Monday, July 18, 2011

Jalan Golongan Yang Selamat

Istilah golongan yang selamat yang dalam bahasa Arab disebut dengan al-firqatu an-najiyah ( الفرقة الناجية ) muncul berdasarkan hadis Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yakni:
افترقت اليهود على إحدى و سبعين فرقة ، فواحدة في الجنة و سبعين في النار ، و افترقت النصارى على اثنين و سبعين فرقة فواحدة في الجنة و إحدى و سبعين في النار ، و الذي نفسي بيده لتفترقن أمتي على ثلاث و سبعين فرقة ، فواحدة في الجنة و ثنتين و سبعين في النار ، قيل يا رسول الله من هم ؟ قال : هم الجماعة
yang bermakna:
“Yahudi telah berpecah-belah menjadi 71 golongan, maka satu di Surga dan tujuh puluh di Neraka, dan Nashara telah berpecah belah menjadi 72 golongan, maka satu di Surga dan tujuh puluh satu di Neraka, dan demi yang jiwaku di tangan-Nya sungguh ummatku akan berpecah belah menjadi 73 golongan, maka satu di Surga dan tujuh puluh dua di Neraka, dikatakan “Wahai Rasul ALLAH siapa mereka itu?”, beliau berkata: “Mereka adalah al-Jama'ah.”.” (HR Ahmad, shahih)

Kata “ فرقة ” bermakna golongan, kelompok dari hasil berpecah, sedangkan “ ناجية ” bermakna selamat. Dalam konteks hadis di atas adalah selamat dari Neraka dan dimasukkan Surga.

Dari hadis tersebut muncul pertanyaan siapa mereka itu? Lafadz hadis tersebut menunjukkan yang selamat disebut “ الجماعة ” yang juga secara bahasa bermakna golongan dari hasil berkumpul. Dalam hadis ini tentu saja tidak bermaksud makna bahasa tapi makna syar'i, sebab jika itu bermakna bahasa maka hadis itu tidak berarti apa-apa. Pertanyaan berikutnya adalah siapa al-Jama'ah yang dimaksud?

Untuk menjawab ini harus diteliti makna dan maksud al-Jama'ah dan al-Firqah dan perintah untuk berjama'ah atau berkumpul disertai larang berfirqah atau berpecah belah di dalam al-Quran dan as-Sunnah:

{ وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا} (آل عمران: من الآية: 103) وقال سبحانه: { وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ} (آل عمران: من الآية: 105).
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, ...” (QS Ali Imran: 103), “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. ...” (QS Ali Imran:105).

Dua ayat tersebut jelas-jelas memerintahkan bersatu (jama'ah) dan melarang perpecahan (firqah).
Sedangkan dalam as-Sunnah:

((من خرج من الطاعة وفارق الجماعة فمات مات ميتة جاهلية))
“Barangsiapa keluar dari ketaatan (pada amir) dan memisahkan diri (berpecah) dari al-jama'ah kemudian mati maka mati dalam keadaan mati jahiliyah” (HR Muslim dari Abu Hurarirah).

((من أراد بحبوحة الجنة فليلزم الجماعة فإن الشيطان مع الواحد وهو من الاثنين أبعد))
“Barangsiapa menghendaki surga yang terbaik dan ternyaman hendaknya melazimi al-jama'ah karena syaitan bersama satu orang dan dia lebih jauh dari dua orang.” (HR at-Tirmidzi dari 'Umar bin al-Khattab, hasan shahih gharib dan disebutkan al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi).

((الجماعة رحمة والفرقة عذاب))
“Jama'ah itu rahmat sedangkan furqah (perpecahan) itu 'adzab” (HR Ibnu Abi 'Ashim dalam as-Sunnah dan dihasankan oleh al-Albani dalam takhrijnya, Shahih al-Jami' dan yang lain)

Hadis-hadis ini senada dengan ayat-ayat al-Quran yang telah disebutkan tentang kewajiban melazimi al-Jama'ah dan menjauhi furqah (perpecahan). Kemudian apa makna al-Jama'ah?



Apabila dibawa pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat maka makna al-Jama'ah tentu saja berpegang kepada Islam yang murni yakni al-Quran dan as-Sunnah, karena jelas Nabi dan para shahabat termasuk dari al-Jama'ah yang dimaksud dalam ayat-ayat al-Quran dan riwayat-riwayat dalam as-Sunnah tersebut, sehingga orang-orang yang menyelesihi mereka adalah firqah sebagai konsekuensi logis meninggalkan al-Jama'ah yakni Nabi dan para shahabat.


Para 'ulama mempunyai pendapat yang bervariasi tapi tidak saling bertentangan, di mana menurut asy-Syathibi bisa dirangkum dalam lima pendapat, yaitu:


1. as-Sawadu al-A'dzam ( السواد الأعظم ) yakni maksudnya adalah kelompok terbesar dari orang-orang muslim. Mereka itulah yang dimaskud al-Jama'ah yakni al-Firqatu an-Najiyah (golongan yang selamat). Maka pemahaman Islam yang mereka pegang adalah benar yang menyelisihi mereka mati dalam keadaan mati jahiliyah baik menyelesihi pemahaman agama mereka ataupun menyelisihi imam mereka. Sehingga yang dimaksud as-Sawadu al-A'dzam adalah orang-rang yang berpegang teguh dengan syari'ah yang benar. Pendapat ini adalah pendapat Abu Mas'ud al-Anshari dan Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhuma. Ketika terbunuhnya khalifah 'Utsman radhiallahu 'anhu maka Abu Mas'ud ditanya tentang fitnah maka beliau menjawab: “Tetaplah engkau dengan al-Jama'ah, sesungguhnya ALLAH tidaklah mengumpulkan ummat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam di atas kesesatan ...”. Ibnu Mas'ud berkata: “ Tetaplah kalian mendengar dan ta'at, karena itu adalah tali ALLAH yang Dia perintahkan (untuk memegang teguh) …” beliau juga berkata: “ Sesungguhnya yang kalian benci di dalam jama'ah lebih baik dari pada yang kalian sukai di dalam perpecahan ...”.
2. Jama'ah imam-imam 'ulama mujtahidin, maka barang siapa keluar dari apa yang telah disepakati 'ulama ummat ini mati dalam keadaan mati jahiliyah. Karena 'ulama ummat ini lah yang dimaksud dalam hadis shahih : ((إن الله لن يجمع أمتي على ضلالة)) yakni “Sesungguhnya ALLAH tidak akan mengumpulkan ummatku di atas kesesatan.” hadis ini dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jami'. Pendapat ini mengkhususkan 'ulama mujtahidin dari as-Sawadu al-A'dzam ummat ini. Pendapat ini dikatakan oleh: 'Abdullah bin al-Mubarak, Ishaq bin Rahawaihi dan sekelompok ulama salaf. Ibnu al-Mubarak pernah ditanya: “Siapakah al-Jama'ah yang sepatunya diikuti?” Beliau berkata:” Abu Bakar dan 'Umar.” beliau terus menyebutkan sampai ke Muhammad bin Tsabit dan al-Husain bin Waqid. Maka dikatakan pada beliau: “ Mereka sudah mati, siapakah yang masih hidup dari Jama'atu al-Muslimin hari ini?” maka dijawab: “ Abu Hamzah as-Sukari adalah jama'ah.” Abu Hamzah ini adalah Muhammad bin Maimun al-Marwazi, mendengar dari Abu Hanifah. Oleh karena itu barang siapa beramal menyelesihi para ulama mujtahid ini akan mati dalam keadaan jahiliyah.
3. Para Sahabat secara khusus, karena mereka yang telah berhasil menegakkan agama ini secara keseluruhan dan meraka adalah orang-orang yang tidak akan bersepakat di atas kesesatan. 'Umar bin 'Abdil Aziz berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan Wulatu al-amri (Khalifah-khalifah) sesudahnya telah memberikan tuntunan (sunnah). Mengambil tuntunan itu adalah pembenaran terhadap Kitab ALLAH (al-Quran), penyempurnaan ketaatan kepada ALLAH, kekuatan di atas agama ALLAH. Tidak seorangpun boleh mengganti dan mengubahnya dan tidak pula melihat apapun yang menyelesihinya. Barang siapa mengambil petunjuk dengan tuntunan itu akan mendapat petunjuk barang mengambil pertolongan berdasar tuntunan itu maka akan ditolong (oleh ALLAH), barang siapa menyelisihnya berarti mengikuti jalan selain jalan orang-orang beriman dan ALLAH akan membiarkan dia dalam kesesatannya dan memasukkan dia ke neraka Jahannam dan itulah sejelek-jelak tempat kembali.” Riwayat ini disampaikan oleh al-Imam Malik dan beliau takjub dan menyetujuinya. Pendapat ini sesuai dengan riwayat lain dari hadis perpecahan ummat tersebut yakni lafadz pengganti al-Jama'ah yaitu: ((ما أنا عليه وأصحابي)) yang bermakna “Apa yang aku dan shahabatku di atasnya ...” hadis dengan lafadz ini diriwayatkan at-Tirmidzi dalam sunannya dan dihasankan al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi. Lafadz ini menerangkan makna al-Jama'ah yang tidak lain dasarnya adalah tuntunan yang dipegang dan difahami para shahabat radhiallahu 'anhum.
4. Jama'atu ahli al-Islam jika mereka berkumpul di atas suatu perkara maka wajib atas yang lain untuk mengikuti mereka. Berkaitan dengan in al-Imam asy-Syafi'i berkata:
الجماعة لا تكون فيها غفلة عن معنى كتاب ولا سنة ولا قياس، وإنما تكون الغفلة في الفرقة yang bermakna “al-Jama'ah tidak mungkin di dalamnya lalai dari makna Kitab (al-Quran) dan Sunnah tidak pula qiyas, kelalaian hanya terjadi pada firqah (sempalan).” Beliau bermaksud bahwa jama'ah kaum muslimin adalah orang-orang yang berkumpul dalam satu perkara, karena berkumpulnya mereka terhadap satu perkara menunjukkan kalau perkara itu shahih karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengkhabarkan bahwa ummat ini tidak akan bersepakat dalan kesesatan, sedangkan perpecahan dan perselisihan adalah hasil dari kelalalaian (terhadap al-Quran dan as-Sunnah) dan tidak masuk ke makna al-Jama'ah.
5. Jama'ah kaum muslimin jika bersepakat pada satu amir (pemimpin), maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk melazimi dan menetapi jama'ah tersebut dan melarang berpecah serta meninggalkan jama'ah ini. Ini adalah pendapat al-Imam ath-Thabari. Sesuai hadis : ((من جاء إلى أمتي ليفرق جماعتهم فاضربوا عنقه كائنًا من كان)) yang bermakna: “Barangsiapa datang ke ummatku untuk memecah-belah jama'ah mereka maka penggallah lehernya apapun yang terjadi.”

Kelima makna al-Jama'ah bisa dirangkum bahwa al-Jama'ah kembali kepada berkumpul dan bersatunya kaum muslimin atas seorang imam yang sesuai al-Quran dan as-Sunnah, sehingga bersatunya manusia di atas selain as-Sunnah di luar makna al-Jama'ah dalam hadis tersebut, sebagaimana orang-orang Khawarij yang keluar dari ketaatan al-Imam 'Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu dan juga pemahaman para shahabat terhadap al-Quran dan as-Sunnah.

Golongan yang selamat yang dimaksud adalah al-Jama'ah disertai dengan ittiba' sunnah sehingga dinamai Ahlu as-Sunnah wa al-Jama'ah. Mereka adalah golongan yang dijanjikan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa salla dengan keselamatan di antara golongan-golongan yang ada. Prinsip mereka adalah ittiba' (mengikuti) sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam aqidah, ibadah, akhlak dan selalu melazimi jama'ah kaum muslimin jika ada, jika tidak ada mereka tetap berpegang pada sunnah dan meninggalkan seluruh golongan yang ada.

Ibnu Abi Syamah berkata: “Ketika datang perintah melazimi jama'ah maka yang dimaksud adalah melazimi kebenaran dan megikutinya walaupun orang yang berpegang pada kebenaran jumlahnya sedikit sedangkan yang menyelesihinya berjumlah banyak, karena kebenaran itulah yang dipegang oleh jama'ah pertama pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan begitu juga pada zaman para shahabat radhiallahu 'anhum, tidak dipedulikan banyaknya orang-orang yang berpegang pada kebathilan setelah mereka.

'Amru bin Maimun yang pernah melazimi Mu'adz bin Jabal dan kemudian 'Abdullah bin Mas'ud pernah mendengar Ibnu Mas'ud berkata: “Tetaplah kalian bersama al-Jama'ah ...”, sehingga datang suatu zaman diakhirnya shalat dari waktunya maka Ibnu Mas'ud memerintahkan shalat tepat pada waktunya di rumah dan berjama'ah bersama “al-jama'ah” sebagai tambahan (nafilah/sunnah). Maka 'Amru mempertanyakan saran Ibnu Mas'ud ini. Maka Ibnu Mas'ud bertanya:”Apakah engkau mengetahui makna al-Jama'ah?”. 'Amru menjawab: “Tidak.”
Ibnu Mas'ud berkata:” Sesungguhnya mayoritas al-Jama'ah itulah yang telah meninggalkan al-Jama'ah yang sesungguhnya, sesungguhnya al-Jama'ah itu adalah apa yang sesuai kebenaran walaupun Engkau sendirian!”

Nu'aim bin Hammad berkata:” Yaitu jika al-Jama'ah sudah rusak maka tetaplah Engkau dengan apa yang di atasnya al-Jama'ah sebelum rusak, walaupun dirimu sendirian maka Engkau adalah al-Jama'ah pada saat itu.” Ini adalah ucapan yang luar biasa jelas, sebab kebenaran tidak dilihat dari banyaknya pengikut akan tetapi dilihat dari sejauh mana iltizam dan melazimi agama ALLAH Ta'ala, tidak dilihat dari banyak atau sedikitnya.

Kemudian kadang-kadang mereka yakni para Shahabat dan juga orang-orang generasi awal yang mengikuti mereka berpegang pada al-Quran dan as-Sunnah yakni Islam yang murni sering disebut dengan istilah salaf. Apa makna dan maksud salaf di sini?

Istilah “سلف " secara bahasa adalah bentuk plural atau jamak dari “ سالف " yang bermakna orang yang mendahului, sehingga salaf bermakna kumpulan orang-orang yang telah mendahului, sebagaimana kata salaf dalam al-Quran:

{فَجَعَلْنَاهُمْ سَلَفًا وَمَثَلًا لِلآخِرِينَ} (الزخرف: 56).
“dan Kami jadikan mereka sebagai 'salaf' dan contoh bagi orang-orang yang datang kemudian.” Kata 'salaf' di ayat tersebut adalah para pendahulu sebagai pelajaran untuk diambil 'ibrahnya.

Makna salaf secara istilah terdapat beberapa pendapat:

Pertama, salaf adalah para shahabat saja, ini pendapat para pensyarah kita ar-Risalah oleh Ibnu Abi Zaid al-Qairawani.
Kedua, salaf adalah para shahabat dan tabi'in, ini pendapat Abu Hamid al-Ghazzali.
Ketiga, salaf adalah para shahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in, yakni tiga generasi yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan kebaikan dalam hadis 'Imran bin Hushain yakni:
"خير أمتي قرني، ثم الذي يلونهم، ثم الذين يلونهم" .
“ Sebaik-baik ummatku adalah generasiku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka.” (HR al-Bukhari)

Pendapat ini dipegang banyak 'ulama seperti asy-Syaukani, as-Safarini, Ibnu Taimiyah, dan yang lain. Sebagian 'ulama seperti al-Imam al-Ajuri memasukkan generasi sesudahnya seperti al-Imam Ahmad, al-Imam asy-Syafi'i, Ishaq, Abu 'Ubaid dan lainnya yakni aqran mereka ('ulama sezaman dan seumuran mereka) ke dalam istilah salaf.

Tentu saja salaf yang dimaksud bukan hanya pembatasan masa atau generasi akan tetapi kembali ke makna al-Jama'ah yakni ahlu as-sunnah wa al-jama'ah di mana salaf yang dimaksud adalah generasi shahabat, tab'in, tabi'ut tabi'in yang berpegang dengan al-Quran dan as-Sunnah, sebab munculnya bid'ah Khawarij dan Rafidhah masih di masa tiga generasi tersebut. Kenapa dibatasi hanya tiga generasi awal, sebab setelah itu jumlah firqah dan kelompok-kelompok menyimpang mulai banyak dan leluasa di antaranya pada zaman al-Imam Ahmad di mana mu'tazilah berhasil mempengaruhi kekuasaan yaknik khalifah untuk menyebarkan faham al-Quran makhluk kepada ummat Islam dengan paksa. Sehingga madzhab atau pemahaman salaf itu tidak lain pemahaman al-Jama'ah yakni pemahaman golongan yang selamat.

Al-Imam as-Safarini berkata:” Maksud dari madzhab as-salaf yaitu apa yang para shahabat yang mulia di atasnya dan juga para tabi'in (pengikut shahabat dengan cara yang baik), pengikut tabi'in, para imam agama ini yang diakui ke-imamannya dan perhatiannya kepada agama ini, dan manusia menerima ucapan-ucapan mereka sebagai pengganti para salaf, bukan orang yang dicap dengan bid'ah atau terkenal dengan gelar yang tidak diridhai seperti Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Murjiah, Jabriyah, Jahmiyah, Mu'tazilah, Karramiyah dan semacamnya.” Dan masih banyak lagi ucapan-ucapan para 'ulama yang senada dengan beliau yang tidak cukup disebutkan dalam tulisan yang singkat ini.

Ada beberapa sebutan lain dari al-Jama'ah sebagai golongan yang selamat selain nama ahlu as-sunnah wa al-jama'ah dan salaf, yakni ahlu al-hadis dan ath-tha'ifah al-manshurah.

Makna yang dimaksud “ أهل الحديث " bukanlah para pakar hadis baik sisi riwayat atau dirayah saja tapi yang dimaksud adalah orang-orang yang menempuh jalan orang-orang shalih dan mengikuti jejak para salaf di mana mereka mempunyai perhatian khusus dengan hadis-hadis Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam baik dalam mengumpulkan, menjaga, meriwayatkan, memahami dan mengamalkan dzahir dan bathin, maka dengan itu mereka menjadi orang-orang yang paling melazimi sunnah-sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak mendahului sunnah-sunnah dengan akal, hawa nafsu atau membuat bid'ah apapun keadaannya.

Makna istilah ahli hadis telah mengalami perubahan dari zaman ke zaman, akan tetapi makna ahli hadis yang dimaksud bukanlah makna ahli hadis zaman sekarang yang berarti sekelompuk ilmuwan atau ulama yang bergelut di bidang hadis riwayat dan dirayat akan tetapi makna ahli hadis harus dikembalikan ke makna munculnya istilah ini sebagai nama lain dari al-Jama'ah atau dengan kata lain istilah ahli hadis harus dikembalikan dalam pembahasan 'aqidah dengan merujuk kepada kitab-kitab 'aqidah salaf seperti “Aqidatu as-Salaf Ashabi al-Hadits” oleh Abu 'Utsman ash-Shabuni, juga “I'tiqad Aimmati al-Hadits” oleh Abu Bakar al-Isma'ili dan semacamnya bukan merujuk kepada kitab-kitab musthalah al-hadits. Sebab tidak mungkin hanya sekedar pakar dalam ilmu hadis menyebabkan seseorang menjadi golongan yang selamat.

Apabila dikembalikan dalam pembahasan 'aqidah maka istilah ahlu as-sunnah akan sama dengan ahlu al-hadits. Akan tetapi jika dikembalikan pembahasan ilmu musthalah hadis maka ahlu as-sunnah berbeda dengan ahlu al-hadits.

Ibnu ash-Shalah ditanya tentang perbedaan antara as-sunnah dengan al-hadits tentang perkataan sebagian 'ulama tentang al-Imam Malik bahwa beliau mengumpulkan antara as-sunnah dengan al-hadits (yakni ahlu as-sunnah sekaligus ahlu al-hadits), maka beliau menjawab: “ As-sunnah adalah lawan dari al-bid'ah, kadang-kadang seseorang termasuk ahlu al-hadits tapi dia ahlu al-bid'ah sedangkan Malik mengumpulkan dua sunnah, yakni beliau sangat mengetahui sunnah (yakni hadits) dan ber'aqidah sunnah (yakni madzhab (aqidah) nya adalah madzhab yagn ahlu al-haq bukan bid'ah ).”

Mereka disebut ahlu al-hadits karena mereka pembawa sunnah dan orang yang paling dekat kepada sunnah, dan mereka adalah pewaris Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan penukil sunnah-nya, ahlu al-bid'ah di antara mereka sangat sedikit, sebagian besar dari mereka adalah mengikuti atau ittiba' bukan ibtida' yakni berbuat bid'ah.

Sehingga jika disebut ahlu al-hadits dalam kitab-kitab 'aqidah maka yang dimaksud adalah ahlu al-hadits dalam riwayat dan dirayah dan ittiba', tidak hanya sekedar mendengar, menulis dan meriwayatkan hadits tanpa ittiba'. Sehingga maksud ahlu al-hadits adalah ahlu as-sunnah secara muthlaq khususnya dalam kitab-kitab 'aqidah dari para salaf.

Sedangkan penamaan yang lain yakni “ الطائفة المنصورة " yang bermakna “Golongan yang ditolong”. Penamaan ini berasal dari hadits:

(( لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ حتى يأتيهم أمر الله وهم ظاهرون))
“Akan selalu ada segolongan dari ummatku yang selalu tegak (di atas kebenaran) sehingga datang kepada mereka perintah ALLAH dan mereka tetap tegak (di atas kebenaran). (HR al-Bukhari)

(( لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي منصورين، لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حتى تقوم الساعة))
“Akan selalu ada segolongan dari ummatku yang ditolong, tidak memudharatkan mereka orang-orang yang menjatuhkan mereka sehingga tegaklah hari kiamat.” (HR at-Tirmidzi, beliau berkata hasan shahih, dan dishahihkan al-Albani)

Para salaf telah menjelaskan maksud gelar ini (thaifah manshurah), 'Abdullah bin al-Mubarak berkata: ”Mereka menurutku adalah ashabu al-hadits.” Maksud ashabu al-hadits adalah ahlu al-hadits yakni ahlu as-sunnah.

Yazid bin Harun berkata: “Jika mereka bukan ashabu al-hadits maka saya tidak tahu siapa lagi mereka itu.”
'Ali bin al-Madini berkata: “Mereka adalah ashabu al-hadits.”
al-Imam Ahmad berkata: “Jika golongan yang ditolong ini bukan ashabu al-hadits maka saya tidak tahu lagi siapa mereka itu.”
al-Bukhari berkata: “Mereka adalah ahlu al-'ilmi ('ulama).”
dalam riwayat lain dari al-Khatib al-Baghdadi, al-Bukhari berkata: “Mereka ashabu al-hadits”, tentu saja ini tidak bertentangan sebab ahlu al-hadits termasuk ahlu al-'ilmi ('ulama).
Ahmad bin Sinan berkata: “Mereka ahlu al-'ilmi dan ashabu al-atsar.” Ahlu al-atsar yang dimaksud sama dengan ahlu al-hadits.

Kenapa ahlu al-hadits adalah golongan yang paling berhak mendapat pertolongan dan kemenangan dari ALLAH? Sebab mereka menolong sunnah Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, mengamalkannya, dan membelanya sehingga mereka orang yang paling layak mendapat gelar “thaifah manshurah” sebagaimana kata Abu 'Abdillah al-Hakim: “ Sungguh Ahmad bin Hambal sangat tepat dalam tafsir khabar ini bahwa ath-Thaifah al-Manshurah yang diangkat dari mereka pengkhianatan sampai hari kiamat adalah ashabu al-hadits …”
Maksud ahlu al-hadits di sini adalah ahlu as-sunnah sebagaimana telah dijelaskan.
al-Qadhi 'Iyadh berkata: “Sesungguhnya Ahmad bermaksud (dari ashabu al-hadits) adalah ahlu as-sunnah wa al-jama'ah dan siapapyn yang beraqidah dengan madzhab ahlu al-hadits.”

Sehingga jelas sekali bahwa ahlu al-hadits menurut tafsir para salaf terhadap ath-Thaifah al-Manshurah adalah Ahlu as-Sunnah wa al-Jama'ah, merekalah golongan yang ditolong, oleh karena itu banyak didapatkan dalam kitab-kitab 'aqidah pemutlakan nama ath-Thaifah al-Manshurah atas nama Ahlu as-Sunnah wa al-Jama'ah.

Meskipun dalam beberapa riwayat disebut letak golongan yang ditolong ini di daerah Syam, tidak berarti membatasi hanya di Syam saja akan tetapi dalam suatu masa mereka ini yakni golongan yang ditolong ini ada di Syam di mana pada masa yang lain bisa di Hijaz maupu di Mesir atau tempat-tempat lain, ALLAH a'lam.

Metode penerimaan ilmu agama.

Sumber ilmu mereka baik dalam 'aqidah, 'ibadah, mu'amalah, akhlak dan seluruh cabang-cabang syari'ah adalah hanya dari al-Quran dan as-Sunnah.

Menurut ahlu as-sunnah tidak ada yang maksum kecuali Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, semua perkataan siapapun boleh diambil atau ditinggalkan kecuali perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Perkataan imam-imam mereka mengikuti perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bukan sebaliknya.

Oleh karena itu tampak pada diri mereka iltizam dan selalu mengikuti sunnah sebagaimana jama'ah pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yakni para shahabat radhiallahu 'anhum dan orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka. Mereka tidak menerima ijtihad atau pendapat apapun kecuali setelah ditimbang dengan al-Quran dan as-Sunnah serta ijma' salaf.

Ahlu as-sunnah wa al-jama'ah tidaklah bersikap kecuali dengan ilmu dan akhlak para as-salafu ash-shalih dan orang-orang yang mengambi dari mereka dan melazimi jama'ah mereka. Hal itu disebabkan karena para shahabat radhiallahu 'anhum belajar tafsir al-Quran dan al-Hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka mengajarkan kepada para tabi'in dan mereka tidak pernah sama sekali mendahului ALLAH dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak dengan pendapat, tidak pula perasaan, tidak pula akal, tidak pula yang lainnya.

ALLAH telah memuji mereka dalam al-Quran:

{ وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ} (التوبة: 100)
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”

Maka ALLAH menjadikan pengikut mereka dengan baik mendapat ridha dan surga-Nya. Maka barang siapa mengikuti as-sabiqun al-awwalun maka termasuk golongan mereka dan mereka adalah sebaik-baik manusia setelah para nabi karena ummat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah sebaik-baik ummat yang dikeluarkan untuk manusia dan para shahabat pada hakikatnya adalah sebaik-baik ummat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ahlu as-Sunnah adalah ahlu at-tawassuth wa al-i'tidal (ummat pertengahan dan moderat)

Ummat Islam adalah sebaik-baik ummat sebagaimana firman ALLAH ta’ala:
}كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ) {آل عمران: من الآية: 110)
“Kalian adalah sebaik-baik ummat yang dikeluarkan untuk manusia” (QS: Ali Imran:110)
mereka juga ummat pertengahan sebagaimana firman-Nya:
}وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا) {البقرة: من الآية: 142.(
Ummat Islam adalah sebaik-baik ummat dari seluruh ummat agama lain sehingga Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah adalah sebaik-baik ummat dari ummat Islam karena kebaikan ummat Islam adalah karena mereke berpegang dan mengamalkan al-Quran dan as-Sunnah sedangkan Ahlus as-Sunnah adalah golongan yang paling berpegang kepada al-Quran dan as-Sunnah sebagaimana para shahabat radhiallahu ‘anhum sehingga merekalah sebaik-baik golongan dari ummat Islam.
Sifat pertengahan Ahlu as-Sunnah tampak pada ciri-ciri dan sifat mereka yakni:
Pertengahan dalam bab sifat-sifat ALLAH Ta’ala di antara orang-orang yang menta’thilnya (menolak) seperti Jahmiyah dan orang-orang yang menyerupakannya dengan sifat makhluk (tamtsil).
Pertengahan dalam bab perbuatan hamba-hamba-Nya di antara Jabriyah (menganggap hamba-hamba-Nya dipaksa tanpa kehendak sama sekali) dan Qadariyah (menolak adanya takdir).
Pertengahan dalam bab janji dan ancaman ALLAH Ta’ala di antara Murji’ah dengan Khawarij serta Mu’tazilah.
Pertengahan dalam bab sikap terhadap para shahabat di antara orang-orang yang berlebihan dengan beberapa shahabat dengan orang-orang mengkafirkan mereka.
Pertengahan dalam bab ‘aql da naql.
Selain sifat-sifat tersebut, maka Ahlu-as-Sunnah mempunyai ciri-ciri berupak akhlak mulia seperti bersabar terhadap musibah, bersyukur ketika diberi kelapangan, ridha ketika dengan takdir yang buruk. Mengajak menyempurnakan ibadah dan akhlak yang mulia. Amar ma’ruf dan nahi munkar juga merupakan ciri-ciri khas Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah.
Pembahasan rinci sifat-sifat tersebut ada dalam kitab-kitab ‘aqidah, ‘ibadah dan akhlak yang ditulis oleh para ulama Ahlu as-Sunnah dari zaman ke zaman.

ALLAH a’lam


Read more...

Wednesday, January 5, 2011

Peluang Beasiswa MEDIU Gelombang Februari 2011

Seiring dengan berkembangnya Teknologi Informasi dan Komunikasi serta
kebutuhan masyarakat akan Ilmu dan Pendidikan Islam yang berkualitas, MEDIU
kembali

membuka peluang beasiswa bagi gelombang Februari 2011..


Persyaratan Akademik Umum untuk penerimaan sarjana adalah sebagai berikut :
1. Lulusan SMA, paket C sederajat untuk mendaftar S1.
2. Lulusan Sarjana Strata 1 untuk mendaftar S2.
3. Lulusan Sarjana Strata 2 untuk mendaftar S3.
4. Ijazah Negara

Adapun Langkah Mendaftar MEDIU (baik S1/S2/S3) adalah sebagai berikut:
1. Mengisi form pendaftaran online.
2. Kirimkan dokumen beserta data registrasi online ke LC Mediu Yogyakarta.

Dokumen-dokumen persyaratan antara lain:
a. Fotokopi legalisir ijazah pendidikan terakhir (ijazah yang diakui
Negara).
b. Fotokopi legalisir transkrip nilai terakhir.
c. Pas photo 3x4 3 lembar, 2x3 3 lembar.
d. Fotokopi KTP yang dilegalisir RT/RW/Kelurahan.
e. Surat pernyataan bahwa siap mentaati peraturan pembelajaran dan
menjalankan kegiatan belajar dengan baik di MEDIU.
f. Dokumen pendukung lainnya: fotokopi surat pernyataan penghasilan atau
slip gaji resmi, surat rekomendasi, sertifikat kejuaraan, dsb. Semua dokumen
harus dilegalisir

oleh notaris, instansi pemerintahan, imam masjid jami', yayasan atau ormas
islam yang diakui pemerintah.
g. Pendaftar program pascasarjana menyertakan proposal riset.

3. Membayar administrasi pendaftaran sebesar USD8/IDR80.000 dan administrasi
tes profesiensi bahasa arab (MAPT) sebesar USD32/IDR320.000
4. Pendaftar menunggu konfirmasi pihak MEDIU untuk mengikuti tahap
selanjutnya (MAPT dan wawancara).

GELAR KELULUSAN
Kelulusan mahasiswa MEDIU untuk tingkat pendidikan tinggi (S1/BA, S2/MA dan
S3/Ph.D) diakui secara resmi oleh Departemen Pengajian Tinggi Malaysia.
Gelar dari

Malaysia. Alumni dapat mengurus penyetaraan ke Departemen Pendidikan
Nasional Indonesia.

BIAYA PENDIDIKAN
S1 : USD 960/semester
S2 : USD 1501/semester
S3 : USD 1501/semester

PELUANG BEASISWA
Beasiswa akan diberikan bagi mereka yang memiliki program Dakwah dan
Pendidikan, tidak memiliki kemampuan secara finansial dan memiliki komitmen
belajar dengan

sungguh-sungguh

SYARAT BEASISWA
1. Mengisi form online beasiswa
2. Lulus tes MAPT/MEPT
3. Mengirimkan kelengkapan beasiswa (Surat Keterangan Penghasilan + Surat
Rekomendasi)
4. Mengikuti wawancara beasiswa
5. Disetujui oleh Tim Beasiswa

PROSEDUR PENDAFTARAN
1. Sudah selesai daftar online
2. Mengisi: http://online.mediu.edu.my/apply/applicant/login.aspx
3. Upload slip gaji dan surat rekomendasi

Informasi pendaftaran silakan menghubungi:
1. LC Mediu Yogyakarta, Jalan Kusumanegara no 222, muja muju Yogyakarta No
telp: 0274-376751 , HP : +6285228302205
2. Pekanbaru: 0812 761 3424 (Delisman)
3. Batam: 0813 6103 9045 (Fikri Alhamdi)
4. Palembang: 0711 839 2712 (Aidil Fitriansyah)
5. Jakarta: 0813 9371 7993 (Eko Mas Uri)
6. Bandung: 0852 2003 2867 (Beni Sarbeni)
7. Cirebon: 0231 252 5807 (Budi Faidin)
8. Pekalongan: 0815 4209 8453 (Najmuddin)
9. Surabaya: 0812 5960 7507 (Mukhlis Susila)

Ujian Masuk MEDIU di Jakarta dan Bandung

Dengan semangat memberikan kemudahan kepada calon Mahasiswa, untuk gelombang
penerimaan Februari 2011, MEDIU akan mengadakan ujian masuk di Jakarta dan
Bandung dengan jadwal sebagai berikut:

Bandung, Ahad 9 Januari 2011 (Informasi: Beni Sarbeni 0852 2003 2867)

Jakarta, Sabtu 15 Januari 2011 (Informasi: Eko Masuri 0813 9371 7993)

Persiapkan diri Anda dan tunggu jadwal tes ujian masuk di kota lainnya.


YM: mediuinfo
email: yogyakarta@lms.mediu.edu.my


Read more...

Monday, October 25, 2010

Penelusuran Hadis dengan Jawami'u al-Kalim v4.5

Hadis lengkapnya:



حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ التُّسْتَرِيُّ حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ الْمُوَفَّقِ أَبُو الْجَهْمِ حَدَّثَنَا فُضَيْلُ بْنُ مَرْزُوقٍ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ إِلَى الصَّلَاةِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ وَأَسْأَلُكَ بِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا فَإِنِّي لَمْ أَخْرُجْ أَشَرًا وَلَا بَطَرًا وَلَا رِيَاءً وَلَا سُمْعَةً وَخَرَجْتُ اتِّقَاءَ سُخْطِكَ وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ فَأَسْأَلُكَ أَنْ تُعِيذَنِي مِنْ النَّارِ وَأَنْ تَغْفِرَ لِي ذُنُوبِي إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ أَقْبَلَ اللَّهُ عَلَيْهِ بِوَجْهِهِ وَاسْتَغْفَرَ لَهُ سَبْعُونَ أَلْفِ مَلَكٍ



HR Ibnu Majah No 770 – Maktabah Syamilah



Artinya:



“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sa’id bin Yazid bin Ibrahim at-Tusturi, telah menceritakan kepada kami al-Fadhl bin al-Muwaffaq Abu al-Jahm, telah menceritakan kepada kami Fudhail bin Marzuq dari ‘Athiyah dari Abi Sa’id al-Khudri, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: Barang siapa keluar dari rumahnya untuk mengerjakan shalat kemudian berkata: Ya ALLAH sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dengan hak orang-orang yang meminta kepada-Mu dan aku meminta kepada-Mu dengan hak jalanku, sesungguhnya aku tidaklah keluar mengkufuri nikmat tidak pula sombong, tidak pula riya’, tidak pula sum’ah, dan aku keluar takut akan murka-Mu dan mengharapkan ridha-Mu, maka aku meminta kepada-Mu untuk melindungiku dari api neraka dan mengampuni dosa-dosaku sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau. ALLAH menghadapkan wajah-Nya kepadanya dan tujuh puluh ribu malaikat memohonkan ampun untuknya.”





Derajat hadis:



Berdasar pencarian di www.dorar.net milik Syaikh ‘Alwi as-Saqqaf, didapatkan beberapa pendapat:



al-Hafidz al-Mundziri : dalam isnadnya ada pembicaraan kemudian beliau menukil dari syaikhnya yakni Abu al-Hasan bahwa hadisnya hasan.



Ibnu Taimiyah: dalam isnadnya ada ‘Athiyah al-‘Aufiy dan dia lemah menurut kesepakatan ahli ilmu.



al-Hafidz al-‘Iraqi : isnadnya hasan.



al-Hafidz Ibnu Hajar : hasan.



al-Albani: dha’if, isnadnya dha’if, munkar.



Sedangkan pencarian dalam Maktabah Syamilah didapatkan:



al-Baushiri: isnadnya lemah karena kelemahan ‘Athiyah dan rawi darinya.



al-Hafidz al-‘Iraqi: isnadnya hasan.



‘Alwi bin ‘Abdi al-Qadir as-Saqqaf dalam takhrij fii dzilal ... : dha’if



al-Hafidz Ibnu Hajar: hasan.



Terdapat perbedaan di antara para ulama hadis dan ini wajar pada hadis-hadis antara hasan lighairihi dan dha’if. Bagaimana kita memilih pendapat-pendapat tersebut?




Salah satu permasalahan dari rawi-rawi tersebut adalah ada pada ‘Athiyah al-‘Aufiy. Apa kata para ulama jarh wa ta’dil?



Dengan bantuan Jawami’u al-Kalim v4.5 dan Mausu’ah Ruwatu al-Hadis didapatkan:



al-Jauzajani: dha’if, ma’il.

al-Jurjani: bersamaan dengan dha’ifnya ditulis hadisnya, dia termasuk syi’ah Kufah.

al-Baihaqi: dha’if, tidak boleh berhujjah dengannya.

al-‘Uqaili: menyebutkannya dalam orang-orang dha’if.

Abu Hatim ar-Razi: dha’if, ditulis hadisnya.

Ibnu Hibban: tidak halal berhujjah dengannya tidak pula ditulis hadisnya kecuali dari sisi ta’ajjub.

Abu Dawud as-Sijistani: bukan termasuk orang yang dijadikan sandaran.

Ahmad bin Hanbal: hadisnya dha’if.

Ibnu Hajar: (dalam at-Taqrib) shaduq (jujur), banyak melakukan kesalahan, dan dia seorang syi’ah yang mudallis (suka menyamarkan hadis atau syaikh).

ad-Daruquthni: dha’if, hadisnya mudhtharib (guncang).

adz-Dzahabi: mereka mendha’ifkannya.

as-Saji: bukan hujjah.

Sufyan ats-Tsauri: hadisnya dilemahkan.

al-Waqidi: tsiqah insya ALLAH, dia punya hadis-hadis yang baik, dan sebagian orang tidak berhujjah dengannya.

Hasyim bin Basyir al-Wasithi: dia membicarakannya, melemahkan hadisnya.

Yahya al-Qaththan: dha’if.

Yahya bin Ma’in: shalih, dha’if kecuali bahwa dia ditulis hadisnya.



Didapatkan juga keterangan dari Ibnu Hibban dalam adh-Dhu’afa’ bahwa tadlis (penyamaran) ‘Athiyah adalah menyamarkan al-Kalbi seorang pendusta hadis dengan kunyah Abu Sa’id sehingga seakan-akan itu Abu Sa’id al-Khudri (sahabat). Ini tadlis yang sangat buruk dengan menyamarkan syaikhnya yang lemah seakan-akan syaikhnya yang tsiqah. Sehingga Ibnu Hajar mengatakan dia adalah mudallis. Ibnu Hajar dalam Thabaqat al-Mudallisin (1/50 Maktabah Syamilah) memasukkan ‘Athiyah dalam tingkatan empat dari lima tingkat (tingkat lima adalah yang terburuk). Ibnu Hajar menyebutkan ‘Athiyah masyhur dengan tadlis qabih (jelek).



Dari keterangan tersebut jelas ‘Athiyah seorang yang dha’if tetapi bisa terangkat hadisnya menjadi hasan lighairihi jika ada penguat (mutaba’ah) dari jalur yang lain (diisyaratkan dengan ditulis hadisnya tapi tidak bisa jadi hujjah jika menyendiri). Dengan catatan ada keterangan bahwa riwayat itu betul-betul dari Abu Sa’id al-Khudri bukan dari al-Kalbi.



Sehingga dalam Jawami’ul Kalim disimpulkan : dha’if al-hadis (hadisnya lemah).



Pertanyaanya adalah: Apakah ada penguat? kalau ada apakah cukup kuat untuk menjadi penguat?



Dengan bantuan Jawami’ul Kalim v4.5 didapatkan:



Penguat pertama:



حَدَّثَنَا ابْنُ مَنِيعٍ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ ثَابِتٍ الْجَزَرِيُّ، عَنِ الْوَازِعِ بْنِ نَافِعٍ الْعُقَيْلِيِّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ بِلالٍ مُؤَذِّنِ الرَّسُولِ K قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ K إِذَا خَرَجَ إِلَى الصَّلاةِ قَالَ: " بِسْمِ اللَّهِ، آمَنْتُ بِاللَّهِ، تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ، اللَّهُمَّ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ، وَبِحَقِّ مَخْرِجِي هَذَا، فَإِنِّي لَمْ أَخْرُجْهُ أَشَرًا وَلا بَطَرًا وَلا رِيَاءً وَلا سُمْعَةً، خَرَجْتُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ، وَاتِّقَاءَ سَخَطِكَ، أَسْأَلُكَ أَنْ تُعِيذَنِي مِنَ النَّارِ، وَتُدْخِلَنِي الْجَنَّةَ "



HR Ibnu Sunni dalam ‘Amalu al-Yaumi wa al-Lailah No. 84(85) (Jawami’u al-Kalim v4.5)





Semua rawinya terpercaya kecuali al-Wazi’ bin Nafi’ al-‘Uqaili, lemah bahkan sebagian menyatakan dia memalsukan hadis. Jawami’ul Kalim v4.5 menyimpulkan matruk al-hadis. Sehingga tidak bisa jadi penguat bagi hadis ‘Athiyah.



Penguat kedua:



أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ الْحَرَّانِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ أَحْمَدُ بْنُ يَعْقُوبَ الأَهْوَازِيُّ الْخَطِيبُ، قَالَ: حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ حَمْدَوَيْهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَشِيدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عُبَيْدَةَ، عَنِ الْحَسَنِ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ الأَسْلَمِيُّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ كَانَ إِذَا أَتَى الصَّلاةَ، قَالَ: " اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ وَإِقْبَالِي إِلَيْكَ لَمْ أُقْبِلُ أَشِرًا وَلا بَطَرًا وَلا رِيَاءً وَلَكِنْ أَقْبَلْتُ ابْتِغَاءَ طَاعَتِكَ، تَنْزِيهًا عَنْ سَخَطِكَ، فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي، فَإِنَّهُ لا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلا أَنْتَ ".قَالَ: " مَنْ قَالَهَا أَقْبَلَ اللَّهُ بِوَجْهِهِ إِلَيْهِ، وَحُفَّتْ حَوْلَهُ الْمَلائِكَةُ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ صَلاتِهِ "





HR Abul Husain bin Muhammad bin ‘Ali bin al-Muhtadi billah dalam al-Awwal min Masyaikhah Abi al-Husain bin al-Muhtadi billah No. 139 (Jawami’u al-Kalim v4.5)



Di dalam sanadnya ada rawi yang bermasalah:



1. Abu ‘Ubaidah Maja’ah bin az-Zubair.



al-Jurjani berkata: dia termasuk yang mungkin (yuhtamalu), dan hadisnya ditulis.

al-‘Uqaili menyebutnya dalam adh-Dhu’afa’

Ibnu Hibban menyebutkan dalam ats-Tsiqat, hadisnya mustaqim dari para tsiqaat.

Ahmad bin Hanbal mengatakan tidak ada masalah pada dirinya.

ad-Daruquthni menyebutkan dalam sunan-nya dan berkata: dha’if.

Syu’bah mengatakan dia banyak puasa dan shalat.

‘Abdurrahman bin Yusuf bin Kharrasy mengatakan: dia tidak dijadikan i’tibar.

Jawami’u al-Kalim v4.5 menyimpulkan: shaduq, hasan al-hadis.



Saya cukup heran dengan kesimpulan Jawami’u al-Kalim ini sebab tidak ada yang mentsiqahkan kecuali Ibnu Hibban yang secara umum tidak diterima pentsiqahannya kecuali dengan syarat-syarat tertentu. Pujian Syu’bah hanya dalam masalah ibadah, begitu juga sepertinya komentar Ahmad bin Hanbal. Bahkan al-‘Uqaili mendha’ifkannya, dan ‘Abdurrahman Kharrasy tidak menjadikan hadisnya i’tibar (tidak bisa mengangkat menjadi hadis hasan lighairihi). Pendapat yang pertengahan adalah hadisnya ditulis untuk i’tibar, ALLAH A’lam. Dalam hal ini bisa menguatkan hadis ‘Athiyah.





2. ‘Abdullah bin Rasyid



al-Baihaqi berkata: tidak boleh berhujjah dengannya.

Ibnu Hibban menyebutkannya dalam ats-Tsiqaat.

Abu ‘Awanah al-Isfaraini mentsiqahkannya.

adz-Dzahabi mengatakan: tidak kuat dan ada jahalah pada dirinya.

Jawami’u al-Kalim v4.5 menyimpulkan: maqbul (diterima jika ada mutaba’ah). Dalam dirayah Jawami’u al-Kalim v4.5 disebut laisa bilqawiy (tidak kuat).



3. Ja’far bin Hamdawaih yakni Ja’far bin Muhammad



Disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim ar-Razi dalam al-Jarh wa at-Ta’dil. Beliau berkata: dia meriwayatkan dari ‘Abdillah bin Abi Bakr al-‘Atki, Abu Hamid Ahmad bin Sahal al-Isfaraini dan ‘Abdan al-Jawaliqi meriwayatkan darinya.

Jawami’ul Kalim v4.5 menyimpulkan majhul hal dan laisa bilqawiy (tidak kuat).



Di dalam Maktabah Syamilah juga hanya ada keterangan dari Ibnu Abi Hatim di al-Jarh wa at-Ta’dil sama dengan di Jawami’u al-Kalim v4.5. Setidaknya dua orang tsiqah yang meriwayatkan darinya dalam Jawami’u al-Kalim v4.5. sehingga betul kalau majhul hal.



4. Abu al-‘Abbas Ahmad bin Ya’qub al-Ahwazi al-Khatib yakni Muhammad bin Ya’qub al-Khatib.



Tidak didapatkan jarh wa ta’dil hanya Ibnu Hibban dan ath-Thabrani meriwayatkan darinya. Jawami’u al-Kalim v4.5 menyimpulkan: jujur, hadisnya hasan. Saya tidak tahu dari mana kesimpulan ini.

Di dalam Maktabah Syamilah pun tidak ditemukan pentsiqahannya walaupun para tsiqah meriwayatkan darinya (dalam Jawami’u al-Kalim v4.5 ada setidaknya lima tsiqah). Sehingga setinggi-tingginya majhul hal.



5. Muhammad bin Ahmad bin ‘Ali



Tidak ada keterangan jarh wa ta’dil. al-Khatib hanya menyebutkan beliau di Tarikh Baghdad. Tercatat hanya Muhammad bin ‘Ali al-Qurasyi yang meriwayatkan darinya. Jawami’u al-Kalim v4.5 menyimpulkan maqbul dan laisa bilqawiy. Kalau dilihat dari data yang ada lebih tepat majhul ‘ain karena hanya satu rawi saja yang meriwayatkan darinya sehingga tidak bisa jadi penguat bagi hadis ‘Athiyah.



Dalam Tarikh Baghdad 1/146 Maktabah Syamilah, disebutkan bahwa Muhammad bin ‘Ali bin al-Muhtadi billah mengatakan pada al-Khatib al-Baghdadi: beliau (Muhammad bin Ahmad bin ‘Ali) adalah hamba yang shalih dan memujinya dengan pujian yang baik.



Saya tidak tahu apakah ini cukup untuk pentsiqahan beliau ataukah pujian biasa karena ibadahnya, sebab lafadznya tidak jelas sebagai pentsiqahan.





Dari uraian di atas terasa berat mengangkat hadis ‘Athiyah menjadi hasan lighairihi dengan penguat kedua ini mengingat banyak rawi yang bermasalah bahkan sampai pada majhul ‘ain. Walaupun begitu Jawami’ul Kalim v4.5 menyimpulkan derajatnya hasan lighairihi. ALLAH A’lam.



Sedangkan permasalahan Fudhail bin Marzuq telah ditutupi oleh al-Fudhail bin Ghazwan dalam riwayat Ibnu Basyran dalan Amali-nya, begitu pula kelemahan al-Fadhl bin al-Muwaffaq telah ditutupi di antaranya oleh Yazid bin Harun dalam riwayat Ahmad dalam Musnad-nya. Sehingga inti permasalahan ada di ‘Athiyah. Sedangkan tadlisnya tertutupi dengan penyebutan al-Khudri bukan sekedar Abu Sa’id yang biasa dia lakukan kepada al-Kalbi walaupun ada kemungkinan penyebutan al-Khudri ini dilakukan oleh rawi-rawi setelahnya mengingat tadlis ini yang dilakukan ‘Athiyah supaya orang-orang yang meriwayatkan darinya mengira dari Abu Sa’id al-Khudri padahal al-Kalbi.



Dari informasi di atas maka saya lebih cenderung memilih bahwa hadis ini lemah dan tidak cukup terangkat menjadi hasan lighairihi dengan sebab tidak adanya penguat yang cukup dan adanya kemungkinan tadlis ‘Athiyah dengan nama Abu Sa’id sebab kata al-Khudri kemungkinan dari rawi-rawi setelahnya. ALLAH A’lam.



Mohon masukan jika ada tambahan informasi.



Makna Hadis:



Kalau seandainya hadis itu hasan maka tawassul yang diperbolehkan adalah dengan hak orang-orang yang meminta yang artinya ijabah (jawaban) ALLAH Ta’ala atas permintaan orang-orang yang meminta (saa’iliin). Begitu juga hak jalan seorang muslim ke masjid yakni diberi pahala, ampunan dan rahmah oleh ALLAH Ta’ala. Sehingga tidak tepat diqiyaskan dengan tawassul dengan diri (zat) atau kehormatan para Nabi atau orang shalih. Jadi seandainya ingin bertawassul dengan dasar hadis ini maka penyebutannya harus sama yakni dengan hak baik orang-orang yang meminta pada ALLAH maupun amal shalih (jalan ke masjid).



ALLAH A’lam






Read more...

Followers

Google Friend Connect

Google Friend Wall

Powered By Blogger

  © Blogger template Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP