daun bawang (kurrats) dibandingkan sayuran lainnya seperti keutamaan roti atas biji-bijian."



Dan hadis:

> "Jamur dan seledri adalah makanan Nabi Ilyas dan Nabi Ilyasa'."



Dan hadis:

> "Sesungguhnya hati merasakan kegembiraan ketika memakan daging."



Dan hadis:

> "Tidak ada satu buah delima pun kecuali di dalamnya ada satu biji yang berasal dari delima surga."



Dan hadis:

> "Musim semi umatku adalah buah anggur dan semangka."



Dan hadis:

> "Biasakanlah kalian memakan anggur bersama roti secara terus-menerus."


Dan (termasuk hadis yang tidak sahih) adalah hadis:

> "Hendaklah kalian mengonsumsi garam, karena ia merupakan penyembuh dari tujuh puluh macam penyakit."



Dan hadis:

> "Barang siapa memakan satu butir kacang fūl (kacang fava) beserta kulitnya, maka Allah akan mengeluarkan dari dirinya penyakit sebesar itu pula."
Semoga laknat Allah menimpa orang yang mengada-adakan hadis ini.



Dan hadis:

> "Jangan mencela ayam jantan, karena ia adalah temanku. Jika Bani Adam mengetahui apa yang terkandung dalam suaranya, niscaya mereka akan membeli bulu dan dagingnya dengan emas."



Dan hadis:

> "Barang siapa memelihara ayam jantan putih, maka setan dan sihir tidak akan mendekatinya."



Dan hadis:

> "Sesungguhnya Allah memiliki seekor ayam jantan yang lehernya melengkung di bawah ‘Arsy, sementara kakinya berada di batas-batas bumi."


Singkatnya, semua hadis tentang ayam jantan adalah dusta, kecuali satu hadis saja, yaitu:

> "Jika kalian mendengar suara kokok ayam jantan, maka mintalah karunia kepada Allah, karena sesungguhnya ia telah melihat malaikat."



.... bersambung ke #3

Diterjemahkan dari Al-Manar Al-Munif oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 


Read more...

Monday, April 7, 2025

Keadaan Manusia terhadap Was-was Setan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Sudah pasti bahwa kebanyakan manusia mengalami was-was (bisikan) dari setan.


Maka di antara mereka ada yang menuruti was-was tersebut hingga menjadi kafir atau munafik. 

Dan di antara mereka ada yang hatinya telah tenggelam dalam syahwat dan dosa, sehingga tidak merasakan was-was itu kecuali ketika ia mulai mencari agama. Maka ia akan menjadi seorang mukmin atau justru menjadi munafik. 

Oleh karena itu, seringkali was-was muncul saat seseorang sedang sholat, yang tidak muncul ketika ia tidak sholat. Karena setan akan lebih banyak mengganggu seorang hamba ketika ia ingin kembali kepada Rabb-nya, mendekat kepada-Nya, dan menyambung hubungan dengan-Nya. 

Maka karena itu, orang yang sholat lebih banyak mengalami was-was dibandingkan yang tidak sholat. 
Dan para ulama serta ahli agama mengalami was-was lebih banyak dibandingkan orang awam. 

Oleh karena itu pula, ditemukan pada para penuntut ilmu dan ahli ibadah berbagai macam was-was dan syubhat (kerancuan), yang tidak dialami oleh orang lain, karena mereka menempuh jalan syar'i dan manhaj (metode) Allah, bukan mengikuti hawa nafsu dalam kelalaian dari mengingat Rabb-nya. 

Dan inilah yang diinginkan oleh setan, berbeda halnya dengan mereka yang sungguh-sungguh menghadap Rabb-nya dengan ilmu dan ibadah." 

 Majmu' al-Fatawa (7/282)


Read more...

Saturday, April 5, 2025

Dasar Segala Kebaikan Adalah Engkau Mengetahui Bahwa Apa yang Allah Kehendaki Pasti Terjadi, dan Apa yang Tidak Dia Kehendaki Tidak Akan Terjadi



Kaidah:
Dasar segala kebaikan adalah engkau mengetahui bahwa apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi. Maka yakinilah bahwa kebaikan-kebaikan adalah bagian dari nikmat-Nya, maka bersyukurlah atasnya dan berdoalah agar Dia tidak mencabutnya darimu. Dan bahwa kejahatan-kejahatan adalah bagian dari kehinaan dan hukuman dari-Nya, maka mohonlah kepada-Nya agar Dia menghalangimu darinya, dan janganlah Dia menyerahkanmu kepada dirimu sendiri dalam berbuat kebaikan maupun meninggalkan keburukan.

Telah sepakat para arifin bahwa segala kebaikan berasal dari taufik Allah kepada hamba-Nya, dan segala keburukan berasal dari ditinggalkannya hamba oleh Allah. Mereka juga sepakat bahwa taufik adalah ketika Allah tidak menyerahkan hamba pada dirinya sendiri, dan bahwa kehinaan adalah ketika Allah membiarkan hamba dengan dirinya sendiri. Jika setiap kebaikan berakar dari taufik—dan itu sepenuhnya ada di tangan Allah, bukan di tangan hamba—maka kuncinya adalah doa, merasa butuh, tulus dalam bergantung dan berharap serta takut kepada-Nya. Maka kapan saja seorang hamba diberi kunci ini, berarti Allah menghendaki untuk membukakan pintu kebaikan baginya. Dan kapan saja hamba disesatkan dari kunci ini, maka pintu kebaikan tetap tertutup baginya.

Amirul Mukminin Umar bin Khattab berkata:
"Aku tidak memikul kekhawatiran tentang terkabulnya doa, tetapi aku memikirkan tentang doanya itu sendiri. Maka jika aku diberi ilham untuk berdoa, maka jawabannya telah bersamanya."

Taufik dan pertolongan Allah datang sesuai dengan niat, tekad, keinginan, dan semangat hamba. Pertolongan Allah turun kepada para hamba sesuai kadar semangat, keteguhan, keinginan, dan rasa takut mereka, sedangkan kehinaan turun sesuai dengan kadar itu juga. Allah Mahabijaksana dan Maha Mengetahui, menempatkan taufik dan kehinaan pada tempat yang tepat. Tidak ada yang tertimpa keburukan kecuali karena menyia-nyiakan rasa syukur dan meninggalkan rasa butuh serta doa. Dan tidak ada yang meraih kemenangan kecuali dengan kehendak Allah dan pertolongan-Nya melalui syukur, rasa butuh yang tulus, dan doa. Pokok dari semua itu adalah sabar, karena sabar bagi iman seperti kepala bagi tubuh. Jika kepala dipotong, maka tidak ada kehidupan bagi tubuh.

Tidak ada hukuman yang lebih berat bagi seorang hamba daripada kerasnya hati dan jauh dari Allah.
Neraka diciptakan untuk meleburkan hati yang keras. Hati yang paling jauh dari Allah adalah hati yang keras. Jika hati keras, maka mata pun menjadi kering (tidak menangis). Kekerasan hati berasal dari empat hal yang melampaui kebutuhan, yaitu: makan, tidur, bicara, dan pergaulan.

Sebagaimana tubuh yang sakit tak berguna makanan dan minuman, begitu pula hati yang sakit karena syahwat tidak bermanfaat nasihat. Siapa yang ingin hatinya bening, hendaklah ia mengutamakan Allah atas syahwatnya. Hati yang terikat pada syahwat terhalangi dari Allah sesuai kadar keterikatannya pada syahwat.

Hati adalah wadah Allah di bumi-Nya, maka yang paling dicintai-Nya adalah yang paling lembut, paling keras (tegar dalam kebenaran), dan paling jernih. Mereka yang menyibukkan hati mereka dengan dunia, jika saja mereka sibukkan dengan Allah dan akhirat, niscaya hati mereka akan berkelana dalam makna firman-Nya, ayat-ayat-Nya yang terlihat, dan kembali kepada mereka dengan hikmah-hikmah menakjubkan dan faedah-faedah indah.

Jika hati diberi makan dengan zikir, disirami dengan tafakkur, dan dibersihkan dari penyakit, maka ia akan melihat keajaiban dan diilhami hikmah. Tidak setiap orang yang mengaku memiliki makrifat dan hikmah benar-benar memilikinya. Orang-orang yang benar-benar memiliki makrifat dan hikmah adalah mereka yang menghidupkan hati mereka dengan mematikan hawa nafsu, sedangkan yang membunuh hati adalah mereka yang menghidupkan hawa nafsunya. Makrifat dan hikmah hanya sekadar ucapan di lisan mereka.

Kerusakan hati datang dari rasa aman (tertipu) dan kelalaian. Kemakmurannya berasal dari rasa takut dan zikir. Jika hati zuhud dari hidangan dunia, maka ia akan duduk di atas hidangan akhirat bersama orang-orang yang diundang. Tapi jika ia ridha pada hidangan dunia, ia akan luput dari hidangan akhirat.

Kerinduan kepada Allah dan perjumpaan dengan-Nya adalah angin sejuk yang meniup hati, menenangkan dari panasnya dunia. Siapa yang menempatkan hatinya di sisi Rabb-nya, ia akan merasa tenang dan nyaman. Siapa yang melepaskannya pada manusia, ia akan gelisah dan tak tenang.

Cinta kepada Allah tidak akan masuk ke dalam hati yang dipenuhi cinta dunia, kecuali seperti unta yang masuk ke lubang jarum. Jika Allah mencintai seorang hamba, Dia akan memilihnya untuk diri-Nya, menjadikannya sibuk dengan-Nya, lisannya sibuk dengan zikir, anggota tubuhnya dengan ibadah.

Hati bisa sakit sebagaimana tubuh sakit, dan obatnya adalah taubat dan menjauhi maksiat.
Hati bisa berkarat sebagaimana cermin berkarat, dan pengkilapnya adalah zikir. Hati bisa telanjang sebagaimana tubuh, dan perhiasannya adalah takwa. Hati bisa lapar dan haus sebagaimana tubuh, dan makanannya adalah makrifat, cinta, tawakal, kembali pada Allah, dan ibadah.

Jangan lalai terhadap Dzat yang telah menentukan ajalmu dan batas hidupmu, serta dari segala sesuatu selain-Nya, karena kamu pasti membutuhkan-Nya.

Siapa yang meninggalkan perencanaan dan perhitungan untuk mencari dunia, kekuasaan, atau menyelamatkan diri dari musuh, dan bersandar sepenuhnya kepada Allah, percaya pada pilihan-Nya, maka ia akan tenang dan ridha. Ia akan bebas dari kecemasan, kesedihan, dan tekanan. Sebaliknya, siapa yang memilih mengatur hidupnya sendiri, ia akan jatuh ke dalam kesempitan, kelelahan, dan keburukan.

Tidak ada hidup yang tenang, tidak ada hati yang bahagia, tidak ada amal yang tumbuh, tidak ada harapan yang kokoh, dan tidak ada ketenangan yang abadi, kecuali dengan berserah diri pada Allah.

Allah memudahkan jalan menuju-Nya, namun Dia menghalangi manusia dengan perencanaan mereka sendiri. Jika mereka ridha dengan perencanaan Allah, tenang dengan pilihan-Nya, maka hijab itu akan tersingkap. Hati akan sampai kepada-Nya dan merasa tenteram.

Orang yang bertawakal tidak meminta kepada selain Allah, tidak menolak keputusan-Nya, dan tidak menyimpan sesuatu dari-Nya. Siapa yang sibuk dengan dirinya, maka ia akan sibuk dari selainnya. Tapi siapa yang sibuk dengan Rabb-nya, ia akan sibuk dari dirinya sendiri.

Ikhlas adalah sesuatu yang tidak diketahui malaikat untuk dicatat, tidak diketahui musuh untuk dirusak, dan tidak membuat pemiliknya bangga hingga ia membatalkannya.

Ridha adalah ketenangan hati dalam arus takdir.
Manusia tersiksa di dunia sesuai kadar keterikatan hati mereka pada dunia.

Hati memiliki enam tempat yang ia jelajahi, tiga rendah dan tiga tinggi:

Yang rendah: dunia yang menghiasinya, nafsu yang membisikinya, musuh yang menggodanya.

Yang tinggi: ilmu yang membimbingnya, akal yang mengarahkannya, dan Ilah (Tuhan) yang ia sembah.


Sumber segala kerusakan adalah mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan.
Mengikuti hawa nafsu membutakan dari kebenaran, dan panjang angan-angan membuat lupa pada akhirat.

Tak akan mencium bau kejujuran orang yang suka berdusta kepada dirinya atau memanipulasi orang lain.
Jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, Dia menjadikannya sadar akan dosanya, menahan diri dari membicarakan dosa orang lain, dermawan dengan apa yang dimilikinya, tidak rakus terhadap milik orang lain, dan sabar terhadap gangguan orang lain. Jika Allah menghendaki keburukan padanya, maka sebaliknya terjadi.

Semangat yang tinggi selalu berputar di tiga hal:

1. Mengenali sifat-sifat Allah yang tinggi — maka semakin mengenal, semakin besar cinta dan keinginannya.


2. Mengingat karunia Allah — maka semakin besar syukur dan ketaatannya.


3. Mengingat dosa — maka semakin besar taubat dan rasa takutnya.



Jika semangat itu bergantung pada selain tiga hal ini, maka ia akan berkeliaran di lembah bisikan dan khayalan.

Siapa yang mencintai dunia, maka dunia akan melihat pada nilai orang tersebut, dan menjadikannya pelayan dan budaknya. Tapi siapa yang berpaling dari dunia, maka dunia melihat kebesarannya, melayaninya, dan tunduk kepadanya.

Perjalanan (spiritual) hanya bisa diselesaikan dengan terus berjalan di jalan yang lurus dan melalui malam.
Jika seorang musafir menyimpang dari jalan dan tidur sepanjang malam, maka kapan ia akan sampai ke tujuannya?


---

Diterjemahkan dari Al-Fawa'id oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 



Read more...

Tuesday, April 1, 2025

Hal-hal Pokok yang Dapat Digunakan untuk Mengenali Bahwa Suatu Hadis Adalah Maudhu‘ (Palsu) #1.

Bab


Kami ingin memberi peringatan tentang hal-hal pokok yang dapat digunakan untuk mengenali bahwa suatu hadis adalah maudhu‘ (palsu).

Di antaranya adalah: hadis tersebut memuat hal-hal yang sangat berlebihan, yang tidak mungkin diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal seperti ini sangat banyak.

Contohnya seperti dalam hadis palsu berikut:
"Barangsiapa yang mengucapkan La ilaha illallah, maka Allah menciptakan dari kalimat itu seekor burung yang memiliki tujuh puluh ribu lidah, setiap lidah memiliki tujuh puluh ribu bahasa yang semuanya memohonkan ampunan untuknya."

Atau hadis lain yang berbunyi:
"Barangsiapa melakukan ini dan itu, maka ia akan diberi di surga tujuh puluh ribu kota, di setiap kota ada tujuh puluh ribu istana, dan di setiap istana ada tujuh puluh ribu bidadari."

Dan contoh-contoh semacam ini yang mustahil keluar dari lisan Rasul.

Orang yang membuat hadis seperti ini pasti tidak lepas dari dua kemungkinan:

1. Ia adalah orang yang sangat bodoh dan dungu.


2. Atau ia adalah seorang zindiq (munafik/kafir yang pura-pura Islam) yang sengaja ingin merendahkan dan memperolok Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dan meskipun sebagian orang menyatakan sanadnya sahih, namun akal sehat menjadi saksi bahwa hadis itu palsu. Karena kita melihat sendiri bahwa bersin dan kebohongan bisa terjadi secara bersamaan. Seandainya seratus ribu orang bersin ketika mendengar sebuah hadis yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hal itu tidak bisa dijadikan bukti kebenaran hadis tersebut hanya karena mereka bersin. Demikian juga, jika mereka bersin ketika mendengar kesaksian palsu, hal itu tidak menjadikannya benar.

Demikian pula hadis: “Hendaklah kalian makan lentil, karena ia adalah makanan yang penuh berkah, melembutkan hati, dan di dalamnya telah disucikan tujuh puluh nabi.”

Abdullah bin al-Mubarak pernah ditanya tentang hadis ini, dan dikatakan kepadanya bahwa hadis tersebut diriwayatkan darinya. Ia menjawab: “Dariku?!”

Kemuliaan paling tinggi dari lentil hanyalah bahwa ia adalah makanan kesukaan orang Yahudi. Seandainya benar ada satu nabi yang disucikan karena lentil, tentu ia akan menjadi obat penyembuh segala penyakit. Lalu bagaimana mungkin ada tujuh puluh nabi disucikan karenanya?! Padahal Allah Ta‘ala menyebut lentil sebagai makanan yang lebih rendah (adnā) dalam ayat-Nya [Al-Baqarah: 61] dibandingkan manna dan salwa, dan menyandingkannya dengan bawang putih dan bawang merah. Apakah engkau menyangka bahwa para nabi Bani Israil disucikan karena makanan yang seperti ini?

Dan di antara mudarat (bahaya) yang terdapat pada lentil adalah: dapat memicu gangguan empedu hitam (sawda’), menyebabkan perut kembung, angin yang keras, sesak napas, darah kotor, dan berbagai macam gangguan fisik lainnya yang dapat dirasakan secara nyata.

Kemungkinan besar hadis ini dibuat oleh orang-orang yang memilih lentil dibandingkan manna dan salwa, atau orang-orang semisal mereka.

Termasuk pula hadis palsu lainnya seperti:
“Sesungguhnya Allah menciptakan langit dan bumi pada hari ‘Asyura.”

Dan hadis:
“Minumlah ketika sedang makan, maka kalian akan merasa kenyang.”

Padahal kenyataannya, minum saat makan justru merusak makanan, mengganggu proses pencernaannya di lambung, dan menghalangi kematangan makanan secara sempurna.

Contoh lainnya adalah hadis:
“Orang yang paling banyak berdusta adalah para tukang pewarna dan tukang emas.”

Al-Hasan (al-Basri) menolak hadis ini, karena kenyataannya kebohongan pada selain mereka jauh lebih banyak dibandingkan pada para tukang pewarna dan tukang emas. Seperti kaum Rafidhah—mereka adalah makhluk Allah yang paling banyak berdusta—para dukun, orang-orang tarekat sesat, dan para ahli nujum (peramal).

Sebagian orang menakwilkan hadis ini dengan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “tukang pewarna” (ash-shabbāgh) adalah orang yang menambahkan lafaz-lafaz dalam hadis untuk memperindahnya, dan “tukang emas” (ash-shawwāgh) adalah orang yang merangkai (membuat-buat) hadis yang tidak memiliki asal-usul.

Namun ini hanyalah takwil yang dingin (dipaksakan) untuk membela hadis yang batil.

.... bersambung #2

Diterjemahkan dari Manarul Munif oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 





Read more...

Monday, March 31, 2025

Empat Golongan Manusia dalam Menyikapi Hikmah dan Kekuasaan Allah


Nama Allah Subhanahu wa Ta'ala yang "Al-Hakim" (Yang Maha Bijaksana) mencakup hikmah-Nya dalam penciptaan dan perintah-Nya, baik dalam kehendak syar’i (agama) maupun kehendak kauni (takdir). Dia Maha Bijaksana dalam semua ciptaan-Nya, dan Maha Bijaksana dalam semua yang Dia perintahkan.

Manusia dalam hal ini terbagi menjadi empat golongan:

Golongan pertama: Mereka yang mengingkari kekuasaan dan hikmah-Nya. Mereka tidak menetapkan bahwa Allah memiliki kekuasaan maupun kebijaksanaan, seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang menafikan bahwa Allah adalah pelaku yang memiliki kehendak. Mereka meyakini bahwa alam semesta muncul dari-Nya melalui keharusan (keharusan zat), bukan melalui kekuasaan dan kehendak. Mereka menyebut hikmah yang ada dengan istilah "perhatian ilahi", namun ini sangat kontradiktif, karena tidak mungkin ada yang disebut bijaksana tanpa memiliki kemampuan dan kehendak. Mereka menamakan segala kebaikan dan kemanfaatan di dunia ini sebagai “perhatian ilahi”, namun tidak mengaitkannya dengan kehendak ataupun hikmah Tuhan.

Golongan ini, sebagaimana mereka mendustakan seluruh rasul dan kitab, juga bertentangan dengan akal sehat dan fitrah. Mereka menisbatkan kepada Tuhan kekurangan yang paling besar, dan menjadikan setiap makhluk yang memiliki kemampuan, kehendak, dan pilihan lebih sempurna daripada Tuhan mereka, siapa pun makhluk itu. Bahkan, penafian mereka terhadap kekuasaan, kehendak, dan perbuatan Allah jauh lebih buruk daripada syirik para penyembah berhala, dan lebih buruk daripada ucapan kaum Nasrani yang mengatakan bahwa Allah adalah “salah satu dari tiga” dan memiliki istri dan anak – Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan. Sebab kaum Nasrani masih menetapkan bagi Allah kekuasaan, kehendak, dan perbuatan yang bersifat pilihan, serta hikmah – meskipun mereka menyifati-Nya dengan hal-hal yang tidak layak. Adapun golongan yang pertama tadi, mereka menafikan rububiyyah dan kekuasaan-Nya sepenuhnya, serta menetapkan bagi-Nya nama-nama tanpa hakikat dan makna.

Golongan kedua: Mereka mengakui kekuasaan Allah dan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya yang menyeluruh terhadap semua makhluk, namun mereka mengingkari hikmah-Nya serta tujuan-tujuan mulia dari ciptaan-Nya yang menjadi maksud dari perbuatan dan perintah-Nya. Mereka menetapkan takdir tetapi menolak hikmah. Golongan ini adalah mereka yang menafikan adanya ta’lil (penyebab), sebab, kekuatan, dan tabiat dalam makhluk. Menurut mereka, Allah tidak berbuat karena sesuatu atau demi sesuatu. Dalam pandangan mereka, tidak ada huruf lām (لـ) yang menunjukkan sebab atau tujuan dalam Al-Qur’an, juga tidak ada huruf bā’ (بـ) yang menunjukkan sebab. Setiap lām yang secara lahir menunjukkan tujuan, mereka tafsirkan sebagai lām akibat, dan setiap bā’ yang menunjukkan penyebab, mereka tafsirkan sebagai bā’ penyertaan.

Golongan ini kemudian diserang oleh para penolak takdir atas dasar penafian mereka terhadap hikmah, ta’lil, dan sebab-sebab. Para penolak takdir ini memanfaatkan cela tersebut dan memperbesar aib mereka. Demi Allah, sungguh mereka benar dalam banyak hal yang mereka jadikan celaan, karena penafian terhadap hikmah, ta’lil, dan sebab-sebab memang membawa konsekuensi yang sangat buruk.

“Komitmen terhadap pendapat tersebut merupakan bentuk keras kepala yang nyata menurut akal sehat kebanyakan manusia.”

Golongan ketiga: Mereka mengakui hikmah Allah, menetapkan adanya sebab-sebab, tujuan, dan maksud dalam perbuatan serta hukum-Nya, namun mereka mengingkari kesempurnaan kekuasaan-Nya. Mereka menafikan bahwa Allah memiliki kekuasaan terhadap sebagian besar alam semesta, khususnya yang paling mulia di dalamnya: amal perbuatan para malaikat, jin, dan manusia serta ketaatan mereka. Menurut mereka, semua itu tidak berada dalam kekuasaan Allah, dan Allah tidak disifati memiliki kekuasaan atasnya, tidak termasuk dalam kehendak-Nya maupun dalam kerajaan-Nya. Mereka berpendapat bahwa tidak ada dalam kekuasaan Allah untuk menjadikan seseorang beriman atau seorang yang shalat menjadi orang yang mendirikan shalat, atau menjadikan seseorang memperoleh taufik—bahkan menurut mereka, manusialah yang menciptakan dirinya sendiri dalam keadaan seperti itu. Mereka juga meyakini bahwa amal perbuatan makhluk, baik dari malaikat, jin, maupun manusia, terjadi tanpa kehendak dan pilihan Allah—Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan.

Golongan ini kemudian dihantam oleh para penolak hikmah, tujuan, dan sebab, yang menyerang mereka dari berbagai arah, mencela dan menampakkan kontradiksi mereka. Mereka melontarkan berbagai celaan dan tuduhan berat terhadap golongan ini. Sebab, penafian terhadap kekuasaan Allah atas sebagian kerajaan-Nya membawa konsekuensi yang sangat buruk, tercela, dan merusak akidah. Mempertahankan keyakinan ini adalah bentuk pembangkangan nyata di hadapan akal sehat manusia kebanyakan. Namun jika mereka menolak untuk berkomitmen terhadap pendapat itu, maka berarti mereka berada dalam kontradiksi yang jelas. Maka akhirnya, mereka berada dalam posisi yang terombang-ambing antara dua hal: kontradiksi (yang itu adalah kondisi terbaik mereka) atau komitmen terhadap keyakinan-keyakinan berbahaya yang bisa mengeluarkan seseorang dari keimanan—sebagaimana halnya dengan para penolak hikmah, sebab, dan tujuan dari perbuatan Allah.

Maka Allah memberi petunjuk kepada golongan keempat terhadap kebenaran yang diperselisihkan oleh golongan-golongan sebelumnya, dengan izin-Nya:
“Dan Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqarah: 213)

Mereka beriman kepada seluruh isi kitab (wahyu), menerima seluruh kebenaran, menyetujui setiap golongan atas bagian kebenaran yang mereka miliki, dan menolak bagian kebatilan dari setiap golongan. Mereka meyakini bahwa seluruh ciptaan dan perintah Allah terjadi dengan kekuasaan dan syariat-Nya, dan bahwa Dialah yang Maha Terpuji dalam ciptaan dan perintah-Nya. Mereka meyakini bahwa Dia memiliki hikmah yang mendalam, nikmat yang sempurna, dan bahwa Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada satu pun dari hal-hal yang ada—baik zat, perbuatan, maupun sifat-sifatnya—yang keluar dari kekuasaan-Nya, sebagaimana tidak ada yang luput dari ilmu-Nya. Semua yang diketahui oleh ilmu-Nya, maka juga termasuk dalam kekuasaan dan kehendak-Nya.

Mereka juga meyakini bahwa Allah memiliki hujjah (argumen yang kuat) terhadap makhluk-Nya, dan bahwa tidak ada seorang pun yang memiliki hujjah terhadap Allah, melainkan Allahlah yang memiliki hujjah yang sempurna. Andaikan Allah mengazab seluruh penduduk langit dan bumi, niscaya Dia mengazab mereka tanpa berlaku zalim kepada mereka. Bahkan, azab-Nya merupakan bentuk keadilan dan hikmah, bukan semata-mata karena kehendak-Nya yang tanpa sebab dan hikmah, sebagaimana yang diyakini oleh kaum Jabariyyah.

Mereka tidak menjadikan takdir sebagai alasan bagi diri mereka maupun bagi orang lain. Mereka beriman kepada takdir tetapi tidak menjadikannya sebagai hujjah, dan mereka mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menganugerahkan kepada mereka ketaatan, dan bahwa ketaatan itu adalah bagian dari nikmat, karunia, dan kebaikan Allah kepada mereka. Sedangkan maksiat adalah berasal dari jiwa mereka sendiri yang zalim.
Mereka (golongan keempat) tidak seperti orang-orang yang jahil, yang menyandarkan dosa kepada takdir. Mereka mengetahui bahwa para pelaku maksiatlah yang sebenarnya melakukan dosa itu sendiri dan mereka sendirilah yang melakukannya. Mereka tidak menjadikan dosa sebagai dalih atas qadha dan qadar, meskipun mereka mengetahui bahwa ketetapan dan takdir Allah mencakup seluruh yang ada di alam ini—baik kebaikan maupun keburukan, ketaatan maupun kemaksiatan, kekufuran maupun keimanan. Mereka meyakini bahwa kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala meliputi semuanya sebagaimana ilmu-Nya meliputinya.

Mereka meyakini bahwa jika Allah menghendaki agar maksiat tidak terjadi, niscaya maksiat tidak akan terjadi. Dan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala terlalu mulia dan agung untuk didurhakai secara paksa. Sedangkan para hamba terlalu lemah dan hina untuk bisa memaksakan maksiat terhadap-Nya. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan segala sesuatu yang ada adalah atas kehendak-Nya. Apa yang tidak Dia kehendaki, tidak akan terjadi. Dan segala yang tidak terjadi, tidak terjadi karena Dia tidak menghendakinya. Maka, milik-Nya-lah penciptaan dan perintah, milik-Nya-lah kerajaan dan segala pujian. Dia memiliki kekuasaan yang sempurna dan hikmah yang mendalam.

Maka golongan ini adalah orang-orang yang memiliki pandangan yang benar dan sempurna.
Sedangkan golongan pertama adalah orang-orang yang buta sepenuhnya, dan golongan kedua serta ketiga adalah orang-orang yang setengah buta (buta sebelah). Masing-masing dari dua golongan tersebut memiliki satu mata yang melihat dan satu mata yang buta. Namun, kebutaan pada satu mata itu menyebar ke mata yang sehat sehingga membuatnya buta juga, atau hampir saja buta.

Dan tidaklah aneh jika kata-kata ini diulang-ulang oleh orang yang mengetahui betapa pentingnya pembahasan ini, dan betapa sangat dibutuhkan oleh jiwa manusia. Meskipun diulang berkali-kali, tetap saja hal ini berada dalam level kebutuhan yang mendesak.

Dan hanya kepada Allah-lah tempat memohon pertolongan.

Diterjemahkan dari Thariq Al-Hijratain oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 


Read more...

Sunday, March 30, 2025

Tentang Tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Dua Hari Raya

Bab: Tentang Tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Dua Hari Raya


--

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) di lapangan terbuka (‘musalla’), yaitu tempat di pintu timur kota Madinah yang biasa digunakan untuk meletakkan tandu jamaah haji. Beliau hanya sekali melaksanakan shalat Id di masjidnya, yaitu ketika turun hujan, sehingga beliau shalat di dalam masjid. Itu pun jika hadisnya sahih, dan hadis tersebut terdapat dalam Sunan Abu Dawud dan Ibnu Majah. Namun, kebiasaan beliau adalah selalu melaksanakan shalat Id di lapangan terbuka.
Beliau mengenakan pakaian terbaiknya saat keluar menuju shalat Id. Beliau memiliki satu set pakaian khusus untuk hari raya dan hari Jumat. Pernah beliau memakai dua kain hijau, dan dalam kesempatan lain memakai kain bergaris merah. Namun kain merah ini tidak berwarna merah polos sebagaimana dipahami sebagian orang. Jika merah polos, maka tidak dianggap sebagai ‘burdah’ (selendang), melainkan kain bergaris merah seperti kain dari Yaman. Maka disebut merah karena adanya garis-garis merah di dalamnya.
Telah sahih dari beliau (tanpa pertentangan) adanya larangan mengenakan pakaian yang dicelup dengan ‘mu‘ashfar’ (pewarna merah kekuningan) atau pakaian merah. Beliau memerintahkan Abdullah bin ‘Amr untuk membakar dua kain merah yang ia kenakan. Maka tidak mungkin beliau sangat membenci warna merah dengan kebencian yang kuat lalu memakainya sendiri. Maka dari dalil yang ada menunjukkan bahwa mengenakan warna merah itu haram atau paling tidak sangat dimakruhkan.
Pada hari raya Idul Fitri, beliau makan kurma terlebih dahulu sebelum keluar menuju tempat shalat, dan beliau memakannya dengan jumlah ganjil. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan apapun sampai selesai shalat dan kembali dari lapangan, kemudian makan dari hewan kurbannya.
Beliau juga mandi untuk shalat hari raya, jika hadisnya sahih. Namun terdapat dua hadis yang lemah tentang hal itu: satu dari Ibnu Abbas melalui jalur perawi Jubarah bin Mughlis, dan satu lagi dari Fakah bin Sa‘d melalui jalur perawi Yusuf bin Khalid As-Samti. Namun telah sahih dari Ibnu Umar—dengan kesungguhannya dalam mengikuti sunah—bahwa beliau mandi pada hari raya sebelum keluar.

---

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar menuju tempat shalat Id dengan berjalan kaki, dan sebuah tombak kecil (‘anazah) dibawa di hadapannya. Ketika sampai di lapangan, tombak itu ditancapkan di hadapannya sebagai sutrah (pembatas shalat). Sebab lapangan pada masa itu adalah tempat terbuka yang tidak memiliki bangunan atau tembok, sehingga tombak itu berfungsi sebagai pembatas.

Beliau mengakhirkan pelaksanaan shalat Idul Fitri dan menyegerakan shalat Idul Adha. Ibnu Umar, dengan ketatnya mengikuti sunah, tidak keluar hingga matahari terbit, dan bertakbir sejak dari rumah sampai ke tempat shalat.

Ketika beliau sampai di lapangan, beliau langsung memulai shalat tanpa adzan, tanpa iqamah, dan tanpa seruan “ash-shalatu jami‘ah”. Maka dari itu, sunahnya adalah tidak dilakukan hal-hal tersebut.

Beliau maupun para sahabatnya tidak melaksanakan shalat apa pun sebelum maupun sesudah shalat Id di lapangan.

Beliau memulai dengan dua rakaat shalat sebelum khutbah, dengan takbir tujuh kali di rakaat pertama (termasuk takbiratul ihram), dan antara tiap takbir ada jeda ringan. Tidak terdapat zikir tertentu dari Rasulullah di antara takbir-takbir itu, tetapi disebut dari Ibnu Mas‘ud bahwa beliau membaca tahmid, pujian kepada Allah, dan shalawat atas Nabi—sebagaimana disebutkan oleh Al-Khallal.

Ibnu Umar, yang sangat menjaga sunah, mengangkat kedua tangan pada setiap takbir.

Setelah takbir, Rasulullah langsung membaca surat Al-Fatihah, lalu membaca surat Qaf wal Qur’anil Majid pada salah satu rakaat, dan Iqtarabatissa‘atu wanshaqqal qamar pada rakaat lainnya. Kadang-kadang beliau membaca Sabbihisma Rabbikal A‘la dan Hal atâka hadîtsul ghasyiyah. Semua ini sahih dari beliau, dan tidak sahih selainnya.

Setelah selesai membaca, beliau bertakbir lalu ruku‘. Ketika berdiri dari sujud di rakaat kedua, beliau bertakbir lima kali, lalu membaca kembali surat Al-Fatihah dan surat lainnya. Maka takbir dilakukan di awal tiap rakaat, dan bacaan setelah ruku‘.

Diriwayatkan pula bahwa beliau melakukan bacaan terlebih dahulu, lalu baru bertakbir setelahnya, tetapi riwayat ini tidak sahih karena berasal dari Muhammad bin Mu‘awiyah An-Naisaburi yang dinilai oleh Al-Baihaqi sebagai pendusta.

Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Katsir bin ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Awf, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah bertakbir tujuh kali sebelum membaca di rakaat pertama, dan lima kali sebelum membaca di rakaat kedua. Tirmidzi berkata: “Aku bertanya kepada Muhammad (yakni Al-Bukhari) tentang hadis ini, dan beliau berkata: tidak ada hadis yang lebih sahih dari ini dalam bab ini, dan aku berpendapat seperti ini.”

---

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelesaikan shalat Id, beliau berdiri menghadap jamaah, sementara mereka masih duduk dalam barisan-barisan mereka. Beliau menyampaikan nasihat, memberi wasiat, dan perintah-perintah penting. Jika beliau hendak mengutus pasukan, maka beliau umumkan saat itu juga, atau jika ada perkara penting, maka beliau sampaikan. Tidak ada mimbar yang beliau gunakan saat itu, dan mimbar masjid pun tidak dikeluarkan ke lapangan. Beliau berkhutbah dengan berdiri di tanah.

Jabir bin ‘Abdullah berkata:

> “Aku menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat pada hari raya, beliau memulai dengan shalat, tanpa adzan dan tanpa iqamah. Lalu beliau berdiri bersandar pada Bilal, menyeru takwa kepada Allah, mendorong ketaatan kepada-Nya, menasihati dan mengingatkan manusia. Kemudian beliau pergi ke arah kaum wanita, memberi nasihat dan peringatan kepada mereka.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Abu Sa‘id Al-Khudri juga meriwayatkan bahwa:

> “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada hari Idul Fitri dan Idul Adha menuju lapangan. Yang pertama beliau lakukan adalah shalat dua rakaat. Setelah itu, beliau berdiri menghadap jamaah yang masih duduk dalam shaf-shaf mereka…”
(HR. Muslim)

Dalam riwayat lain, Abu Sa‘id Al-Khudri menyebut bahwa:

> “Beliau shalat dua rakaat, lalu memberi salam, kemudian berdiri di atas tunggangannya menghadap kepada orang-orang sambil berkata: “Bersedekahlah kalian!” Maka wanita-wanita pun menjadi yang paling banyak bersedekah dengan anting, cincin, dan sebagainya.”

Awalnya saya mengira ini kekeliruan, karena Rasulullah biasa berjalan kaki ke lapangan, dan tombak kecil (’anazah) dibawa di depannya. Beliau hanya berkhutbah di atas tunggangan saat di Mina pada hari Nahr (10 Dzulhijjah). Tapi kemudian saya melihat bahwa Baqi bin Makhlad menyebutkan hadis ini dalam Musnad-nya melalui jalur shahih, yang memperkuat riwayat tersebut.

Disebutkan pula bahwa mungkin saja maksud “berdiri di atas tunggangannya” adalah kesalahan penulis, yang seharusnya tertulis “berdiri di atas kakinya” sebagaimana riwayat Jabir: “Beliau berdiri bersandar pada Bilal.” Maka bisa jadi tulisan "tunggangannya" merupakan kesalahan penyalin.

Jika ada yang berkata: bukankah telah diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, bahwa:

> “Aku menghadiri shalat Idul Fitri bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Semuanya memulai dengan shalat sebelum khutbah. Nabi turun dari tempatnya, dan aku bisa melihat beliau menyuruh para pria duduk dengan tangannya, lalu berjalan menuju kaum wanita, bersama Bilal, seraya membaca ayat {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ...} (Al-Mumtahanah: 12), lalu membaca sampai selesai.”

Begitu juga dalam riwayat Jabir disebut:

> “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dengan shalat, lalu berkhutbah kepada orang-orang. Setelah selesai, beliau turun lalu mendatangi kaum wanita dan memberi nasihat kepada mereka.”

Maka ini menunjukkan bahwa beliau berkhutbah dari tempat tinggi atau mimbar.

Jawabannya: Tidak diragukan bahwa hadis-hadis ini sahih, dan memang mimbar masjid tidak dikeluarkan ke lapangan. Orang pertama yang melakukannya adalah Marwan bin Al-Hakam, dan hal itu diprotes. Sedangkan mimbar dari tanah liat dan bata pertama kali dibangun oleh Katsir bin Ash-Shalt saat Marwan menjadi gubernur Madinah.

Maka kemungkinan besar, Nabi berdiri di tempat yang agak tinggi, seperti semacam dataran tinggi atau bangku (mimbar sederhana), lalu turun menuju kaum wanita untuk memberi nasihat. Wallahu a‘lam.

---

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai seluruh khutbahnya dengan pujian kepada Allah (alhamdulillah). Tidak ada satu hadis pun yang sahih dari beliau yang menunjukkan bahwa beliau membuka khutbah Idul Fitri atau Idul Adha dengan takbir.

Ibnu Majah meriwayatkan dari Sa‘d, muadzin Nabi, bahwa:

> “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak takbir di sela-sela khutbah hari raya.”

Namun ini tidak menunjukkan bahwa beliau membuka khutbah dengan takbir, hanya menyebut bahwa beliau banyak bertakbir di tengah khutbah.

Para ulama berbeda pendapat mengenai cara membuka khutbah hari raya dan khutbah istisqa (shalat minta hujan):

Ada yang berpendapat dibuka dengan takbir.

Ada yang mengatakan khutbah istisqa dibuka dengan istighfar.

Ada pula yang berpendapat keduanya dibuka dengan pujian kepada Allah.

Ibnu Taimiyyah berkata: “Inilah pendapat yang benar, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

> ‘Setiap perkara penting yang tidak dimulai dengan pujian kepada Allah, maka ia terputus (tidak berkah).’”

Dan memang, Nabi selalu membuka khutbah dengan pujian kepada Allah.

Rasulullah memberikan keringanan bagi orang yang menghadiri shalat hari raya, bahwa mereka boleh duduk mengikuti khutbah atau langsung pergi.

Jika hari raya jatuh pada hari Jumat, maka beliau membolehkan orang-orang untuk tidak menghadiri shalat Jumat, cukup dengan shalat hari raya saja.

Beliau juga biasa menempuh jalan yang berbeda saat pergi dan pulang dari shalat Id:

Ada yang mengatakan, untuk menyapa lebih banyak orang di dua jalur.

Ada yang mengatakan, agar dua kelompok mendapat keberkahan dari beliau.

Ada yang menyebut, agar jika ada yang memiliki hajat, bisa menyampaikan kepada beliau.

Ada juga yang berpendapat, untuk menampakkan syiar Islam di berbagai jalan.

Sebagian menyebut, agar membuat kaum munafik merasa iri dengan kemuliaan Islam dan umatnya.

Ada pula yang berpendapat, agar bumi (tempat berpijak) semakin banyak menjadi saksi atas amal beliau, karena setiap langkah menuju shalat mengangkat derajat dan menghapus dosa.

Dan yang paling kuat, semua alasan tersebut benar, bahkan bisa jadi ada hikmah lain yang hanya diketahui oleh Allah.

---

Tentang takbir Idul Adha, diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bertakbir mulai dari shalat Subuh hari Arafah (9 Dzulhijjah) sampai Ashar hari terakhir dari hari Tasyriq (13 Dzulhijjah), dengan lafadz:

> “Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallaah, wallaahu akbar, Allahu akbar, wa lillaahil hamd.”

---

Diterjemahkan dari perkataan Al-Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam
Zaadul Ma'aad


Read more...

Saturday, March 29, 2025

Petunjuk Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dalam Zakat Fitrah

[Pasal tentang Petunjuk Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dalam Zakat Fitrah]

Tentang petunjuk Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dalam zakat fitrah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkannya atas setiap muslim, dan atas orang-orang yang menjadi tanggungannya, baik kecil maupun besar, laki-laki maupun perempuan, merdeka maupun budak, sebanyak satu sha' kurma, atau satu sha' gandum, atau satu sha' keju kering, atau satu sha' anggur kering.
Diriwayatkan dari beliau: atau satu sha' tepung, dan diriwayatkan dari beliau: setengah sha' gandum.
Yang masyhur: bahwa Umar bin Khattab menjadikan setengah sha' gandum sebagai pengganti satu sha' dari bahan-bahan tersebut, sebagaimana disebutkan oleh Abu Daud.
Dalam "Shahihain" disebutkan bahwa Mu'awiyah-lah yang menetapkan nilai tersebut, dan di dalamnya terdapat riwayat-riwayat dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang mursal dan musnad, yang saling menguatkan.
Di antaranya: Hadits Abdullah bin Tsa'labah atau Tsa'labah bin Abdullah bin Abi Shu'air, dari ayahnya, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ("Satu sha' gandum atau tepung untuk setiap dua orang"). Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud.
Amr bin Syu'aib berkata, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ("mengutus seorang juru bicara di jalan-jalan Mekah, bahwa zakat fitrah wajib atas setiap muslim, laki-laki atau perempuan, merdeka atau budak, kecil atau besar, dua mud gandum atau satu sha' makanan selainnya"). At-Tirmidzi berkata: Hadits hasan gharib.
Ad-Daraquthni meriwayatkan dari hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ("memerintahkan Amr bin Hazm dalam zakat fitrah dengan setengah sha' gandum").
Di dalamnya terdapat Sulaiman bin Musa, yang sebagian orang mempercayainya, dan sebagian lainnya berbicara tentangnya.
Hasan Al-Bashri berkata: Ibnu Abbas berkhotbah di akhir Ramadhan di mimbar Bashrah dan berkata: Keluarkanlah zakat puasa kalian, seolah-olah orang-orang tidak mengetahuinya. Ia berkata: Siapa di sini dari penduduk Madinah? Berdirilah dan ajarkanlah saudara-saudara kalian, karena mereka tidak mengetahuinya, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat ini sebanyak satu sha' kurma atau gandum, atau setengah sha' tepung, atas setiap orang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, kecil atau besar". Ketika Ali radhiyallahu 'anhu tiba, ia melihat harga murah, ia berkata: Allah telah melapangkan kalian, alangkah baiknya jika kalian menjadikannya satu sha' dari segala sesuatu.
Diriwayatkan oleh Abu Daud, ini adalah lafaznya, dan An-Nasa'i, dan menurutnya: Ali berkata: Jika Allah telah melapangkan kalian, maka lapangkanlah, jadikanlah satu sha' gandum dan selainnya. Guru kami rahimahullah menguatkan mazhab ini dan berkata: Ini adalah qiyas dari perkataan Ahmad dalam kafarat, bahwa yang wajib di dalamnya dari gandum adalah setengah dari yang wajib dari selainnya.

[Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah]

Termasuk petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah mengeluarkan zakat ini sebelum shalat Id, dan dalam "Sunan" dari beliau: beliau bersabda: ("Barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum shalat, maka itu adalah zakat yang diterima, dan barangsiapa yang mengeluarkannya setelah shalat, maka itu adalah sedekah biasa").
Dalam "Shahihain" dari Ibnu Umar, ia berkata: ("Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan zakat fitrah untuk dikeluarkan sebelum orang-orang keluar menuju shalat").
Konsekuensi dari kedua hadits ini adalah bahwa tidak boleh menunda pengeluarannya setelah shalat Id, dan bahwa ia luput dengan selesainya shalat, dan ini adalah yang benar, karena tidak ada yang bertentangan dengan kedua hadits ini, tidak ada yang menghapusnya, dan tidak ada ijma' yang menolak perkataan keduanya, dan guru kami menguatkan dan membelanya, dan contohnya adalah pengaturan penyembelihan kurban berdasarkan shalat imam, bukan berdasarkan waktunya, dan bahwa barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat imam, maka sembelihannya bukanlah kurban, melainkan kambing daging. Dan ini juga yang benar dalam masalah lainnya, dan ini adalah petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam kedua tempat tersebut.

[Petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam Mengkhususkan Zakat Fitrah untuk Orang-Orang Miskin]

Termasuk petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah mengkhususkan orang-orang miskin dengan sedekah ini, dan beliau tidak membagikannya kepada delapan golongan, segenggam demi segenggam, dan tidak memerintahkan hal itu, dan tidak ada seorang pun dari sahabatnya, dan tidak ada seorang pun setelah mereka, yang melakukannya, bahkan salah satu dari dua pendapat menurut kami: bahwa tidak boleh mengeluarkannya kecuali untuk orang-orang miskin secara khusus, dan pendapat ini lebih kuat daripada pendapat yang mewajibkan pembagiannya kepada delapan golongan.

Diterjemahkan dari Zaadul Ma'aad oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah


Read more...

Sabar yang Indah, Pemaafan yang Indah, dan Menjauh yang Indah serta Pembagian Takwa dan Sabar


Syaikh Imam, ulama yang alim dan beramal, cendekiawan yang sempurna, Syaikhul Islam dan Mufti umat manusia, Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, semoga Allah mendukungnya dan menambah karunia-Nya yang agung, ditanya tentang sabar yang indah, memaafkan yang indah, dan menjauhi yang indah, serta apa saja pembagian takwa dan sabar yang dialami manusia.
Beliau menjawab, semoga Allah merahmatinya: Segala puji bagi Allah. Amma ba'du (setelah itu), sesungguhnya Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk menjauhi dengan cara yang indah, berlapang dada dengan cara yang indah, dan bersabar dengan cara yang indah. Menjauhi yang indah adalah menjauhi tanpa menyakiti, memaafkan yang indah adalah memaafkan tanpa mencela, dan sabar yang indah adalah sabar tanpa mengeluh. Ya'qub 'alaihis salam berkata, "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku," bersamaan dengan ucapannya, "Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah-lah tempat memohon pertolongan terhadap apa yang kamu ceritakan." Mengadu kepada Allah tidak bertentangan dengan sabar yang indah. Diriwayatkan dari Musa 'alaihis salam bahwa beliau berkata, "Ya Allah, bagi-Mu segala puji, kepada-Mu tempat mengadu, Engkaulah tempat memohon pertolongan, kepada-Mu tempat meminta pertolongan, dan kepada-Mu tempat bersandar." Dan di antara doa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah, "Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahan kekuatanku, sedikitnya dayaku, dan kehinaanku di hadapan manusia. Engkaulah Rabb orang-orang yang lemah, dan Engkaulah Rabbku. Kepada siapa Engkau serahkan diriku, kepada orang jauh yang membenciku atau kepada musuh yang Engkau kuasakan urusanku? Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak peduli, hanya saja kesehatan-Mu lebih luas bagiku. Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu yang dengannya kegelapan menjadi terang dan urusan dunia dan akhirat menjadi baik, dari turunnya murka-Mu kepadaku atau datangnya kemarahan-Mu kepadaku. Bagi-Mu-lah celaan hingga Engkau ridha." Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu membaca dalam shalat Subuh, "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku," dan beliau menangis hingga terdengar isakannya dari akhir shaf, berbeda dengan mengadu kepada makhluk. Dibacakan di hadapan Imam Ahmad saat sakit menjelang wafatnya bahwa Thawus tidak suka rintihan orang sakit dan berkata, "Itu adalah keluhan." Maka beliau tidak mengerang hingga wafat. Hal itu karena orang yang mengeluh adalah orang yang meminta dengan lisan keadaannya, baik dihilangkannya sesuatu yang membahayakannya atau diperolehnya sesuatu yang bermanfaat baginya. Seorang hamba diperintahkan untuk meminta kepada Rabb-nya, bukan kepada makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap." Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Ibnu Abbas, "Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah." Manusia pasti membutuhkan dua hal: ketaatan dengan mengerjakan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang, serta kesabarannya terhadap apa yang menimpanya dari takdir yang telah ditentukan. Yang pertama adalah takwa, dan yang kedua adalah sabar. Allah Ta'ala berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (sendiri) karena mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu," hingga firman-Nya, "Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka tidak akan membahayakanmu sedikit pun. Sesungguhnya Allah Maha Meliputi segala apa yang mereka kerjakan." Dan Allah Ta'ala berfirman, "Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bersiap siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolongmu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda." Dan Allah Ta'ala berfirman, "Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan." Dan Yusuf telah berkata, "Akulah Yusuf dan ini saudaraku, sesungguhnya Allah telah melimpahkan karunia kepada kami. Sesungguhnya barang siapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik."
WASIAT SYAIKH ABDUL QADIR
Oleh karena itu, Syaikh Abdul Qadir dan para syaikh yang lurus lainnya biasanya berwasiat dalam sebagian besar perkataan mereka dengan dua prinsip ini: bersegera mengerjakan yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang, serta sabar dan ridha terhadap takdir yang ditentukan. Hal itu karena masalah ini disalahpahami oleh banyak orang awam, bahkan oleh sebagian orang yang menempuh jalan spiritual. Di antara mereka ada yang hanya menyaksikan takdir dan menyaksikan hakikat kauniyah (ketetapan Allah secara umum) tanpa hakikat diniyah (ketetapan Allah dalam agama). Mereka melihat bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu dan Rabb segala sesuatu, dan mereka tidak membedakan antara apa yang dicintai dan diridhai Allah dengan apa yang dimurkai dan dibenci-Nya, meskipun Allah telah menakdirkan dan menetapkannya. Mereka juga tidak membedakan antara tauhid uluhiyah (meng-esakan Allah dalam ibadah) dengan tauhid rububiyah (meng-esakan Allah dalam penciptaan dan pengaturan). Mereka menyaksikan persatuan yang dialami oleh semua makhluk, baik yang bahagia maupun yang celaka, persatuan yang dialami oleh orang mukmin dan kafir, orang baik dan orang jahat, nabi yang jujur dan nabi palsu, penghuni surga dan penghuni neraka, wali-wali Allah dan musuh-musuh-Nya, malaikat yang dekat dengan Allah dan setan yang durhaka. Ini adalah pemahaman yang salah tentang takdir dan ketetapan.
Karena semua itu bersatu dalam persatuan ini dan hakikat kauniyah ini, yaitu bahwa Allah adalah Rabb mereka, pencipta mereka, dan raja mereka, tidak ada Rabb bagi mereka selain Dia. Mereka tidak menyaksikan perbedaan yang dengannya Allah membedakan antara wali-wali dan musuh-musuh-Nya, antara orang-orang mukmin dan kafir, antara orang-orang baik dan jahat, antara penghuni surga dan neraka, yaitu tauhid uluhiyah, yaitu beribadah kepada-Nya semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, dan mengerjakan apa yang dicintai dan diridhai-Nya, yaitu apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, baik perintah wajib maupun perintah sunnah, dan meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, serta mencintai wali-wali-Nya dan membenci musuh-musuh-Nya, memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah yang munkar, dan berjihad melawan orang-orang kafir dan munafik dengan hati, tangan, dan lisan. Barangsiapa yang tidak menyaksikan hakikat diniyah ini yang membedakan antara ini dan itu, dan tidak bersama orang-orang yang memiliki hakikat diniyah, maka dia termasuk golongan orang-orang musyrik, dan dia lebih buruk daripada orang-orang Yahudi dan Nasrani.
PENGAKUAN ORANG-ORANG MUSYRIK TERHADAP HAKIKAT KAUNIYAH
Karena orang-orang musyrik mengakui hakikat kauniyah, mereka mengakui bahwa Allah adalah Rabb segala sesuatu, sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, 'Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?' Tentu mereka akan menjawab, 'Allah'." Dan Allah Ta'ala berfirman, "Katakanlah, 'Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?' Mereka akan menjawab, 'Kepunyaan Allah.' Katakanlah, 'Maka apakah kamu tidak ingat?' Katakanlah, 'Siapakah Rabb langit yang tujuh dan Rabb 'Arsy yang besar?' Mereka akan menjawab, 'Kepunyaan Allah.' Katakanlah, 'Maka apakah kamu tidak bertakwa?' Katakanlah, 'Siapakah yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu, sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?' Mereka akan menjawab, 'Kepunyaan Allah.' Katakanlah, '(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?'" Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Dan sebagian besar mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan-Nya (dengan sembahan-sembahan lain)." Sebagian ulama salaf berkata, "Jika kamu bertanya kepada mereka, 'Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?' Mereka akan menjawab, 'Allah,' namun bersamaan dengan itu mereka menyembah selain-Nya." Barangsiapa yang mengakui takdir dan ketetapan tanpa perintah dan larangan syar'i, maka dia lebih kafir daripada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena mereka mengakui malaikat dan rasul yang membawa perintah dan larangan syar'i, tetapi mereka beriman kepada sebagian dan kafir kepada sebagian lainnya, sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud membedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, 'Kami beriman kepada sebagian dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain),' serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang kafir yang sebenar-benarnya." Adapun orang yang menyaksikan hakikat kauniyah dan tauhid rububiyah yang mencakup seluruh makhluk, dan mengakui bahwa semua hamba berada di bawah takdir dan ketetapan, dan menempuh hakikat ini sehingga tidak membedakan antara orang-orang mukmin dan bertakwa yang taat kepada perintah Allah yang diutus oleh para rasul-Nya dengan orang-orang kafir dan jahat yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, maka mereka lebih kafir daripada orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Akan tetapi, ada sebagian orang yang menyadari perbedaan dalam beberapa hal tanpa hal lainnya, sehingga mereka membedakan antara orang mukmin dan kafir, tetapi tidak membedakan antara orang baik dan jahat, atau mereka membedakan antara sebagian orang baik dengan sebagian orang jahat, dan tidak membedakan antara yang lain, mengikuti dugaan dan hawa nafsu mereka. Maka mereka memiliki keimanan yang kurang sesuai dengan kadar mereka menyamakan antara orang-orang baik dan jahat, dan mereka memiliki keimanan kepada agama Allah Ta'ala sesuai dengan kadar mereka membedakan antara wali-wali dan musuh-musuh-Nya. Barangsiapa yang mengakui perintah dan larangan diniyah tanpa takdir dan ketetapan, maka dia termasuk golongan Qadariyah seperti Mu'tazilah dan lainnya, yang merupakan Majusi umat ini. Mereka menyerupai Majusi, dan mereka menyerupai orang-orang musyrik yang lebih buruk daripada Majusi. Dan barangsiapa yang mengakui keduanya dan menjadikan Rabb sebagai sesuatu yang kontradiktif, maka dia termasuk pengikut Iblis yang menentang Rabb Subhanahu wa Ta'ala dan membantah-Nya, sebagaimana diriwayatkan darinya.
PEMBAGIAN MANUSIA DALAM UCAPAN DAN KEYAKINAN
Demikian pula, mereka dalam keadaan dan perbuatan. Yang benar di antara itu adalah keadaan orang mukmin yang bertakwa kepada Allah, mengerjakan yang diperintahkan, meninggalkan yang dilarang, dan bersabar terhadap apa yang menimpanya dari takdir yang ditentukan. Dia berada di sisi perintah dan larangan, agama dan syariat, dan memohon pertolongan kepada Allah dalam hal itu, sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan." Dan jika dia berbuat dosa, dia beristighfar dan bertaubat. Dia tidak berdalih dengan takdir atas apa yang dia lakukan dari keburukan, dan dia tidak melihat makhluk memiliki hujjah atas Rabb seluruh makhluk. Dia beriman kepada takdir dan tidak berdalih dengannya, sebagaimana dalam hadits shahih yang di dalamnya terdapat sayyidul istighfar, yaitu seorang hamba mengucapkan, "Ya Allah, Engkaulah Rabb-ku, tidak ada ilah yang berhak disembah selain Engkau, Engkau telah menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu, dan aku berada di atas janji-Mu dan perjanjian-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan apa yang aku perbuat. Aku mengakui nikmat-Mu atasku dan aku mengakui dosaku, maka ampunilah aku, karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa selain Engkau." Dia mengakui nikmat Allah atasnya dalam kebaikan dan mengetahui bahwa Dialah yang memberinya hidayah dan memudahkan baginya jalan kebaikan, dan dia mengakui dosa-dosanya dari keburukan dan bertaubat darinya, sebagaimana perkataan sebagian orang, "Aku taat kepada-Mu dengan karunia-Mu dan anugerah-Mu, dan aku durhaka kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan hujjah-Mu. Maka aku meminta kepada-Mu dengan wajibnya hujjah-Mu atasku dan terputusnya hujjahku, kecuali Engkau mengampuni aku." Dan dalam hadits shahih qudsi, "Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya itu adalah amal perbuatanmu, Aku mencatatnya untukmu kemudian Aku membalasmu. Barangsiapa yang mendapati kebaikan, maka hendaklah dia memuji Allah, dan barangsiapa yang mendapati selain itu, maka janganlah dia mencela kecuali dirinya sendiri." Ini memiliki pembahasan yang panjang di tempat lain.
Dan yang lainnya, mereka hanya menyaksikan perintah saja, maka engkau mendapati mereka bersungguh-sungguh dalam ketaatan sesuai kemampuan mereka, tetapi mereka tidak memiliki pengetahuan tentang takdir yang mewajibkan bagi mereka hakikat permohonan pertolongan, tawakkal, dan sabar. Dan yang lainnya, mereka hanya menyaksikan takdir saja, maka mereka memiliki permohonan pertolongan, tawakkal, dan sabar yang tidak dimiliki oleh mereka yang pertama, tetapi mereka tidak berkomitmen terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya, mengikuti syariat-Nya, dan berpegang teguh pada apa yang dibawa oleh Al-Kitab dan As-Sunnah dari agama. Mereka ini memohon pertolongan kepada Allah tetapi tidak menyembah-Nya. Dan orang-orang yang sebelumnya ingin menyembah-Nya tetapi tidak memohon pertolongan kepada-Nya. Dan orang mukmin menyembah-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya. Dan golongan keempat adalah golongan yang paling buruk, yaitu orang yang tidak menyembah-Nya dan tidak memohon pertolongan kepada-Nya. Mereka tidak bersama syariat yang memerintahkan dan tidak bersama takdir kauniyah. Pembagian mereka menjadi golongan-golongan ini adalah dalam apa yang terjadi sebelum terjadinya takdir, seperti tawakkal dan permohonan pertolongan, dan apa yang terjadi setelahnya, seperti sabar dan ridha. Mereka dalam takwa, yaitu ketaatan terhadap perintah agama, dan sabar terhadap apa yang ditakdirkan dari takdir kauniyah, terbagi menjadi empat golongan.
PEMBAGIAN MANUSIA DALAM TAKWA DAN SABAR
Salah satunya adalah orang-orang yang bertakwa dan sabar, yaitu orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah dari kalangan orang-orang yang bahagia di dunia dan akhirat. Yang kedua adalah orang-orang yang memiliki jenis takwa tanpa sabar, seperti orang-orang yang melaksanakan shalat dan yang semisalnya, dan meninggalkan yang haram, tetapi jika salah seorang dari mereka ditimpa musibah pada badannya dengan penyakit dan yang semisalnya, atau pada hartanya, atau pada kehormatannya, atau diuji dengan musuh yang menakutkannya, maka kepanikan mereka menjadi besar dan ketakutan mereka tampak. Yang ketiga adalah kaum yang memiliki jenis sabar tanpa takwa, seperti orang-orang jahat yang bersabar terhadap apa yang menimpa mereka dalam hawa nafsu mereka, seperti pencuri dan perampok yang bersabar terhadap rasa sakit dalam apa yang mereka cari dari perampasan dan pengambilan yang haram, dan para penulis serta pegawai istana yang bersabar terhadap hal itu dalam mencari harta yang mereka peroleh dengan pengkhianatan dan lainnya. Demikian pula, para pencari kepemimpinan dan keunggulan atas orang lain bersabar terhadap berbagai macam gangguan yang tidak disabarkan oleh kebanyakan orang. Demikian pula, para pencinta gambar-gambar haram dari kalangan pencinta dan lainnya bersabar dalam apa yang mereka inginkan dari yang haram terhadap berbagai macam gangguan dan rasa sakit. Mereka inilah orang-orang yang menginginkan keunggulan di muka bumi atau kerusakan, dari kalangan pencari kepemimpinan dan keunggulan atas makhluk, dan dari kalangan pencari harta dengan kezaliman dan permusuhan, dan menikmati gambar-gambar haram dengan pandangan atau kontak langsung dan lainnya. Mereka bersabar terhadap berbagai macam hal yang dibenci, tetapi mereka tidak memiliki takwa dalam apa yang mereka tinggalkan dari yang diperintahkan dan apa yang mereka lakukan dari yang dilarang. Demikian pula, seseorang mungkin bersabar terhadap musibah yang menimpanya seperti penyakit dan kemiskinan dan lainnya, tetapi tidak ada takwa di dalamnya jika dia memiliki kekuasaan. Adapun golongan keempat adalah golongan yang paling buruk, mereka tidak bertakwa jika mereka memiliki kekuasaan dan tidak bersabar jika mereka diuji, bahkan mereka sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir." Engkau mendapati mereka sebagai orang yang paling zalim dan sombong jika mereka memiliki kekuasaan, dan orang yang paling hina dan panik jika mereka dikalahkan. Jika engkau mengalahkan mereka, mereka akan menghinakan diri kepadamu, bermunafik kepadamu, menjilatmu, dan memohon belas kasihanmu, dan mereka akan melakukan berbagai macam kebohongan dan kehinaan serta membesar-besarkan orang yang diminta untuk membela diri mereka. Dan jika mereka mengalahkanmu, mereka akan menjadi orang yang paling zalim dan paling keras hati, serta paling sedikit rahmat, kebaikan, dan maafnya. Sebagaimana yang telah dialami oleh umat Islam pada setiap orang yang jauh dari hakikat keimanan, seperti orang-orang Tatar yang diperangi oleh umat Islam dan orang-orang yang menyerupai mereka dalam banyak hal, meskipun mereka menampakkan diri dengan pakaian tentara, ulama, zahid, pedagang, dan pengrajin umat Islam. Karena patokan adalah hakikatnya. Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kalian dan tidak pula harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian. Barangsiapa yang hati dan amalnya seperti hati dan amal orang-orang Tatar, maka dia menyerupai mereka dari sisi ini. Dan apa yang bersamanya dari Islam atau apa yang dia tampakkan darinya sama seperti apa yang ada pada mereka dari Islam dan apa yang mereka tampakkan darinya. Bahkan, ditemukan pada selain orang-orang Tatar yang berperang dari kalangan orang-orang yang menampakkan Islam orang yang lebih murtad dan lebih layak dengan akhlak jahiliyah serta lebih jauh dari akhlak Islam daripada orang-orang Tatar.
Dalam Ash-Shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda dalam khutbahnya, "Sebaik-baik perkataan adalah perkataan Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang diada-adakan, dan setiap bid'ah adalah sesat." Jika sebaik-baik perkataan adalah perkataan Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, maka setiap orang yang lebih dekat dengannya dan lebih menyerupainya, maka dia lebih dekat dengan kesempurnaan dan lebih berhak dengannya. Dan setiap orang yang lebih jauh darinya dan kemiripannya dengannya lebih lemah, maka dia lebih jauh dari kesempurnaan dan lebih berhak dengan kebatilan. Orang yang sempurna adalah orang yang paling taat kepada Allah dan paling sabar terhadap apa yang menimpanya. Setiap kali seseorang lebih mengikuti apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan lebih besar dalam kesesuaian dengan apa yang dicintai dan diridhai Allah serta kesabarannya terhadap apa yang ditakdirkan dan ditetapkan-Nya, maka dia lebih sempurna dan lebih utama. Dan setiap orang yang kurang dari dua hal ini, maka dia memiliki kekurangan sesuai dengan hal itu.
SABAR DAN TAKWA DALAM AL-KITAB DAN AS-SUNNAH
Allah telah menyebutkan sabar dan takwa bersamaan di beberapa tempat dalam kitab-Nya dan menjelaskan bahwa Dia menolong hamba-Nya atas musuhnya dari kalangan orang-orang kafir yang memerangi dan menentang, serta orang-orang munafik, dan atas orang yang menzaliminya dari kalangan umat Islam, dan akibat yang baik adalah milik pemiliknya. Allah Ta'ala berfirman, "Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bersiap siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolongmu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda." Dan Allah Ta'ala berfirman, "Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan." Dan Allah Ta'ala berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (sendiri) karena mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Sungguh telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata, "Kami beriman", dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari karena marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka), "Matilah kamu karena kemarahanmu itu." Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. Jika kamu mendapat kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat musibah, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka tidak akan membahayakanmu sedikit pun. Sesungguhnya Allah Maha Meliputi segala apa yang mereka kerjakan." Dan saudara-saudara Yusuf berkata kepadanya, "Apakah sesungguhnya kamu Yusuf?" Dia menjawab, "Akulah Yusuf dan ini saudaraku, sesungguhnya Allah telah melimpahkan karunia kepada kami. Sesungguhnya barang siapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik."
Allah telah menggabungkan sabar dengan amal saleh secara umum dan khusus. Allah Ta'ala berfirman, "Dan ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu, dan bersabarlah hingga Allah memberi keputusan dan Dia adalah sebaik-baik pemberi keputusan." Dan dalam mengikuti apa yang diwahyukan kepadanya terkandung seluruh takwa, yaitu membenarkan berita Allah dan taat terhadap perintah-Nya. Dan Allah Ta'ala berfirman, "Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang sabar." Dan Allah Ta'ala berfirman, "Maka bersabarlah, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah mengagungkan Tuhanmu di waktu petang dan pagi." Dan Allah Ta'ala berfirman, "Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbihlah (pula) pada waktu-waktu di malam hari." Dan Allah Ta'ala berfirman, "Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu." Dan Allah Ta'ala berfirman, "Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." Ini adalah tempat-tempat di mana Dia menggabungkan shalat dan sabar. Dia menggabungkan antara rahmat dan sabar dalam firman-Nya, "Dan mereka saling berwasiat dengan kesabaran dan saling berwasiat dengan kasih sayang." Dan dalam rahmat terkandung berbuat baik kepada makhluk dengan zakat dan lainnya. Sesungguhnya pembagian itu juga empat golongan, karena di antara manusia ada yang sabar tetapi tidak penyayang, seperti orang-orang yang kuat dan keras hati. Di antara mereka ada yang penyayang tetapi tidak sabar, seperti orang-orang yang lemah dan lembut seperti kebanyakan wanita dan orang-orang yang menyerupai mereka. Di antara mereka ada yang tidak sabar dan tidak penyayang, seperti orang-orang yang keras hati dan panik. Yang terpuji adalah orang yang sabar dan penyayang, sebagaimana perkataan para fuqaha tentang wali, "Seyogianya dia kuat tanpa kasar, lembut tanpa lemah." Dengan kesabarannya dia menjadi kuat, dan dengan kelembutannya dia menyayangi. Dengan kesabaranlah seorang hamba ditolong, karena pertolongan bersama kesabaran. Dan dengan rahmat, Allah Ta'ala merahmatinya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Sesungguhnya Allah menyayangi hamba-hamba-Nya yang penyayang." Dan beliau bersabda, "Barangsiapa yang tidak menyayangi, maka tidak akan disayangi." Dan beliau bersabda, "Rahmat tidak dicabut kecuali dari orang yang celaka." Dan beliau bersabda, "Orang-orang yang penyayang disayangi oleh Ar-Rahman (Yang Maha Penyayang). Sayangilah orang-orang yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangi kalian." Wallahu a'lam (Allah Maha Mengetahui). Selesai.

Diterjemahkan dari Az-Zuhud wa Al-Wara wa Al-'Ibadah oleh Ibnu Taimiyah rahimahullaah 


Read more...

Followers

Google Friend Connect

Google Friend Wall

Powered By Blogger

  © Blogger template Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP