tag:blogger.com,1999:blog-74221746404752673092024-03-13T07:59:05.604+08:00Manusia BiasaNoor Akhmad Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/10833235638280077629noreply@blogger.comBlogger31125tag:blogger.com,1999:blog-7422174640475267309.post-30044595676000919952011-07-18T07:00:00.002+08:002011-07-18T07:06:44.183+08:00Jalan Golongan Yang SelamatIstilah golongan yang selamat yang dalam bahasa Arab disebut dengan al-firqatu an-najiyah ( الفرقة الناجية ) muncul berdasarkan hadis Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yakni:<br />افترقت اليهود على إحدى و سبعين فرقة ، فواحدة في الجنة و سبعين في النار ، و افترقت النصارى على اثنين و سبعين فرقة فواحدة في الجنة و إحدى و سبعين في النار ، و الذي نفسي بيده لتفترقن أمتي على ثلاث و سبعين فرقة ، فواحدة في الجنة و ثنتين و سبعين في النار ، قيل يا رسول الله من هم ؟ قال : هم الجماعة <br />yang bermakna:<br />“Yahudi telah berpecah-belah menjadi 71 golongan, maka satu di Surga dan tujuh puluh di Neraka, dan Nashara telah berpecah belah menjadi 72 golongan, maka satu di Surga dan tujuh puluh satu di Neraka, dan demi yang jiwaku di tangan-Nya sungguh ummatku akan berpecah belah menjadi 73 golongan, maka satu di Surga dan tujuh puluh dua di Neraka, dikatakan “Wahai Rasul ALLAH siapa mereka itu?”, beliau berkata: “Mereka adalah al-Jama'ah.”.” (HR Ahmad, shahih)<br /><br />Kata “ فرقة ” bermakna golongan, kelompok dari hasil berpecah, sedangkan “ ناجية ” bermakna selamat. Dalam konteks hadis di atas adalah selamat dari Neraka dan dimasukkan Surga.<br /><br />Dari hadis tersebut muncul pertanyaan siapa mereka itu? Lafadz hadis tersebut menunjukkan yang selamat disebut “ الجماعة ” yang juga secara bahasa bermakna golongan dari hasil berkumpul. Dalam hadis ini tentu saja tidak bermaksud makna bahasa tapi makna syar'i, sebab jika itu bermakna bahasa maka hadis itu tidak berarti apa-apa. Pertanyaan berikutnya adalah siapa al-Jama'ah yang dimaksud?<br /><br />Untuk menjawab ini harus diteliti makna dan maksud al-Jama'ah dan al-Firqah dan perintah untuk berjama'ah atau berkumpul disertai larang berfirqah atau berpecah belah di dalam al-Quran dan as-Sunnah:<br /><br />{ وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا} (آل عمران: من الآية: 103) وقال سبحانه: { وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ} (آل عمران: من الآية: 105). <br />“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, ...” (QS Ali Imran: 103), “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. ...” (QS Ali Imran:105).<br /><br />Dua ayat tersebut jelas-jelas memerintahkan bersatu (jama'ah) dan melarang perpecahan (firqah).<br />Sedangkan dalam as-Sunnah:<br /><br />((من خرج من الطاعة وفارق الجماعة فمات مات ميتة جاهلية))<br /> “Barangsiapa keluar dari ketaatan (pada amir) dan memisahkan diri (berpecah) dari al-jama'ah kemudian mati maka mati dalam keadaan mati jahiliyah” (HR Muslim dari Abu Hurarirah).<br /><br />((من أراد بحبوحة الجنة فليلزم الجماعة فإن الشيطان مع الواحد وهو من الاثنين أبعد))<br />“Barangsiapa menghendaki surga yang terbaik dan ternyaman hendaknya melazimi al-jama'ah karena syaitan bersama satu orang dan dia lebih jauh dari dua orang.” (HR at-Tirmidzi dari 'Umar bin al-Khattab, hasan shahih gharib dan disebutkan al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi).<br /><br />((الجماعة رحمة والفرقة عذاب))<br />“Jama'ah itu rahmat sedangkan furqah (perpecahan) itu 'adzab” (HR Ibnu Abi 'Ashim dalam as-Sunnah dan dihasankan oleh al-Albani dalam takhrijnya, Shahih al-Jami' dan yang lain)<br /><br />Hadis-hadis ini senada dengan ayat-ayat al-Quran yang telah disebutkan tentang kewajiban melazimi al-Jama'ah dan menjauhi furqah (perpecahan). Kemudian apa makna al-Jama'ah?<br /><br /><span class="fullpost"><br /><br />Apabila dibawa pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat maka makna al-Jama'ah tentu saja berpegang kepada Islam yang murni yakni al-Quran dan as-Sunnah, karena jelas Nabi dan para shahabat termasuk dari al-Jama'ah yang dimaksud dalam ayat-ayat al-Quran dan riwayat-riwayat dalam as-Sunnah tersebut, sehingga orang-orang yang menyelesihi mereka adalah firqah sebagai konsekuensi logis meninggalkan al-Jama'ah yakni Nabi dan para shahabat.<br /><br /><br />Para 'ulama mempunyai pendapat yang bervariasi tapi tidak saling bertentangan, di mana menurut asy-Syathibi bisa dirangkum dalam lima pendapat, yaitu:<br /><br /><br />1. as-Sawadu al-A'dzam ( السواد الأعظم ) yakni maksudnya adalah kelompok terbesar dari orang-orang muslim. Mereka itulah yang dimaskud al-Jama'ah yakni al-Firqatu an-Najiyah (golongan yang selamat). Maka pemahaman Islam yang mereka pegang adalah benar yang menyelisihi mereka mati dalam keadaan mati jahiliyah baik menyelesihi pemahaman agama mereka ataupun menyelisihi imam mereka. Sehingga yang dimaksud as-Sawadu al-A'dzam adalah orang-rang yang berpegang teguh dengan syari'ah yang benar. Pendapat ini adalah pendapat Abu Mas'ud al-Anshari dan Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhuma. Ketika terbunuhnya khalifah 'Utsman radhiallahu 'anhu maka Abu Mas'ud ditanya tentang fitnah maka beliau menjawab: “Tetaplah engkau dengan al-Jama'ah, sesungguhnya ALLAH tidaklah mengumpulkan ummat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam di atas kesesatan ...”. Ibnu Mas'ud berkata: “ Tetaplah kalian mendengar dan ta'at, karena itu adalah tali ALLAH yang Dia perintahkan (untuk memegang teguh) …” beliau juga berkata: “ Sesungguhnya yang kalian benci di dalam jama'ah lebih baik dari pada yang kalian sukai di dalam perpecahan ...”. <br />2. Jama'ah imam-imam 'ulama mujtahidin, maka barang siapa keluar dari apa yang telah disepakati 'ulama ummat ini mati dalam keadaan mati jahiliyah. Karena 'ulama ummat ini lah yang dimaksud dalam hadis shahih : ((إن الله لن يجمع أمتي على ضلالة)) yakni “Sesungguhnya ALLAH tidak akan mengumpulkan ummatku di atas kesesatan.” hadis ini dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jami'. Pendapat ini mengkhususkan 'ulama mujtahidin dari as-Sawadu al-A'dzam ummat ini. Pendapat ini dikatakan oleh: 'Abdullah bin al-Mubarak, Ishaq bin Rahawaihi dan sekelompok ulama salaf. Ibnu al-Mubarak pernah ditanya: “Siapakah al-Jama'ah yang sepatunya diikuti?” Beliau berkata:” Abu Bakar dan 'Umar.” beliau terus menyebutkan sampai ke Muhammad bin Tsabit dan al-Husain bin Waqid. Maka dikatakan pada beliau: “ Mereka sudah mati, siapakah yang masih hidup dari Jama'atu al-Muslimin hari ini?” maka dijawab: “ Abu Hamzah as-Sukari adalah jama'ah.” Abu Hamzah ini adalah Muhammad bin Maimun al-Marwazi, mendengar dari Abu Hanifah. Oleh karena itu barang siapa beramal menyelesihi para ulama mujtahid ini akan mati dalam keadaan jahiliyah. <br />3. Para Sahabat secara khusus, karena mereka yang telah berhasil menegakkan agama ini secara keseluruhan dan meraka adalah orang-orang yang tidak akan bersepakat di atas kesesatan. 'Umar bin 'Abdil Aziz berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan Wulatu al-amri (Khalifah-khalifah) sesudahnya telah memberikan tuntunan (sunnah). Mengambil tuntunan itu adalah pembenaran terhadap Kitab ALLAH (al-Quran), penyempurnaan ketaatan kepada ALLAH, kekuatan di atas agama ALLAH. Tidak seorangpun boleh mengganti dan mengubahnya dan tidak pula melihat apapun yang menyelesihinya. Barang siapa mengambil petunjuk dengan tuntunan itu akan mendapat petunjuk barang mengambil pertolongan berdasar tuntunan itu maka akan ditolong (oleh ALLAH), barang siapa menyelisihnya berarti mengikuti jalan selain jalan orang-orang beriman dan ALLAH akan membiarkan dia dalam kesesatannya dan memasukkan dia ke neraka Jahannam dan itulah sejelek-jelak tempat kembali.” Riwayat ini disampaikan oleh al-Imam Malik dan beliau takjub dan menyetujuinya. Pendapat ini sesuai dengan riwayat lain dari hadis perpecahan ummat tersebut yakni lafadz pengganti al-Jama'ah yaitu: ((ما أنا عليه وأصحابي)) yang bermakna “Apa yang aku dan shahabatku di atasnya ...” hadis dengan lafadz ini diriwayatkan at-Tirmidzi dalam sunannya dan dihasankan al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi. Lafadz ini menerangkan makna al-Jama'ah yang tidak lain dasarnya adalah tuntunan yang dipegang dan difahami para shahabat radhiallahu 'anhum.<br />4. Jama'atu ahli al-Islam jika mereka berkumpul di atas suatu perkara maka wajib atas yang lain untuk mengikuti mereka. Berkaitan dengan in al-Imam asy-Syafi'i berkata: <br />الجماعة لا تكون فيها غفلة عن معنى كتاب ولا سنة ولا قياس، وإنما تكون الغفلة في الفرقة yang bermakna “al-Jama'ah tidak mungkin di dalamnya lalai dari makna Kitab (al-Quran) dan Sunnah tidak pula qiyas, kelalaian hanya terjadi pada firqah (sempalan).” Beliau bermaksud bahwa jama'ah kaum muslimin adalah orang-orang yang berkumpul dalam satu perkara, karena berkumpulnya mereka terhadap satu perkara menunjukkan kalau perkara itu shahih karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengkhabarkan bahwa ummat ini tidak akan bersepakat dalan kesesatan, sedangkan perpecahan dan perselisihan adalah hasil dari kelalalaian (terhadap al-Quran dan as-Sunnah) dan tidak masuk ke makna al-Jama'ah.<br />5. Jama'ah kaum muslimin jika bersepakat pada satu amir (pemimpin), maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk melazimi dan menetapi jama'ah tersebut dan melarang berpecah serta meninggalkan jama'ah ini. Ini adalah pendapat al-Imam ath-Thabari. Sesuai hadis : ((من جاء إلى أمتي ليفرق جماعتهم فاضربوا عنقه كائنًا من كان)) yang bermakna: “Barangsiapa datang ke ummatku untuk memecah-belah jama'ah mereka maka penggallah lehernya apapun yang terjadi.” <br /><br />Kelima makna al-Jama'ah bisa dirangkum bahwa al-Jama'ah kembali kepada berkumpul dan bersatunya kaum muslimin atas seorang imam yang sesuai al-Quran dan as-Sunnah, sehingga bersatunya manusia di atas selain as-Sunnah di luar makna al-Jama'ah dalam hadis tersebut, sebagaimana orang-orang Khawarij yang keluar dari ketaatan al-Imam 'Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu dan juga pemahaman para shahabat terhadap al-Quran dan as-Sunnah. <br /><br />Golongan yang selamat yang dimaksud adalah al-Jama'ah disertai dengan ittiba' sunnah sehingga dinamai Ahlu as-Sunnah wa al-Jama'ah. Mereka adalah golongan yang dijanjikan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa salla dengan keselamatan di antara golongan-golongan yang ada. Prinsip mereka adalah ittiba' (mengikuti) sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam aqidah, ibadah, akhlak dan selalu melazimi jama'ah kaum muslimin jika ada, jika tidak ada mereka tetap berpegang pada sunnah dan meninggalkan seluruh golongan yang ada.<br /><br />Ibnu Abi Syamah berkata: “Ketika datang perintah melazimi jama'ah maka yang dimaksud adalah melazimi kebenaran dan megikutinya walaupun orang yang berpegang pada kebenaran jumlahnya sedikit sedangkan yang menyelesihinya berjumlah banyak, karena kebenaran itulah yang dipegang oleh jama'ah pertama pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan begitu juga pada zaman para shahabat radhiallahu 'anhum, tidak dipedulikan banyaknya orang-orang yang berpegang pada kebathilan setelah mereka.<br /><br /> 'Amru bin Maimun yang pernah melazimi Mu'adz bin Jabal dan kemudian 'Abdullah bin Mas'ud pernah mendengar Ibnu Mas'ud berkata: “Tetaplah kalian bersama al-Jama'ah ...”, sehingga datang suatu zaman diakhirnya shalat dari waktunya maka Ibnu Mas'ud memerintahkan shalat tepat pada waktunya di rumah dan berjama'ah bersama “al-jama'ah” sebagai tambahan (nafilah/sunnah). Maka 'Amru mempertanyakan saran Ibnu Mas'ud ini. Maka Ibnu Mas'ud bertanya:”Apakah engkau mengetahui makna al-Jama'ah?”. 'Amru menjawab: “Tidak.”<br />Ibnu Mas'ud berkata:” Sesungguhnya mayoritas al-Jama'ah itulah yang telah meninggalkan al-Jama'ah yang sesungguhnya, sesungguhnya al-Jama'ah itu adalah apa yang sesuai kebenaran walaupun Engkau sendirian!”<br /><br />Nu'aim bin Hammad berkata:” Yaitu jika al-Jama'ah sudah rusak maka tetaplah Engkau dengan apa yang di atasnya al-Jama'ah sebelum rusak, walaupun dirimu sendirian maka Engkau adalah al-Jama'ah pada saat itu.” Ini adalah ucapan yang luar biasa jelas, sebab kebenaran tidak dilihat dari banyaknya pengikut akan tetapi dilihat dari sejauh mana iltizam dan melazimi agama ALLAH Ta'ala, tidak dilihat dari banyak atau sedikitnya.<br /><br />Kemudian kadang-kadang mereka yakni para Shahabat dan juga orang-orang generasi awal yang mengikuti mereka berpegang pada al-Quran dan as-Sunnah yakni Islam yang murni sering disebut dengan istilah salaf. Apa makna dan maksud salaf di sini?<br /><br />Istilah “سلف " secara bahasa adalah bentuk plural atau jamak dari “ سالف " yang bermakna orang yang mendahului, sehingga salaf bermakna kumpulan orang-orang yang telah mendahului, sebagaimana kata salaf dalam al-Quran: <br /><br />{فَجَعَلْنَاهُمْ سَلَفًا وَمَثَلًا لِلآخِرِينَ} (الزخرف: 56).<br />“dan Kami jadikan mereka sebagai 'salaf' dan contoh bagi orang-orang yang datang kemudian.” Kata 'salaf' di ayat tersebut adalah para pendahulu sebagai pelajaran untuk diambil 'ibrahnya.<br /><br />Makna salaf secara istilah terdapat beberapa pendapat:<br /><br />Pertama, salaf adalah para shahabat saja, ini pendapat para pensyarah kita ar-Risalah oleh Ibnu Abi Zaid al-Qairawani.<br />Kedua, salaf adalah para shahabat dan tabi'in, ini pendapat Abu Hamid al-Ghazzali.<br />Ketiga, salaf adalah para shahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in, yakni tiga generasi yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan kebaikan dalam hadis 'Imran bin Hushain yakni:<br /> "خير أمتي قرني، ثم الذي يلونهم، ثم الذين يلونهم" .<br />“ Sebaik-baik ummatku adalah generasiku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka.” (HR al-Bukhari)<br /><br /> Pendapat ini dipegang banyak 'ulama seperti asy-Syaukani, as-Safarini, Ibnu Taimiyah, dan yang lain. Sebagian 'ulama seperti al-Imam al-Ajuri memasukkan generasi sesudahnya seperti al-Imam Ahmad, al-Imam asy-Syafi'i, Ishaq, Abu 'Ubaid dan lainnya yakni aqran mereka ('ulama sezaman dan seumuran mereka) ke dalam istilah salaf. <br /><br />Tentu saja salaf yang dimaksud bukan hanya pembatasan masa atau generasi akan tetapi kembali ke makna al-Jama'ah yakni ahlu as-sunnah wa al-jama'ah di mana salaf yang dimaksud adalah generasi shahabat, tab'in, tabi'ut tabi'in yang berpegang dengan al-Quran dan as-Sunnah, sebab munculnya bid'ah Khawarij dan Rafidhah masih di masa tiga generasi tersebut. Kenapa dibatasi hanya tiga generasi awal, sebab setelah itu jumlah firqah dan kelompok-kelompok menyimpang mulai banyak dan leluasa di antaranya pada zaman al-Imam Ahmad di mana mu'tazilah berhasil mempengaruhi kekuasaan yaknik khalifah untuk menyebarkan faham al-Quran makhluk kepada ummat Islam dengan paksa. Sehingga madzhab atau pemahaman salaf itu tidak lain pemahaman al-Jama'ah yakni pemahaman golongan yang selamat.<br /><br />Al-Imam as-Safarini berkata:” Maksud dari madzhab as-salaf yaitu apa yang para shahabat yang mulia di atasnya dan juga para tabi'in (pengikut shahabat dengan cara yang baik), pengikut tabi'in, para imam agama ini yang diakui ke-imamannya dan perhatiannya kepada agama ini, dan manusia menerima ucapan-ucapan mereka sebagai pengganti para salaf, bukan orang yang dicap dengan bid'ah atau terkenal dengan gelar yang tidak diridhai seperti Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Murjiah, Jabriyah, Jahmiyah, Mu'tazilah, Karramiyah dan semacamnya.” Dan masih banyak lagi ucapan-ucapan para 'ulama yang senada dengan beliau yang tidak cukup disebutkan dalam tulisan yang singkat ini.<br /><br />Ada beberapa sebutan lain dari al-Jama'ah sebagai golongan yang selamat selain nama ahlu as-sunnah wa al-jama'ah dan salaf, yakni ahlu al-hadis dan ath-tha'ifah al-manshurah.<br /><br />Makna yang dimaksud “ أهل الحديث " bukanlah para pakar hadis baik sisi riwayat atau dirayah saja tapi yang dimaksud adalah orang-orang yang menempuh jalan orang-orang shalih dan mengikuti jejak para salaf di mana mereka mempunyai perhatian khusus dengan hadis-hadis Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam baik dalam mengumpulkan, menjaga, meriwayatkan, memahami dan mengamalkan dzahir dan bathin, maka dengan itu mereka menjadi orang-orang yang paling melazimi sunnah-sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak mendahului sunnah-sunnah dengan akal, hawa nafsu atau membuat bid'ah apapun keadaannya.<br /><br />Makna istilah ahli hadis telah mengalami perubahan dari zaman ke zaman, akan tetapi makna ahli hadis yang dimaksud bukanlah makna ahli hadis zaman sekarang yang berarti sekelompuk ilmuwan atau ulama yang bergelut di bidang hadis riwayat dan dirayat akan tetapi makna ahli hadis harus dikembalikan ke makna munculnya istilah ini sebagai nama lain dari al-Jama'ah atau dengan kata lain istilah ahli hadis harus dikembalikan dalam pembahasan 'aqidah dengan merujuk kepada kitab-kitab 'aqidah salaf seperti “Aqidatu as-Salaf Ashabi al-Hadits” oleh Abu 'Utsman ash-Shabuni, juga “I'tiqad Aimmati al-Hadits” oleh Abu Bakar al-Isma'ili dan semacamnya bukan merujuk kepada kitab-kitab musthalah al-hadits. Sebab tidak mungkin hanya sekedar pakar dalam ilmu hadis menyebabkan seseorang menjadi golongan yang selamat.<br /><br />Apabila dikembalikan dalam pembahasan 'aqidah maka istilah ahlu as-sunnah akan sama dengan ahlu al-hadits. Akan tetapi jika dikembalikan pembahasan ilmu musthalah hadis maka ahlu as-sunnah berbeda dengan ahlu al-hadits. <br /><br />Ibnu ash-Shalah ditanya tentang perbedaan antara as-sunnah dengan al-hadits tentang perkataan sebagian 'ulama tentang al-Imam Malik bahwa beliau mengumpulkan antara as-sunnah dengan al-hadits (yakni ahlu as-sunnah sekaligus ahlu al-hadits), maka beliau menjawab: “ As-sunnah adalah lawan dari al-bid'ah, kadang-kadang seseorang termasuk ahlu al-hadits tapi dia ahlu al-bid'ah sedangkan Malik mengumpulkan dua sunnah, yakni beliau sangat mengetahui sunnah (yakni hadits) dan ber'aqidah sunnah (yakni madzhab (aqidah) nya adalah madzhab yagn ahlu al-haq bukan bid'ah ).”<br /><br />Mereka disebut ahlu al-hadits karena mereka pembawa sunnah dan orang yang paling dekat kepada sunnah, dan mereka adalah pewaris Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan penukil sunnah-nya, ahlu al-bid'ah di antara mereka sangat sedikit, sebagian besar dari mereka adalah mengikuti atau ittiba' bukan ibtida' yakni berbuat bid'ah.<br /><br />Sehingga jika disebut ahlu al-hadits dalam kitab-kitab 'aqidah maka yang dimaksud adalah ahlu al-hadits dalam riwayat dan dirayah dan ittiba', tidak hanya sekedar mendengar, menulis dan meriwayatkan hadits tanpa ittiba'. Sehingga maksud ahlu al-hadits adalah ahlu as-sunnah secara muthlaq khususnya dalam kitab-kitab 'aqidah dari para salaf.<br /><br />Sedangkan penamaan yang lain yakni “ الطائفة المنصورة " yang bermakna “Golongan yang ditolong”. Penamaan ini berasal dari hadits:<br /><br />(( لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ حتى يأتيهم أمر الله وهم ظاهرون))<br />“Akan selalu ada segolongan dari ummatku yang selalu tegak (di atas kebenaran) sehingga datang kepada mereka perintah ALLAH dan mereka tetap tegak (di atas kebenaran). (HR al-Bukhari)<br /><br />(( لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي منصورين، لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حتى تقوم الساعة))<br />“Akan selalu ada segolongan dari ummatku yang ditolong, tidak memudharatkan mereka orang-orang yang menjatuhkan mereka sehingga tegaklah hari kiamat.” (HR at-Tirmidzi, beliau berkata hasan shahih, dan dishahihkan al-Albani)<br /><br />Para salaf telah menjelaskan maksud gelar ini (thaifah manshurah), 'Abdullah bin al-Mubarak berkata: ”Mereka menurutku adalah ashabu al-hadits.” Maksud ashabu al-hadits adalah ahlu al-hadits yakni ahlu as-sunnah.<br /><br />Yazid bin Harun berkata: “Jika mereka bukan ashabu al-hadits maka saya tidak tahu siapa lagi mereka itu.”<br />'Ali bin al-Madini berkata: “Mereka adalah ashabu al-hadits.”<br />al-Imam Ahmad berkata: “Jika golongan yang ditolong ini bukan ashabu al-hadits maka saya tidak tahu lagi siapa mereka itu.”<br />al-Bukhari berkata: “Mereka adalah ahlu al-'ilmi ('ulama).”<br />dalam riwayat lain dari al-Khatib al-Baghdadi, al-Bukhari berkata: “Mereka ashabu al-hadits”, tentu saja ini tidak bertentangan sebab ahlu al-hadits termasuk ahlu al-'ilmi ('ulama). <br />Ahmad bin Sinan berkata: “Mereka ahlu al-'ilmi dan ashabu al-atsar.” Ahlu al-atsar yang dimaksud sama dengan ahlu al-hadits.<br /><br />Kenapa ahlu al-hadits adalah golongan yang paling berhak mendapat pertolongan dan kemenangan dari ALLAH? Sebab mereka menolong sunnah Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, mengamalkannya, dan membelanya sehingga mereka orang yang paling layak mendapat gelar “thaifah manshurah” sebagaimana kata Abu 'Abdillah al-Hakim: “ Sungguh Ahmad bin Hambal sangat tepat dalam tafsir khabar ini bahwa ath-Thaifah al-Manshurah yang diangkat dari mereka pengkhianatan sampai hari kiamat adalah ashabu al-hadits …”<br />Maksud ahlu al-hadits di sini adalah ahlu as-sunnah sebagaimana telah dijelaskan.<br />al-Qadhi 'Iyadh berkata: “Sesungguhnya Ahmad bermaksud (dari ashabu al-hadits) adalah ahlu as-sunnah wa al-jama'ah dan siapapyn yang beraqidah dengan madzhab ahlu al-hadits.”<br /><br />Sehingga jelas sekali bahwa ahlu al-hadits menurut tafsir para salaf terhadap ath-Thaifah al-Manshurah adalah Ahlu as-Sunnah wa al-Jama'ah, merekalah golongan yang ditolong, oleh karena itu banyak didapatkan dalam kitab-kitab 'aqidah pemutlakan nama ath-Thaifah al-Manshurah atas nama Ahlu as-Sunnah wa al-Jama'ah.<br /><br />Meskipun dalam beberapa riwayat disebut letak golongan yang ditolong ini di daerah Syam, tidak berarti membatasi hanya di Syam saja akan tetapi dalam suatu masa mereka ini yakni golongan yang ditolong ini ada di Syam di mana pada masa yang lain bisa di Hijaz maupu di Mesir atau tempat-tempat lain, ALLAH a'lam.<br /><br />Metode penerimaan ilmu agama. <br /><br />Sumber ilmu mereka baik dalam 'aqidah, 'ibadah, mu'amalah, akhlak dan seluruh cabang-cabang syari'ah adalah hanya dari al-Quran dan as-Sunnah.<br /><br />Menurut ahlu as-sunnah tidak ada yang maksum kecuali Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, semua perkataan siapapun boleh diambil atau ditinggalkan kecuali perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Perkataan imam-imam mereka mengikuti perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bukan sebaliknya. <br /><br />Oleh karena itu tampak pada diri mereka iltizam dan selalu mengikuti sunnah sebagaimana jama'ah pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yakni para shahabat radhiallahu 'anhum dan orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka. Mereka tidak menerima ijtihad atau pendapat apapun kecuali setelah ditimbang dengan al-Quran dan as-Sunnah serta ijma' salaf.<br /><br />Ahlu as-sunnah wa al-jama'ah tidaklah bersikap kecuali dengan ilmu dan akhlak para as-salafu ash-shalih dan orang-orang yang mengambi dari mereka dan melazimi jama'ah mereka. Hal itu disebabkan karena para shahabat radhiallahu 'anhum belajar tafsir al-Quran dan al-Hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka mengajarkan kepada para tabi'in dan mereka tidak pernah sama sekali mendahului ALLAH dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak dengan pendapat, tidak pula perasaan, tidak pula akal, tidak pula yang lainnya.<br /> <br />ALLAH telah memuji mereka dalam al-Quran:<br /><br />{ وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ} (التوبة: 100) <br />“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”<br /><br />Maka ALLAH menjadikan pengikut mereka dengan baik mendapat ridha dan surga-Nya. Maka barang siapa mengikuti as-sabiqun al-awwalun maka termasuk golongan mereka dan mereka adalah sebaik-baik manusia setelah para nabi karena ummat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah sebaik-baik ummat yang dikeluarkan untuk manusia dan para shahabat pada hakikatnya adalah sebaik-baik ummat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.<br /><br />Ahlu as-Sunnah adalah ahlu at-tawassuth wa al-i'tidal (ummat pertengahan dan moderat)<br /><br />Ummat Islam adalah sebaik-baik ummat sebagaimana firman ALLAH ta’ala:<br />}كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ) {آل عمران: من الآية: 110)<br />“Kalian adalah sebaik-baik ummat yang dikeluarkan untuk manusia” (QS: Ali Imran:110)<br />mereka juga ummat pertengahan sebagaimana firman-Nya:<br />}وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا) {البقرة: من الآية: 142.(<br />Ummat Islam adalah sebaik-baik ummat dari seluruh ummat agama lain sehingga Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah adalah sebaik-baik ummat dari ummat Islam karena kebaikan ummat Islam adalah karena mereke berpegang dan mengamalkan al-Quran dan as-Sunnah sedangkan Ahlus as-Sunnah adalah golongan yang paling berpegang kepada al-Quran dan as-Sunnah sebagaimana para shahabat radhiallahu ‘anhum sehingga merekalah sebaik-baik golongan dari ummat Islam. <br />Sifat pertengahan Ahlu as-Sunnah tampak pada ciri-ciri dan sifat mereka yakni:<br />Pertengahan dalam bab sifat-sifat ALLAH Ta’ala di antara orang-orang yang menta’thilnya (menolak) seperti Jahmiyah dan orang-orang yang menyerupakannya dengan sifat makhluk (tamtsil).<br />Pertengahan dalam bab perbuatan hamba-hamba-Nya di antara Jabriyah (menganggap hamba-hamba-Nya dipaksa tanpa kehendak sama sekali) dan Qadariyah (menolak adanya takdir).<br />Pertengahan dalam bab janji dan ancaman ALLAH Ta’ala di antara Murji’ah dengan Khawarij serta Mu’tazilah.<br />Pertengahan dalam bab sikap terhadap para shahabat di antara orang-orang yang berlebihan dengan beberapa shahabat dengan orang-orang mengkafirkan mereka.<br />Pertengahan dalam bab ‘aql da naql.<br />Selain sifat-sifat tersebut, maka Ahlu-as-Sunnah mempunyai ciri-ciri berupak akhlak mulia seperti bersabar terhadap musibah, bersyukur ketika diberi kelapangan, ridha ketika dengan takdir yang buruk. Mengajak menyempurnakan ibadah dan akhlak yang mulia. Amar ma’ruf dan nahi munkar juga merupakan ciri-ciri khas Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah. <br />Pembahasan rinci sifat-sifat tersebut ada dalam kitab-kitab ‘aqidah, ‘ibadah dan akhlak yang ditulis oleh para ulama Ahlu as-Sunnah dari zaman ke zaman.<br /><br />ALLAH a’lam<br /><br /></span>Noor Akhmad Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/10833235638280077629noreply@blogger.com8tag:blogger.com,1999:blog-7422174640475267309.post-24900794749634172302011-01-05T21:55:00.002+08:002011-01-08T11:29:02.185+08:00Peluang Beasiswa MEDIU Gelombang Februari 2011Seiring dengan berkembangnya Teknologi Informasi dan Komunikasi serta<br />kebutuhan masyarakat akan Ilmu dan Pendidikan Islam yang berkualitas, MEDIU<br />kembali<br /><br />membuka peluang beasiswa bagi gelombang Februari 2011..<br /><br /><br />Persyaratan Akademik Umum untuk penerimaan sarjana adalah sebagai berikut :<br />1. Lulusan SMA, paket C sederajat untuk mendaftar S1.<br />2. Lulusan Sarjana Strata 1 untuk mendaftar S2.<br />3. Lulusan Sarjana Strata 2 untuk mendaftar S3.<br />4. Ijazah Negara<br /><br />Adapun Langkah Mendaftar MEDIU (baik S1/S2/S3) adalah sebagai berikut:<br />1. Mengisi form pendaftaran online.<br />2. Kirimkan dokumen beserta data registrasi online ke LC Mediu Yogyakarta.<br /><br />Dokumen-dokumen persyaratan antara lain:<br />a. Fotokopi legalisir ijazah pendidikan terakhir (ijazah yang diakui<br />Negara).<br />b. Fotokopi legalisir transkrip nilai terakhir.<br />c. Pas photo 3x4 3 lembar, 2x3 3 lembar.<br />d. Fotokopi KTP yang dilegalisir RT/RW/Kelurahan.<br />e. Surat pernyataan bahwa siap mentaati peraturan pembelajaran dan<br />menjalankan kegiatan belajar dengan baik di MEDIU.<br />f. Dokumen pendukung lainnya: fotokopi surat pernyataan penghasilan atau<br />slip gaji resmi, surat rekomendasi, sertifikat kejuaraan, dsb. Semua dokumen<br />harus dilegalisir<br /><br />oleh notaris, instansi pemerintahan, imam masjid jami', yayasan atau ormas<br />islam yang diakui pemerintah.<br />g. Pendaftar program pascasarjana menyertakan proposal riset.<br /><br />3. Membayar administrasi pendaftaran sebesar USD8/IDR80.000 dan administrasi<br />tes profesiensi bahasa arab (MAPT) sebesar USD32/IDR320.000<br />4. Pendaftar menunggu konfirmasi pihak MEDIU untuk mengikuti tahap<br />selanjutnya (MAPT dan wawancara).<br /><br />GELAR KELULUSAN<br />Kelulusan mahasiswa MEDIU untuk tingkat pendidikan tinggi (S1/BA, S2/MA dan<br />S3/Ph.D) diakui secara resmi oleh Departemen Pengajian Tinggi Malaysia.<br />Gelar dari<br /><br />Malaysia. Alumni dapat mengurus penyetaraan ke Departemen Pendidikan<br />Nasional Indonesia.<br /><br />BIAYA PENDIDIKAN<br />S1 : USD 960/semester<br />S2 : USD 1501/semester<br />S3 : USD 1501/semester<br /><br />PELUANG BEASISWA<br />Beasiswa akan diberikan bagi mereka yang memiliki program Dakwah dan<br />Pendidikan, tidak memiliki kemampuan secara finansial dan memiliki komitmen<br />belajar dengan<br /><br />sungguh-sungguh<br /><br />SYARAT BEASISWA<br />1. Mengisi form online beasiswa<br />2. Lulus tes MAPT/MEPT<br />3. Mengirimkan kelengkapan beasiswa (Surat Keterangan Penghasilan + Surat<br />Rekomendasi)<br />4. Mengikuti wawancara beasiswa<br />5. Disetujui oleh Tim Beasiswa<br /><br />PROSEDUR PENDAFTARAN<br />1. Sudah selesai daftar online<br />2. Mengisi: http://online.mediu.edu.my/apply/applicant/login.aspx<br />3. Upload slip gaji dan surat rekomendasi<br /><br />Informasi pendaftaran silakan menghubungi:<br />1. LC Mediu Yogyakarta, Jalan Kusumanegara no 222, muja muju Yogyakarta No<br />telp: 0274-376751 , HP : +6285228302205<br />2. Pekanbaru: 0812 761 3424 (Delisman)<br />3. Batam: 0813 6103 9045 (Fikri Alhamdi)<br />4. Palembang: 0711 839 2712 (Aidil Fitriansyah)<br />5. Jakarta: 0813 9371 7993 (Eko Mas Uri)<br />6. Bandung: 0852 2003 2867 (Beni Sarbeni)<br />7. Cirebon: 0231 252 5807 (Budi Faidin)<br />8. Pekalongan: 0815 4209 8453 (Najmuddin)<br />9. Surabaya: 0812 5960 7507 (Mukhlis Susila)<br /><br />Ujian Masuk MEDIU di Jakarta dan Bandung<br /><br />Dengan semangat memberikan kemudahan kepada calon Mahasiswa, untuk gelombang<br />penerimaan Februari 2011, MEDIU akan mengadakan ujian masuk di Jakarta dan<br />Bandung dengan jadwal sebagai berikut:<br /><br />Bandung, Ahad 9 Januari 2011 (Informasi: Beni Sarbeni 0852 2003 2867)<br /><br />Jakarta, Sabtu 15 Januari 2011 (Informasi: Eko Masuri 0813 9371 7993)<br /><br />Persiapkan diri Anda dan tunggu jadwal tes ujian masuk di kota lainnya.<br /><br /><br />YM: mediuinfo<br />email: yogyakarta@lms.mediu.edu.myNoor Akhmad Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/10833235638280077629noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7422174640475267309.post-53843614565502810332010-10-25T06:42:00.001+08:002010-10-25T06:44:37.050+08:00Penelusuran Hadis dengan Jawami'u al-Kalim v4.5Hadis lengkapnya:<br /><br /> <br /><br />حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ التُّسْتَرِيُّ حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ الْمُوَفَّقِ أَبُو الْجَهْمِ حَدَّثَنَا فُضَيْلُ بْنُ مَرْزُوقٍ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ<br /><br />قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ إِلَى الصَّلَاةِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ وَأَسْأَلُكَ بِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا فَإِنِّي لَمْ أَخْرُجْ أَشَرًا وَلَا بَطَرًا وَلَا رِيَاءً وَلَا سُمْعَةً وَخَرَجْتُ اتِّقَاءَ سُخْطِكَ وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ فَأَسْأَلُكَ أَنْ تُعِيذَنِي مِنْ النَّارِ وَأَنْ تَغْفِرَ لِي ذُنُوبِي إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ أَقْبَلَ اللَّهُ عَلَيْهِ بِوَجْهِهِ وَاسْتَغْفَرَ لَهُ سَبْعُونَ أَلْفِ مَلَكٍ<br /><br /> <br /><br />HR Ibnu Majah No 770 – Maktabah Syamilah<br /><br /> <br /><br />Artinya:<br /><br /> <br /><br />“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sa’id bin Yazid bin Ibrahim at-Tusturi, telah menceritakan kepada kami al-Fadhl bin al-Muwaffaq Abu al-Jahm, telah menceritakan kepada kami Fudhail bin Marzuq dari ‘Athiyah dari Abi Sa’id al-Khudri, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: Barang siapa keluar dari rumahnya untuk mengerjakan shalat kemudian berkata: Ya ALLAH sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dengan hak orang-orang yang meminta kepada-Mu dan aku meminta kepada-Mu dengan hak jalanku, sesungguhnya aku tidaklah keluar mengkufuri nikmat tidak pula sombong, tidak pula riya’, tidak pula sum’ah, dan aku keluar takut akan murka-Mu dan mengharapkan ridha-Mu, maka aku meminta kepada-Mu untuk melindungiku dari api neraka dan mengampuni dosa-dosaku sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau. ALLAH menghadapkan wajah-Nya kepadanya dan tujuh puluh ribu malaikat memohonkan ampun untuknya.”<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />Derajat hadis:<br /><br /> <br /><br />Berdasar pencarian di www.dorar.net milik Syaikh ‘Alwi as-Saqqaf, didapatkan beberapa pendapat:<br /><br /> <br /><br />al-Hafidz al-Mundziri : dalam isnadnya ada pembicaraan kemudian beliau menukil dari syaikhnya yakni Abu al-Hasan bahwa hadisnya hasan.<br /><br /> <br /><br />Ibnu Taimiyah: dalam isnadnya ada ‘Athiyah al-‘Aufiy dan dia lemah menurut kesepakatan ahli ilmu.<br /><br /> <br /><br />al-Hafidz al-‘Iraqi : isnadnya hasan.<br /><br /> <br /><br />al-Hafidz Ibnu Hajar : hasan.<br /><br /> <br /><br />al-Albani: dha’if, isnadnya dha’if, munkar.<br /><br /> <br /><br />Sedangkan pencarian dalam Maktabah Syamilah didapatkan:<br /><br /> <br /><br />al-Baushiri: isnadnya lemah karena kelemahan ‘Athiyah dan rawi darinya.<br /><br /> <br /><br />al-Hafidz al-‘Iraqi: isnadnya hasan.<br /><br /> <br /><br />‘Alwi bin ‘Abdi al-Qadir as-Saqqaf dalam takhrij fii dzilal ... : dha’if<br /><br /> <br /><br />al-Hafidz Ibnu Hajar: hasan.<br /><br /> <br /><br />Terdapat perbedaan di antara para ulama hadis dan ini wajar pada hadis-hadis antara hasan lighairihi dan dha’if. Bagaimana kita memilih pendapat-pendapat tersebut?<br /><br /> <br /><span class="fullpost"><br /><br />Salah satu permasalahan dari rawi-rawi tersebut adalah ada pada ‘Athiyah al-‘Aufiy. Apa kata para ulama jarh wa ta’dil?<br /><br /> <br /><br />Dengan bantuan Jawami’u al-Kalim v4.5 dan Mausu’ah Ruwatu al-Hadis didapatkan:<br /><br /> <br /><br />al-Jauzajani: dha’if, ma’il.<br /><br />al-Jurjani: bersamaan dengan dha’ifnya ditulis hadisnya, dia termasuk syi’ah Kufah.<br /><br />al-Baihaqi: dha’if, tidak boleh berhujjah dengannya.<br /><br />al-‘Uqaili: menyebutkannya dalam orang-orang dha’if.<br /><br />Abu Hatim ar-Razi: dha’if, ditulis hadisnya.<br /><br />Ibnu Hibban: tidak halal berhujjah dengannya tidak pula ditulis hadisnya kecuali dari sisi ta’ajjub.<br /><br />Abu Dawud as-Sijistani: bukan termasuk orang yang dijadikan sandaran.<br /><br />Ahmad bin Hanbal: hadisnya dha’if.<br /><br />Ibnu Hajar: (dalam at-Taqrib) shaduq (jujur), banyak melakukan kesalahan, dan dia seorang syi’ah yang mudallis (suka menyamarkan hadis atau syaikh).<br /><br />ad-Daruquthni: dha’if, hadisnya mudhtharib (guncang).<br /><br />adz-Dzahabi: mereka mendha’ifkannya.<br /><br />as-Saji: bukan hujjah.<br /><br />Sufyan ats-Tsauri: hadisnya dilemahkan.<br /><br />al-Waqidi: tsiqah insya ALLAH, dia punya hadis-hadis yang baik, dan sebagian orang tidak berhujjah dengannya.<br /><br />Hasyim bin Basyir al-Wasithi: dia membicarakannya, melemahkan hadisnya.<br /><br />Yahya al-Qaththan: dha’if.<br /><br />Yahya bin Ma’in: shalih, dha’if kecuali bahwa dia ditulis hadisnya.<br /><br /> <br /><br />Didapatkan juga keterangan dari Ibnu Hibban dalam adh-Dhu’afa’ bahwa tadlis (penyamaran) ‘Athiyah adalah menyamarkan al-Kalbi seorang pendusta hadis dengan kunyah Abu Sa’id sehingga seakan-akan itu Abu Sa’id al-Khudri (sahabat). Ini tadlis yang sangat buruk dengan menyamarkan syaikhnya yang lemah seakan-akan syaikhnya yang tsiqah. Sehingga Ibnu Hajar mengatakan dia adalah mudallis. Ibnu Hajar dalam Thabaqat al-Mudallisin (1/50 Maktabah Syamilah) memasukkan ‘Athiyah dalam tingkatan empat dari lima tingkat (tingkat lima adalah yang terburuk). Ibnu Hajar menyebutkan ‘Athiyah masyhur dengan tadlis qabih (jelek).<br /><br /> <br /><br />Dari keterangan tersebut jelas ‘Athiyah seorang yang dha’if tetapi bisa terangkat hadisnya menjadi hasan lighairihi jika ada penguat (mutaba’ah) dari jalur yang lain (diisyaratkan dengan ditulis hadisnya tapi tidak bisa jadi hujjah jika menyendiri). Dengan catatan ada keterangan bahwa riwayat itu betul-betul dari Abu Sa’id al-Khudri bukan dari al-Kalbi.<br /><br /> <br /><br />Sehingga dalam Jawami’ul Kalim disimpulkan : dha’if al-hadis (hadisnya lemah).<br /><br /> <br /><br />Pertanyaanya adalah: Apakah ada penguat? kalau ada apakah cukup kuat untuk menjadi penguat?<br /><br /> <br /><br />Dengan bantuan Jawami’ul Kalim v4.5 didapatkan:<br /><br /> <br /><br />Penguat pertama:<br /><br /> <br /><br />حَدَّثَنَا ابْنُ مَنِيعٍ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ ثَابِتٍ الْجَزَرِيُّ، عَنِ الْوَازِعِ بْنِ نَافِعٍ الْعُقَيْلِيِّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ بِلالٍ مُؤَذِّنِ الرَّسُولِ K قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ K إِذَا خَرَجَ إِلَى الصَّلاةِ قَالَ: " بِسْمِ اللَّهِ، آمَنْتُ بِاللَّهِ، تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ، اللَّهُمَّ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ، وَبِحَقِّ مَخْرِجِي هَذَا، فَإِنِّي لَمْ أَخْرُجْهُ أَشَرًا وَلا بَطَرًا وَلا رِيَاءً وَلا سُمْعَةً، خَرَجْتُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ، وَاتِّقَاءَ سَخَطِكَ، أَسْأَلُكَ أَنْ تُعِيذَنِي مِنَ النَّارِ، وَتُدْخِلَنِي الْجَنَّةَ "<br /><br /> <br /><br />HR Ibnu Sunni dalam ‘Amalu al-Yaumi wa al-Lailah No. 84(85) (Jawami’u al-Kalim v4.5)<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />Semua rawinya terpercaya kecuali al-Wazi’ bin Nafi’ al-‘Uqaili, lemah bahkan sebagian menyatakan dia memalsukan hadis. Jawami’ul Kalim v4.5 menyimpulkan matruk al-hadis. Sehingga tidak bisa jadi penguat bagi hadis ‘Athiyah.<br /><br /> <br /><br />Penguat kedua:<br /><br /> <br /><br />أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ الْحَرَّانِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ أَحْمَدُ بْنُ يَعْقُوبَ الأَهْوَازِيُّ الْخَطِيبُ، قَالَ: حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ حَمْدَوَيْهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَشِيدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عُبَيْدَةَ، عَنِ الْحَسَنِ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ الأَسْلَمِيُّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ كَانَ إِذَا أَتَى الصَّلاةَ، قَالَ: " اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ وَإِقْبَالِي إِلَيْكَ لَمْ أُقْبِلُ أَشِرًا وَلا بَطَرًا وَلا رِيَاءً وَلَكِنْ أَقْبَلْتُ ابْتِغَاءَ طَاعَتِكَ، تَنْزِيهًا عَنْ سَخَطِكَ، فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي، فَإِنَّهُ لا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلا أَنْتَ ".قَالَ: " مَنْ قَالَهَا أَقْبَلَ اللَّهُ بِوَجْهِهِ إِلَيْهِ، وَحُفَّتْ حَوْلَهُ الْمَلائِكَةُ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ صَلاتِهِ "<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />HR Abul Husain bin Muhammad bin ‘Ali bin al-Muhtadi billah dalam al-Awwal min Masyaikhah Abi al-Husain bin al-Muhtadi billah No. 139 (Jawami’u al-Kalim v4.5)<br /><br /> <br /><br />Di dalam sanadnya ada rawi yang bermasalah:<br /><br /> <br /><br />1. Abu ‘Ubaidah Maja’ah bin az-Zubair.<br /><br /> <br /><br />al-Jurjani berkata: dia termasuk yang mungkin (yuhtamalu), dan hadisnya ditulis.<br /><br />al-‘Uqaili menyebutnya dalam adh-Dhu’afa’<br /><br />Ibnu Hibban menyebutkan dalam ats-Tsiqat, hadisnya mustaqim dari para tsiqaat.<br /><br />Ahmad bin Hanbal mengatakan tidak ada masalah pada dirinya.<br /><br />ad-Daruquthni menyebutkan dalam sunan-nya dan berkata: dha’if.<br /><br />Syu’bah mengatakan dia banyak puasa dan shalat.<br /><br />‘Abdurrahman bin Yusuf bin Kharrasy mengatakan: dia tidak dijadikan i’tibar.<br /><br />Jawami’u al-Kalim v4.5 menyimpulkan: shaduq, hasan al-hadis.<br /><br /> <br /><br />Saya cukup heran dengan kesimpulan Jawami’u al-Kalim ini sebab tidak ada yang mentsiqahkan kecuali Ibnu Hibban yang secara umum tidak diterima pentsiqahannya kecuali dengan syarat-syarat tertentu. Pujian Syu’bah hanya dalam masalah ibadah, begitu juga sepertinya komentar Ahmad bin Hanbal. Bahkan al-‘Uqaili mendha’ifkannya, dan ‘Abdurrahman Kharrasy tidak menjadikan hadisnya i’tibar (tidak bisa mengangkat menjadi hadis hasan lighairihi). Pendapat yang pertengahan adalah hadisnya ditulis untuk i’tibar, ALLAH A’lam. Dalam hal ini bisa menguatkan hadis ‘Athiyah.<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />2. ‘Abdullah bin Rasyid<br /><br /> <br /><br />al-Baihaqi berkata: tidak boleh berhujjah dengannya.<br /><br />Ibnu Hibban menyebutkannya dalam ats-Tsiqaat.<br /><br />Abu ‘Awanah al-Isfaraini mentsiqahkannya.<br /><br />adz-Dzahabi mengatakan: tidak kuat dan ada jahalah pada dirinya.<br /><br />Jawami’u al-Kalim v4.5 menyimpulkan: maqbul (diterima jika ada mutaba’ah). Dalam dirayah Jawami’u al-Kalim v4.5 disebut laisa bilqawiy (tidak kuat).<br /><br /> <br /><br />3. Ja’far bin Hamdawaih yakni Ja’far bin Muhammad<br /><br /> <br /><br />Disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim ar-Razi dalam al-Jarh wa at-Ta’dil. Beliau berkata: dia meriwayatkan dari ‘Abdillah bin Abi Bakr al-‘Atki, Abu Hamid Ahmad bin Sahal al-Isfaraini dan ‘Abdan al-Jawaliqi meriwayatkan darinya.<br /><br />Jawami’ul Kalim v4.5 menyimpulkan majhul hal dan laisa bilqawiy (tidak kuat).<br /><br /> <br /><br />Di dalam Maktabah Syamilah juga hanya ada keterangan dari Ibnu Abi Hatim di al-Jarh wa at-Ta’dil sama dengan di Jawami’u al-Kalim v4.5. Setidaknya dua orang tsiqah yang meriwayatkan darinya dalam Jawami’u al-Kalim v4.5. sehingga betul kalau majhul hal.<br /><br /> <br /><br />4. Abu al-‘Abbas Ahmad bin Ya’qub al-Ahwazi al-Khatib yakni Muhammad bin Ya’qub al-Khatib.<br /><br /> <br /><br />Tidak didapatkan jarh wa ta’dil hanya Ibnu Hibban dan ath-Thabrani meriwayatkan darinya. Jawami’u al-Kalim v4.5 menyimpulkan: jujur, hadisnya hasan. Saya tidak tahu dari mana kesimpulan ini.<br /><br />Di dalam Maktabah Syamilah pun tidak ditemukan pentsiqahannya walaupun para tsiqah meriwayatkan darinya (dalam Jawami’u al-Kalim v4.5 ada setidaknya lima tsiqah). Sehingga setinggi-tingginya majhul hal.<br /><br /> <br /><br />5. Muhammad bin Ahmad bin ‘Ali<br /><br /> <br /><br />Tidak ada keterangan jarh wa ta’dil. al-Khatib hanya menyebutkan beliau di Tarikh Baghdad. Tercatat hanya Muhammad bin ‘Ali al-Qurasyi yang meriwayatkan darinya. Jawami’u al-Kalim v4.5 menyimpulkan maqbul dan laisa bilqawiy. Kalau dilihat dari data yang ada lebih tepat majhul ‘ain karena hanya satu rawi saja yang meriwayatkan darinya sehingga tidak bisa jadi penguat bagi hadis ‘Athiyah.<br /><br /> <br /><br />Dalam Tarikh Baghdad 1/146 Maktabah Syamilah, disebutkan bahwa Muhammad bin ‘Ali bin al-Muhtadi billah mengatakan pada al-Khatib al-Baghdadi: beliau (Muhammad bin Ahmad bin ‘Ali) adalah hamba yang shalih dan memujinya dengan pujian yang baik.<br /><br /> <br /><br />Saya tidak tahu apakah ini cukup untuk pentsiqahan beliau ataukah pujian biasa karena ibadahnya, sebab lafadznya tidak jelas sebagai pentsiqahan.<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />Dari uraian di atas terasa berat mengangkat hadis ‘Athiyah menjadi hasan lighairihi dengan penguat kedua ini mengingat banyak rawi yang bermasalah bahkan sampai pada majhul ‘ain. Walaupun begitu Jawami’ul Kalim v4.5 menyimpulkan derajatnya hasan lighairihi. ALLAH A’lam.<br /><br /> <br /><br />Sedangkan permasalahan Fudhail bin Marzuq telah ditutupi oleh al-Fudhail bin Ghazwan dalam riwayat Ibnu Basyran dalan Amali-nya, begitu pula kelemahan al-Fadhl bin al-Muwaffaq telah ditutupi di antaranya oleh Yazid bin Harun dalam riwayat Ahmad dalam Musnad-nya. Sehingga inti permasalahan ada di ‘Athiyah. Sedangkan tadlisnya tertutupi dengan penyebutan al-Khudri bukan sekedar Abu Sa’id yang biasa dia lakukan kepada al-Kalbi walaupun ada kemungkinan penyebutan al-Khudri ini dilakukan oleh rawi-rawi setelahnya mengingat tadlis ini yang dilakukan ‘Athiyah supaya orang-orang yang meriwayatkan darinya mengira dari Abu Sa’id al-Khudri padahal al-Kalbi.<br /><br /> <br /><br />Dari informasi di atas maka saya lebih cenderung memilih bahwa hadis ini lemah dan tidak cukup terangkat menjadi hasan lighairihi dengan sebab tidak adanya penguat yang cukup dan adanya kemungkinan tadlis ‘Athiyah dengan nama Abu Sa’id sebab kata al-Khudri kemungkinan dari rawi-rawi setelahnya. ALLAH A’lam.<br /><br /> <br /><br />Mohon masukan jika ada tambahan informasi.<br /><br /> <br /><br />Makna Hadis:<br /><br /> <br /><br />Kalau seandainya hadis itu hasan maka tawassul yang diperbolehkan adalah dengan hak orang-orang yang meminta yang artinya ijabah (jawaban) ALLAH Ta’ala atas permintaan orang-orang yang meminta (saa’iliin). Begitu juga hak jalan seorang muslim ke masjid yakni diberi pahala, ampunan dan rahmah oleh ALLAH Ta’ala. Sehingga tidak tepat diqiyaskan dengan tawassul dengan diri (zat) atau kehormatan para Nabi atau orang shalih. Jadi seandainya ingin bertawassul dengan dasar hadis ini maka penyebutannya harus sama yakni dengan hak baik orang-orang yang meminta pada ALLAH maupun amal shalih (jalan ke masjid).<br /><br /> <br /><br />ALLAH A’lam<br /><br /><br /><br /><br /><br /></span>Noor Akhmad Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/10833235638280077629noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-7422174640475267309.post-21234843463910890422010-09-13T18:25:00.002+08:002010-09-13T18:30:26.399+08:00Prasangka Boleh atau Terlarang?Dalil tidak bolehnya persangkaan:<br /><br />يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمُُ<br /><br />“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari sangkaan (supaya kamu tidak menyangka sangkaan yang dilarang) kerana sesungguhnya sebahagian dari sangkaan itu adalah dosa ...” QS al-Hujurat:12.<br /><br />Ayat ini menunjukkan perintah untuk menjauhi kebanyakan sangkaan karena sebagian sangkaan itu dosa. Mafhumnya ada di sana sangkaan yang tidak berdosa dan tidak diperintahkan untuk menjauhinya. Kita lihat tafsir para ulama tentang hal ini:<br /><br />Ibnu Katsir: “ALLAH Ta’ala berfirman dalam rangka melarang hamba-hambanya yang beriman terhadap kebanyakan prasangka yakni tuduhan dan tuduhan khianat tidak pada tempatnya terhadap keluarga, kerabat dan manusia. Karena sebagian (prasangka) itu hanyalah dosa maka hendaknya menjauhi kebanyakan darinya (prasangka) dalam rangka berhati-hati.”<br /><br />Beliau menafsirkan prasangka yang dimaksud dengan tuduhan dan tuduhan khianat. Sebagai contoh ketika ada orang dimintai sumbangan tidak memberi terus kita tuduh bakhil. Orang yang menasihati kita kita tuduh dengki. Orang yang memperingatkan kesalahan seseorang kita tuduh ghibah, buruk sangka dan lain sebagainya.<br /><br /><span class="fullpost"><br /><br />al-Qurthubi berkata: “Ulama kami berkata, prasangka di sini dan di dalam ayat ini adalah tuduhan. Sisi peringatan dan pelarangan (dalam ayat ini) hanyalah tuduhan tanpa sebab yang mewajibkannya (menunjukkannya) sebagaimana orang yang dituduh berbuat keji atau minum khamr –misalnya-- padahal tidak nampak atasnya apa yang menunjukkan hal tersebut.”<br /><br />Ibnu Jauzi menukil pendapat az-Zujaj tentang ayat ini: “Yaitu berprasangka kepada orang yang baik dengan kejelekan, sedangkan orang yang buruk dan fasik maka bagi kita berprasangka sama dengan apa yang nampak dari mereka”.<br /><br />Sehingga berprasangka buruk kepada orang-orang yang menampakkan keburukannya tidak termasuk prasangka yang dilarang. Contohnya adalah hadis:<br /><br />Datang seseorang minta izin kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka beliau berkata: "Sejelek-jelek saudara kerabat(kabilah)!", ketika orang itu duduk beliau berseri-seri wajahnya dan ramah kepadanya...." (HR Bukhari dan Muslim)<br /><br />Tidaklah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut prasangka yang diharamkan.<br /><br />Bahkan di dalam syari’at Islam banyak hal yang didasarkan persangkaan:<br /><br />Ketika seorang Qadhi atau Hakim menghukum seseorang yang berbuat kejahatan, tidak mungkin dia lepas dari persangkaan sebab bukti-bukti serta saksi saksi tidaklah sampai ke derajat yakin. Kalau persangkaan Hakim berdasar bukti-bukti serta saksi yang ada bahwa si penjahat bersalah lebih kuat dari sangkaan bahwa si penjahat tidak bersalah, maka Qadhi atau Hakim boleh menjatuhkan hukuman, jika sebaliknya maka tidak boleh. Tidak perlu harus sampai kepada derajat yakin atau pasti.<br />Bahkan si Hakim pun boleh menolak persaksian seseorang berdasar persangkaan melalui data-data yang ada walaupun tidak sampai ke level yakin atau pasti.<br /><br />Begitu pula mengamalkan hadis-hadis yang shahih walaupun hanya dari satu jalur riwayat tentu tidak lepas dari persangkaan.<br /><br />So janganlah kita mudah menuduh orang lain yang tidak sejalan dengan kita dengan label-label : buruk sangka kepada saudaranya. Sebab menuduh orang lain tanpa bukti itu adalah salah satu dari persangkaan yang dilarang.<br /><br />ALLAH A’lam<br /><br /></span>Noor Akhmad Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/10833235638280077629noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7422174640475267309.post-17389044801956926182010-09-13T18:23:00.003+08:002010-09-13T18:33:32.212+08:00Cinta dan Kekerasan, Benci dan KelembutanHadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:<br /><br />لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ<br /><br />"Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga mencintai untuk saudaranya apa-apa yang dia cintai untuk dirinya"<br /><br />"maa" adalah isim maushul berarti apa-apa sebagai maf'ul bihi (objek) dari yuhibba. Kalau "sebagaimana" dalam bahasa arab dengan kata "kamaa".<br /><br />Hadis ini --sebagaimana kadang-kadang disalah fahami-- tidak bicara cinta kepada saudaranya tapi mencintai (sesuatu) untuk saudaranya. Artinya berbeda antara cinta<br />kepada saudara dengan mencintai (sesuatu) untuk saudara.<br /><br /><span class="fullpost"><br /><br />Contoh cinta kepada saudara: aku cinta kepada dia karena dia ibadahnya bagus.<br /><br />Contoh cinta untuk saudara (apa-apa yang dia cintai untuk dirinya):<br /><br />aku cinta punya mobil maka aku juga suka saudaraku punya mobil.<br /><br />aku cinta mengikuti kebenaran maka aku juga cinta saudaraku mengikuti kebenaran.<br /><br />Sehingga kelaziman atau konsekuensi cinta untuk saudaranya itu adalah mengajarinya, menasihatinya, menegurnya kalau melenceng dari kebenaran sampai menghukumnya kalau diperlukan supaya tetap di atas kebenaran.<br /><br />Cinta tidak selalu identik dengan lembut walaupun asal dari cinta adalah lembut, kadang-kadang bahkan seringkali cinta itu menjadi harus keras. Contoh ketika Rasulullah shallallah 'alaihi wa sallam melihat tumit para sahabat tidak terkena air wudhu, apa teguran beliau?<br /><br />ويل للأعقاب من النار<br /><br />"Celakalah tumit-tumit dari neraka" (HR Bukhari dan Muslim)<br /><br />Pertanyaan saya, ini sikap keras atau lembut?<br />Ini beliau shallallahu 'alaihi wa sallam lakukan karena cinta atau bukan?<br /><br />Contoh yang kedua: Saat seorang sahabat memakai cincin emas, apa yang Rasulullah shallallah 'alaihi wa sallam?<br /><br />beliau mencopot paksa dan mebuangnya sambil berkata:<br /><br />يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَجْعَلُهَا فِي يَدِهِ<br /><br />"Salah seorang kalian bermaksud dengan kerikil (bara) dari api kemudian dia jadikan di tangannya" (HR Muslim)<br /><br />Pertanyaan saya, ini sikap keras atau lembut?<br />Ini beliau shallallahu 'alaihi wa sallam lakukan karena cinta atau bukan?<br /><br />Contoh yang lain banyak banyak sekali baik dan juga dicontohkan sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in.<br /><br />Salah satu contoh ada di tafsir QS At-Taubah: 118 dan kisah asbabun nuzulnya tentang Kisah Ka'ab bin Malik yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim serta disebut an-Nawawi dalam Riyadhush Shalihin dalam Bab Taubat.<br /><br />Bagaimana di situ sedih dan sampai menangisnya Ka'ab bin Malik diboikot Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan seluruh sahabat, bahkan oleh istrinya sendiri karena tidak ikut perang Tabuk, padahal orang-orang munafik yang berbohong dengan meyampaikan 'udzur tidak ikut perang malah disikapi baik dan dimohonkan ampun oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (karena melihat dzahirnya, bukan melihat hatinya). Kalau mau cari kebenaran silakan dibaca, kalau tidak punya bisa saya kirimi.<br /><br />Sikap keras luar biasa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabat kepada Ka'ab bin Malik dan dua sahabatnya ini karena cinta atau bukan?<br /><br />Sikap lembut dan memohonkan ampun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada orang-orang munafik ini apakah berarti cinta pada orang munafik? tentu saja tidak sebab orang-orang munafik ini ma'ruf dan dikenal di kalangan sahabat.<br /><br />Sebaliknya sikap lembut tidak selalu identik dengan cinta, contoh:<br />Dari 'Aisyah radhiallahu 'anha:<br />Datang seseorang minta izin kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka beliau berkata: "Sejelek-jelek saudara kerabat(kabilah)!", ketika orang itu duduk beliau berseri-seri wajahnya dan ramah kepadanya...." (HR Bukhari dan Muslim)<br /><br />Apakah lemah lembutnya itu karena cinta atau bukan? padahal orang itu di-"ghibah" dengan sejelek jelek saudara kerabat (kabilah). Ini menunjukkan bahwa ghibah juga tidak selalu terlarang sebagaimana Imam Nawawi menjelaskan ghibah yang dibolehkan dalam Riyadhush Shalihin.<br /><br />Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menukil al-Imam al-Khattabi berkaitan dengan “ghibah” yang dilakukan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: Justru wajib atas beliau untuk menjelaskan hal tersebut (kejelekan orang itu) dan membuka dan memperkenalkan pada orang banyak keadaan orang tersebut (kejelekannya) karena itu termasuk bab nasihat dan kasih sayang kepada ummat ini.<br /><br />Ibnu Hajar dalam Fathul Bari juga menukil perakatan al-Imam al-Qurthubi:<br /><br />Dalam hadis ini terdapat bolehnya ghibah kepada orang yang terang-terangan melakukan kefasikan atau kekejian dan semacamnya seperti dzalim dalam hukum, penyeru bid’ah bersama kebolehan mudarah (bersikap lembut karena alasan agama) karena takut kejelekan mereka selama tidak mengarah kepada mudahanah (bersikap lembut karena alasan duniawi dengan mengorbankan agama) di dalam agama ALLAH Ta’ala.<br /><br />Kemudian mengomentari hadis di atas sana (hadis tentang cinta pada saudara muslim), Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari menukil ucapan al-Hafidz al-Kirmani:<br /><br />"Dan termasuk keimanan juga adalah membenci untuk saudaranya apa-apa yang dia benci untuk dirinya sendiri dari kejelekan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutnya sebab cinta pada sesuatu melazimkan benci pada sebaliknya, maka beliau meninggalkan nash atasnya (atas benci) karena telah mencukupi."<br /><br />Lihatlah jelinya para Ulama dalam memahami hadis, jadi membenci itu termasuk kelaziman dari mencintai. Kalau mau beriman dengan sempurna maka bencilah untuk saudaranya apa-apa yang dia benci untuk dirinya sendiri. Kalau saudaranya berbuat salah, bid'ah dan maksiat ya jangan biarkan tapi ya diingatkan tapi tentu saja semata-mata karena ALLAH Ta'ala. Caranya bisa lembut bisa keras tergantung situasi dan kondisi.<br /><br />Dan hal yang penting benci tidak identik dengan lembah lembut juga tidak identik dengan kasar dan keras. Benci bisa jadi lemah lembut kalau diperlukan, bisa jadi keras kalau diperlukan.<br /><br />Benci dan cinta karena ALLAH ada pembahasannya tersendiri sedang sikap lembut dan keras ada pembahasannya sendiri. Semua ada timbangan syar'inya dan dasar ilmunya.<br /><br />Apakah benci dan cinta serta keras dan lembut kita sudah berdasar ilmu atau hanya perasaan? silakan dijawab sendiri-sendiri.<br /><br /><br /><br />ALLAH A'lam<br /></span>Noor Akhmad Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/10833235638280077629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7422174640475267309.post-3063334771590186522009-12-18T19:39:00.001+08:002009-12-18T19:41:31.295+08:00Tafsir Surat al-Baqarah: 186وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ<br /><br />Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran (al-Baqarah 2:186).<br /><br />Latar belakang turunnya ayat tersebut:<br /><br />Ibnul Jauzi dalam tafsirnya (I / 189) menyebut lima peristiwa:<br /><br />Pertama: Seorang arab badui mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata: Apakah Rabb kita dekat sehingga kita bermunajat (berbisik) dengan-Nya ataukah jauh sehingga kita menyeru-Nya? maka turunlah ayat ini.<br /><br />Kedua: Yahudi Madinah berkata: Wahai Muhammad! Bagaimana Rabb kita mendengar doa kita sedangkan engkau menganggap antara kita dan langit berjarak perjalanan 500 tahun? Maka turunlah ayat ini.<br /><br />Ketiga: Mereka (sahabat) berkata: Wahai Rasulullah! Seandainya kita mengetahui kapan waktu yang paling disukai Allah untuk kita berdoa dengan doa kami. Maka turunlah ayat ini.<br /><br />Keempat: Sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: Di mana Allah? Maka turunlah ayat ini.<br /><br />Kelima: Ketika diharamkan makan dan hubungan suami istri setelah bangun tidur pada masa awal-awal diwajibkannya puasa atas orang-orang Islam, seorang dari mereka (sahabat) makan setelah bangun tidur dan seorang behubungan suami istri setelah bangun tidur, maka mereka bertanya: Bagaimana cara bertaubat dari apa yang telah mereka lakukan?. Kemudian turunlah ayat ini.<br /><br />Peristiwa-peristiwa tersebut sebagai latar belakang turunnya ayat ini juga disebutkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari (III / 223 – 225), Ibnu Katsir (II / 186 – 187), al-Baghawi (I / 204) dan al-Qurthubi (III / 177 – 178).<br /><br />Tafsir:<br /><span class="fullpost"><br />Ibnu Jarir ath-Thabari berkata dalam tafsirnya (III / 222):<br /><br />“Allah Jalla tsanaa’uhu dengan ayat tersebut bermaksud: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepada engkau, wahai Muhammad, tentang Aku, Di manakah Aku? Maka sesungguhnya Aku adalah dekat dengan mereka, Aku mendengar doa mereka dan Aku menjawab doa orang yang berdoa di antara mereka”.<br /><br />al-Baghawi dalam tafsirnya berkata (I / 204):<br /><br />“Di dalam ayat ini ada yang tersirat, seakan-akan Allah berkata: Maka katakanlah kepada mereka bahwa sesungguhnya Aku adalah dekat dengan mereka dengan ilmu, tidak ada satupun yang tersembunyi, sebagaimana firman-Nya:<br /><br />وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ<br /><br />... , dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (Qaf 50:16)”<br /><br /><br />Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya (II / 188):<br /><br />“Ini seperti firman-Nya ta’ala:<br /><br />إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ<br /><br />Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan (an-Nahl 16:128),<br /><br />sebagaimana firman-Nya kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihima as-salam:<br /><br />إِنَّنِي مَعَكُمَآ أَسْمَعُ وَأَرَى<br /><br />sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat (Thaha 20:46),<br /><br />dan maksud dari ayat ini bahwa Allah ta’ala tidaklah mengecewakan orang yang berdoa, dan tidak ada satupun yang menyibukkan-Nya (sehingga tidak mendengar), justru Dia maha mendengarkan doa. Di dalam ayat ini terdapat penyemangat untuk berdoa dan bahwa Allah ta’ala tidaklah mensia-siakannya (doa) ...”<br /><br />asy-Syinqithi dalam Adhwa’ al-Bayan (I / 143) berkata:<br /><br />“Allah menyebutkan dalam ayat ini bahwa Allah Jalla wa ‘Alaa dekat dan menjawab doa orang yang berdoa dan Allah menjelaskan dalam ayat yang lain adanya ketergantungan (syarat yakni) dengan kehendak-Nya. Ayat itu adalah:<br /><br />فَيَكْشِفُ مَاتَدْعُونَ إِلَيْهِ إِن شَآءَ<br /><br />maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepada-Nya, jika Dia menghendaki (al-An’am 6:41),<br /><br />Dan sebagian (ulama tafsir) berkata (tentang ayat 6:41): ketergantungan (dikabulkannya doa) dengan kehendak (Allah) adalah untuk doa orang-orang kafir sebagaimana dzahir konteks ayatnya (artinya doa orang kafir dikabulkan dengan syarat Allah menghendakinya). Sedangkan janji mutlak (dikabulkannya doa) adalah untuk doa orang-orang yang beriman. Doa-doa mereka (mu’min) tidaklah ditolak, mungkin diberikan langsung seperti yang mereka minta, atau Allah menyimpan (untuk di akhirat) hal yang lebih baik untuk mereka, atau Allah menghindarkan kejelekan dari mereka dengan takdir-Nya. Sebagian ulama berkata: Maksud dari doa adalah ibadah dan maksud ijabah (menjawab) adalah pahala (sehingga “Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku” bermakna: ”Aku memberikan pahala ibadah orang yang beribadah kepada-Ku apabila ia beribadah”), maka tidak ada kesulitan dalam memahaminya”.<br /><br /><br />al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya (III / 177):<br /><br />“Firman Allah Ta’ala:<br /><br />وَإِذَا سَأَلَكَ<br /><br />(Dan apabila mereka bertanya kepadamu ...)<br />bermakna: dan apabila mereka bertanya kepadamu tentang sesembahan mereka (Allah), maka beritahukan kepada mereka bahwa Dia adalah dekat, Dia memberi pahala atas ketaatan, menjawab orang yang berdoa dan mengetahui apa yang diperbuat hamba-Nya yang berupa puasa, shalat dan ibadah-ibadah yang lain”.<br /><br />Beliau juga berkata (III / 178):<br /><br />“Firman-Nya Ta’ala:<br /><br />فَإِنِّي قَرِيبٌ<br /><br />(Maka sesungguhnya Aku adalah dekat)<br />yakni: dengan jawaban-Nya, ada yang berkata: dengan ilmu-Nya. Ada juga yang berkata: dekat kepada wali-wali-Ku dengan memuliakan dan memberi nikmat pada mereka”.<br /><br />Beliau melanjutkan (III / 178):<br /><br />“Firman-Nya Ta’ala:<br /><br />أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ<br /><br /><br />(Aku menjawab doa orang yang berdoa kepada-Ku)<br />yakni: Aku menerima ibadah orang yang beribadah kepada-Ku, maka doa tersebut bermakna ibadah kepada-Nya. Ijabah (menjawab) tersebut bermakna menerima ibadah mereka”.<br /><br />Beliau melanjutkan (III / 184 - 185):<br /><br />فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي<br /><br />(Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku))<br /><br />Abu Raja’ al-Khurasani berkata: Maka hendaknya mereka berdoa kepada-Ku. Ibnu ‘Athiyah berkata: maknanya adalah: hendaknya mereka mencari jawaban (doa) mereka. Ini termasuk bab (wazan) istaf’ala yang bermakna thalaba (mencari sesuatu) kecuali seperti istaghnallah (yang bermakna menganggap yakni menganggap dirinya kaya atau cukup dari Allah). Mujahid dan yang lainnya berkata: maknanya: Hendaknya mereka menjawab (memenuhi panggilan) Ku terhadap apa yang telah aku serukan (panggil) pada mereka dari keimanan yakni : untuk taat dan beramal. Dikatakan: ajaaba dan istajaaba bermakna sama (yakni menjawab atau memenuhi panggilan).<br /><br />Sedangkan ar-rasyaad (berpetunjuk) adalah kebalikan dari al-ghaiy (sesat) dari<br />rasyada yarsyudu rusydan.<br /><br />al-Harawi berkata: ar-rusydu – ar-rasyadu – ar-rasyaadu : al-hudaa (petunjuk) dan al-isitqaamah (istiqamah) sebagaimana firman-Nya “la’allahum yarsyuduuna””.<br /><br />Asy-Syaukani berkata dalam tafsirnya yakni Fathu al-Qadir (I/337):<br />“Firman ALLAH:<br />وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي<br />(Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,)<br /><br />Salah satu kemungkinan maknanya adalah pertanyaan tentang dekat dan jauh-nya ALLAH sebagaimana ditunjukkan oleh:<br /><br />فَإِنِّي قَرِيبٌ<br />(maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.)<br /><br />Kemungkinan yang lain adalah: pertanyaan tentang dijawabnya doa yang telah dipanjatkan sebagaimana ditunjukkan oleh :<br /><br />أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ<br />(Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku,)<br /><br />Kemungkinan yang lain adalah: pertanyaan tentang apa-apa yang lebih umum dari yang telah disebutkan (jauh dan dekat atau jawaban dari doa).<br /><br />Firman-Nya:<br /><br /><br />فَإِنِّي قَرِيبٌ<br />(maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.)<br /><br />sebagian berkata: (dekat) dengan menjawab (doa), sebagian berkata: (dekat) dengan ilmu, sebagian berkata: dengan memberi nikmat ...”<br /><br />Beliau juga berkata: “Dzahir dari makna “ijabah” (menjawab) adalah tetap kembali kepada makna bahasanya. Adapun bahwa doa adalah termasuk ibadah tidaklah melazimkan bahwa “menjawab” bermakna mengabulkan doa yakni menjadikannya ibadah yang diterima. Menjawab doa adalah perkara yang lain yang tidak sama dengan menerima ibadah (doa) tersebut. Sehingga maksudnya adalah bahwa ALLAH subhanahu menjawab dengan apa yang Dia kehendaki dengan cara yang Dia kehendaki. Kadang-kadang yang diminta diberikan dengan segera atau setelah waktu yang lama. Kadang-kadang yang berdoa dihindarkan dari bala’ (musibah) yang tidak dia ketahuinya dengan sebab dia berdoa. Ini semua dengan syarat tidak adanya hal yang melampaui batas dari orang yang berdoa dalam doanya sebagaiman firman ALLAH:<br /><br />ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ<br />Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al-A’raaf :55).<br /><br />Termasuk melampaui batas dalam berdoa adalah meminta apa yang tidak berhak baginya, tidak pantas baginya, seperti orang yang meminta kedudukan di surga sama dengan kedudukan para nabi atau lebih tinggi.<br /><br />Firmannya<br /><br />فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي<br /><br />maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku<br /><br />Yakni: sebagaimana Aku telah menjawab mereka apabila mereka berdoa kepada-Ku, maka hendaknya mereka menjawab-Ku terhadap apa yang Aku serukan kepada mereka dari keimanan dan ketaatan. Dan dikatakan bahwa maknanya adalah: Sesungguhnya mereka memohon jawaban ALLAH subhanahu terhadap doa-doa mereka dengan cara menjawab (seruan) ALLAH yakni dalam menegakkan apa-apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya”.<br /><br />Ibnu Rajab al-Hambali berkata dalam Rawai’u at-Tafsir (1/138-142):<br /><br />“Dan tidaklah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memahamai nash-nash ini selain makna yang benar yang dimaksud. Mereka mengambil faidah dengannya berupa ma’rifat (mengenali) keagungan ALLAH dan kemuliaan-Nya; pengawasan dan penglihatan-Nya atas hamba-hamba-Nya dan pengetahuan-Nya atas mereka; kedekatan-Nya pada hamba-hamba-Nya dan ijabah-Nya atas doa-doa mereka sehingga menjadikan mereka (sahabat) bertambah-tambah khasyah (takut) kepada ALLAH, mengagungan-Nya, memuliakan-Nya, segan kepada-Nya, muraqabah (merasa diawasi-Nya) dan rasa malu (kepada-Nya). Dan mereka beribadah kepada-Nya seakan-akan mereka melihat-Nya”.<br /><br />Ibnu Rajab juga berkata:<br /><br />“Kemudian muncul setelah mereka orang yang sedikit wara’nya, buruk pemahaman dan maksudnya, lemah pengagungan terhadap ALLAH, lemah rasa takut (kepada ALLAH) di dalam dadanya. Mereka ingin dilihat manusia sebagai orang yang istimewa dengan pemahaman yang dalam dan kuatnya pemikiran, hingga beranggapan bahwa nash-nash ini menunjukkan bahwa ALLAH dengan dzat-Nya ada di setiap tempat sebagaimana dikisahkan pemahaman tersebut dari kelompok-kelompok jahmiyyah, mu’tazilah dan yang sejalan dengan mereka, sungguh Maha tinggi ALLAH dari apa yang mereka katakan. Pemahaman ini tidaklah terlintas pada orang sebelum mereka dari kalangan para sahabat radhiallahu ‘anhum. Mereka (jahmiyyah, mu’tazilah dan yang sejalan) adalah termasuk orang yang mengikuti apa yang mutasyabih dan mencari fitnah dan ta’wilnya. Dan sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan ummatnya dari mereka dalam hadits ‘Aisyah yang shahih dan muttafaqun ‘alaihi (al-Bukhari dan Muslim)”.<br /><br />“Mereka juga terperangkap dengan pemahaman mereka yang lemah dengan maksud yang rusak terhadap ayat-ayat di dalam Kitab ALLAH (al-Quran) seperti firman-Nya:<br /><br />وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَاكُنتُمْ<br /><br />Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. (QS al-Hadid: 4)<br /><br />dan firman-Nya:<br /><br />مَايَكُونُ مِن نَّجْوَى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ هُوَ رَابِعُهُمْ<br /><br />Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. (QS al-Mujaadilah: 7)<br /><br />Sebagian ulama salaf berkata berkaitan dengan ayat tersebut: ALLAH tidak bermaksud kecuali bahwa Dia bersama mereka dengan ilmu-Nya. Mereka (para ‘ulama salaf) bermaksud membatalkan apa yang dikatakan oleh mereka (jahmiyyah, mu’tazilah dan yang sejalan) yang tidak pernah dikatakan dan difahami dari al-Quran oleh orang sebelum mereka”.<br /><br />“Termasuk yang berkata bahwa kebersamaan (ma’iyah) ini adalah dengan ilmu-Nya (bukan dengan dzat-Nya) adalah Muqatil bin Hayyan dan diriwayatkan darinya bahwa beliau meriwayatkan dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas”.<br /><br />“Perkataan ini juga dikatakan oleh Adh-Dhahhak, beliau berkata: ALLAH di atas ‘arsy-Nya dan ilmu-Nya di setiap tempat”.<br /><br />“Perkataan serupa juga diriwayatkan dari Malik, ‘Abdul ‘Aziz bin al-Majisyun, Ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq dan selain mereka dari pada imam-imam salaf”.<br /><br />“al-Imam Ahmad meriwayatkan: terlah bercerita kepada kami ‘Abdullah bin Nafi’, beliau berkata, Malik berkata: ALLAH di atas langit dan ilmunya di setiap tempat”.<br /><br />“Makna ini juga diriwayatkan dari ‘Ali dan Ibnu Mas’ud”.<br /><br />“Al-Hasan berkata tentang firman-Nya Ta’ala:<br /><br />إِنَّ رَبَّكَ أَحَاطَ بِالناَّسِ<br /><br />Sesungguhnya Tuhanmu meliputi segala manusia (QS al-Israa: 60)<br /><br />Beliau (al-Hasan) berkata: ilmu-Nya terhadap manusia”.<br /><br />“Ibnu Abdil Barr dan yang lain menceritakan adanya ijma’ (kesepakatan) ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in tentang ta’wil (tafsir) firman-Nya:<br /><br />وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَاكُنتُمْ<br /><br />Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. (QS al-Hadid: 4)<br /><br />bahwa maksudnya adalah ‘ilmunya”.<br /><br />“Semua ini mereka maksudkan sebagai bantahan terhadap orang yang berkata: sesungguhnya Dia (ALLAH) Ta’ala dengan dzatnya ada di setiap tempat”.<br /><br />Sebagian orang yang mengaku pandai beranggapan bahwa apa yang dikatakan oleh para imam tersebut adalah salah, karena ilmu ALLAH adalah sifat yang tidak berpisah dari dzat-Nya. Ucapan ini adalah buruk sangka dengan para imam-imam Islam karena mereka tidaklah bermaksud seperti apa yang dia sangka. Mereka tidak bermaksud kecuali bahwa ilmu ALLAH melekat dengan (meliputi) apapun yang ada di seluruh tempat oleh karena itu apa ada di seluruh tempat tersebut adalah apa yang ALLAH ilmui (ketahui) bukan sifat dari dzat-Nya. Sebagaimana isyarat itu ada dalam al-Quran dengan firman-Nya:<br /><br />وَسِعَ كُلَّ شَىْءٍ عِلْمًا<br /><br />Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu (QS Thaha: 98)<br /><br />dan<br /><br />رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَىْءٍ رَّحْمَةً وَعِلْمًا<br /><br />Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu (QS Ghafir: 7)<br /><br />serta<br /><br />ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَايَلِجُ فِي اْلأَرْضِ وَمَايَخْرُجُ مِنْهَا وَمَايَنزِلُ مِنَ السَّمَآءِ وَمَايَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَاكُنتُمْ<br /><br />Kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. (QS al-Hadid: 4)”.<br /><br />“Harb berkata: Aku bertanya Ishaq tentang firman-Nya:<br /><br /><br />مَايَكُونُ مِن نَّجْوَى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ هُوَ رَابِعُهُمْ<br /><br />Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. (QS al-Mujaadilah: 7)<br /><br />Beliau berkata: Di manapun engkau ada, Dia lebih dekat kepadamu dari pada urat lehermu dan Dia terpisah dari makhluknya.<br /><br />Dan bukanlah sifat dekat ini seperti dekatnya makhluk seperti yang telah diketahui sebagaimana disangka oleh orang-orang yang sesat. Sifat dekat ini adalah dekat yang tidak menyerupai sifat dekat dari makhluk sebagaimana Yang disifati (dengan dekat) adalah:<br /><br />لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ<br /><br />“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” QS asy-Syura: 11.<br /><br />Seperti ini juga perkataan tentang hadis-hadis nuzul (turunnya ALLAH) ke langit dunia, sesungguhnya sifat nuzul itu semacam sifat dekatnya Rabb kepada orang yang berdoa kepada-Nya, meminta kepada-Nya dan mohon ampun kepada-Nya.<br /><br />Hammad bin Zaid pernah ditanya tentang hal teresebut, maka beliau berkata: Dia ada di tempat-Nya mendekat pada makhuqnya sebagaimana yang Dia kehendaki.<br /><br />Maksudnya bahwa nuzul-Nya tidaklah berpindah dari satu tempat ke tempat lain seperti nuzulnya makhuq-makhluk.<br /><br />Hanbal berkata: Aku bertanya kepada Abu Abdillah: Apalah ALLAH turun ke langit dunia? Beliau menjawab: betul. Aku berkata: Turun-Nya dengan ilmunya atau dengan apa? Beliau menjawab: Diamlah engkau dari hal ini, ada apa denganmu dengan ini? Beliau berkata: Baiklah, biarkanlah hadis itu atas apa yang diriwayatkan tanpa bagaimana tanpa batasan kecuali dengan apa-apa yang dibawa oleh atsar-atsar (riwayat-riwayat) dan apa-apa yang dibawa oleh al-Kitab (al-Quran). ALLAH berfirman:<br /><br />فَلاَ تَضْرِبُوا لِلَّهِ اْلأَمْثَالَ<br /><br />“Janganlah engkau mengadakan persamaan-persamaan bagi ALLAH ...” QS an-Nahl: 74.<br /><br />Dia (ALLAH) turun (nuzul) sebagaimana yang Dia kehendaki dengan ilmu-Nya, qudrah-Nya, dan keagungan-Nya. Dia -yakni ilmuNya- meliputi segala sesuatu. Orang yang berusaha mensifati-Nya tidak akan mencapai derajat (ketinggian) Nya. Tidak akan jauh dari-Nya ‘azza wa jalla, orang-orang yang berlari (menjauh dari-Nya).<br /><br />Maksudnya: Bahwa nuzul-Nya Ta’ala bukanlah seperti nuzulnya makhluk-makhluk akan tetapi nuzul-Nya adalah nuzul yang sesuai dengan qudrah-Nya, keagungan-Nya dan ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu. Sedangkan makhluk-makhluk tidak bisa meliputi ALLAH dengan ilmu pengetahuan. Mereka hanya mampu sampai kepada apa yang ALLAH khabarkan kepeda mereka tentang diri-Nya dan apa yang dikhabarkan tentang-Nya oleh Rasul-Nya.<br /><br />Oleh karena itu salaf shalih sepakat atas membiarkan nash-nash ini sebagaimana datangnya tanpa tambahan dan pengurangan. Sedangkan apa-apa yang sudah difahami dari nash-nash (sifat) itu dan apa apa yang terbatasnya akal dalam mengetahui hakikatnya diserahkan kepada yang mengetahuinya.<br /><br />Selesai ucapan Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah.<br /><br />al-Qasimi dalam tafsirnya (II/431) menjelaskan makna qarib (dekat):<br />“Maknanya Yang dekat kepada hamba-Nya dengan cara mendengar doanya, melihat hambanya merendahkan dirinya (sungguh-sungguh memohon), dan dengan ilmu-Nya.”<br /><br /><br />Dari penjelasan para ulama di atas beberapa pelajaran yang bisa didapatkan adalah:<br /><br />ALLAH Ta’ala dekat (qarib) dengan hamba-hamba-Nya dengan ilmunya bukan dengan dzat-Nya. Dzat ALLAH ada di atas ‘Arsy-Nya di atas langit sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahahaman para salaf. Sifat dekat ALLAH tidak menyerupai apapun dari makhluknya dan begitu pula sifat-sifat-Nya yang lain.<br /><br />Manhaj para salaf dari kalangan para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in dalam nama-nama dan sifat-sifat ALLAH adalah membiarkan apa adanya tanpa bagaimana dan batasan-batasan yakni tanpa menanyakan bagaimananya, tanpa menyerupakan dengan makhluk-Nya, tanpa penolakan dan tanpa pengubahan dari makna asalnya.<br /><br />Disyari’atkan dan diperintahkan berdo’a kepada ALLAH, karena berdoa diperintahkan maka berdo’a adalah perbuatan yang diridhai-Nya sehingga termasuk ibadah. Semakin sering berdo’a maka dia akan mendapat lebih banyak ridha dan pahala dari ALLAH Ta’ala di samping dikabulkan doanya.<br /><br />ALLAH Ta’ala akan menjawab setiap doa dari hamba-hamba-Nya apabila memenuhi syarat dan tidak adanya penghalang yang mengakibatkan doa seseorang tidak dijawab oleh ALLAH Ta’ala. Jawaban ALLAH atas setiap doa tidak selalu sama persis dengan yang diinginkan hamba-Nya akan tetapi ada tiga kemungkinan seperti telah dijelaskan.<br /><br />Menjawab seruan ALLAH Ta’ala yakni dengan beriman kepada-Nya dan melaksanakan keta’atan kepada-Nya adalah cara mendapatkan jawaban ALLAH atas doa-doa hamba-Nya. Maka beriman dan ta’at kepada ALLAH yakni dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya adalah salah satu sebab doa-doa hamba-Nya dijawab oleh ALLAH. Menjawab seruan ALLAH Ta’ala dengan keimanan dan keta’atan juga penyebab seseorang mendapatkan petunjuk.<br /><br /><br />ALLAH Ta’ala A’lam bi ash-shawab<br /><br />al-faqir ilaa rahmati Rabbihi<br /><br />NA Setiawan<br /><br /><br /><br /></span>Noor Akhmad Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/10833235638280077629noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-7422174640475267309.post-14986431659590214042009-11-13T11:37:00.001+08:002013-11-25T20:48:58.725+08:00Tafsir Surat Luqman Ayat 6وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ 6<br /><br />Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.<br /><br />QS Luqman:6<br /><br />"Lahwal hadits" yang diterjemahkan sebagai perkataan yang tidak berguna ditafsirkan sebagai:<br /><br />Ibnu Jarir Ath-Thabari menyebutkan:<br /><br />Ibnu Mas'ud (Sahabat): "Nyanyian, demi Yang tidak ada yang berhak disembah selain Dia" beliau sampai mengulangnya tiga kali<br /><br />Ibnu 'Abbas (Sahabat): "Nyanyian dan yang sejenisnya dan mendengarkannya"<br /><br />Jabir (Sahabat):"Nyanyian dan mendengarkannya"<br /><br />Mujahid (Tab'in):"Nyanyian dan semua permainan yang melalaikan" dalam kesempatan lain beliau mengatakan "Genderang (rebana)"<br /><br />'Ikrimah (Tabi'in):"Nyanyian"<br /><br />Adh-Dhahak: "Syirik (menyekutukan ALLAH)"<br /><br /><span class="fullpost"><br /><br />Ibnu Jarir Ath-Thabari sendiri mengomentari:<br /><br />والصواب من القول في ذلك أن يقال: عنى به كلّ ما كان من الحديث ملهيا عن سبيل الله مما نهى الله عن استماعه أو رسوله؛ لأن الله تعالى عمّ بقوله:(لَهْوَ الحَدِيثِ) ولم يخصص بعضا دون بعض، فذلك على عمومه حتى يأتي ما يدلّ على خصوصه، والغناء والشرك من ذلك.<br /><br />Pendapat yang betul adalah: Yang dimaksud dengannya (perkataan yang tidak berguna) adalah semua perkataan yang melalaikan dari jalan ALLAH dari apa-apa yang dilarang ALLAH dari mendengarkannya atau apa-apa yang dilarang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (dari mendengarkannya), karena ALLAH menjadikan firmannya (perkataan tidak berguna) umum dan tidak mengkhususkan sebagian yang satu dari sebagian yang lain. Oleh karena itu tetap berlaku umum sehingga datang dalil yang mengkhususkannya. Nyanyian dan syirik termasuk dari itu (perkataan tidak berguna).<br /><br />Lihat Tafsir Ath-Thabari tentang ayat tersebut.<br /><br />Ibnu Katsir juga menyebutkan makna perkataan yang tidak berguna sebagai "nyanyian" dari Sa'id bin Jubair, Makhul, 'Amru bin Syu'aib, Hasan al-Bashri dan 'Ali bin Badzimah dari kalangan para tabi'in.<br /><br />Ibnu Katsir sendiri juga mengomentari:<br /><br />عطف بذكر حال الأشقياء، الذين أعرضوا عن الانتفاع بسماع كلام الله، وأقبلوا على استماع المزامير والغناء بالألحان وآلات الطرب<br /><br />ALLAH menyambung dengan menyebutkan keadaan orang-orang yang celaka yaitu orang -orang yang berpaling dari mengambil manfaat dengan mendengarkan kalam ALLAH dan malah cenderung mendengarkan lagu-lagu, nyanyian dengan nada-nada tertentu dan alat-alat musik.<br /><br />Lihat Tafsir Ibnu Katsir tentang ayat tersebut.<br /><br />Al-Baghawi menyebutkan perkataan Ibrahim An-Nakha'i (Tabi'in):<br />"Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati".<br /><br />Al-Baghawi sendiri menafsirkan (mempergunakan perkataan yang tidak berguna):<br /><br />يستبدل ويختار الغناء والمزامير والمعازف على القرآن<br /><br />Menggantikan dan memilih nyanyian, lagu-lagu dan musik atas al-Quran.<br /><br />Lihat Tafsir Al-Baghawi tentang ayat tersebut.<br /><br />Dan masih banyak sekali perkataan para sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in tentang makna ayat tersebut yakni nyanyian.<br /><br />Al-Qurthubi menyampaikan panjang lebar dalam tafsirnya, boleh dirujuk di kitab tafsir beliau.<br /><br />Kemudian apakah yang dimaksud nyanyian dan lagu dalam pembahasan di atas?<br />apakah setiap nyanyian dilarang atau setiap nada-nada atau lagu-lagu dilarang mutlak?<br /><br />Al-Qurthubi menjelaskan dalam tafsirnya:<br /><br />وَهُوَ الْغِنَاء الْمُعْتَاد عِنْد الْمُشْتَهِرِينَ بِهِ , الَّذِي يُحَرِّك النُّفُوس وَيَبْعَثهَا عَلَى الْهَوَى وَالْغَزَل , وَالْمُجُون الَّذِي يُحَرِّك السَّاكِن وَيَبْعَث الْكَامِن ; فَهَذَا النَّوْع إِذَا كَانَ فِي شِعْر يُشَبَّب فِيهِ بِذِكْرِ النِّسَاء وَوَصْف مَحَاسِنهنَّ وَذِكْر الْخُمُور وَالْمُحَرَّمَات لَا يُخْتَلَف فِي تَحْرِيمِهِ ; لِأَنَّهُ اللَّهْو وَالْغِنَاء الْمَذْمُوم بِالِاتِّفَاقِ .<br /><br />Nyanyian yang dimaksud adalah nyanyian yang biasa dinyanyikan menurut orang-orang yang mempopulerkannya. Yaitu nyanyian yang yang menggerakkan nafsu dan membangkitkannya atas hawa dan cumbu rayu dan kelakar (lawak) yang akan menggerakkan yang diam dan mengeluarkan yang tersembunyi (muncul aib-aib). Jenis ini apabila di dalam sya'ir akan mengobarkannya dengan menyebutkan wanita dan sifat-sifat kecantikannya, menyebutkan khamr dan hal-hal yang diharamkan di mana tidak ada beda pendapat tentang keharamannya. Karena itu adalah sia-sia dan nyanyian adalah tercela dengan kesepakatan.<br /><br />فَأَمَّا مَا سَلِمَ مِنْ ذَلِكَ فَيَجُوز الْقَلِيل مِنْهُ فِي أَوْقَات الْفَرَح ; كَالْعُرْسِ وَالْعِيد وَعِنْد التَّنْشِيط عَلَى الْأَعْمَال الشَّاقَّة , كَمَا كَانَ فِي حَفْر الْخَنْدَق<br /><br />Sedangkan nyanyian yang selamat dari hal tersebut maka sedikit dari itu adalah boleh di dalam masa-masa bergembira seperti pernikahan, hari raya dan ketika digunakan untuk menyemangati beramal yang berat sebagaimana saat menggali parit ...<br /><br />فَأَمَّا مَا اِبْتَدَعَتْهُ الصُّوفِيَّة الْيَوْم مِنْ الْإِدْمَان عَلَى سَمَاع الْمَغَانِي بِالْآلَاتِ الْمُطْرِبَة مِنْ الشَّبَّابَات وَالطَّار وَالْمَعَازِف وَالْأَوْتَار فَحَرَام .<br /><br />Sedangkan apa yang dibuat-buat oleh orang-orang shufi pada hari ini (zaman al-Qurthubi) dengan membiasakan atas mendengarkan nyanyi-nyanyian dengan alat-alat musik seperti syabaabaat, thaar, ma'azif, autaar (nama-nama alat musik dipukul, dipetik dlsb) adalah haram.<br /><br />Kemudian bagaimana pendapat para ulama madzhab?<br /><br />Al-Qurthubi memberikan beberapa penukilan:<br /><br />Imam Malik bin Anas pernah ditanya tentang nyanyian yang dibolehkan oleh sebagian orang-orang di Madinah, beliau menjawab: Yang melakukan itu menurut kami hanyalah orang-orang fasiq.<br /><br />Madzhab Abu Hanifah adalah membenci nyanyian walaupun membolehkan minum nabidz dan beliau menganggap mendengarkan nyanyian termasuk dosa.<br /><br />Begitu pula madzhab seluruh penduduk Kufah: Ibrahim (an-Nakha'i), Asy-Sya'bi, Hammad, Ats-Tsauri dan selainnya, tidak ada beda pendapat di antara meraka dalam hukum nyanyian.<br /><br />Begitu pula tidak diketahui di antara penduduk Bashrah adanya beda pendapat tentang dibencinya nyanyian dan larangannya kecuali apa yang diriwayatkan dari 'Ubaidullah bin al-Hasan al-'Anbari, beliau membolehkannya.<br /><br />Sedangkan madzhab Syafi'i beliau berkata: Nyanyian adalah dibenci dan menyerupai hal yang bathil dan barang siapa memperbanyaknya maka dia orang bodoh yang ditolak persaksiannya.<br /><br />Sedangkan madzhab Ahmad tidak ada keterangan tegas tentang hal tersebut, bahkan diriwayatkan beliau membolehkannya.<br /><br />Ibnu al-Jauzi mengatakan yang dimaksud (yang dibolehkan) adalah qashidah zuhud (sya'ir 7-10 bait) berisi tentang hal-hal zuhud.<br /><br />Ahmad ketika ditanya tentang seseorang yang meninggal dan meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang budak perempuan penyanyi. Si anak ingin menjual budaknya. Ahmad menjawab: budak perempuan dijual sebagai budak biasa bukan sebagai budak yang penyanyi. Ada yang berkata: harganya bisa sampai 30 ribu, boleh jadi kalau dijual sebagai budak biasa hanya 20 ribu. Ahmad menjawab: tidak boleh dijual kecuali sebagai budak biasa.<br /><br />Ibnu al-Jauzi mengomentari:<br /><br />Ahmad berkata seperti ini karena budak perempuan ini penyanyi dan tidak bernyanyi dengan qashidah zuhud tapi dengan sya'ir-sya'ir musik yang membangkitkan cinta.<br /><br />Ini adalah dalil atas nyanyian adalah dilarang di mana kalau tidak dilarang maka tidak boleh menghilangkan harta anak yatim (lihat dan fahami kasus di atas)<br /><br />Ath-Thabari berkata:<br /><br />Telah terjadi ijma' (kesepakatan) para ulama akan dibencinya nyanyian dan larangannya. Ibrahim bin Sa'ad dan 'Ubaidullah al-'Anbari telah menyelesihi jama'ah (dengan membolehkan nyanyian).<br /><br />Lihat tafsir al-Qurthubi.<br /><br />Dari pembahasan di atas akan lebih baik bagi kita meninggalkan nyanyian terutama nyanyian yang berisi hal-hal yang haram.<br />Nyanyian yang diberi keringanan untuk mendengarkannya pun hanya dengan kadar yang sedikit dan pada waktu-waktu tertentu saja. Kalau bisa kita tinggalkan semua itu tentu lebih wara' dan lebih baik sebagaimana para salaf terdahulu.<br /><br />Kemudian harap dibedakan antara mendengarkan dengan mendengar.<br />Yang dibenci adalah mendengarkan bukan mendengar.<br />Jadi kalau pada masa kita sekarang memang tidak bisa lepas dari mendengar musik tapi kita bisa menghindari mendengarkan musik.<br /><br />Itu baru pembahasan tafsir satu ayat. Masih banyak lagi ayat yang lain dan juga hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang melarang nyanyian, lagu dan musik. Saya sementara hanya mampu menulis tulisan di atas sesuai kelapangan waktu yang ada, semoga bisa ditambah di lain waktu.<br /><br />Sejauh ini berdasar riwayat yang shahih, pembolehan hanya pada saat-saat tertentu (hari raya, pesta pernikahan dan saat bekerja berat perlu semangat) dan dengan alat-alat tertentu (duff atau rebana). Sedangkan hukum asal nyanyian adalah dilarang atau dibenci kecuali ada dalil yang mengecualikannya.<br /><br />ALLAH A'lam<br /><br /><br />Abu Ali -- Noor Akhmad S<br /><br />Referensi:<br /><br />Tafsir Ath-Thabari<br />Tafsir Ibnu Katsir<br />Tafsir Al-Baghawi<br />Tafsir Al-Qurthubi<br /><br /></span>Noor Akhmad Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/10833235638280077629noreply@blogger.com9tag:blogger.com,1999:blog-7422174640475267309.post-54707486377987027562009-09-07T17:41:00.001+08:002009-09-07T17:43:25.624+08:00I'rab al-Baqarah 2:186وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ<br /><br />Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (Al-Baqarah 2:186).<br /><br />I’rab:<br /><br />وَإِذَا<br /><br />(Dan apabila)<br />Wawu isti’naf (permulaan kalimat). Kalimat ini adalah kalimat isti’nafiyah (permulaan) yang menunjukkan bahwa ALLAH menjawab semua doa. “Idzaa” adalah dzaraf zaman istiqbal (akan datang), mabni atas sukun yang mengandung makna syarat.<br /><br />سَأَلَكَ<br /><br />(Bertanya)<br />Fi’il madhi mabni atas fathah. Kaaf adalah dhamir (kata ganti) muttashil mabni atas fathah “fii mahalli nashbi maf’ul bihi”. Kalimat “sa’alaka ...” adalah “fii mahalli jarrin” karena idhafah setelah kata idzaa.<br /><br />عِبَادِي<br /><br />(Hamba-Ku)<br />Fa’il (Subjek) marfu’ dengan dhammah yang diperkirakan di atas huruf sebelum huruf yaa’ mutakallim (orang pertama). Yaa’ adalah dhamir muttashil mabni atas sukun “fii mahalli jarri mudhaf ilaihi”.<br /><br />عَنِّي<br /><br />(Tentang Aku)<br />Jarr wa majrur muta’alliq (terkait) dengan kalimat “sa’alaka”.<br />فَإِنِّي قَرِيبٌ<br /><br />(Maka sesungguhnya Aku adalah dekat)<br />Faa’ menyambung jawab dari syaratnya. Inna adalah huruf menyeruapi fi’il yang memberikan faidah taukid (penegasan) sedangnkan Yaa’ adalah dhamir muttashil mabni atas sukun “fii mahalli nashbi” isimnya inna. Qariib adalah khabar dari inna marfu’ dengan dhammah. Kalimat ini adalah jawab dari syarat (Dan apabila ...).<br /><br /><span class="fullpost"><br /><br />أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ<br /><br />(Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa)<br />Ujiibu adalah fi’il mudhari’ marfu’ dengan dhammah. Fa’ilnya adalah dhamir mustatir wujuban dengan perkiraan (taqdir): Ana (Aku). Da’wata adalah maf’ul bihi (objek) manshub dengan fathah. Kalimat “Ujiibu ...” adalah “fii mahalli nashbi haalin” atau “fii mahalli raf’in” sebagai khabar kedua dari inna. ad-Daa’i adalah mudhaf ilaihi majrur dengan sebab idhafah dan alamat jarrnya adalah kasrah yang diperkirakan di atas Yaa’ karena berat. Huruf Yaa’ dihilangkan tulisannya untuk meringankan (takhfiif) bacaan asalnya adalah ad-daa’iy.<br /><br />إِذَا دَعَانِ<br /><br />(apabila ia memohon kepada-Ku)<br />Idzaa sudah dibahas. Da’aani adalah fi’il madhi mabni atas fathah yang diperkirakan di atas alif karena ‘udzur. Fa’ilnya adalah dhamir mustatir jawaazan dengan perkiraan huwa. Nun disebut nun wiqayah dan Yaa’ dihilangkan tulisannya untuk meringankan bacaan asalnya adalah Da’aaniy. Yaa’ yang dihilangkan adalah dhamir muttashil mabni atas sukun “fii mahalli nashbi maf’ul bihi”, Kalimat “Da’aani” adalah “fii mahalli jarrin” dengan sebab idhafah setelah idzaa yang mengandung makna syarat. Jawab syaratnya dihilangkan karena sudah diketahui dari makna kalimat sebelumnya “Ujiibu ...”.<br /><br />فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي<br /><br />(maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku)<br />Faa’ isti’nafiyah. Laam adalah laam amr (perintah). Yastajiibuu adalah fi’il mudhari’ majzum dengan sebab laam (amr), alamat jazmnya adalah membuang huruf nun (asalnya yastajiibuuna) karena termasuk af’aalul khamsah. Wawu adalah dhamir muttashil “fii mahalli raf’i faa’il”. Alif disebut fariqah (pembeda) yang menunjukkan bahwa wawu adalah dhamir bukan bagian dari fi’il aslinya. Lii (Lam dan Yaa’ dhamir muttashil “fii mahalli jarr”) adalah jarr wa majrur terkait dengan yastajiibuu.<br /><br />وَلْيُؤْمِنُوا بِي<br /><br />(dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku)<br />Wawu ‘athaf. Liyu’minuu bii di’athafkan atas Liyastajiibuu lii dengan i’rab yang sama, yakni laam adalah laam amr (perintah). Yu’minuu adalah fi’il mudhari’ majzum dengan sebab laam (amr), alamat jazmnya adalah membuang huruf nun (asalnya yu’minuuna) karena termasuk af’aalul khamsah. Wawu adalah dhamir muttashil “fii mahalli raf’i faa’il”. Alif disebut fariqah (pembeda) yang menunjukkan bahwa wawu adalah dhamir bukan bagian dari fi’il aslinya. Bii (Baa’ dan Yaa’ dhamir muttashil “fii mahalli jarr”) adalah jarr wa majrur terkait dengan yu’minuu.<br /><br />لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ<br /><br />(agar mereka selalu berada dalam kebenaran)<br />La’alla adalah saudaranya inna, memberikan makna supaya atau agar. Hum dhamir gha’ibin (orang ketiga jamak) “fii mahalli nashbi” isimnya la’alla. Yarsyuduun adalah fi’il mudhari’ marfu’ dengan tetapnya nun karena termasuk af’alul khamsah. Wawu adalah dhamir muttashil “fii mahalli raf’i fa’il”. Kalimat yarsyuduun “fii mahalli raf’in” khabarnya la’alla. Makna yarsyuduun adaladh yahtaduun (mendapatkan petunjuk atau di atas kebenaran). Kalimat ini adalah kalimat haal yang menerangkan kalimat sebelumnya.<br /><br />ALLAH A’lam bi ash-shawab<br /><br />NA Setiawan<br /><br />Referensi:<br /><br />al-I’rab al-Mufashshal Li Kitabillah al-Murattal – Bahjat Abdu al-Wahid Shalih<br />al-Jadwal fii I’rab al-Quran wa Sharfihi wa Bayanihi – Mahmud Shafi<br />I’rab al-Quran al-Karim wa Bayanuhu – Muhyiddin ad-Darwisy<br />at-Tibyan fii I’rab al-Quran – Muhibbuddin ‘Abdullah bin al-Husain al-‘Ukbariy<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /></span>Noor Akhmad Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/10833235638280077629noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7422174640475267309.post-8030355781802068042009-08-28T23:11:00.001+08:002009-08-28T23:30:40.454+08:00Shalat Witir Satu Raka'atعَنْ عَائِشَةَ<br />أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي بِاللَّيْلِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْهَا بِوَاحِدَةٍ فَإِذَا فَرَغَ مِنْهَا اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ<br /><br />Dari ‘Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam sebelas raka’at termasuk witir satu raka’at. Kemudian apabila selesai dari shalat tersebut beliau berbaring pada sisi sebelah kanan hingga datangnya muadzin kemudian beliau shalat dua raka’at ringan. (HR Muslim No 1215 –Maktabah Syamilah)<br /><br />عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ<br />كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ وَهِيَ الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَتَبَيَّنَ لَهُ الْفَجْرُ وَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ لِلْإِقَامَةِ<br /><br />Dari ‘Aisyah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata: Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di antara habisnya shalat ‘Isya --yang biasa disebut dengan shalat ‘Atamah oleh orang-orang-- sampai fajar, sebelas raka’at dengan melakukan salam setiap dua raka’at dan melakukan witir dengan satu raka’at. Kemudian apabila muadzin shalat Fajar masih diam serta nampak nyata datangnya fajar dan muadzin telah datang, beliau berdiri dan shalat dua raka’at dengan ringan kemudian berbaring pada sisi sebelah kanan sampai datangnya muadzin untuk iqamah.<br /><br />(HR Muslim No 1216 –Maktabah Syamilah)<br /><span class="fullpost"><br />Muslim memasukkan kedua hadits tersebut dalam Bab :<br />بَاب صَلَاةِ اللَّيْلِ وَعَدَدِ رَكَعَاتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي اللَّيْلِ وَأَنَّ الْوِتْرَ رَكْعَةٌ وَأَنَّ الرَّكْعَةَ صَلَاةٌ صَحِيحَةٌ<br /><br />Bab Shalat malam dan jumlah raka’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam hari dan bahwa witir adalah satu raka’at dan bahwa satu raka’at adalah shalat yang sah.<br /><br />Muslim mengambil hukum dengan hadits tersebut untuk menyatakan bahwa witir satu raka’at adalah sunnah dan sah.<br /><br />Pendapat para ulama tentang masalah witir satu raka’at:<br /><br />An-Nawawi berkata dalam al-Majmu’ (3/506):<br />Witir adalah sunnah menurut madzhab kami (madzhab Syafi’i) tanpa ada perbedaan pendapat, dan minimum adalah satu raka’at tanpa ada perbedaan pendapat.<br /><br />Beliau juga berkata dalam kitab yang sama (3/507):<br />Apabila seseorang hendak melakukan witir tiga raka’at maka lebih afdhal ada tiga pendapat dalam madzhab Syafi’i, yang shahih adalah yang lebih afdhal dengan melakukannya terpisah dengan dua salam ( 2 raka’at salam kemudian 1 raka’at salam ) karena banyak hadits-hadits shahih tentang masalah ini.<br /><br />Beliau juga berpendapat dalam al-Minhaj Syarh Muslim (3/73 –Maktabah Syamilah):<br />Maka yang lebih afdhal adalam salam setiap dua raka’at dan itu adalah masyhur dilakukan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memerintahkan untuk shalat malam dengan dua raka’at dua raka’at.<br /><br />Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (2/578) berkata:<br />Ahmad berkata: Kami berpendapat satu raka’at dalam witir. Hal itu diriwayatkan dari ‘Utsman bin ‘Affan, Sa’ad bin Abi Waqqash, Zaid bin Tsabit, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Zubair, Abu Musa, Mu’awiyah dan ‘Aisyah radhiallahu ‘anhum.<br />Ibnu Qudamah juga menyebutkan: Ibnu ‘Umar berkata: Witir satu raka’at, itu adalah witir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan ‘Umar. Ini juga pendapat Sa’id bin Musayyab, ‘Atha, Malik, al-Auza’i, asy-Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur. Mereka berkata: Shalat dua raka’at kemudian salam kemudian witir dengan satu raka’at.<br /><br />al-Albani berkata dalam Shalatu at-Tarawih (1/110 –Maktabah Syamilah):<br />Yang kami pilih bagi orang yang hendak shalat malam di bulan Ramadhan dan selain bulan Ramadhan yakni dengan melakukan salam setiap dua raka’at sehingga apabila hendak melakukan shalat tiga raka’at maka membaca Sabbihisma Rabbikal-A’laa (al-A’laa) di raka’at pertama dan membaca Qul Yaa Ayyuhal-Kaafiruun (al-Kaafiruun) di raka’at kedua dan bertasyahhud di raka’at kedua dan salam kemudian berdiri dan shalat satu raka’at dengan membaca al-Faatihah dan Qul Huwallaahu Ahad (al-Ikhlaas) serta mu’awwidzatain (al-Falaq dan an-Naas).<br /><br />al-Albani juga menyebutkan afdhalnya salam setiap dua raka’at dalam Qiyamu Ramadhan (1/29).<br /><br />NB:<br />Hadits shalat malam dua raka’at dua raka’at dikeluarkan oleh al-Bukhari.<br />Riwayat yang menyebutkan raka’at witir terakhir membaca al-Ikhlas dengan tambahan mu’awwidzatain (al-Falaq dan an-Naas) adalah lemah sedangkan yang shahih hanya membaca al-Ikhlas saja sebagaimana disebutkan dalam Shahih Fiqh as-Sunnah (1/388) oleh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid.<br /><br /><br /></span>Noor Akhmad Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/10833235638280077629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7422174640475267309.post-78990094144075505062009-03-07T01:45:00.001+08:002009-03-07T01:49:30.259+08:00Bincang-bincang Surat al-Insyirah Ayat 5-6Al-Insyirah Ayat 5-6<br /><br />فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (5) إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (6)<br /><br /><br />fa inna ma'a al-'usri yusran,<br />inna ma'a al-'usri yusran<br /><br />kalimat normalnya inna yusran ma'a al-'usri, tapi ditekankan ke ma'a al<br /><br />-'usri nya sehingga jadi seperti kalimat di atas.<br /><br />al-'usru dibaca al-'usri karena ketemu ma'a, sedang yusrun dibaca yusran<br /><br />karena ketemu inna<br /><br />kata 'usrun diberi alif lam (al) menjadi al-'usru, dalam bahasa arab berubah<br /><br />dari nakirah ke ma'rifat yang boleh diartikan<br /><br />'usrun = kesulitan = difficulty<br />al-'usru = kesulitan itu = the difficulty<br /><br />maka <br /><br /><span class="fullpost"><br /><br />yusrun = kemudahan = relief<br />al-yusru = kemudahan itu = the relief<br /><br />sehingga makna ayat tersebut<br />fa inna ma'a al-'usri yusran = sebab sesungguhnya bersama kesulitan ITU ada<br /><br />kemudahan = because verily with THE difficulty there is relief<br /><br />inna ma'a al-'usri yusran = sesungguhnya bersama kesulitan ITU ada kemudahan<br /><br />= verily with THE difficulty there is relief<br /><br /><br />Kita hitung al-'usri disebut dua kali dan yusran juga disebut dua kali,<br />Orang Arab apabila mengulang kata ma'rifat (tertentu) yakni al-'usri dalam<br /><br />dua kalimat yang sama berarti kata ma'rifat itu adalah benda yang sama,<br /><br />sedang kata yusran yang diulang dua kali berupa nakirah (tak tentu) yang<br /><br />menunjukkan benda yang berbeda.<br /><br />Sehingga kata al-'usri disebut dua kali tapi bendanya satu karena ma'rifat<br />sedangkan kata yusran disebut dua kali bendanya dua karena nakirah<br /><br />maka disimpulkan bersama satu kesulitan ada dua kemudahan.<br /><br />Sesuai hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:<br /><br />"Satu kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan ..."<br /><br />HR al-Hakim dalam al-Mustadrak No 3910 (al-Maktabah asy-Syaamilah)<br /><br />Akan tetapi hadits ini adalah mursal sehingga masuk kategori hadis lemah.<br /><br />Hadits mursal adalah hadits yang terputus mata rantai riwayatnya, yakni<br /><br />tabi'in (murid sahabat) langsung menukil dari Rasulullah shallallah 'alaihi<br /><br />wa sallam tanpa melalui sahabat. Dalam hadits ini Hasan al-Bashri menukil<br /><br />langsung dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam padahal beliau tidak<br /><br />pernah bertemu dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan tidak<br /><br />ada penguat yang mampu mengangkatnya menjadi hadits hasan li ghairihi.<br /><br />al-Albani melemahkan hadits ini dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha'ifah No.<br /><br />4342<br /><br />Ada faedah lain yang bisa kita dapatkan dari dua ayat di atas<br /><br />Inna ma'a al-'usri yusran = sesungguhnya bersama kesulitan ITU ada kemudahan<br /><br />= verily with THE difficulty there is relief<br /><br />kalimat normalnya<br /><br />Inna yusran ma'a al-'usri, diubah menjadi Inna ma'a al-'usri yusran, apa<br /><br />faidahnya?<br /><br />Kasus ini adalah kasus "taqdiimu al-ma'muul yufiidu al-hashr" kaidah tafsir<br /><br />yakni "didahulukannya ma'muul atau 'objek' memberi faidah hashr<br /><br />(pengkhususan)"<br /><br />Sehingga memberi makna mendalam = Sesungguhnya kemudahan itu didapat jika<br /><br />dan hanya jika bersama dengan kesulitan.<br /><br />Semoga bisa menjadi renungan kita bersama.<br /><br /><br /><br />al-Faqiir ilaa Rabbihi<br /><br />NA Setiawan<br /><br /></span>Noor Akhmad Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/10833235638280077629noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7422174640475267309.post-11804689972069111832009-01-31T05:18:00.001+08:002009-01-31T05:20:59.617+08:00I'rab Surat al-Israa' 4-6وَقَضَيْنَآ إِلَى بَنِى إِسْرَءِيلَ فِى الْكِتَبِ لَتُفْسِدُنَّ فِى الأٌّرْضِ مَرَّتَيْنِ وَلَتَعْلُنَّ عُلُوّاً كَبِيراً<br /><br />Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: "Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar". (al-Israa’ : 4)<br /><br />وَقَضَيْنَآ إِلَى بَنِى إِسْرَءِيلَ فِى الْكِتَبِ<br /><br />Huruf “wawu” adalah wawu ‘athaf sebagaimana dalam ayat 2. <br /><br />قَضَيْنَآ<br />fi’il madhi mabni atas sukun karena bertemu dhamir “naa”. “Naa” dhamir muttashil mabni fii mahalli raf’i faa’il. <br /><br />إِلَى بَنِى إِسْرَءِيلَ<br /><br />jarr wa majrur muta’alliq dengan “qadhaa”. Alamat jarr nya adalah huruf “yaa’” karena mulhaq dengan jamak mudzakar salim yakni huruf nun dibuang karena idhafah.<br /><br />إِسْرَءِيلَ<br /><br />mudhaf ilaihi majrur dengan alamat jarrnya adalah fathah sebagai ganti kasrah karena isim ghairu munsharif dengan sebab nama ‘ajam dan isim alam.<br /><br />فِى الْكِتَبِ<br /><br />jarr wa majrur muta’alliq dengan “qadhaa”.<br /><br />لَتُفْسِدُنَّ<br /><br />jawab qasam (sumpah) yang dihilangkan laa mahalla lahaa. Huruf “lam” menunjukkan jawab qasam. Sedangkan “tufsidunna” adalah fi’il mudhari’ mabni atas membuang nun karena termasuk af’aal al-khamsah, mabni dengan sebab bertemu huruf nun taukid tsaqilah. Wawu jama’ah dihilangkan karena bertemu dengan sukun, fii mahalli raf’i faa’il. Nun taukid laa mahalla lahaa min al-i’rab.<br /><br />فِى الأٌّرْضِ مَرَّتَيْنِ<br /><br />jarr wa majrur muta’alliq dengan “latufsidunna”. “Marratain” naa’ibah dari maf’ul muthlaq “ifsaadain”, manshub dengan huruf yaa karena isim mutsanna.<br /><br />وَلَتَعْلُنَّ عُلُوّاً كَبِيراً<br /><br />Huruf wawu adalah wawu ‘athaf atas “latufsidunna” dengan i’rab sama dengan i’rabnya (latufsidunna).<br /><br />عُلُوّاً<br />maf’ul muthlaq atau mashdar, manshub dengan alamat nashabnya adalah fathah.<br /><br />كَبِيراً<br />sifat atau na’at dari “’uluwwan” manshub sebagaimana maushufnya dengan alamat fathah.<br /><br /><span class="fullpost"><br /><br /><br />فَإِذَا جَآءَ وَعْدُ أُولَهُمَا بَعَثْنَا عَلَيْكُمْ عِبَادًا لَّنَآ أُوْلِى بَأْسٍ شَدِيدٍ فَجَاسُواْ خِلَلَ الدِّيَارِ وَكَانَ وَعْدًا مَّفْعُولاً<br /><br />Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana. (al-Israa’ : 5)<br /><br />فَإِذَا جَآءَ وَعْدُ أُولَهُمَا<br /><br />Huruf faa’ adalah isti’nafiyah. “Idzaa” dzaraf zaman mustaqbal, mengkhafadzkan kalimat syaratnya dan menashab jawab syaratnya. Adaatu syarat bukan penjazm. Jumlah fi’liyah setelahnya adalah fii mahalli jarrin bi al-idhaafah kerana terletak setelah dzaraf “idzaa”. “Jaa’a” fi’il madhi mabni atas fathah. “Wa’du” faa’il marfu’ dengan dhammah. “Uulaa” mudhaf ilaihi majrur dengan kasrah yang diperkirakan di atas alif karena ‘udzur. Huruf “haa’” dhamir muttashil fii mahalli jarrin bi al-idhaafah. Huruf “mim” adalah huruf ‘imaad dan huruf “alif’ huruf yang menunjukkan tatsniah (ganda).<br /><br />أُولَهُمَا بَعَثْنَا عَلَيْكُمْ عِبَادًا لَّنَآ<br /><br />Jumlah ini adalah jawab syarat bukan penjazm laa mahalla lahaa. “Ba’atsna” fi’il madhi mabni atas sukun karena bersambung dengan dhamir “naa”. “Naa” dhamir muttashil fii mahalli raf’i faa’il. “’Alaikum” jarr wa majrur muta’alliq dengan “ba’atsnaa” dan huruf “mim” alamat jama’ mudzakkar mukhatabiin. “’Ibaadan” maf’ul bihi manshub dengan fathah. “Lanaa” jarr wa majrur muta’alliq dengan sifat yang dihilangkan dari ‘ibaadan.<br /><br />أُوْلِى بَأْسٍ شَدِيدٍ<br /><br />“Ulii” adalah sifat kedua dari “’Ibaadan” manshub dengan huruf “yaa’” karena mulhaq dengan jamak mudzakkar salim. “Ba’sin” mudhaf ilaihi majrur dengan kasrah. “Syadiid” sifat atau na’at dari “ba’sin” majrur dengan kasrah.<br /><br />فَجَاسُواْ خِلَلَ الدِّيَارِ<br /><br />Huruf “faa’” sababiyah. “Jaasuu” fi’il madhi mabni atas dhammah karena bersambung dengan huruf “wawu” jama’ah. Huruf “wawu” adalah dhamir muttashil fii mahalli raf’i faa’il. “Khilaala” dzaraf makan muta’alliq dengan “jaasuu” manshub karena dzaraf dengan fathah, “khilaala” sebagai mudhaf. “Ad-diyaari” mudhaf ilaihi majrur bi al-idhaafah dengan alamat jarrnya adalah kasrah.<br /><br />وَكَانَ وَعْدًا مَّفْعُولاً<br /><br />Huruf “wawu” isti’nafiyah. “Kaana” fi’il madhi naqish mabni atas fathah dengan isimnya adalah dhamir mustatir jawaazan dengan taqdir “huwa”. “Wa’dan” khabarnya “kaana” manshub dengan fathah. “Maf’uulan” shifat atau na’at dari “wa’dan” manshub dengan fathah.<br /><br /><br />ثُمَّ رَدَدْنَا لَكُمُ الْكَرَّةَ عَلَيْهِمْ وَأَمْدَدْنَكُم بِأَمْوَلٍ وَبَنِينَ وَجَعَلْنَكُمْ أَكْثَرَ نَفِيرًا<br /><br />Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar. (al-Israa’ : 6)<br /><br /><br />ثُمَّ رَدَدْنَا لَكُمُ الْكَرَّةَ عَلَيْهِمْ<br /><br />“Tsumma” huruf ‘athaf. “Radadnaa” fi’il madhi mabni atas sukun karena bersambung dengan “naa”. “Naa” dhamir muttashil mabni atas sukun fii mahalli raf’i faa’il. “Lakum” jarr wa majrur muta’alliq dengan “radadnaa” dengan huruf “mim” sebagai alamat laki-laki mukhaatabiin. “Karrah” maf’ul bihi manshub dengan fathah. “’Alaa” huruf jarr. “Hum” dhamir ghaaibiin fii mahalli jarrin bi ‘alaa. Jarr wa majrur muta’alliq dengan haal yang dihilangkan.<br /><br />وَأَمْدَدْنَكُم بِأَمْوَلٍ<br /><br />Huruf “wawu” ‘athaf. “Amdadnaa” sama i’rabnya dengan “radadnaa”. Huruf “kaaf” dhamir mukhatabiin fii mahalli nashbi maf’ul bihi. Huruf “mim” menunjukkan jamak mudzakkar. “Biamwaalin” jarr wa majrur muta’alliq dengan “amdadnaa”.<br /><br />وَبَنِينَ وَجَعَلْنَكُمْ<br /><br />Huruf “wawu” ‘athaf atas “amwaalin” . “Baniin” majrur dengan alamat huruf “yaa’” karena mulhaq dengan jamak mudzakkar salim. “ Wa ja’alnaakum” i’rabnya serupa dengan “wa amdadnaakum”.<br /><br />أَكْثَرَ نَفِيرًا<br /><br />Maf’ul bihi manshub dengan fathah tapi tidak ditanwin karena termasuk ghairu munsharif denga wazan “af’ala”. “Nafiiran” tamyiz manshub dengan fathah. <br /><br />ALLAH A’lam<br /><br />Ref:<br /><br />1. Al-I’raab Al-Mufashshal Li KitaabiLLAAH Al-Murattal oleh Bahjat Abdu al-Wahid Shalih<br />2. I’raab al-Quraan oleh Ibnu Sayyidihi<br /><br /><br /><br /></span>Noor Akhmad Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/10833235638280077629noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7422174640475267309.post-78441528403597377972009-01-24T04:10:00.002+08:002009-01-24T04:13:18.266+08:00I'rab Surat al-Israa' 1-3سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (1<br /><br />Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. <br /><br />سُبْحَانَ<br /><br />maf’ul muthlaq dengan fi’ilnya dihilangkan. Takdirnya : usabbihu subhaana.<br /><br />الَّذِي <br /><br />isim maushul mabni atas sukun, fii mahalli jarrin bi al-idhafah.<br /><br />أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا<br /><br />jumlah ini adalah shilatu al-maushul laa mahalla lahaa min al-i’raab.<br /><br />أَسْرَى<br /><br />fi’il madhi mabni atas fathah yang diperkirakan di atas alif (bengkok) karena ‘udzur. Fa’ilnya adalah dhamir mustatir jawaazan, takdirnya adalah huwa.<br /><br />بِعَبْدِهِ<br /><br />jarr wa majrur muta’alliq dengan asraa. Maf’ulnya dihilangkan. Haa’ adalah dhamir muttashil fii mahalli jarrin bi al-idhafah.<br /><br />لَيْلًا<br /><br />maf’ul fiihi atau dzaraf zaman muta’alliq dengan asraa, manshub karena dzaraf, alamat nashabnya fathah.<br /><br />مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ<br /><br />jarr wa majrur muta’alliq dengan asraa,.<br /><br />الْحَرَامِ<br /><br />sifat dari al-masjidi, majrur dengan alamat kasrah.<br /><br />إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى<br /><br />sama dengan i’rab sebelumnya. Alamat jarr dari al-aqshaa kasrah diperkirakan di atas alif (bengkok).<br /><br />الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ<br /><br />الَّذِي<br /><br />isim maushul mabni atas sukun fii mahalli jarri shifat kedua dari al-masjid.<br /><br />بَارَكْنَا<br /><br />fi’il madhi mabni atas sukun karena bersambung dengan dhamir “naa”. Dhamir “naa” adalah fa’il mabni fii mahalli raf’i faa’il. <br /><br />حَوْلَهُ<br /><br />dzaraf makan muta’alliq dengan “baaraknaa” manshub degan fathah karena dzaraf. Huruf haa’ dhamir muttashil mabni fii mahalli jarrin bi al-idhaafah.<br /><br />لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا<br /><br />Huruf laam, adalah laam kay, untuk ta’liil bermakna" " لكي<br /><br />نُرِيَهُ<br /><br />fi’il mudhari’ manshub karena huruf laam, alamat nashabnya adalah fathah. Faa’ilnya adalah dhamir mustatir wujuban takdirnya “nahnu”. Huruf “haa’” adalah dhamir muttashil fii mahalli nashbi maf’ul bihi.<br /><br />مِنْ آَيَاتِنَا<br /><br />jarr majrur muta’alliq dengan “nuriya”, maf’ul kedua-nya dihilangkan (mahdzuuf). Dhamir “naa” mabni fii mahalli jarrin bi al-idhaafah. <br /><br />إِنَّهُ هُوَ<br /><br />“inna” huruf nashab dan taukid. Huruf “haa’” adalah dhamir muttashil fii mahalli nashbi isimnya inna. “Huwa” adalah dhamir munfashil mabni fii mahalli raf’i mubtada’. Sedangkan jumlah :<br /><br />هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ<br /><br />adalah khabarnya “inna”.<br />Atau, “huwa” adalah taukid sedangkan<br /><br />السَّمِيعُ الْبَصِيرُ<br /><br />adalah khabarnya “inna”, as-samii’ khabar pertama dan “ al-bashiir” khabar kedua.<br /><br /><span class="fullpost"><br /><br /><br />وَآَتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَجَعَلْنَاهُ هُدًى لِبَنِي إِسْرَائِيلَ أَلَّا تَتَّخِذُوا مِنْ دُونِي وَكِيلًا (2<br /><br />Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): "Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku, <br /><br />وَآَتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ<br /><br />Huruf “wawu” adalah huruf ‘athaf atas “asraa” dengan iltifaat dari ghaib ke takallum. <br /><br />آَتَيْنَا<br /><br />fi’il madhi mabni atas sukun karena bertemu dhamir “naa”. “Naa” dhamir muttashil mabni fii mahalli raf’i faa’il. <br /><br />مُوسَى<br /><br />maf’ul bihi manshub dengan alamat fathah yang diperkirakan di atas alif (bengkok) karena ‘udzur.<br /><br />الْكِتَابَ<br /><br />maf’ul bihi kedua manshub dengan alamat fathah dzahirah di atas huruf “baa’”.<br /><br />وَجَعَلْنَاهُ هُدًى<br /><br />di‘athafkan atas kalimat “wa aatainaa ...” dan di’rab seperti i’rabnya. Huruf “haa’” adalah dhamir muttashil mabni fii mahalli nashbi maf’ul bihi. <br /><br />هُدًى<br /><br />maf’ul bihi kedua manshub dengan alamat fathah yang diperkirakan di atas alif yang dihilangkan sebelum tanwin. Isim ditanwin karena termasuk isim maqshur nakirah.<br /><br />لِبَنِي إِسْرَائِيلَ<br /><br />jarr wa majrur muta’alliq dengan “hudan”. Alamat jarr nya adalah huruf “yaa’” karena mulhaq dengan jamak mudzakar salim yakni huruf nun dibuang karena idhafah. <br /><br />إِسْرَائِيلَ<br /><br />mudhaf ilaihi majrur dengan alamat jarrnya adalah fathah sebagai ganti kasrah karena isim ghairu munsharif dengan sebab nama ‘ajam dan isim alam.<br /><br />أَلَّا تَتَّخِذُوا<br /><br />أَلَّا<br /><br />terdiri dari “an” tafsiriyah yang bermakna “yaitu” dengan “laa” naahiyah jaazimah. <br /><br />تَتَّخِذُوا<br /><br />fi’il mudhari majzum oleh “laa naahiyah” dengan alamat membuang “nun” karena af’aal al-khamsah. Huruf “wawu” adalah dhamir muttashil mabni fii mahalli raf’i faa’il.<br />Jumlah:<br /><br />لا تتخذوا<br /><br />adalah tafsiriyah laa mahalla lahaa min al-i’raab.<br /><br />مِنْ دُونِي وَكِيلًا<br /><br />jar wa majrur muta’alliq dengan “tattakhidzuu”. Huruf “yaa’” adalah dhamir muttashil mabni fii mahalli jarrin bi al-idhaafah.<br /><br />وَكِيلًا<br /><br />maf’ul bihi dari “tattakhidzuu” manshub dengan alamat fathah.<br /><br />ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا (3 <br /><br />(yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur. <br /><br />ذُرِّيَّةَ<br /><br />munaadaa, dengan adaatu nidaa’ dihilangkan, takdirnya “yaa dzurriyata”, manshub dengan alamat fathah karena mudhaf. Boleh juga sebagai maf’ul bihi yang kedua dari “tattakhidzuu” atau badal dari “wakiilan”.<br /><br />مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ<br /><br />“man” isim maushul mabni atas sukun fii mahalli jarrin bi al-idhaafah.<br /><br />حَمَلْنَا<br /><br />fi’il madhi mabni atas sukun karena bertemu dhamir “naa”. Dhamir “naa” mabni fii mahalli raf’i faa’il. “Ma’a” manshub karena dzaraf. <br /><br />نُوحٍ<br /><br />majrur karena mudhaf ilaihi dengan alamat kasrah walaupun ‘ajam dan isim alam akan tetapi terdiri dari tiga huruf saja dengan sukun di tengah sehingga masuk isim munsharif.<br /><br />إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا<br /><br />“inna” huruf nashab dan taukid. Huruf “haa’” adalah dhamir muttashil mabni fii mahalli nashbi isimnya “inna” kembali ke “Nuuh”.<br /><br />كَانَ<br /><br />fi’il madhi naqish mabni atas fathah dengan isimnya dhamir mustatir jawaazan dengan takdir “huwa”. <br /><br />عَبْدًا<br /><br />khabarnya “kaana” manshub dengan alamat fathah.<br /><br />شَكُورًا<br /><br />sifat dari ‘abdan manshub mengikuti maushuufnya.<br />Jumlah:<br /><br />كَانَ عَبْدًا شَكُورًا<br /><br />fii mahalli raf’i khabarnya “inna”.<br /><br />ALLAH A’lam bi ash-shawab<br /><br />Ref:<br /><br />1.Al-I’raab Al-Mufashshal Li KitaabiLLAAH Al-Murattal oleh Bahjat Abdu al-Wahid Shalih<br />2.I’raab al-Quraan oleh Ibnu Sayyidihi<br /> <br /> <br /><br /><br /></span>Noor Akhmad Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/10833235638280077629noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7422174640475267309.post-83801785108905313912009-01-06T16:47:00.001+08:002009-01-16T16:24:58.610+08:00Qunut Nazilah Untuk Muslimin Palestina (Bagian 2)...lanjutan bagian 1<br /><br />2. Hadits Abu Hurairah<br /><br />A. <br /><br />عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ وَأَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ<br />أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى أَحَدٍ أَوْ يَدْعُوَ لِأَحَدٍ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ فَرُبَّمَا قَالَ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ يَجْهَرُ بِذَلِكَ وَكَانَ يَقُولُ فِي بَعْضِ صَلَاتِهِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلَانًا وَفُلَانًا لِأَحْيَاءٍ مِنْ الْعَرَبِ حَتَّى أَنْزَلَ اللَّهُ<br />{ لَيْسَ لَكَ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ }<br />الْآيَةَ<br /><br />Dari Sa’id bin al-Musayyab dan Abu Salamah bin ‘Abdurrahman dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berkehendak untuk berdoa atas (kecelakaan) seseorang atau berdoa untuk (kebaikan) seseorang beliau qunut setelah ruku’. Kadang-kadang beliau berkata apabila selesai berkata “Sami’allaahu liman hamidah Allaahumma rabbanaa lakal hamdu”,”Allaahumma anji al-Walid bin al-Walid wa Salamah bin Hisyam wa ‘Ayyasy bin Abii Rabii’ah, Allaahummasydud wath’ataka ‘alaa Mudhar waj’alhaa siniina kasinii Yuusuf” (Yaa ALLAH selamatkanlah al-Walid bin al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyasy bin Abii Rabii’ah, Yaa ALLAH keraskanlah ‘adzabMu atas Mudhar dan jadikanlah (‘AdzabMu) berupa musim kering yang panjang sebagaimana musim kering zaman Nabi Yusuf ‘alaihi as-salaam). Beliau mengeraskannya. Beliau kadang berkata (berdoa) dalam sebagian shalat beliau saat salat fajar (subuh): “Allaahummal’an fulaanan wa fulaanan” (Yaa ALLAH la’natlah fulan dan fulan) dan untuk beberapa qabilah arab hingga ALLAH menurunkan ayat {Laisa laka min al-amri syai’un ...}. (HR al-Bukhari No 4194 [MS]).<br /><br /><span class="fullpost"><br /><br />B.<br /><br />عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ<br />أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ قَنَتَ اللَّهُمَّ أَنْجِ عَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ اللَّهُمَّ أَنْجِ سَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ<br /><br />Dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berkata “ Sami’allaahu liman hamidah” di dalam raka’at terkakhir dari shalat ‘isya’ beliau qunut “Allaahumma anji ‘Ayyasy bin Abii Rabii’ah, Allaahumma anji al-Walid bin al-Walid, Allaahumma anji Salamah bin Hisyam, Allahumma anjilmustadh’afiin minalmu’miniin, Allaahummasydud wath’ataka ‘alaa Mudhar Allaahummaj’alhaa siniina kasinii Yuusuf” (Yaa ALLAH selamatkanlah ‘Ayyasy bin Abii Rabii’ah, Yaa ALLAH selamatkanlah al-Walid bin al-Walid, Yaa ALLAH selamatkanlah Salamah bin Hisyam, Yaa ALLAH selamatkanlah orang-orang yang lemah dari orang-orang yang beriman, Yaa ALLAH keraskanlah ‘adzabMu atas Mudhar, Yaa ALLAH jadikanlah (‘AdzabMu) atas mereka berupa musim kering yang panjang sebagaimana musim kering zaman Nabi Yusuf ‘alaihi as-salaam). (HR al-Bukhari No 5914 [MS]).<br /><br /><br />C.<br /><br />حَدَّثَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ<br />قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاةِ الْعَتَمَةِ شَهْرًا يَقُولُ فِي قُنُوتِهِ اللَّهُمَّ نَجِّ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ اللَّهُمَّ نَجِّ سَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ اللَّهُمَّ نَجِّ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَأَصْبَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَلَمْ يَدْعُ لَهُمْ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ وَمَا تُرَاهُمْ قَدْ قَدِمُوا<br /><br />Telah menceritakan kepadaku Abu Salamah bin ‘Abdurrahman dari Abu Hurairah, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut di dalam shalat al-‘atamah (‘isyaa’) selama sebulan, beliau berkata di dalam qunutnya: “Allaahumma najji al-Walid bin al-Walid, Allaahumma najji Salamah bin Hisyaam, Allahumma najjil-mustadh’afiin minal-mu’miniin, Allaahummasydud wath’ataka ‘alaa Mudhar, Allaahummaj’alhaa ‘alaihim siniina kasinii Yuusuf”. (Yaa ALLAH selamatkanlah al-Walid bin al-Walid, Yaa ALLAH selamatkanlah Salamah bin Hisyaam, Yaa ALLAH selamatkanlah orang-orang lemah dari kaum mu’minin, Yaa ALLAH keraskanlah ‘adzabMu atas Mudhar, Yaa ALLAH jadikanlah (‘adzabMu) atas mereka berupa musim kering yang panjang sebagaimana musim kering pada masa Yusuf (‘alaihi as-salam). (HR Muslim No 1230 [MS]).<br /><br /><br />D.<br /><br />عَنْ أَبِي سَلَمَةَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُمْ<br />أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ بَعْدَ الرَّكْعَةِ فِي صَلَاةٍ شَهْرًا إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ يَقُولُ فِي قُنُوتِهِ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ اللَّهُمَّ نَجِّ سَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ اللَّهُمَّ نَجِّ عَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ اللَّهُمَّ نَجِّ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ ثُمَّ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرَكَ الدُّعَاءَ بَعْدُ فَقُلْتُ أُرَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ تَرَكَ الدُّعَاءَ لَهُمْ قَالَ فَقِيلَ وَمَا تُرَاهُمْ قَدْ قَدِمُوا<br /><br />Dari Abu Salamah bahwa sesungguhnya Abu Hurairah menceritakan pada mereka bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut setelah rak’ah (ruku’) di dalam shalat selama sebulan, apabila beliau telah berkata “Sami’allaahu liman hamidah” beliau berkata di dalam qunutnya “Allaahumma anji al-Walid bin al-Walid, Allaahumma najji Salamah bin Hisyaam, Allaahumma najji ‘Ayyaasy bin Abii Rabii’ah, Allaahumma najjil-mustadh’ifiin minal-mu’miniin, Allaahummasydud wath’ataka ‘alaa Mudhar, Allaahummaj’alhaa ‘alaihim siniina kasinii yuusuf” (Yaa ALLAH selamatkanlah al-Walid bin al-Walid, Yaa ALLAH selamatkanlah Salamah bin Hisyaam, Yaa ALLAH selamatkanlah ‘Ayyaasy bin Abii Rabii’ah, Yaa ALLAH selamatkanlah orang-orang lemah dari kaum mu’minin, Yaa ALLAH keraskanlah ‘adzabMu atas Mudhar, Yaa ALLAH jadikanlah ‘adzabMu atas mereka berupa musim kering yang panjang sebagaimana musim kering zaman Yuusuf (‘alaihi as-salaam)). Abu Hurairah berkata: kemudian aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan doa tersebut setelah melakukannya. Maka aku berkata (Abu Hurairah): Ditampakkan padaku bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggalkan berdoa untuk mereka. Beliau (Abu Hurairah) berkata: maka dikatakan: Apakah tidak diperlihatkan padamu bahwa mereka sudah datang.<br /><br />Dalam riwayat yang lain dari Yahya dari Abi Salamah <br /><br />أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَمَا هُوَ يُصَلِّي الْعِشَاءَ إِذْ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ثُمَّ قَالَ قَبْلَ أَنْ يَسْجُدَ اللَّهُمَّ نَجِّ عَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ ثُمَّ ذَكَرَ بِمِثْلِ حَدِيثِ الْأَوْزَاعِيِّ إِلَى قَوْلِهِ كَسِنِي يُوسُفَ وَلَمْ يَذْكُرْ مَا بَعْدَهُ<br /><br />Bahwa Abu Hurairah memberitahukan bahwa Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam ketiak beliau shalat ‘Isyaa’ pada saat berkata “Sami’allaahu liman hamidah” kemudian berkata sebelum sujud: “ Allaahumma najji ‘Ayyaasy bin Abii Rabii’ah, kemudian menyebutkan seperti hadits al-‘Auza’i (hadits di atas) sampai perkataan beliau “Kasinii Yuusuf” dan tidak menyebutkan setelahnya (dari hadits di atas). (HR Muslim No 1083 [MS])<br /><br /><br />3. Hadits Ibnu ‘Abbas<br /><br />عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ<br />قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَصَلَاةِ الصُّبْحِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ<br /><br />Dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama sebulan terus menerus di dalam shalat dzuhur, ‘ashar, maghrib, ‘isyaa’ dan shalat subuh di setiap akhir shalat apabila beliau berkata “Sami’allaahu liman hamidah” dari raka’at akhir, berdoa atas (kecelakaan) qabilah-qabilah dari Bani Sulaim, atas Ra’l, Dzakwan dan ‘Ushayyah dan orang-orang di belakangnya mengamininya. (HR Abu Dawud No 1231 [MS]). Hadits ini dihasankan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Abu Dawud No 1443 [MS]). Hadits ini juga dihukumi hasan atau shahih oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’ 3/502 [MS].<br /><br />4. Hadits al-Baraa’ bin ‘Aazib<br /><br />حَدَّثَنَا الْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ<br />أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ وَالْمَغْرِبِ<br /><br />Telah menceritaknan kepada kami al-Baraa’ bin ‘Azib bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut di dalam shalat subuh dan maghrib. (HR Muslim No 1093 [MS] , HR Abu Dawud No 1229 [MS] dan HR at-Tirmidzi No 367 [MS])<br /><br /><br /><br />Faidah-faidah dari hadits-hadits yang telah disebutkan:<br /><br />1. Disyari’atkannya qunut nazilah atau qunut nawaazil. Hampir semua hadits yang disebutkan baik dari Anas bin Malik, Abu Hurairah dan Ibnu ‘Abbas menunjukkan bahwa qunut yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah minta kepada ALLAH untuk keselamatan para penghafal al-Quran dan kecelakaan bagi orang-orang musyrik yang berkhianat dan berbuat aniaya terhadap para al-qurra’ (penghafal al-Quran) tersebut. Hal ini sangat jelas disebutkan sekaligus juga sebabnya dalam hadits 1A, 1C, 1D, 1F, 1H dan 1K. Sedangkan hadits 1B, 1E, 1G, 1I, 1J, 1L, 1M, 2ABCD dan 3 menunjukkan doa kecelakaan bagi orang-orang musyrik pengkhianat tanpa dijelaskan sebabnya sebagian ditambah doa keselamatan atas para penghafal al-Quran dan juga ada disebutkan doa untuk orang-orang lemah dari kaum mu’minin. Hadits 1N, 1O, 1P, 1Q dan 4 hanya menunjukkan tentang masalah qunut tanpa penjelasan mendetail. Akan tetapi apabila diperhatikan nampak bahwa keseluruhan hadits sebenarnya menunjukkan tentang disyari’atkannya qunut nazilah dengan sebab dan tatacaranya. Untuk memahami suatu hadits, para ulama hadits selalu mengumpulkan seluruh hadits yang berhubungan sehingga informasi yang didapatkan akan semakin lengkap dan terhindar dari istimbath hukum dengan informasi yang masih kurang. Inilah yang membuat madzhab ahli hadits unggul dalam hujjah dibanding madzhab-madzhab yang lain. <br /><br />Pendapat para ulama:<br /><br />Ulama-ulama Syafi’iyyah, Hanabilah (Hanbaliyyah), Hanafiyyah berpendapat disunnahkannya qunut nazilah pada shalat-shalat wajib apa bila ada kesusahan yang menimpa kaum muslimin. Hanafiyyah berpendapat qunut nazilah hanya khusus untuk shalat jahriyyah (maghrib, ‘isyaa dan subuh) (Taudhih al-Ahkam 2/249). Sedangkan Hanbaliyyah berpendapat hanya saat shalat subuh serta dipimpin oleh Imam (Khalifah)(al-Mughni 3/369 [MS]).<br /><br />al-Imam Nawawi berhujjah dengan hadits-hadits qunut nazilah untuk menyatakan bahwa qunut nazilah adalah sunnah dilakukan setiap shalat wajib. Beliau juga menukil bahwa pendapat al-Imam asy-Syafi’i juga demikian (al-Majmu’ 3/494 [MS]).<br /><br />2. Qunut nazilah dilakukan setelah ruku’ raka’at terakhir setelah bacaan i’tidal “sami’allaahu liman hamidah”. Sebagaimana disebutkan di hadits-hadits 1ADEGHIJKNOQ, 2ABD dan 3. <br /><br />Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: Keseluruhan riwayat yang datang dari Anas bahwa qunut untuk keperluan (nazilah) adalah setelah ruku’, tidak ada perbedaan riwayat dari beliau tentang masalah ini. Sedangkan untuk yang selain keperluan (bukan nazilah) maka yang lebih shahih dari beliau adalah sebelum ruku’. Para shahabat berbeda amalan dalam masalah ini. Dzahirnya ini adalah perbedaan pendapat yang dibolehkan (Fath al-Bari 3/434 [MS]).<br /><br />3. Qunut nazilah dilakukan pada seluruh shalat wajib. Kebanyakan riwayat menunjukkan bahwa qunut dilakukan dalam shalat shubuh. Tentang qunut saat shalat subuh ditunjukkan oleh hadits-hadits 1FIJNO, 2A, 3 dan 4. Tentang qunut saat shalat ‘isyaa’ ditunjukkan oleh hadits-hadits 2BC dan 3. Qunut di shalat maghrib ditunjukkan di hadits 4. Sedangkan qunut dzuhur dan ‘ashar ada di hadits 3. Telah disebutkan pendapat ulama dalam masalah ini di faidah pertama. Pendapat an-Nawawi dan asy-Syafi’i tentang qunut nazilah ini sesuai dzahir hadits-hadits tersebut.<br /><br />4. Qunut dilakukan secara sebentar saja sebagaimana ditunjukkan oleh hadits 1O dan 1N.<br /><br />5. Doa-doa yang diucapkan saat nazilah mestilah berhubungan dengan nazilah atau peristiwa yang sedang terjadi dan tidak ditambah-tambahi doa yang tidak ada hubungannya dengan peristiwa atau nazilah tersebut. Dalam hadits-hadits tersebut Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam mencukupkan diri dengan doa-doa tersebut.<br /><br />6. Tidak ada do’a khusus dan tertentu untuk qunut nazilah, doa yang diucapkan adalah sesuai dengan peristiwa yang terjadi. Dalam hadits-hadits tersebut doa yang diucapkan betul-betul sesuai dengan peristiwa yang terjadi pada saat itu.<br /><br />7. Doa qunut disunnahkan untuk dikeraskan (jahr) sebagaimana ditunjukkan oleh hadits 2A.<br /><br />al-Imam an-Nawawi menyebutkan disunnahkan mengeraskan bacaan qunut (al-Majmu’ 3/501-502 [MS])<br /><br />8. Disunnahkan untuk diamini oleh ma’mum. Hal ini ditunjukkan oleh hadits 3. Ar-Rafi’i dan al-Ashaab (Sahabat-sahabat asy-Syafi’i) berhujjah dengan hadits Ibnu Abbas ini (3) untuk menunjukkan disunnahkannya mengamini imam yang sedang qunut. (al-Majmu’ 3/502 [MS]).<br /><br />Beberapa yang tidak dibahas dalam hadits-hadits tersebut adalah tentang mengangkat kedua tangan saat berdoa qunut. Terdapat hadits yang membahas masalah ini :<br /><br /><br />فَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاةِ الْغَدَاةِ رَفَعَ يَدَيْهِ فَدَعَا عَلَيْهِمْ<br /><br />Dari Anas, Aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam shalat subuh mengangkat kedua tangannya dan berdoa atas mereka (HR Ahmad No 11953 [MS]). Syaikh Ahmad Syakir mengatakan sanadnya shahih (Musnad Ahmad 10/444, Tahqiq Ahmad Syakir).<br /><br />Tidak ada dalil yang shahih yang menunjukkan mengusap wajah setelah selesai doa qunut. an-Nawawi menyebutkan pendapat al-Baihaqi dalam masalah tersebut, dan inilah pendapat beliau (al-Majmu’ 3/501 [MS]).<br /><br />Ada beberapa hal yang juga tidak dibahas dalam masalah tersebut yakni qunut nazilah di dalam shalat jum’at, qunut nazilah di dalam shalat sunnah dan qunut nazilah saat shalat sendirian (tidak berjamaah). Bagi yang berjamaah sebaiknya mengikuti imamnya dalam qunut, tidak disarankan berqunut sendirian saat imam tidak berqunut, karena mengikuti imam adalah wajib, termasuk juga mengikuti imam dalam perkara ijtihad di dalam shalat. <br /><br />Tentang qunut nazilah saat shalat jum’at banyak perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh. Sebagian membolehkan mengqiyaskan dengan shalat wajib, sebagian melarangnya karena tidak ada dalil dalam masalah itu. Syaikh al-‘Utsaimin mengatakan : dzahirnya boleh qunut di dalam shalat Jum’at ( asy-Syarh al-Mumti’ 4/47 [MS]). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila menyebutkan shalat wajib selalu menyebut shalat lima waktu. Shalat Jum’at tidak disebutkan khusus, padahal termasuk wajib ‘ain bagi laki-laki dan mengganti shalat dzuhur. Dengan dasar ini dzahirnya tidak masalah qunut nazilah saat shalat Jum’at disamakan dengan shalat lima waktu.<br /><br />Sedangkan qunut nazilah saat shalat wajib sendirian, dzahirnya hadits adalah boleh, karena qunut adalah ibadah di dalam shalat tidak terkait dengan berjamaah atau tidak. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Taimiyah sebagaimana dinukil oleh Syaikh al-‘Utsaimin di dalan asy-Syarh al-Mumti’ 4/44 [MS] dengan keumuman dalil:<br /><br />صَلُّوا كما رأيتُمُوني أُصَلِّي<br /><br />Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat. (HR al-Bukhari No 595 [MS]).<br /><br />Sedangkan qunut nazilah dalam shalat sunnah tidak ada satu dalilpun yang menunjukkan disyari’atkannya qunut nazilah di dalamnya. Hadits-hadits qunut yang ada di dalam shalat sunnah adalah qunut witir dan tidak terkait dengan peristiwa apapun (nazilah).<br /><br />Kemudian tidak disyaratkan hanya boleh dilakukan oleh imam (khalifah), karena Abu Hurairah melakukan qunut nazilah sedangkan beliau bukan imam atau khalifah.<br /><br />أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ<br />وَاللَّهِ لَأُقَرِّبَنَّ بِكُمْ صَلَاةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَقْنُتُ فِي الظُّهْرِ وَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ وَصَلَاةِ الصُّبْحِ وَيَدْعُو لِلْمُؤْمِنِينَ وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ<br /><br />Abu Salamah bin ‘Abdurrahman mendengar Abu Hurairah berkata: Demi ALLAH aku betul-betul akan mendekatkan (menyamakan) kalian dengan shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Hurairah melakukan qunut di dalam shalat Dzuhur, ‘Ashar, ‘Isyaa’, dan shalat Subuh dan berdoa untuk orang-orang mu’min dan melaknat orang-orang kafir. (HR Muslim No 1084 [MS]).<br /><br /><br />Contoh lafadz doa qunut nazilah (dengan contoh kasus Palestina):<br /><br />Doa ini diambil dari lafadz-lafadz hadits-hadits di atas:<br /><br />اللهم أنج إخواننا المسلمين في فلسطين ، اللهم انصرهم ، اللهم اشدد وطأتك على اليهود المجرمين ومن شايعهم وأعانهم، اللهم العنهم، اللهم اجعلها عليهم سنين كسني يوسف<br /><br />“Allaahumma anji ikhwaananaa fii Falisthiin, Allaahummanshurhum, Allaahummasydud wath’ataka ‘alal-yahuudil-mujrimiina wa man syaaya’ahum wa a’aanahum, Allaahummal’anhum, Allaahummaj’alhaa ‘alaihim siniin kasinii Yuusuf”<br /><br />Yaa ALLAH selamatkanlah saudara-sauadara kami orang-orang islam di Palestina, Yaa ALLAH tolonglah mereka, Yaa ALLAH keraskanlah ‘adzabMu atas Yahudi yang berbuat jahat dan aniaya, siapapun yang bersekutu dengan mereka dan membantu mereka, Yaa ALLAH la’natlah mereka, Yaa ALLAH jadikanlah ‘adzabMu atas mereka berupa musim kering yang panjang sebagaimana musim kering di zaman Nabi Yusuf (‘alaihi as-salam)<br /><br />Contoh yang diriwayatkan dari ‘Umar radhiallahu ‘anhu (sanadnya belum diketahui derajatnya, tapi kita lihat maknanya)<br /><br />اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ ، وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ ، وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِهِمْ وَانْصُرْهُمْ عَلَى عَدُوِّكَ وَعَدُوِّهِمْ ، اللَّهُمَّ الْعَنْ كَفَرَةَ أَهْلِ الْكِتَابِ ، الَّذِينَ يُكَذِّبُونَ رُسُلَكَ ، وَيُقَاتِلُونَ أَوْلِيَاءَكَ ، اللَّهُمَّ خَالِفْ بَيْنَ كَلِمَتِهِمْ وَزَلْزِلْ أَقْدَامَهُمْ وَأَنْزِلْ بِهِمْ بَأْسَكَ الَّذِي لَا يُرَدُّ عَنْ الْقَوْمِ الْمُجْرِمِينَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْتَعِينُكَ <br /><br />Yaa ALLAH ampunilah orang-orang mu’min laki-laki dan perempuan, orang-orang muslim laki-laki dan perempuan, Satukanlah hati-hati mereka, perbaikilah hubungan antara mereka, tolonglah mereka atas musuhMu dan musuh mereka, Yaa ALLAH la’natlah orang-orang kafir ahli kitab yang telah mendustakan Rasul-rasulMu, memerangi wali-waliMu, Yaa ALLAH pecah-belahlah kalimat mereka, guncangkanlah kaki-kaki mereka, turunkanlah ‘adzabMu yang tidak bisa dihindarkan dari kaum yang aniaya. Yaa ALLAH sesungguhnya kami mohon pertolongan kepadaMU.<br /><br />Demikian pembahasan tentang qunut nazilah semoga bermanfaat. Bagi saudara-saudara seiman yang belum bisa mengamalkan qunut nazilah karena imam di masjidnya tidak melakukannya atau karena halangan yang lain, maka bantulah dengan doa yang semacamnya di saat-saat mustajab seperti :<br /><br />Akhir malam (waktu sahur atau 1/3 malam terakhir), di akhir shalat wajib lima waktu, antara adzan dan iqamah, ketika adzan shalat wajib, ketika turun hujan, saat tertentu pada hari jum’at (sebagian berpendapat saat duduknya khatib di antara dua khutbah), di dalam sujud saat shalat, saat setelah bangun malam, saat bepergian (musafir), saat berpuasa, saat berbuka puasa, dan waktu-waktu mustajab yang lain. <br /><br />Pembahasan dalil-dalil waktu mustajab tidak akan dibahas di sini, insya ALLAH di tulisan yang lain.<br /><br />Semoga ALLAH memudahkan kita untuk melakukan qunut nazilah, berdoa di waktu-waktu mustajab dan segala usaha kita untuk meringankan beban saudara-saudara kita di Palestina. <br /><br />وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ<br /><br />Dan Tuhanmu berfirman: "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". (QS al-Mu’min : 60)<br /><br />وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ<br /><br />Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS al-Baqarah : 186).<br /><br />ALLAH A’lam bi ash-shawab<br /><br />*[MS] = al-Maktabah asy-Syamilah<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /></span>Noor Akhmad Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/10833235638280077629noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7422174640475267309.post-28108194011662800132009-01-06T16:34:00.001+08:002009-01-16T16:24:58.611+08:00Qunut Nazilah Untuk Muslimin Palestina (Bagian 1)Kejadian yang menimpa saudara-saudara kita seaqidah di Palestina mengharuskan kita secara syar’i untuk membantu mereka dengan segala yang kita mampu. Baik membebaskan mereka dari kezaliman orang-orang kafir Yahudi atas mereka dengan jiwa dan harta kita, maupun mengajarkan apa yang diwajibkan ALLAH atas mereka serta berdoa untuk mereka. Di antara bentuk doa yang disyari’atkan saat menghadapi situasi sulit seperti yang terjadi di Palestina adalah dengan melalui ibadah khusus yang dinamakan “qunut nazilah”. Doa di dalam qunut nazilah jauh lebih afdhal dibandingkan doa-doa di luar qunut tersebut. Hal ini karena qunut nazilah adalah cara berdoa yang dipilih oleh Rasulullah ‘alaihi ash-shalatu wa as-salam saat menghadapi situasi yang sangat berat seperti yang terjadi di Palestina kini. Apa yang dipilih Rasulullah ‘alaihi ash-shalatu wa as-salam adalah sebaik-baik teladan bagi kita dalam bersikap terhadap masalah Palestina ini dalam memohon pertolongan kepada ALLAH ‘azza wa jalla. <br /><br />Qunut nazilah terdiri dari dua kata yakni qunut dan nazilah. Qunut secara bahasa artinya keta’atan, kemudian berdiri pada saat shalat juga dinamakan qunut (Mukhtar ash-Shihah 1/262 [MS]). Qunut juga berarti doa pada saat shalat (Lisan al-‘Arab 2/73 [MS]). Sedangkan nazilah adalah masa-masa yang sulit dan berat (Mukhtar ash-Shihah 1/310 [MS] dan Lisan al-‘Arab 11/656 [MS]). Sehingga qunut nazilah adalah doa pada saat berdiri dalam shalat yang dilakukan pada masa-masa sulit dan berat. Sebagian ulama berpendapat bahwa qunut nazilah ini dilakukan setelah ruku raka’at kedua pada shalat subuh. Sebagian ulama membolehkan qunut nazilah pada setiap shalat fardhu lima waktu setelah ruku’ pada raka’at terakhir (Taudhih al-Ahkam 2/246-248)<br /><br />Hadits-hadits yang menyatakan disyari’atkannya qunut nazilah adalah sebagai berikut (saya mencukupkan dengan kutub as-sittah) :<br /><br /><span class="fullpost"><br /><br />1. Hadits Anas bin Malik radhiallaahu ‘anhu<br /><br />A.<br />عَاصِمٌ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ<br />عَنْ الْقُنُوتِ فَقَالَ قَدْ كَانَ الْقُنُوتُ قُلْتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ أَوْ بَعْدَهُ قَالَ قَبْلَهُ قَالَ فَإِنَّ فُلَانًا أَخْبَرَنِي عَنْكَ أَنَّكَ قُلْتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ فَقَالَ كَذَبَ إِنَّمَا قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الرُّكُوعِ شَهْرًا أُرَاهُ كَانَ بَعَثَ قَوْمًا يُقَالُ لَهُمْ الْقُرَّاءُ زُهَاءَ سَبْعِينَ رَجُلًا إِلَى قَوْمٍ مِنْ الْمُشْرِكِينَ دُونَ أُولَئِكَ وَكَانَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَهْدٌ فَقَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَيْهِمْ<br /><br /><br />’Ashim berkata: Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang qunut, maka beliau berkata: Ada qunut. Aku berkata: sebelum ruku’ atau setelah nya? Beliau berkata: Sebelumnya (ruku’). Dia (‘Ashim) berkata: Sesungguhnya fulan memberitahuku darimu bahwa engkau mengatakan setelah ruku’. Maka Dia (Anas) berkata: Dia telah salah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya qunut setelah ruku’ selama sebulan. Diperlihatkan padaku bahwa beliau mengutus satu kaum yang dinamakan al-Qurra (para penghafal al-Quran) kurang lebih tujuh puluh laki-laki kepada suatu kaum dari kalangan musyrikin selain mereka. Dan antara mereka dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada perjanjian. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama sebulan berdoa atas (kecelakaan) mereka (musyrikin). (HR al-Bukhari No 947 [MS]).<br /><br /><br />B.<br /><br />عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ<br />قَنَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ<br /><br />Dari Abi Mijlaz dari Anas bin Malik beliau berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama sebulan berdoa atas Ri’l dan Dzakwan (HR al-Bukhari No 948 [MS]).<br /><br />C.<br /><br />حَدَّثَنَا عَاصِمٌ الْأَحْوَلُ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ<br />قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا حِينَ قُتِلَ الْقُرَّاءُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَزِنَ حُزْنًا قَطُّ أَشَدَّ مِنْهُ<br /><br />Telah bercerita kepada kami ‘Ashim al-Ahwal dari Anas radhiallahu ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama sebulan pada saat al-Qurra’ (para penghafal al-Quran) dibunuh. Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih sedih dibanding saat itu. (HR al-Bukhari No 1217)<br /><br /><br />D.<br /><br />عَاصِمٌ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ<br />عَنْ الْقُنُوتِ قَالَ قَبْلَ الرُّكُوعِ فَقُلْتُ إِنَّ فُلَانًا يَزْعُمُ أَنَّكَ قُلْتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ فَقَالَ كَذَبَ ثُمَّ حَدَّثَنَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَنَتَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ قَالَ بَعَثَ أَرْبَعِينَ أَوْ سَبْعِينَ يَشُكُّ فِيهِ مِنْ الْقُرَّاءِ إِلَى أُنَاسٍ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَعَرَضَ لَهُمْ هَؤُلَاءِ فَقَتَلُوهُمْ وَكَانَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَهْدٌ فَمَا رَأَيْتُهُ وَجَدَ عَلَى أَحَدٍ مَا وَجَدَ عَلَيْهِمْ<br /><br />‘Ashim berkata: Aku bertanya kepada Anas radhiallahu ‘anhu tentang qunut. Beliau berkata: Sebelum ruku’. Maka aku berkata: Sesungguhnya fulan beranggapan bahwa Engkau berkata setelah ruku’. Maka beliau berkata: Dia telah salah, kemudian beliau bercerita kepada kami dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau qunut selama sebulan setelah ruku’ berdoa atas qabilah-qabilah dari bani Sulaim. Beliau berkata: Beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengutus empat puluh atau tujuh puluh, beliau (Anas) ragu, dari para al-Qurra’ (penghafal al-Quran) kepada orang-orang dari kalangan musyrikin, kemudian mereka menghadang para qurra’ tersebut kemudian mereka membunuh para qurra’ tersebut padahal antara mereka dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada perjanjian. Aku tidak pernah mendapati atas seseorang sebagaimana apa yang beliau dapati. (HR al-Bukhari No 2934 [MS]).<br /><br />E.<br /><br />حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ قَالَ<br />قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ الْعَرَبِ<br /> <br />Qotadah telah bercerita kepada kami dari Anas, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama satu bulan setelah ruku’ berdoa atas (kecelakaan) beberapa qabilah arab. (HR al-Bukhari No 3780 [MS])<br /><br />F.<br /><br />عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ<br />أَنَّ رِعْلًا وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَبَنِي لَحْيَانَ اسْتَمَدُّوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عَدُوٍّ فَأَمَدَّهُمْ بِسَبْعِينَ مِنْ الْأَنْصَارِ كُنَّا نُسَمِّيهِمْ الْقُرَّاءَ فِي زَمَانِهِمْ كَانُوا يَحْتَطِبُونَ بِالنَّهَارِ وَيُصَلُّونَ بِاللَّيْلِ حَتَّى كَانُوا بِبِئْرِ مَعُونَةَ قَتَلُوهُمْ وَغَدَرُوا بِهِمْ فَبَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو فِي الصُّبْحِ عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَبَنِي لَحْيَانَ قَالَ أَنَسٌ فَقَرَأْنَا فِيهِمْ قُرْآنًا ثُمَّ إِنَّ ذَلِكَ رُفِعَ بَلِّغُوا عَنَّا قَوْمَنَا أَنَّا لَقِينَا رَبَّنَا فَرَضِيَ عَنَّا وَأَرْضَانَا وَعَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ حَدَّثَهُ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَبَنِي لِحْيَانَ<br />زَادَ خَلِيفَةُ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ حَدَّثَنَا أَنَسٌ أَنَّ أُولَئِكَ السَّبْعِينَ مِنْ الْأَنْصَارِ قُتِلُوا بِبِئْرِ مَعُونَةَ قُرْآنًا كِتَابًا نَحْوَهُ<br /><br />Dari Qotadah dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwasanya Ri’l, Dzakwan, ‘Ushayyah dan Bani Lahyan meminta tambahan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atas musuh dengan tujuh puluh dari kaum anshar, kami menamakan mereka al-Qurra’ (para penghafal al-Quran) pada zaman mereka. Mereka mencari kayu bakar (bekerja) di siang hari dan shalat di malam hari hingga mereka sampai sumur Ma’unah, orang-orang musyrik membunuh mereka dan berkhianat maka sampailah (berita itu) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau qunut selama sebulan berdua saat shalat subuh atas (kecelakaan) qabilah dari qabilah-qabilah arab atas Ri’l, Dzakwan, ‘Ushayyah dan Bani Lahyan. Anas berkata: Maka kami membaca ayat al-Quran tentang mereka kemudian ayat itu diangkat (mansukh) “Ballighuu ‘annaa qaumanaa annaa laqiinaa rabbanaa faradhia ‘annaa wa ardhaanaa” (Sampaikanlah kaum kami oleh kalian dari kami bahwasanya kami berjumpa dengan Rabb kami kemidian Dia ridha dengan kami dan membuat kami ridha). Dan dari Qotadah dari Anas bin Malik, beliau menceritakannya bahwa Nabi ALLAH shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama sebulan di dalam shalat subuh berdoa atas beberapa qabilah dari qabilah-qabilah arab atas Ri’l, Dzakwan, ‘Ushayyah, dan Bani Lahyan. Khalifah menambah: Telah mencertiakan kepada kami Yazid bin Zurai’, telah menceritakan kepada kami Sa’id dari Qotadah, telah bercerita kepada kami Anas bahwa mereka adalah tujuh puluh dari kalangan anshar, dibunuh di sumur ma’unah. Lafadz Qur’an diganti Kitab semacamnya. (HR al-Bukhari No 3781 [MS])<br /><br />G.<br /><br />عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ<br />قَنَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الرُّكُوعِ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَيَقُولُ عُصَيَّةُ عَصَتْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ<br /><br />Dari Abi Mijlaz dari Anas radhiallahu ‘anhu beliau berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama sebulan setelah ruku’ berdoa atas Ri’l, Dzakwan dan berkata ‘Ushayyah telah durhaka kepada ALLAH dan RasulNya. (HR al-Bukhari No 3785 [MS])<br /><br />H.<br /><br />حَدَّثَنَا عَاصِمٌ الْأَحْوَلُ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ<br />عَنْ الْقُنُوتِ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ نَعَمْ فَقُلْتُ كَانَ قَبْلَ الرُّكُوعِ أَوْ بَعْدَهُ قَالَ قَبْلَهُ قُلْتُ فَإِنَّ فُلَانًا أَخْبَرَنِي عَنْكَ أَنَّكَ قُلْتَ بَعْدَهُ قَالَ كَذَبَ إِنَّمَا قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الرُّكُوعِ شَهْرًا أَنَّهُ كَانَ بَعَثَ نَاسًا يُقَالُ لَهُمْ الْقُرَّاءُ وَهُمْ سَبْعُونَ رَجُلًا إِلَى نَاسٍ مِنْ الْمُشْرِكِينَ وَبَيْنَهُمْ وَبَيْنَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَهْدٌ قِبَلَهُمْ فَظَهَرَ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ كَانَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَهْدٌ فَقَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الرُّكُوعِ شَهْرًا يَدْعُو عَلَيْهِمْ<br /> <br />Telah menceritakan kepada kami ‘Ashim al-Ahwal, beliau berkata: Aku bertanya kepada Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu tentang qunut di dalam shalat. Maka beliau berkata: Betul. Kemudian aku berkata: Sebelum ruku’ atau setelahnya?. Beliau menjawab: Sebelumnya. Aku berkata: Sesungguhnya fulan menceritakan kepadaku darimu bahwa engkau berkata setelahnya (ruku’). Beliau berkata: Dia telah salah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut setelah ruku’ hanya sebulan. Beliau mengutus orang-orang yang dinamakan al-Qurra’ (penghafal al-Quran), mereka berjumlah tujuh puluh laki-laki kepada orang-orang dari kalangan musyrikin, dan di antara mereka dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada perjanjian dari sisi mereka. Maka muncullah orang-orang yang ada perjanjian antara mereka dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut setelah ruku’ selama sebulan berdoa atas mereka. (HR al-Bukhari No 3787 [MS]).<br /><br />I.<br /><br />عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ<br />قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَيَقُولُ عُصَيَّةُ عَصَتْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ<br /><br />Dari Abi Mijlaz dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama sebulan setelah ruku’ di dalam shalat subuh berdoa atas Ri’l, Dzakwan dan berkata ‘Ushayyah telah durhaka kepada ALLAH dan RasulNya. (HR Muslim No 1087 [MS])<br /><br />J.<br /><br />أَخْبَرَنَا أَنَسُ بْنُ سِيرِينَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ<br />أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ يَدْعُو عَلَى بَنِي عُصَيَّةَ<br /><br />Telah memberi tahu kami Anas bin Sirin dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama sebulan setelah ruku’ di dalam shalat fajar (subuh), berdoa atas bani ‘Ushayyah. (HR Muslim 1088 [MS]).<br /><br /><br />K.<br /><br />عَنْ عَاصِمٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ<br />سَأَلْتُهُ عَنْ الْقُنُوتِ قَبْلَ الرُّكُوعِ أَوْ بَعْدَ الرُّكُوعِ فَقَالَ قَبْلَ الرُّكُوعِ قَالَ قُلْتُ فَإِنَّ نَاسًا يَزْعُمُونَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ فَقَالَ إِنَّمَا قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أُنَاسٍ قَتَلُوا أُنَاسًا مِنْ أَصْحَابِهِ يُقَالُ لَهُمْ الْقُرَّاءُ<br /><br />Dari ‘Ashim dari Anas, beliau (‘Ashim) bertanya kepadanya (Anas) tentang qunut apakah sebelum ruku’ atau setelah ruku? Maka beliau menjawab: sebelum ruku’. Beliau (‘Ashim) berkata: Aku berkata: Orang-orang beranggapan bahwa Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam qunut setelah ruku’. Maka beliau (Anas) berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya qunut selama sebulan berdoa atas orang-orang yang membunuh orang-orang dari sahabat beliau yang dinamakan al-Qurra’ (penghafal al-Quran). (HR Muslim No 1089 [MS]).<br /><br />L.<br /><br />عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ<br />أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَلْعَنُ رِعْلًا وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَوْا اللَّهَ وَرَسُولَهُ<br /><br />Dari Qotadah dari Anas bin Malik bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama sebulan melaknat Ri’l, Dzakwan dan ‘Ushayyah, mereka durhaka kepada ALLAH dan RasulNya. (HR Muslim No 1091 [MS]).<br /><br />M.<br /><br />عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ<br />أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ<br /><br />Dari Qotadah dari Anas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama sebulan berdoa atas qabilah-qabilah dari qabilah-qabilah arab kemudian beliau meninggalkannya (yakni qunut). (HR Muslim No 1092 [MS])<br /><br />N.<br /><br />عَنْ مُحَمَّدٍ قَالَ قُلْتُ لِأَنَسٍ<br />هَلْ قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ قَالَ نَعَمْ بَعْدَ الرُّكُوعِ يَسِيرًا<br />Dari Muhammad beliau berkata: Aku berkata kepada Anas: Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut di dalam shalat subuh? Beliau menjawab: Iya setelah ruku’ secara ringan saja (pendek). (HR Muslim No 1086 [MS]).<br /><br />O.<br /><br />عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ<br />أَنَّهُ سُئِلَ هَلْ قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ فَقَالَ نَعَمْ فَقِيلَ لَهُ قَبْلَ الرُّكُوعِ أَوْ بَعْدَ الرُّكُوعِ قَالَ بَعْدَ الرُّكُوعِ قَالَ مُسَدَّدٌ بِيَسِيرٍ<br /><br />Dari Muhammad dari Anas bin Malik, bahwa beliau ditanya: Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut di dalam shalat subuh? Beliau berkata: Iya. Maka dikatakan pada beliau: Apakah sebelum ruku’ atau setelah ruku’? Beliau berkata: Setelah ruku’. Musaddad berkata: dengan ringan saja (pendek). (HR Abu Dawud No 1232 [MS])<br />Hadits ini dishahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud No 1444 [MS].<br /><br />P.<br /><br />عَنْ أَنَسِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ<br />أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا ثُمَّ تَرَكَهُ<br /><br />Dari Anas bin Sirin dari Anas bin Malik sesungguhnya Nabi shalllallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama sebulan kemudian beliau meninggalkannya. (HR Abu Dawud No 1233 [MS]). <br />Hadits ini dishahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud No 1445 [MS].<br /><br />Q.<br /><br />عَنْ مُحَمَّدٍ قَالَ<br />سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ الْقُنُوتِ فَقَالَ قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الرُّكُوعِ<br /><br />Dari Muhammad, beliau berkata: Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang qunut. Maka beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut setelah ruku’. (HR Ibnu Majah No 1174 [MS]).<br />Hadits ini dishahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah No 1184 [MS].<br /><br /><br />.... bersambung ke bagian 2<br /><br /></span>Noor Akhmad Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/10833235638280077629noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7422174640475267309.post-38318178000588377042008-12-27T11:06:00.008+08:002009-01-16T16:20:26.047+08:00Tafsir Surat Al-Bayyinah Ayat 7-8<div align="justify"><span style="font-family:arial;"></span> </div><div align="justify"><span style="font-family:arial;">إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ </span></div><div align="justify"><br /><span style="font-family:arial;">“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” (QS Al-Bayyinah 7)<br /><br />Ibnu Jarir ath-Thabari berkata dalam tafsirnya :<br /><br />ALLAH Ta’aalaa berkata (yang bermakna) : Sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada ALLAH dan Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyembah ALLAH semata dengan mengikhlaskan agama ini hanya untuk-Nya dengan hanif cenderung kepada tauhid, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan menta’ati ALLAH dalam perintah dan larangan-Nya (dengan meninggalkan larangan-Nya). . .<br />Barang siapa melaksanakan itu semua dari kalangan manusia maka mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.<br /><br />Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya :<br /><br />Kemudian ALLAH Ta’aalaa menceritakan tentang keadaan orang-orang yang berbakti yaitu orang-orang yang beriman dengan hati-hati mereka dan beramal shalih dengan badan-badan mereka bahwa mereka adalah sebaik-baik makhluk.<br />Abu Hurairah dan sebagian ulama berdalil dengan ayat ini atas keutamaan orang-orang yang beriman dari kalangan makhluk atas para malaikat karena firman-Nya (yang bermakna) “mereka itu adalah sebaik-baik makhluk”.<br /><br /></span><span class="fullpost"><br /><br /><span style="font-family:arial;">Dalam ayat ini dibicarakan tentang sebaik-baik makhluk. Ada beberapa ayat yang menyatakan bahwa manusia itu adalah sebaik-baik makhluk. Dari sisi penciptaan ALLAH berfirman:<br /><br />وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا<br /><br />Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS Al-Israa’ 70)<br /><br />لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ<br /><br />sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya . (QS At-Tiin 4)<br /><br />Dalam kedua ayat tersebut jelas-jelas bahwa manusia itu telah dimuliakan dalam penciptaannya melebihi dari makhluk-makhluk lain, bahkan ALLAH memerintahkan Iblis untuk bersujud kepada Nabi Adam ‘alaihi as-salam. Akan tetapi sifat manusia yang dzalim dan jahil (bodoh) sebagaimana ALLAH katakan :<br /><br />إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا<br /><br />Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, (QS Al-Ahzab 72)<br /><br />menyebabkan terjerumus kepada kekafiran dan kemusyrikan sehingga jatuh kepada kedudukan sejelek-jeleknya makhluk sebagaimana firman ALLAH :<br /><br />إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ<br /><br />Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (QS Al-Bayyinnah 6)<br /><br />dan juga<br /><br />ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ<br /><br />Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), (QS At-Tiin 5)<br /><br />Itulah kebanyakan manusia yang tidak bersyukur kepada Penciptanya yang telah memuliakan penciptaannya dan menjadikannya sebaik-baik bentuk, dan memang kebanyakan manusia adalah merugi kecuali yang beriman dan beramal shalih.<br /><br />وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)<br /><br />Demi masa.<br />Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,<br />kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS Al-‘Ashr 1-3)<br /><br />Orang-orang yang tidak merugi inilah yang dimaksud sebaik-baik makhluk dalam QS Al-Bayyinah 7.<br />Sebaik-baik makhluk hanya bisa dicapai dengan iman dan amal shalih yang tingkatan-tingkatannya terbagi empat :<br /><br />Para Nabi ‘alaihim ashshalatu wa assalam<br />Para Shiddiiqiin<br />Para Syuhadaa’<br />Para Shalihiin<br /><br />Sebagaimana firman ALLAH:<br /><br />ومن يطع الله والرسول فأولئك مع الذين أنعم الله عليهم من النبيين والصديقين والشهداء والصالحين<br /><br />Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, syuhadaa’, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS An-Nisaa’ 69)<br /><br />Kedudukan yang tertinggi adalah para Nabi, berikutnya adalah Shiddiqiin maknanya adalah pengikut para Nabi dan bersungguh-sungguh membenarkan dan melaksanakan ajaran mereka. Kata shiddiq adalah bentuk penyangatan (mubalaghah) memberi arti sangat-sangat membenarkan baik dengan hati, ucapan dan perbuatan. Contoh dari umat ini adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Contoh ummat yang lalu adalah Maryam Ash-Shiddiiqah ibunda Nabi ‘Isa ‘alaihimaa as-salaam. Sedangkan Syuhadaa’ adalah orang-orang yang terbunuh di jalan ALLAH dalam rangka menegakkan kalimat-Nya seperti ‘Umar bin al-Khattab, ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallaahu ‘anhum. Shalihiin adalah orang-orang yang amal bathin dan dzahirnya shalih atau baik sesuai syari’at.<br /><br /><br />جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ<br /><br /><br />Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya. (QS Al-Bayyinah 8)<br /><br />Ibnu Jarir ath-Thabari berkata dalam tafsirnya :<br /><br />ALLAH Ta’aalaa berkata (yang bermakna) : Pahala mereka yang beriman dan beramal shalih di sisi Rabb mereka pada hari kiamat adalah “surga ‘Adn” yakni kebun-kebun atau taman-taman tempat tinggal menetap. Mengalir di bawah pohon-pohonnya sungai-sungai.<br />“Mereka kekal di dalamnya”. ALLAH berkata (yang bermakna): mereka tinggal di dalamnya selama-lamanya, mereka tidak keluar dari surga itu dan tidaklah mengalami kematian.<br />“ALLAH ridha pada mereka” dengan sebab mereka mentaati-Nya di dunia dan beramal untuk keselamatan mereka dari ‘adzab-Nya. “Mereka ridha pada-Nya” dengan sebab ALLAH memberi mereka pahala pada hari itu atas ketaatan mereka kepada Rabb mereka di dunia dan ALLAH membalas mereka atas itu semua dengan kemuliaan.<br /><br />Firman-Nya “Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya”. ALLAH berkata (yang bermakna) : Kebaikan yang Aku sifatkan ini dan Aku janjikan pada hari kiamat kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih, “bagi orang yang takut kepada Rabbnya” yakni : bagi orang yang takut kepada ALLAH di dunia dalam keadaan sendirian atau dilihat orang banyak, kemudian bertakwa kepada-Nya dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya dan menjauhi maksiat-maksiat kepada-Nya.<br /><br />Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya:<br /><br />Kemudian ALLAH berkata “Balasan mereka di sisi Tuhan mereka” yakni pada hari kiamat “ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya” yakni tidak terpisah, tidak terputus dan tidak ada habisnya.<br />“Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya” dan tingkatan (keutamaan) ridhaNya jauh lebih tinggi dari nikmat yang abadi yang diberikanNya kepada mereka.<br />“Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya” yakni balasan ini adalah hasil dari orang yang takut kepada ALLAH, bertakwa kepadaNya dengan sebenar-benar takwa, menyembahNya seakan-akan melihatNya dan mengetahui bahwa walaupun dia tidak mampu melihatNya maka sesungguhnya Dia selalu melihatnya.<br /><br />Beberapa faidah yang bisa dipetik dari ayat tersebut :<br /><br />“Balasan mereka di sisi Tuhan mereka” perkataan “di sisi” atau bahasa arabnya adalah “’inda” menunjukkan bahwa balasan itu semata-mata pemberian dan kemurahan ALLAH Ta’aalaa, bukan hak kita bukan balasan yang sebanding dengan amal kita akan tetapi semata-mata karena fadhilah dan kemurahanNya. Dalam bahasa arab balasan yang berupa hak atau sebanding adalah dengan kata “’alaa” yang bermakna “atas”. Sehingga tidak dikatakan “Balasan mereka atas (‘alaa)Tuhan mereka” akan tetapi “Balasan mereka di sisi (‘inda) Tuhan mereka”. Hal ini ditunjukkan oleh ALLAH dalam :<br /><br />جَزَاءً مِنْ رَبِّكَ عَطَاءً حِسَابًا<br />“Sebagai balasan dari Tuhanmu berupa pemberian (anugerah) yang banyak (mencukupi)”(QS An-Naba' 36)<br /><br />Makna “’Athaa’an” yakni “tafadhullan” yang bermakna pemberian, anugerah dimana ALLAH membalas satu kebaikan dengan sepuluh bahkan tujuh ratus lipat balasan. Bukankah ini pemberian dan anugerah yang luar biasa??<br /><br />Sungai-sungai yang mengalir disebutkan dalam :<br /><br />مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ فِيهَا أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍ غَيْرِ آَسِنٍ وَأَنْهَارٌ مِنْ لَبَنٍ لَمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ وَأَنْهَارٌ مِنْ خَمْرٍ لَذَّةٍ لِلشَّارِبِينَ وَأَنْهَارٌ مِنْ عَسَلٍ مُصَفًّى وَلَهُمْ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَمَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ كَمَنْ هُوَ خَالِدٌ فِي النَّارِ وَسُقُوا مَاءً حَمِيمًا فَقَطَّعَ أَمْعَاءَهُمْ<br /><br />(Apakah) perumpamaan (penghuni) jannah yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka, sama dengan orang yang kekal dalam jahannam dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong ususnya? (QS Muhammad 15)<br /><br /><br />“Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya.”<br />ALLAH menyebutkan balasan yang umum setelah balasan yang khusus (surga) yakni ridhaNya yang mencakup kehidupan di dunia apalagi di akhirat yang berupa surga dan kenikamatan di dalamnya serta melihat wajahNya. Dalam ayat ini menunjukkan bahwa balasan kebaikan itu tidak hanya diberikan saat di akhirat saja tapi juga di dunia dengan ridhaNya. ALLAH menyatakan ridha di dunia sebagaimana dalam :<br /><br />لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا<br /><br />Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu'min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). (QS Al-Fath 18)<br /><br />ALLAH ridha terhadap orang-orang mu’min yang berbai’at setia kepada Nabi ‘alaihi ash-shalatu wa as-salam kemudian diberi balasan di dunia berupa ketenangan dan kemenangan yang dekat.<br /><br />Iman dan ‘amal shalih pasti akan diberikan balasan di dunia selain balasan yang lebih baik dan kekal di akhirat kelak.<br /><br />“Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut (khasyiya) kepada Tuhannya”<br />ALLAH menggunakan kata “khasyiya” bukan “khaafa” di mana dalam bahasa kita diartikan takut. Ada perbedaan sedikit di mana “khasyiya” lebih memberi makna takut di banding “khaafa”. “khasiya” adalah “khaafa” atau takut disertai dengan ilmu tentang keagungan dan kemahaperkasaan yang ditakuti. Sehingga ilmu tentang ALLAH sangat berperan terhadap munculnya rasa takut yang disebut “khasyah”. Oleh karena itu orang-orang yang bisa “khasyiya” hanyalah orang-orang yang berilmu sebagaimana dalam:<br /><br />إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ<br /><br />Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba- Nya, hanyalah ulama (QS Faathir 28)<br /><br />Sehingga pujian ALLAH Ta’aalaa bagi orang yang berilmu atau ulama banyak sekali di dalam Al-Quran.<br /><br />Kemudian ayat 7 dan 8 QS Al-Bayyinah ini menunjukkan betapa eratnya hubungan rasa takut (khasyah) dengan iman dan ‘amal shalih. Di mana hal ini menunjukkan bahwa dalam beriman dan beramal shalih selalu diiringi dengan rasa takut yang biasa disebut “khauf, rahbah dan khasyah” di samping rasa mengharap yang biasa disebut “rajaa’, raghbah” dan rasa cinta atau “mahabbah”.<br /><br />ALLAH A’lam<br /><br />Referensi<br /><br />Tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari<br />Tafsir Ibnu Katsir<br />Tafsir Adhwa al-Bayan oleh Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi dan Tatimmahnya oleh Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim<br />Tafsir Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin<br /></span></div></span>Noor Akhmad Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/10833235638280077629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7422174640475267309.post-51038384560852334102008-12-27T04:35:00.007+08:002009-01-16T16:25:37.966+08:00I’rab Surat Al-Bayyinah Ayat 7-8<div align="justify"><font face="arial">إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ<br /><br />“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” (QS Al-Bayyinah 7)<br /><br /><br />إِنَّ الَّذِينَ<br /><br />“Inna” huruf nashab dan taukid (penegas). “Alladziina” isim maushul mabni atas fathah fii mahali nashbi isimnya “inna”.<br /><br /><br />آَمَنُوا<br /><br />“Aamanuu” fi’il madhi mabniy atas dhammah karena bersambung dengan wawu jama’ah, wawu sebagai dhamir (kata ganti) muttashil (bersambung) fii mahali raf’i faa’il. Jumlah “Aamanuu” shilatu al-maushuul laa mahala lahaa min al-I’raab.<br /><br /><br />وَعَمِلُوا<br /><br />“Wa ‘amiluu” ma’thuf (di-‘athaf) dengan wawu atas “Aamanuu” dan dii’rab sebagaimana i’rabnya.<br /><br />الصَّالِحَاتِ<br /><br />“Ash-shalihaati” maf’ul bihi manshub, alamat nashabnya kasrah sebagai badal dari fathah karena diikutkan jamak muannats salim.<br /><br /></font><font class="fullpost"><br /><br /><font face="arial">أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ<br /><br />Jumlah ismiyah fii mahali raf’i khabar kedua dari “inna”. “Ulaa’i” isim isyarah mabniy atas kasrah fii mahali raf’i mubtada. Kaf adalah huruf khitab. “Hum” adalah dhamir rafa’ munfashil (terpisah) fii mahali raf’i mubtada kedua (bagian dari khabar ghairu mufrad). “Khairu” khabar dari “hum” marfu’ dengan dhammah. “al-bariyyati” mudhaf ilaihi majrur dengan sebab idhafah, alamat jarnya adalah kasrah. Jumlah ismiyyah “Hum khairu al-bariyyati” fii mahali raf’i khabar “ulaaika” .<br /><br /><br />جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ<br /><br />“Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS Al-Bayyinah 8)<br /><br /><br />جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ<br /><br />“Jazaa’uhum” mubtada marfu’ dengan tanda rafa’nya adalah dhammah. “Hum” adalah dhamir ghaibiin (orang ketiga jamak laki-laki) fii mahali jarrin dengan sebab idhafah. “’Inda” dzaraf makan (keterangan tempat) manshub atas dzarfiyyah muta’alliq (bergantung) dengan khabarnya mubtada. “’inda” juga sebagai mudhaf. Jumlah ismiyyah “jazaa’uhum” bersama khabarnya fii mahali raf’i khabar kedua dari mubtada “ulaa’ika”.<br /><br />رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ<br /><br />“Rabbi” mudhaf ilaihi majrur dengan sebab idhafah dan alamat jarnya adalah kasrah. “Rabbi” juga sebagai mudhaf dan “him” adalah dhamir ghaa’ibiin fii mahali jarrin dengan sebab idhafah. “Jannaatin” khabar “jazaa’uhum” marfu’ dengan alamat dhammah. “’Adnin” mudhaf ilaihi majrur dengan sebab idhafah dan alamat jarrnya adalah kasrah. Makna “’adnin” adalah tempat tinggal (menetap).<br /><br />تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ<br /><br />Jumlah fi’liyyah fii mahali raf’i shifat atau na’at dari “jannaati”. “Tajrii” fi’il mudhari’ marfu’ dengan alamat dhammah yang diperkirakan atas yaa’ karena berat (diucapkan) atau tsiqal. “Min tahti” jar wa majrur muta’alliq bi “tajrii”. “haa” dhamir muttashil mabniy atas sukun fii mahali jarrin karena idhafah. “al-anhaaru” faa’il marfu’ dengan alamat dhammah.<br /><br />خَالِدِينَ فِيهَا<br /><br />“Khaalidiina” adalah haal manshub dengan alamat nashabnya adalah yaa’ karena jamak mudzakkar salim. “Fiihaa” jarr wa majrur muta’alliq dengan “khaalidiina”.<br /><br />أَبَدًا<br /><br />Dzaraf zaman manshub karena dzaraf menunjukkan makna terus menerus dan menegaskan “khaalidiina”.<br /><br /><br />رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ<br /><br />“Radhiya” fi’il madhi mabni atas fathah. اللَّهُ lafadz jalalah sebagai faa’il marfu’ dengan alamat dhammah. “’An” huruf jar dan “hum” dhamir ghaaibiin fii mahali jarrin dengan sebab “’an”. Jarr wa majrur muta’alliq dengan “radhiya”. Jumlah fi’iliyah fii mahali nashbi haal dari dhamir dalam “jazaauhum”.<br /><br />وَرَضُوا عَنْهُ<br /><br />“Wawu” adalah wawu ‘athaf. “Radhuu” adalah fi’il madhi mabniy atas dhammah yang dzahir di atas yaa’ karena bersambung dengan wawu jama’ah. Wawu dalam fi’il itu sebagai dhamir muttashil fii mahali raf’i faa’il. “’Anhu” jarr wa majrur muta’alliq dengan “ radhuu”.<br /><br />ذَلِكَ لِمَنْ<br /><br />“Dzaalika” isim isyarah mabniy atas sukun fii mahali raf’i mubtada. Laam adalah huruf jarr. “Man” adalah isim maushul mabniy atas sukun fii mahali jarrin karena laam. Jarr wa majrur muta’alliq dngan khabarnya “dzaalika”. Jumlah fi’liyah setelah “man” adalah shilah dari isim maushul laa mahala lahaa min al-i’rab.<br />خَشِيَ رَبَّهُ<br /><br />“Khasyiya” fi’il madhi mabni atas fathah. Faa’ilnya adalah dhamir mustatir fiihi jawaazan perkiraannya adalah “huwa”. “Rabba” maf’ul bihi manshub dengan alamat fathah. “hu” adalah dhamir muttashil mabniy atas dhammah fii mahali jarrin dengan sebab idhafah.<br /><br />ALLAH A’lam<br /><br />Referensi :<br /><br />Al-I’raab Al-Mufashshal Li KitaabiLLAAH Al-Murattal oleh Bahjat Abdu al-Wahid Shalih<br />I’raab al-Quraan oleh Ibnu Sayyidihi<br /><br /></div></font></font>Noor Akhmad Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/10833235638280077629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7422174640475267309.post-15740728880780907532008-12-26T17:47:00.005+08:002009-01-16T16:24:58.611+08:00Hadits Kuraib Tentang Hilal Ramadhan<div align="left"><font face="arial">Hadits Kuraib lengkapnya sebagaimana dalam Shahih Muslim (No. 1819<br />Maktabah Syamilah)<br /><br />Dari Kuraib bahwasanya Umm al-Fadhl binti al-Harits mengutusnya kepada<br />Mu'awiyah ke Syam, Kuraib berkata : Aku telah sampai Syam maka aku<br />menyelesaikan keperluannya (Umm al-Fadhl), Ramadhan telah dimulai<br />atasku dan aku di Syam, maka aku melihat hilal pada malam Jum'at<br />kemudian akau sampai Madinah di akhir bulan (Ramadhan), maka Abdullah<br />ibnu Abbas r.a. bertanya kepadaku kemudian beliau menyebut hilal dan<br />berkata " Kapan engkau melihat hilal?" maka aku menjawab "Kami<br />melihatnya malam Jum'at" maka beliau berkata "Apakah engkau benar-benar<br />melihat?" maka aku jawab "Iya dan orang-orang juga melihatnya terus<br />berpuasa dan Mu'awiyahpun berpuasa", beliau berkata "Akan tetapi kami<br />melihatnya malam Sabtu maka kami akan terus berpuasa 30 hari atau<br />sampai kami melihatnya (hilal)", aku berkata "Apakah kita tidak<br />mencukupkan dengan rukyat Mu'awiyah dan puasanya?", beliau berkata<br />"Tidak, seperti inilah Rasulullah 'alaihi shalatu wa salam<br />memerintahkan kami".<br /><br /></font><font class="fullpost"><br /><br /><font face="arial">Titik pangkal perbedaan adalah pada kata-kata "Tidak, seperti inilah<br />Rasulullah 'alaihi shalatu wa salam memerintahkan kami" yang oleh<br />sebagian Ulama dimaknai bahwa masing-masing negeri mempunyai mathla' sendiri<br />dengan alasan karena itu perintah Rasul 'alaihi shalatu wa salam dan<br />tidak cukup dengan rukyat Mu'awiyah (rukyat penduduk Syam).<br /><br />Sebenarnya hal itu masih bisa dipertanyakan yakni apakah yang<br />diperintahkan Rasul 'alaihi shalatu wa salam adalah perintah melihat<br />hilal atau perintah masing-masing negeri dengan mathla'nya sendiri? saya<br />cenderung pendapat bahwa perintah itu adalah perintah tidak beridul<br />fithri sampai melihat hilal atau digenapkan 30 jika tidak tampak.<br /><br />Kemudian terhadap apakah tidak cukup rukyat Mu'awiyah? jelas tidak<br />mungkin bagi Ibnu Abbas mengikuti rukyat Mu'awiyah karena tidak ada<br />informasi yang sampai kepada beliau malam saat Kuraib melihat hilal,<br />Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya. Maka Ibnu Abbas<br />mengamalkan rukyatnya sendiri dan penduduk Madinah, apabila malam<br />Jumat ada info bahwa hilal telah tampak dari penduduk Syam mungkin<br />Ibnu Abbas akan memulai Jumat bukan Sabtu.<br />Ini berlaku juga misalnya apabila kita menggenapkan 30 hari sya'ban<br />karena hilal samar atau tertutup sehingga tidak tampak ternyata<br />seminggu kemudian datang berita kalau Hilal telah tampak di negeri<br />lain, maka kita tidak perlu menghitung mundur dengan mengikuti hilal<br />negeri lain tersebut dan tidak perlu mengqadha puasa yang menurut<br />versi negeri lain sudah tanggal 1 Ramadhan. Cukuplah kita berpuasa<br />sampai kita melihat hilal atau ada yang menginformasikan hilal telah<br />tampak untuk beridul fithri kecuali kalau ternyata kita salah yang<br />berakibat puasa 28 hari atau 31 hari ini jelas pasti kita salah<br />(tidak mungkin Ramadhan 28 hari atau 31 hari).</font></font></div>Noor Akhmad Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/10833235638280077629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7422174640475267309.post-6063926941014339482008-12-26T17:38:00.003+08:002009-01-16T16:23:39.401+08:00Penentuan Awal Ramadhan<span style="font-family:arial;">Masalah penentuan awal puasa ramadhan dan kapan idul Fithri memang<br />menuai kontroversi sejak dahulu, bahkan mungkin termasuk perkara yang<br />paling banyak memunculkan perbedaan pendapat di kalangan para Ulama<br />sejak dahulu maupun sekarang.<br /><br />Dasar penentuan puasa Ramadhan maupun Idul Fithri bahkan juga Idul<br />Adha berdasar pada hadits yang maknanya :<br /><br />"Puasalah kalian karena ru'yatnya dan berbukalah (idul fithri) karena<br />rukyatnya, jika tertutup (awan) sempurnakanlah hitungan itu" (HSR<br />Muslim dari Abu Hurairah)<br /><br />dalam riwayat al-Bukhari "...sempurnakanlah hitungan Sya'ban menjadi<br />30 hari"<br />hadits semakna juga dikeluarkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i<br />dan Ibnu Majah dengan lafadz yang berlainan tetapi maknanya<br />berdekatan.<br /><br />Bermula dari hadits inilah pemahaman para Ulama berbeda-beda<br /><br />1. Apakah yang dimaksud rukyat, apakah melazimkan basyariah haqiqiah<br />(mata manusia) atau boleh dengan rukyat maknawiyah (dengan<br />hitung-hitungan astronomi)? sehingga muncullah metode hisab astronomi<br />(Muhammadiyyah, Persis,..). Imam empat madzhab dan para salaf<br />(sahabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in) tidak ada yang mengenal hisab<br />sehingga otomatis mereka menggunakan rukyat basyariah. Saya tidak akan<br />panjang lebar menyebutkan perkataan para Ulama tentang hal ini. Saya<br />sendiri cenderung dengan rukyat basyariah karena<br /><br />A. Itu yang diperintahkan Rasulullah 'alaihi shalatu wa salam,<br />maknanya kalau rukyat basyariah pasti sesuai dzahirnya teks hadits<br />sedang rukyat hisabiyah (yang merupakan pemaknaan yang tidak sesuai<br />dzahir teks (takwil)) bagi saya sekedar membantu dan memberikan<br />masukan pengetahuan yang bersifat optional (tidak pakai hisab pun<br />puasa tetap sah selama sesuai perintah dalam hadits tersebut), karena<br />puasa pertama Rasulullah 'alaihi shalatu wa salam tetap sah saat<br />menyempurnakan Sya'ban 30 karena tertutup awan walaupun pada waktu itu<br />kalau seandainya dihitung dengan hisab astronomi mungkin sudah masuk<br />tanggal 2 Ramadhan (secara astronomi) sehingga secara syar'i tidak<br />perlu mengganti puasa tanggal 1 Ramadhan versi astronomi karena secara<br />syar'i memang belum masuk 1 Ramadhan.<br /><br />B.Lebih sederhana dan sesuai prinsip agama Islam yang sederhana serta<br />mudah. Melihat hilal cukup dengan mata telanjang tidak perlu teleskop<br />maupun advanced methods seperti hisab dan sejenisnya. Jadi saya<br />cenderung memahami puasa bulan Ramadhan secara syar'i bukan bulan<br />Ramadhan secara astronomi, kalau secara syar'i (perintah teks hadits)<br />hilal tidak terlihat entah karena mendung atau yang lain berarti<br />Sya'ban 30 hari secara syar'i walaupun secara astronomi sebenarnya<br />Sya'ban hanya 29. Dalil yang membuat saya cenderung bahwa bulan<br />Ramadhan yang dimaksud untuk berpuasa adalah bulan syar'i bukan<br />astronomi adalah :<br />Perintah Rasulullah 'alaihi shalatu wa salam untuk mengikuti orang-orang<br />(dimaknai dengan mayoritas atau pemimpin) saat ru'yat kita tidak<br />diterima oleh mayoritas manusia atau pemimpin kaum muslimin (khalifah,<br />raja, sultan, presiden, ...dst) yakni :<br />hadits yang bermakna "Puasa itu adalah hari kalian berpuasa, Idul<br />Fithri itu itu hari kalian beridul Fithri dan Idul Adha itu adalah<br />hari kalian menyembelih (hewan kurban)" (HR at-Tirmidzi dari Abu<br />Hurairah beliau berkata hasan gharib dan disebutkan al-Albani dalam<br />Silsilah Hadits Shahih) dalam lafadz yang lain dari 'Aisyah "Idul<br />Fithri itu adalah hari di mana orang-orang berIdul Fithri, Idul Adha<br />adalah hari di mana orang-orang menyembelih (kurban)" (HR at-Tirmidzi<br />dan beliau berkata hasan gharib shahih min hadza al-wajhi, Al-Albani<br />menyebutkan dalam Shahih at-Tirmidzi)<br />Berdasar teks hadits tersebut, sebagian ulama menyatakan bahwa bagi<br />seorang yang melihat hilal sendirian tetapi menyelisihi mayoritas kaum<br />muslimin setempat atau menyelisihi pemimpin karena persaksiannya<br />melihat hilal ditolak hakim (qadhi) maka bagi dia harus mengikuti<br />mayoritas atau pemimpin dan tidak boleh mengamalkan rukyatnya<br />sendirian.<br />Bagi saya ini adalah dalil bahwa puasa adalah mengikuti arahan<br />syari'at bukan astronomi, bulan ramadhan yang diperintahkan untuk<br />berpuasa adalah bulan syar'i bukan bulan astronomi.<br />Dalam hadits ini juga perintah untuk menjaga persatuan dan jama'ah<br />bersama mayoritas masyarakat muslim selama masyarakat juga berdasar<br />dalil-dalil dan ijtihad yang syar'i walaupun bertentangan dengan ra'yu<br />(pendapat) kita pribadi khususnya masalah puasa, idul fitri dan idul<br />adha dan juga masalah-masalah yang lain, boleh berbeda pendapat tapi<br />persatuan dan jama'ah tetap dijaga. Dalam hal ini pula saya mengikuti<br />pemerintah Malaysia dan mayoritas masyarakat muslim Tronoh untuk<br />berhari raya. Sedangkan yang di Indonesia mengikuti mayoritas<br />masyarakat setempat selama mereka menggunakan dasar dari ijtihad yang<br />syar'i.<br /><br />2.Apakah rukyat pada suatu negeri melazimkan negeri yang lain menerima<br />rukyat itu?<br />Sebagian ulama memahami setiap negeri punya rukyat sendiri, atau<br />sesuai mathla' dan bujur astronomi.<br />sebagian memahami rukyat berlaku ke negeri-negeri lainnya tanpa dibatasi<br />mathla' atau bujur astronomi berdasar teks hadits yang tidak menyebut<br />bahwa masing-masing negeri punya rukyat sendiri, pendapat terakhir ini<br />yang saya pilih berdasar teks hadits di atas, yakni apabila ada khabar<br />hilal telah terlihat maka besoknya waktu berpuasa, tidak peduli yang<br />melihat di arab, afrika, malaysia, eropa, amerika dll selama orang<br />yang memberi informasi terpercaya.<br />Akan tetapi pendapat saya ini akan tetap tunduk dengan mayoritas kaum<br />muslimin dan pemerintahnya di tempat saya tinggal (tronoh). Misalnya<br />jika negara lain menyatakan terlihat, tetapi masyarakat cenderung<br />menggunakan rukyat negerinya sendiri dan tidak terlihat, maka saya<br />ikut mereka (masyarakat) walaupun bertentangan dengan pendapat pribadi<br />saya.<br /><br />Sebagai informasi, metode hisab sendiri berbeda dalam menyatakan awal<br />bulan</span><br /><span style="font-family:arial;"></span><br /><span style="font-family:arial;">-kriteria wujudul hilal yakni jika<br />hilal di atas 0 derajat<br />(0.0000000000000000000000000000000000000000000000000009 derajat<br />misalnya) maka sudah masuk bulan Ramadhan sepertinya ini hitungan<br />bulan versi astronomi CMIIW<br /></span><br /><span style="font-family:arial;"></span><br /><span style="font-family:arial;">-kriteria imkan ar-ru'yah inipun berbeda-beda dalam menentukan derajat ketinggian hilal yang mungin dilihat mata telanjang (ada yang 2 derajat, 5, 7 dst, saya tidak hafal), misalnya<br />jika sudah 2 derajat artinya masuk bulan Ramadhan (bagi yang mensyaratkan min 2 derajat), metode ini berusaha menentukan bulan secara syar'i (mungkin tidaknya terlihat mata telanjang) tapi dengan metode hisab.<br /><br /></span><span style="font-family:arial;"></span><span style="font-family:arial;">Ada satu pertanyaan saya, apakah metode hisab ini bisa dikatakan pasti<br />atau bisa mengandung error? mungkin kawan-kawan ahli astronomi bisa<br />menjawabnya.<br /><br />Maka secara sederhana, saya akan mengikuti masyarakat dan pemimpin di<br />mana saya tinggal selama mereka menggunakan ijtihad syar'i walaupun<br />bertentangan dengan pendapat pribadi saya sendiri demi persatuan dan<br />jama'ah.<br /><br />Allahu a'lam.</span>Noor Akhmad Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/10833235638280077629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7422174640475267309.post-66342359171941531912008-12-26T15:32:00.005+08:002009-01-16T16:23:39.401+08:00Tentang Makan dan Minum Sambil Berdiri<span style="font-family:arial;color:#666666;">Masalah makan dan minum sambil berdiri termasuk perkara fiqh yang banyak sekali perbedaan pendapat, diringkas menjadi tiga pendapat :</span><br /><br /><span style="font-family:arial;color:#666666;">1. Tarjih, yakni hadits-hadits yang membolehkan lebih kuat dari yang melarang</span><br /><br /><span style="font-family:arial;color:#666666;">2. Nasakh, yakni hadits-hadits yang membolehkan menasakh (menghapus) hadits-hadits yang melarang</span><br /><br /><span style="font-family:arial;color:#666666;">3. Jama', ini pendapat mayoritas ulama, yakni hadits-hadits yang melarang menunjukkan makruh tanzih, atau irsyad atau saat tidak ada 'udzur artinya makan dan minum sambil berdiri boleh dilakukan tapi lebih utama ditinggalkan, atau lebih baik ditinggalkan, atau boleh dilakukan jika ada 'udzur seperti tidak adanya tempat duduk, tempat penuh sesak dan seterusnya.</span><br /><br /><span style="font-family:arial;color:#666666;">Untuk pembahasan haditsnya saya tulis satu per satu mulai dari hadits-hadits yang disebutkan :</span><br /><br /><span style="font-family:arial;color:#666666;">> Dari Anas dan Qatadah ra, dari Nabi SAW:</span><br /><span style="font-family:arial;color:#666666;">> Sesungguhnya beliau melarang seseorang minum sambil</span><br /><span style="font-family:arial;color:#666666;">> berdiri, Qotadah ra berkata:"Bagaimana dengan makan?"</span><br /><span style="font-family:arial;color:#666666;">> beliau menjawab: "Itu kebih buruk lagi". (HR. Muslim> dan Tirmidzi)</span><br /><br /><span style="font-family:arial;color:#666666;">Sebenarnya hadits itu dari Qotadah (tabi'in, bukan sahabat) dari Anas dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau melarang minumnya seseorang sambil berdiri, Qotadah berkata "maka kami bertanya, "bagaimana dengan makan?"" maka beliau (Anas) berkata itu lebih buruk atau lebih kotor". (HR Muslim). Sedangkan riwayat at-Tirmidzi semakna dari jalur Qotadah juga dengan redaksi " ... bahwa beliau melarang ...berdiri, kemudian dikatakan "Bagaimana dengan makan?", beliau (Anas) berkata "Itu lebih parah". (HR Tirmidzi beliau berkata "ini hadits hasan shahih".Hadits dengan lafadz tersebut dishahihkan para 'Ulama hadits termasuk al-Albani.<br /></span><br /><span style="font-family:arial;color:#666666;">> Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda:</span><br /><span style="font-family:arial;color:#666666;">> "Jangan kalian minum sambil berdiri ! Apabila kalian</span><br /><span style="font-family:arial;color:#666666;">> lupa, maka hendaknya ia muntahkan !" (HR. Muslim)<br /></span><br /><span style="font-family:arial;color:#666666;">Redaksi "Janganlah sekali-sekali salah seorang dari kalian minum sambil berdiri, barangsiapa lupa hendaklah dia memuntahkannya!"(HR Muslim)</span><br /><span style="font-family:arial;color:#666666;"></span><br /><span style="font-family:arial;color:#666666;">Hadits ini walaupun diriwayatkan Muslim khusus untuk jalur dan lafadz ini, dikatakan munkar oleh al-Albani(silsilah al-ahadits adh-dha'ifah 2/427 (maktabahsyamilah)) karena ada rawi yang bernama 'Umar bin Hamzah dilemahkan para Ulama seperti Imam Ahmad (beliau mengatakan hadits-haditsnya munkar),an-Nasa'i, Yahya bin Ma'in, juga adz-Dzahabi dan Ibnu Hajar. Mungkin Imam Muslim menjadikannya sebagai penguat hadits-hadits semakna sebelumnya dalam Bab Makruhnya minum sambil berdiri, karena 'Umar bin Hamzah termasuk yang ditulis haditsnya untuk i'tibar (penguat,..dst),ini bukan berarti mengatakan hadits riwayat Muslim ada yang lemah karena hadits-hadits muslim yang sebagai penguat memang beberapa sanadnya bermasalah untuk pokok (hujjah) tetapi boleh untuk penguat, sehingga hadits Muslim tentang larangan minum sambil berdiri jelas-jelas sahih tetapi ada beberapa lafadz yang dipertanyakan seperti perintah untuk memuntahkan, menjadi pertanyaan karena hadits dengan lafadz tersebut tidak sahih akan tetapi sebagian ulama mengatakan mustahab (disukai) memuntahkannya dengan dalil yang lain misalnya:</span><br /><span style="font-family:arial;color:#666666;"></span><br /><span style="font-family:arial;color:#666666;">"Kalau orang yang minum sambil berdiri itu tahu apa yang ada di dalam perutnya dia musti sudah memuntahkannya" </span><br /><span style="font-family:arial;color:#666666;"></span><br /><span style="font-family:arial;color:#666666;">dikeluarkan Ahmad dari Abu Hurairah, al-Albani mengatakan sanadnya shahih, al-Haitsami mengatakan rijalnya shahih (lihat silsilah al-ahadits ash-shahihah 1/175(maktabah syamilah))<br /><br /></span><span style="font-family:arial;color:#666666;"></span><span style="font-family:arial;color:#666666;">Sedang hadits-hadits yang membolehkan misalnya :<br /></span><br /><span style="font-family:arial;color:#666666;">Dari an-Nazzal beliau berkata: 'Ali radhiallahu 'anhu datang di pintu ar-rahbah (tempat yang luas) maka beliau minum sambil berdiri dan mengatakan : sesungguhnya orang-orang membenci minum sambil berdiri dan sesungguhnya aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan sebagaimana kalian melihatku melakukannya (minum sambil berdiri). (HR al-Bukhari dalam bab Minum sambil berdiri (17/331) (maktabahsyamilah))<br /></span><br /><span style="font-family:arial;color:#666666;">Dari Ibnu 'Abbas beliau berkata : Nabi shallallahu 'alaihi wa sallamminum air zamzam sambil berdiri. (HR HR al-Bukhari dalam bab Minum sambil berdiri (17/333) (maktabah syamilah))<br />Dari Ibnu 'Umar beliau berkata : Kami makan pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sambil berjalan, kami minum sambil berdiri. (HR at-Tirmidzi dan beliau berkata ini hadits shahih gharib(7/90)(maktabah syamilah)), Al-Albani menshahihkannya dalam Shahih wa Dha'if at-Tirmidzi (4/381)(maktabahsyamilah)dan hadits-hadits yang semakna.</span><br /><span style="font-family:arial;color:#666666;"><br />Bolehnya makan dan minum sambil berdiri diriwayatkan darisahabat 'Umar,'Ali,'Aisyah dan lainnya.<br /><br /></span><span style="font-family:arial;color:#666666;"></span><span style="font-family:arial;color:#666666;">Silakan direnungkan dan dipilih yang paling kuat sesuai kapasitas kitamasing-masing<br /><br />Allahu a'lam </span>Noor Akhmad Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/10833235638280077629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7422174640475267309.post-64308266848020768652008-12-26T14:51:00.007+08:002009-01-16T16:23:39.402+08:00Silaturrahim<div align="justify"><span style="font-family:arial;color:#666666;">Silaturrahmi, silaturrahim atau yang lebih tepatnya shilaturrahim adalah istilah yang sudah biasa kita dengar untuk menggambarkan hubungan yang baik antar manusia apakah itu dalam lingkup tertentu seperti keluarga, kampung, organisasi atau sampai pada tingkatan yang besar seperti bangsa dan negara maupun antar negara. </span><span style="font-family:arial;color:#666666;"></div><div align="justify"><br /></div></span><div align="justify"><span style="font-family:arial;color:#666666;">Sebagai seorang muslim yang baik yang tentunya selalu melandasi seluruh sendi kehidupannya berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah harus memahami istilah shilaturrahim berdasarkan pengertian al-Qur’an dan as-Sunnah. Tulisan ini menelaah pengertian shilaturrahmi yang diperintahkan Allah subhananu wa ta’aala di dalam Islam berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah.<br /></div></span><div align="justify"><span style="font-family:arial;color:#666666;"></span></div><div align="justify"><span style="font-family:arial;color:#666666;">Istilah shilaturrahim untuk selanjutnya biasa kita sebut silaturrahim secara bahasa terdiri dari dua kata yaitu “ash-shilatu” yang bermakna menyambung atau tidak meninggalkan dan “ar-rahimu” yang bermakna rahim seorang ibu atau bermakna kerabat (keluarga) dan sebab-sebab kekerabatan. Shilatu ar-rahimi (shilaturrahimi) bermakna menyambung kekerabatan. Kekerabatan di sini bisa karena keturunan atau nasab seperti ayah, ibu, saudara kandung dan lainnya bisa juga karena pernikahan seperti hubungan dengan mertua dan saudara-saudaranya serta ipar. Sehingga secara bahasa silaturrahim adalah menjaga hubungan kerabat atau keluarga dan bukan dengan orang lain yang tidak ada hubungan kerabat. Sedangkan hubungan dengan orang lain yang bukan kerabat diatur sendiri dalam Islam dan tidaklah sama dengan silaturrahim baik secara hukum maupun pahala. Hubungan-hubungan selain shilaturrahim itu bisa berupa hubungan akidah (ukhuwah islamiyyah) atau hubungan tetangga, profesi dan sebagainya yang diatur secara lengkap di dalam Islam. Kemudian perintah silaturrahim di dalam Islam terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.</span></div><div align="right"><br /><span style="font-family:arial;"><span style="color:#666666;"><br />يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا<br /></div></span></span><span style="font-family:arial;color:#666666;"><br /></span><br /><div align="justify"><span style="font-family:arial;"><span style="color:#666666;">Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS an-Nisaa:1)<br /><br /></div></span></span><div align="justify"><span style="font-family:arial;color:#666666;">Makna وَالأَرْحَامَ adalah: takutlah dengan rahim-rahim (kekerabatan) untuk jangan engkau putuskan, ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas, adh-Dhahak, Mujahid, ‘Ikrimah dan lainnya (Lihat tafsir ath-Thabari, Ibnu Katsir dan al-Baghawi).<br /></span></div><div align="right"><br /><span style="font-family:arial;"><span style="color:#666666;">وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الحِسَابِ<br /><br /></div></span></span><span style="font-family:arial;color:#666666;"></span><br /><div align="justify"><span style="font-family:arial;color:#666666;">d</span><span style="font-family:arial;"><span style="color:#666666;">an orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. (QS: ar-Ra’du:21)<br /><br />Makna “dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan” adalah hubungan silaturrahim, ini adalah pendapat mayoritas ahli tafsir (lihat tafsir ath-Thabari, Ibnu Katsir dan al-Baghawi).<br /><br />Masih banyak ayat-ayat yang semakna dengan ayat-ayat tersebut.<br /><br />Sedangkan larangan untuk memutusnya adalah :</span></span></div><div align="justify"><span style="font-family:arial;"><span style="color:#666666;"><br /></div></span></span><div align="right"><span style="font-family:arial;"><span style="color:#666666;"><br />فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ<br /></div></span></span><span style="font-family:arial;color:#666666;"></span><br /><span style="font-family:arial;color:#666666;"><br /><br /></span><span style="font-family:arial;color:#666666;"></span><div align="justify"><span style="font-family:arial;"><span style="color:#666666;">Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? (QS Muhammad:22)<br /><br />Ibnu Katsir berkata: “ Dan ini adalah larangan secara umum dari berbuat kerusakan di muka bumi dan secara khusus larangan dari memutus tali silaturrahim. Sebaliknya Allah memerintahkan untuk berbuat baik di muka bumi dan menyambung tali silaturrahim yaitu berbuat baik kepada kerabat dengan ucapan, perbuatan dan harta.”<br /><br />Sedangkan hadits-hadits yang shahih berkaitan dengan silaturrahim ini banyak sekali di antaranya:</span></span></div><div align="justify"><span style="font-family:arial;"><span style="color:#666666;"><br /></div></span></span><div align="right"><span style="font-family:arial;color:#666666;"><br />عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ قَامَتْ الرَّحِمُ فَقَالَتْ هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ مِنْ الْقَطِيعَةِ قَالَ نَعَمْ أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ قَالَتْ بَلَى قَالَ فَذَاكِ لَكِ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ </span></div><div align="right"><span style="color:#666666;"><span style="font-family:arial;">فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمْ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى</span><span style="font-family:arial;"> </span></span></div><div align="right"><span style="font-family:arial;"><span style="color:#666666;">قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا<br /></span></div></span><span style="font-family:arial;color:#666666;"><br /></span><br /><div align="justify"><span style="font-family:arial;"><span style="color:#666666;">dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta'ala menciptakan makhluk sehingga setelah selesai menciptakan mereka, maka rahim berdiri dan berkata: Ini adalah kedudukan yang tepat bagi orang yang berlindung dari memutuskan hubungan (silaturrahim), Allah Ta'ala berfirman: "Benar, bukankah engkau ridha jika Aku menyambung orang yang menyambungmu dan Aku memutus orang yang memutuskanmu. Dia berkata: "Ya, Allah Ta'ala berfirman: "Itulah permohonanmu yang Aku kabulkan." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bacalah jika kalian mau firman Allah Ta'ala (artinya): "Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dila'nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka. Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quraan ataukah hati mereka terkunci?" (QS Muhammad: 22-24) (HR Muslim No. 4634)<br /><br />Makna rahim adalah kekerabatan, masalah ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan pendapat adalah tentang definisi kerabat, pendapat yang dikuatkan an-Nawawi adalah yang terdapat hubungan waris. Sedangkan orang pertama yang paling wajib untuk kita berbuat baik kepadanya adalah ibu, kemudan bapak, baru kemudian yang dibawahnya seperti saudara, kakek, paman, bibi dan seterusnya sesuai tingkat jauh dekat kekerabatan. Para ulama juga tidak berbeda pendapat tentang wajibnya silaturrahim dan memutusnya adalah haram bahkan termasuk dosa besar. Tentang teknis dan penjelasan yang lebih panjang tentang silaturrahmi, yang tidak mungkin ditulis dalam satu dua lembar kertas, para ulama telah menulis dan mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits shahih dalam buku-buku mereka di antaranya adalah Riyadhu ash-Shalihin karya al-Imam an-Nawawi dalam bab “Birr al-Walidain wa Shilatu al-Arham” yang artinya “Berbakti pada Orang Tua dan Silaturrahim”.<br /><br />Tulisan di atas menjelaskan kembali tentang makna silaturrahmi yang telah terjadi salah kaprah sehingga banyak di antara kita yang menyambung hubungan dengan orang lain yang bukan kerabat kita akan tetapi lupa menjaga dan merawat hubungan dengan orang-orang yang seharusnya lebih layak kita perhatikan yakni kerabat-kerabat kita. Hal ini tidak berarti kita tidak menjaga hubungan dengan orang lain. Masalah ini telah dijelaskan oleh Allah Ta’ala :<br /></div></span></span><div align="right"><span style="font-family:arial;color:#666666;"><br />وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا<br /></div></span><div align="justify"><span style="font-family:arial;color:#666666;"><br />Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh , dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (QS an-Nisaa’:36)<br /><br /></div></span><div align="justify"><span style="font-family:arial;color:#666666;">Makna teman sejawat menurut para ahli tafsir bisa berarti istri, teman senasib dan sepenanggungan dalam perjalanan, sahabat dekat yang shalih, sahabat yang kita mengharap manfaatnya. Teman senasib di universitas saat kita belajar di luar negeri masuk kepada kriteria teman sejawat dari sisi kita sama-sama di negeri asing, sama-sama pelajar, dan di antara kita ada yang bersahabat secara dekat, ada yang bisa saling memberi manfaat sesama kita insya Allah. Sedangkan hubungan yang lain adalah kita sama-sama muslim di mana sesama muslim dan mu’min adalah bersaudara (QS al-Hujurat:10).<br /></div></span><div align="right"><span style="font-family:arial;color:#666666;"><br />أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا وَلَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ<br /></div></span><div align="justify"><span style="font-family:arial;color:#666666;"><br />Rasulullahi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ”Janganlah kalian saling membenci, janganlah saling dengki, janganlah saling membelakangi dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara dan tidaklah halal seorang muslim membiarkan saudaranya lebih dari tiga hari”. (HR al-Bukhari No. 5605)<br /><br /></div></span><div align="justify"><span style="font-family:arial;color:#666666;">Hadits yang memerintahkan kita bersaudara dan saling menjaga hak-hak persaudaraan sangat banyak. Wajib bagi kita untuk melaksanakan hak-hak persaudaraan sesama muslim akan tetapi tingkat kewajibannya tidak lebih tinggi dari silaturrahim yang sangat ditekankan dalam Islam. Hak-hak persaudaraan ini dibahas para ulama dalam bab tersendiri.<br /><br />Allahu a’lamu bi ash-shawab.</span></div>Noor Akhmad Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/10833235638280077629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7422174640475267309.post-7983330306452435442008-12-26T14:27:00.012+08:002009-01-16T16:23:39.402+08:00Hikmah dan Syari’ah Ibadah Qurban<div align="justify"><span style="font-family:arial;">Ibadah qurban adalah ibadah menyembelih binatang qurban yang dilakukan pada hari raya qurban atau ‘Ied al-Adha. ‘Ied al-Adha adalah salah satu dari dua hari raya yang disyari’atkan Allah Ta’ala kepada seluruh muslimin di seluruh dunia. Hari raya yang lain yang disyari’atkan adalah ‘Ied al-Fithri. Hal ini ditegaskan oleh Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu </span></div><span style="font-family:arial;"><br /><div align="right"><br /><br />قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ<br /><br /></div><br /><div align="justify"></div><br /><div align="justify">bahwa Rasulullah ‘alaihi ash-shalatu wa as-salam datang, sedangkan penduduk Madinah di masa jahiliyyah memiliki dua hari raya yang mereka bersuka ria padanya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apakah dua hari yang kalian rayakan itu?”, mereka menjawab:”Kami bersuka ria pada hari-hari tersebut pada masa jahiliyyah”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:” Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari raya yang lebih baik dari keduanya: hari raya al-Adha dan hari raya al-Fithri.” (HR Abu Dawud, an-Nasa’i, Ahmad, al-Hakim, al-Baghawi dengan lafadz Abu Dawud, hadits dishahihkan al-Albani, al-Baghawi, al-Hakim dan disepakati adz-Dzahabi)<br /><br />Istilah “qurban” secara bahasa bermakna apa yang dengannya dia mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Sedangkan “adha” bentuk jama’ (plural) dari “adhaah” yang semakna dengan “udhiyah” yang berarti kambing sembelihan pada ‘Ied al-Adha (Mukhtar ash-Shihah), dari makna bahasa ini maka menyembelih binatang pada ‘Ied al-Adha adalah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala semata-mata. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:<br /></div><br /><div align="right"><br />لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ<br /></div><br /><div align="justify"></div><br /><div align="justify"><br />“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS al-Hajj:37)<br /><br />Ibnu Katsir berkata: ”Sesungguhnya Allah mensyari’atkan penyembelihan binatang-bingatang qurban supaya kamu ingat kepada-Nya ketika menyembelih, karena sesungguhnya Dia Maha Menciptakan dan Maha Memberi rizqi. Daging dan darahnya tidak akan sampai kepada-Nya sedikitpun karena Dia Maha Kaya dari semua makhluq-Nya.”<br />Beliau juga berkata: ”Sesungguhnya mereka pada masa Jahiliyyah apabila menyembelih binatang-binatang qurban untuk sesembahan-sesembahan mereka, mereka meletakkan dagingnya pada sesembahan-sesembahan itu dan memercikkan darahnya pada sesembahan-sesembahan itu. Maka Allah menurunkan ayat tersebut.” (Tafsir Ibnu Katsir dengan saduran)<br /><br />Ibadah qurban kita semata-mata karena ketaqwaan kita dalam rangka mendekatkan diri kita kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala tidaklah memerlukan daging dan darahnya karena Allah Maha Kaya dari seluruh makhluq-Nya.<br /><br />Dalam hal ini terdapat contoh bagi kita semua pada diri Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il ’alaihima as-salam</div><br /><div align="right"><br />فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ -102</div><div align="right">فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ -103 </div><div align="right">وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ -104 </div><div align="right">قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ -105 </div><div align="right">إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ -106</div><div align="right">وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ -107</span></div><div align="left"><span style="font-family:arial;"></div></span><div align="right"><br /></div><span style="font-family:arial;"><div align="justify"><br /></div></span><br /><div align="justify"><span style="font-family:arial;">Maka tatkala anak (Isma’il) itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ”Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: ”Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Dan Kami panggillah dia: ”Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (QS ash-Shaffat:102-107)<br /><br />Di dalam kisah tersebut jelas sekali bagaimana ketaqwaan kedua Nabi Allah yaitu Ibrahim dan Isma’il ’alaihima as-salam. Keduanya berhasil lulus dalam ujian Allah Ta’ala yang nyata. Mereka berdua diberi balasan oleh Allah Ta’ala karena mereka termasuk orang-orang yang berbuat baik dengan kesabaran mereka yakni kesabaran dalam menta’ati seluruh perintah Allah Ta’ala tanpa terkecuali dan lebih mendahulukan perintah-Nya dibanding hawa nafsu dan akal fikirannya. Ujian kedua Nabi Allah Ta’ala itu sungguh jauh lebih berat dibandingkan sekedar menyisihkan sebagian rizki kita untuk membeli seekor kambing atau bertujuh membeli seekor lembu maupun unta dalam rangka melaksanakan ibadah qurban ikhlas karena Allah Ta’ala. Bagaimana mungkin kita mampu menegakkan seluruh syari’at-Nya kalau dalam hal seperti ibadah qurban ini kita masih gamang dan ragu-ragu terutama apabila kita termasuk golongan yang mampu berqurban.<br /><br />Allah Ta’ala tidaklah memerlukan daging dan darah binatang qurban, maka Allah mengetuk hati kita untuk ingat dan berbagi dengan saudara-saudara kita terutama orang-orang faqir dan miskin.</span></div><span style="font-family:arial;"><br /><div align="right"><br /><br />لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ<br /><br /></div><br /><div align="justify">supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS al-Hajj:28)<br /><br />Salah satu tafsiran para ahli tafsir dan ahli fiqh tentang “hari yang telah ditentukan” adalah hari-hari “nahr” atau menyembelih yakni ‘Ied al-Adha (10 Dzulhijjah) dan tiga hari setelahnya yakni hari-hari tasyriq (11-13 Dzuhijjah). Sehingga perintah untuk memberi makan orang-orang faqir mencakup juga ibadah qurban ‘Ied al-Adha selain ibadah qurban bagi jama’ah haji atau yang biasa disebut “al-hadyu” (Tafsir Ibnu Katsir, al-Baghawi dan ath-Thabari). Hal ini juga berdasar riwayat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu:<br /><br />أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَمَرَهُ أَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا فِي الْمَسَاكِينِ وَلَا يُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا مِنْهَا شَيْئًا<br /><br />Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku untuk mengurusi kurban-kurbannya; membagi-bagikan daging, kulit dan pakaiannya kepada orang-orang miskin, dan aku tidak diperbolehkan memberi suatu apapun dari kurban kepada penyembelihnya. (HR al-Bukhari dan Muslim dengan lafadz Muslim)<br /><br />Selain dibagikan kepada orang miskin disunnahkan kita memakan daging sembelihan serta berbagi dengan kerabat, sahabat dan tetangga berdasar QS al-Hajj:28. Hal ini akan mempererat hubungan kerabat dalam rangka menyambung silaturrahim, mempererat hubungan persahabatan dan persaudaraan khususnya sesama muslim dan juga berbuat baik kepada tetangga yang juga merupakan ajaran syari’at Islam. Tentu saja masih banyak hikmah dari ibadah qurban dan juga syari’at Allah Ta’ala karena Allah adalah al-Hakim, yakni seluruh apa yang diperintahkan-Nya pasti penuh hikmah dan kebaikan bagi umat manusia dan umat Islam khususnya akan tetapi sebagian besar manusia tidaklah mengetahui.<br /><br />Ibadah qurban disyari’atkan kepada umat Islam berdasarkan al-Quran, as-Sunnah dan Ijma’.<br />Allah Ta’ala berfirman:<br /><br />فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ<br /><br />Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah . (QS al-Kautsar:2)<br /><br />Makna ” وَانْحَرْ (wanhar)” adalah menyembelih binatang qurban menurut ahli tafsir dari para salaf ash-shalih seperti Ibnu ’Abbas, ’Atha, Mujahid, ’Ikrimah, Qatadah, adh-Dhahak dan al-Hasan. Pendapat ini juga dipilih dan dikuatkan oleh Ibnu Katsir dan ath-Thabari (Tafsir Ibnu Katsir dan ath-Thabari).<br /><br />Sedangkan dari sunnah adalah riwayat Anas bin Malik radhiallahu ’anhu:<br /><br />ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ يُسَمِّي وَيُكَبِّرُ<br /><br />Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menyembelih dua ekor kambing beliau membaca basmalah dan bertakbir. (HR al-Bukhari dan Muslim dengan lafadz al-Bukhari)<br /><br />Ibnu Qudamah menyatakan ijma’ dalam masalah ini di kitabnya al-Mughni. al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat bahwa ibadah qurban termasuk syi’ar-syi’ar agama. Perbedaan pendapat hanya terjadi tentang hukum dari ibadah qurban. Sebagian menyatakan wajib, sebagian menyatakan sunnah muakkadah dan ini adalah pendapat mayoritas ulama sebagaimana dinyatakan al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari. Rincian hukum-hukum tentang ibadah qurban dibahas oleh para ulama dalam kitab-kitab fiqh. Allahu a’lam bi ash-shawab.<br /></span></div>Noor Akhmad Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/10833235638280077629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7422174640475267309.post-29322548756731864042008-12-26T11:47:00.002+08:002009-01-16T16:24:58.611+08:00Bincang-bincang Hadits Khilafah (2)<div style="TEXT-ALIGN: justify"><span style="COLOR: rgb(102,102,102);font-size:85%;" ><?xml:namespace prefix = o /><o:smarttagtype style="FONT-FAMILY: arial" name="State" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype style="FONT-FAMILY: arial" name="place" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype></span><style> st1\:*{behavior:url(#ieooui) } </style><br /><style> <!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Traditional Arabic"; panose-1:2 1 0 0 0 0 0 0 0 0; mso-font-charset:178; mso-generic-font-family:auto; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:24577 0 0 0 64 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); TEXT-ALIGN: justifyfont-family:arial;" ><span style="font-family:arial;font-size:85%;">Kemudian penulis berkata :</span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); TEXT-ALIGN: justifyfont-family:arial;" ><br /><span style="font-family:arial;font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-family:arial;"></span></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); TEXT-ALIGN: justifyfont-family:arial;" ><span style="font-family:arial;font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-family:arial;"></span></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); TEXT-ALIGN: justifyfont-family:arial;" ><span style="font-size:85%;"><span style="font-family:arial;">> Salah satu rawi Hadis di atas bernama Habib bin Salim. Menurut Imam Bukhari,<o:p></o:p></span></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-family:arial;"></span></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); TEXT-ALIGN: justifyfont-family:arial;" ><span style="font-size:85%;"><span style="font-family:arial;">> "fihi nazhar". Inilah sebabnya imam Bukhari tidak pernah menerima hadis yang<o:p></o:p></span></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-family:arial;"></span></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); TEXT-ALIGN: justifyfont-family:arial;" ><span style="font-size:85%;"><span style="font-family:arial;">> diriwayatkan oleh Habib bin Salim tsb. Di samping itu, dari 9 kitab utama<o:p></o:p></span></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-family:arial;"></span></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); TEXT-ALIGN: justifyfont-family:arial;" ><span style="font-size:85%;"><span style="font-family:arial;">> (kutubut tis'ah) hanya Musnad Ahmad yang meriwayatkan hadis tsb. Sehingga<o:p></o:p></span></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-family:arial;"></span></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); TEXT-ALIGN: justifyfont-family:arial;" ><span style="font-size:85%;"><span style="font-family:arial;">> "kelemahan" sanad hadis tsb tidak bisa ditolong.<o:p></o:p></span></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-family:arial;"></span></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-family:arial;font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-family:arial;"></span></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Dalam hal ini al-Bukhari menyendiri, sebab Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan imam-imam yang lainnya meriwayatkan dari Habib bin Salim walaupun bukan hadits khilafah tersebut. Menyimpulkan hadits itu “lemah” hanya dengan pendapat al-Bukhari tanpa mempertimbangkan pendapat para imam yang lain adalah terlalu tergesa-gesa dan gegabah. Bukti bahwa penulis ini tidaklah faham kaidah-kaidah jarh wa ta’dil menurut para ulama hadits sebagaimana dijelaskan di atas. Apabila kaidah penulis ini diberlakukan maka banyak sekali hadits-hadits yang shahih menjadi “lemah” bahkan hadits-hadits yang di dalam al-Bukhari dan Muslim pun akan menjadi lemah mengingat banyak rawi-rawi al-Bukhari dan Muslim yang tidak lepas dari jarh. Kaidah penulis ini juga menjadikan ilmu hadits sangat sederhana yakni dengan melihat Shahih al-Bukhari saja atau dengan melihat 9 kitab utama hadits. Padahal tidak sedikit hadits-hadits yang shahih di luar 9 kitab utama tersebut sehingga banyak ulama yang menyusun kitab-kitab “zawa’id” yang merupakan tambahan dari kitab-kitab hadits yang dianggap utama.</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Kemudian penulis berkata:</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> Rupanya Habib bin salim itu memang cukup "bermasalah" . Dia membaca hadis</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> tsb di depan khalifah 'umar bin abdul aziz utk menjustifikasi bhw</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> kekhilafahan 'umar bin abdul azis merupakan khilafah 'ala</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> minhajin nubuwwah. Saya menduga kuat bhw Habib mencari muka di depan</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> khalifah karena sebelumnya ada sejumlah hadis yang mengatakan:</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> </span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> "*setelah kenabian akan ada khilafah 'ala minhajin nubuwwah, lalu akan</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> muncul para raja*."</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> </span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> Hadis ini misalnya diriwayatkan oleh thabrani (dan dari penelaahan saya</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> ternyata sanadnya majhul). Saya duga hadis thabrani ini muncul pada masa</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> mu'awiyah atau yazid sebagai akibat pertentangan</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> politik saat itu.</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Beginilah akhlaq penulis yang mudah berburuk sangka sesama muslim apalagi muslim yang sudah meninggal dari kalangan tiga generasi awal umat ini yang dijamin oleh Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik.</span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><br /></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><br /></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"></span></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><o:p><span style="font-size:85%;"></span></o:p></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"></span></div><p class="MsoNormal" dir="rtl" style="COLOR: rgb(102,102,102); DIRECTION: rtl; unicode-bidi: embed; TEXT-ALIGN: justifyfont-family:arial;" ><b><span lang="AR-SA">خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ أَقْوَامٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ<o:p></o:p></span></b></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><o:p></o:p></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><br /></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><br /></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian setelah mereka kemudian setelah mereka kemudian akan datang kaum-kaum yang persaksiannya mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya”<span style="font-size:+0;"> </span>(HSR al-Bukhari No. 2458 [MS])</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Habib bin Salim adalah tabi’in pertengahan. Tidak ada seorangpun ulama yang mencela sisi keadilannya baik ulama semasa beliau ataupun setelahnya. al-Bukhari mengkritik beliau hanya melihat sisi ke”dhabit” annya (tingkat hafalan dan penjagaan hadits) bukan keadilannya. Kemudian datanglah penulis ini mencela keadilan Habib bin Salim dengan menuduh Habib membuat hadits untuk mencari muka di depan ‘Umar bin Abdu al-‘Aziz. Perbuatan mencari muka dengan membuat hadits adalah perbuatan yang sangat tercela, seolah-olah Habib ini tidak takut dengan ancaman berdusta atas nama Nabi ‘alaihi ash-shalatu wa as-salam. Adalah hal yang aneh sekali kalau seandainya hadits ini dibuat oleh Habib dan tidak ada ulama-ulama hadits zaman itu dan setelahnya yang tidak memperingatkan dia dan kaum muslimin kalau Habib benar-benar membuat-buat hadits. Sudah biasa di kalangan para ulama hadits bahwa para pemalsu hadits sangat mudah dikenali dan diketahui. </span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Kalau penulis ini mau mencermati matan haditsnya dengan hati-hati dan penuh baik sangka dengan sesama muslim maka tidak selayaknya dia berburuk sangka dengan Habib bin Salim.</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><span style="font-size:+0;"></span><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">“Habib berkata : Ketika ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Aziz menjadi raja dan Yazid bin an-Nu’man bin Basyir<span style="font-size:+0;"> </span>adalah sahabatnya maka akau menulis surat kepadanya (Yazid) dengan hadits ini dengan menyebutkan hadits itu kepadanya, kemudian aku berkata kepadanya sesungguhnya aku berharap Amir al-Mu’minin yakni ‘Umar adalah setelah kerajaaan yang mengiggit dan kerajaan yang arogan. Kemudian kitabku ini dimasukkan kepada ‘Umar bin Abdu al-‘Aziz maka beliau bahagia dan ta’jub.”</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Jelas sekali Habib bin Salim hanya berharap supaya ‘Umar bin Abdu al-‘Aziz termasuk khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Apakah salah seseorang berharap seperti itu??. Walaupun harapan Habib ini tidak mesti benar. Tetapi sama sekali tidak menjatuhkan kredibilitas dia, apalagi sampai melemahkan haditsnya atau bahkan menuduh dia membuat-buat hadits. Kemudian Yazid bin an-Nu’manlah yang menyampaikan kepada ‘Umar bin Abdu al-‘Aziz bukan Habib sendiri.</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Kemudian tidak ada kelaziman bahwa Habib menyampaikan hadits ini hanya setelah ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Aziz menjadi raja. Dari konteksnya sangat mungkin Habib sudah jauh-jauh hari menyampaikan hadits ini sebelum ‘Umar menjadi raja. ALLAH A’lam. <span style="font-size:+0;"></span></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Sebenarnya tidak hanya Habib saja yang menyampaikan hadits ini, bahkan tidak hanya Hudzaifah tapi dari sahabat yang lain walaupun tidak selengkap versi Habib ini, seperti (saya tidak menyampaikan lengkap sebab akan panjang sekali, silakan dirujuk sendiri kitab-kitab tersebut):</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Ibnu ‘Abbas (al-Mu’jam al-Kabir ath-Thabrani No. 10975[MS]), dalam lafadz ini disebutkan an-nubuwwah wa rahmah, khilafah wa rahmah, mulkan wa rahmah dan imarah wa rahmah. al-Albani mengatakan isnadnya jayyid dalam Silsilah ash-Shahihah No. 3270.</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Mu’adz bin Jabal dan Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah (Musnad ath-Thayalisi No. 222[MS])</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">al-Haitsami berkata : <span style="font-size:+0;"></span>“Di dalam sanadnya ada Laits bin Abi Salim, dia tsiqah tapi mudallis, rijal-rijal yang lain tsiqaat (Majma’ az-Zawaid (5/189[MS]))</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">al-Albani menilai sanadnya lemah, dan matannya munkar, kecuali bagian awal yang sama dengan hadits hudzaifah (Silsilah adh-Dha’ifah No. 3055)</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Memang pandangan penulis bisa dipertimbangkan karena riwayat Habib ini ada tambahan khilafah ‘alaa minhaj an-nubuwwah, akan tetapi tidaklah boleh memperkirakan dengan menuduh Habib berusaha mencari muka kepada ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Aziz kemudian menambah-nambah sendiri, ini buruk sangka kepada sesama muslim. Dalam masalah ini berlaku kasus ziadatu ats-tsiqaat yakni tambahan seorang yang tsiqah terhadap suatu hadits. Ziadatu ats-tsiqah diterima selama tidak berlawanan dengan hadits-hadits yang ditambahi sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab musthalah, bahkan mayoritas ahli ushul fiqh menerimanya mutlak tanpa syarat. Tambahan riwayat Habib ini tidak menyelisihi riwayat Ibnu ‘Abbas.</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><span style="font-size:+0;"></span></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Lihat sikap penulis dengan mengatakan</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> "Khilafah 'ala minhajin nubuwwah" di teks thabrani ini me-refer ke khulafa</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> al-rasyidin, lalu "raja" me-refer ke mu'awiyah dkk. Tapi tiba-tiba muncul</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> umar bin abdul azis --dari dinasti umayyah—yang baik dan adil. Apakah beliau</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> termasuk "raja" yg ngawur dlm hadis tsb?</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> </span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> Maka muncullah Habib bin Salim yg bicara di depan khalifah Umar bin Abdul</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> Azis bhw hadis yg beredar selama ini tidak lengkap. Menurut versi Habib,</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> setelah periode para raja, akan muncul lagi khilafah 'ala minhajin</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> nubuwwah--> dan ini merefer ke umar bin abdul azis. Jadi nuansa politik</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> hadis ini sangat kuat.</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Tampak nyata penyamaran penulis terhadap kisah yang sebenarnya.</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Masa “mulkan ‘aadhdhan” atau kerajaan yang mengigit (dengan kedzaliman) tidak berarti menghukumi semua raja adalah dzalim, tapi lafadz ini menunjukkan ghalibnya (mayoritas) adalah dzalim terhadap rakyatnya. Sehingga tidak menafikkan kalau ada raja yang adil seperti ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Aziz dengan masa pemerintahan yang sangat pendek di antara raja-raja yang dzalim. Di tambah dalam riwayat Ibnu ‘Abbas ada tambahan rahmah, sehingga walaupun masa raja-raja tapi masih ada rahmah di sana, mungkin salah satunya adalah ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Aziz. Apakah hanya karena salah faham atau tidak bisa memahami kemudian menganggap hadits yang shahih atau hasan menjadi dha’if begitu saja??</span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><br /></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" dir="rtl" style="COLOR: rgb(102,102,102); DIRECTION: rtl; unicode-bidi: embed; TEXT-ALIGN: justifyfont-family:arial;" ><span style="font-size:85%;"><b><span lang="AR-SA">بَلْ كَذَّبُواْ بِمَا لَمْ يُحِيطُواْ بِعِلْمِهِ </span></b><b><span dir="ltr"><o:p></o:p></span></b></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">“Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna “ (QS Yunus: 39)</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Ketidakfahaman kita dengan ayat-ayat al-Quran tidaklah kemudian boleh kita menyimpulkan bahwa ayat-ayat al-Quran tidak benar. Begitu pula ketidakfahaman kita dengan hadits-hadits nabawi tidaklah kemudian boleh kita menyimpulkan bahwa hadits tersebut tidak benar.</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Tampak nyata juga pertentangan pemikiran penulis<span style="font-size:+0;"> </span>setelah sebelumnya mengatakan hadits riwayat Thabrani ini sanadnya majhul tapi kemudian menggunakannya untuk menjatuhkah Habib bin Salim. Bagaimana boleh dengan hadits yang dia nilai sendiri majhul dia gunakan sebagai hujjah untuk menjatuhkan Habib bin Salim. Bukankah ini fikiran yang bertentangan??</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Kemudian dia juga menghukumi hadits yang majhul itu sebagai hadits buatan semasa Mu’awiyyah dan Yazid, padalah hadits majhul tidak serta merta menjadi hadits palsu. Kemudian apa hujjah dia sehingga bisa mengatakan seperti itu?? Bukankan tanpa hujjah berarti mengikuti hawa nafsu??</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Hadits riwayat ath-Thabrani No. 372[MS] dengan lafadz hampir sama dengan hadits Habib hanya saja tanpa tambahan khilafah ‘alaa minhaj an-nubuwwah setelah mulkan jabriyyah sebagaimana kata penulis akan tetapi di dalam sanadnya ada rawi yang tidak disebutkan namanya (mubham) sehingga majhul ‘ain yakni “ ‘an rajulin min quraisy” (dari seorang laki-laki quraisy). al-Haitsami juga mengatakan demikian ketika menilai hadits ini dalam Majma’ az-Zawaid (5/185[MS]).</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Hadits majhul ini tidak bisa digunakan sebagai hujjah untuk menjatuhkan Habib, bagaimana mungkin riwayat yang lebih lemah menjatuhkan riwayat yang lebih kuat (riwayat Habib).</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Penulis berkata :</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> Repotnya, term khilafah 'ala minhajin nubuwwah yg dimaksud oleh Habib (yaitu</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> Umar bin abdul azis) sekarang dipahami oleh ------ (dan kelompok</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> sejenis) sebagai jaminan akan datangnya khilafah lagi di kemudian hari.</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> Mereka pasti repot menempatkan umar bin abdul azis dalam urutan di atas</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> tadi: kenabian, khilafah 'ala mihajin nubuwwah periode pertama (yaitu</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> khulafa al-rasyidin) , lalu para raja, dan khilafah 'ala minhajin nubuwwah</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> lagi. Kalau khilafah 'ala minhajin nubuwwah periode yg kedua baru muncul di</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> akhir jaman maka umar bin abdul azis termasuk golongan para raja yang ngawur</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> :-)</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> </span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Tidaklah repot menempatkan ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Azis, karena pemahaman mulkan entah yang ‘aadhdhan ataupun jabriyyah tidak menafikan adanya raja atau pemimpin yang adil di tengah-tengah raja-raja dan pemimpin-pemimpin yang dzalim. Tidak ragu lagi bahwa ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Azis adalah pada periode mulkan (raja-raja) karena Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam bersabda :</span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><br /></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><br /></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><o:p></o:p></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" dir="rtl" style="COLOR: rgb(102,102,102); DIRECTION: rtl; unicode-bidi: embed; TEXT-ALIGN: justifyfont-family:arial;" ><b><span lang="AR-SA">الْخِلَافَةُ فِي أُمَّتِي ثَلَاثُونَ سَنَةً ثُمَّ مُلْكٌ بَعْدَ ذَلِكَ</span></b><b><span dir="ltr">…</span></b><b><span dir="ltr"><o:p></o:p></span></b></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">“Khilafah di dalam ummatuku adalah 30 tahun kemudian kerajaan setelah itu…”</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Hadits riwayat at-Tirmidzi dan beliau berkata ini hadits hasan (Sunan at-Tirmidzi No. 2152[MS]). al-Albani menshahihkannya dalam Silsilah ash-Shahihah No. 459[MS])</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Kemudian dari riwayat Ibnu ‘Abbas periode setelah khilafah itu ada mulk (kerajaan) dan imarah (pemerintahan).</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Khilafah selama 30 tahun itu berakhir dengan terbunuhnya ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan diangkatnya Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhuma yang akhirnya beliau memberikannya kepada Mu’awiyyah radhiallahu ‘anhu maka jadilah Mu’awiyah menjadi raja yang pertama. Sehingga tidak bisa tidak ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Azis dan juga semua pemerintahan setelah 30 tahun tersebut masuk periode kerajaan bukan khilafah ‘alaa minhaj an-nubuwwah. Kemudain berita yang mutawatir tentang akan datangnya al-Mahdi dan turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihi as-salam menunjukkan bahwa khilafah ‘alaa minhaj an-nubuwwah adalah masa al-Imam al-Mahdi. Riwayat tentang al-Mahdi mencapai derajat mutawatir tanpa ada perbedaan pendapat menurut para ulama hadits sehingga tidak boleh diragukan lagi. <o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Penulis berkata:</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> Saya kira kita memang haus bersikap kritis terhadap hadis-hadis berbau</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> politik. Sayangnya sikap kritis ini yang sukar ditumbuhkan di kalangan para</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">> pejuang khilafah.</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Apa kriteria hadis-hadis politik?? apa definisinya, jangan-jangan cara menentukannya hanya sesuai hawa nafsu saja tidak ada kaidahnya. Kemudian sikap kritis itu apa? apakah asal-asalan menolak disebut kritis?? Asal kontroversial terus dianggap kritis??</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Seseorang mampu kritis dalam bidang engineering apabila dia menguasai prinsip-prinsip engineering begitu pula seseorang mampu kritis dalam ilmu hadits apabila dia menguasai prinsip-prinsip ilmu hadits. Kalau tidak, niatnya mengkritisi justru berbalik menjadi dikritisi dan nampak ketidaktahuannya dalam ilmu tersebut. ALLAH a’lam.</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">“Kekritisan” penulis selanjutnya sebenarnya mudah sekali dikritisi tapi memerlukan waktu dan penelaahan referensi. Kalau ada kesempatan insya ALLAH “kekritisan” beliau bisa dikritisi lagi.</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Note: [MS] = Maktabah Asy-Syamilah</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">[MRH] = Mausu’ah Ruwaat al-Hadits</span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="COLOR: rgb(102,102,102); FONT-FAMILY: arial; TEXT-ALIGN: justify"><span style="font-size:85%;">Referensi lainnya edisi cetak yang telah di pdf <?xml:namespace prefix = st1 /><st1:state><st1:place>kan</st1:place></st1:state></span></p>Noor Akhmad Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/10833235638280077629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7422174640475267309.post-86748422456824792942008-12-26T10:59:00.011+08:002009-01-16T16:24:58.612+08:00Bincang-bincang Hadits Khilafah (1)<meta equiv="Content-Type" content="text/html; charset=utf-8"><meta name="ProgId" content="Word.Document"><meta name="Generator" content="Microsoft Word 10"><meta name="Originator" content="Microsoft Word 10"><link rel="File-List" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CWw%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml"><span style="font-size:78%;"><o:smarttagtype namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" name="City"></o:smarttagtype><o:smarttagtype namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" name="State"></o:smarttagtype><o:smarttagtype namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" name="place"></o:smarttagtype></span><!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if !mso]><object classid="clsid:38481807-CA0E-42D2-BF39-B33AF135CC4D" id="ieooui"></object> <style> st1\:*{behavior:url(#ieooui) } </style> <![endif]--><style> <!-- /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman";} </style> <![endif]--> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12pt; text-align: justify;"><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >Tulisan ini berawal dari artikel yang dinisbahkan kapada seorang penulis (selanjutnya disebut sebagai penulis) tentang masalah khilafah. Saya tidak berniat membela jama’ah-jama’ah pejuang khilafah atau siapapun, tapi saya melihat ada ketidakjujuran dan kesalahan fatal pada penulis ini terutama masalah hadits tentang khilafah yang dia lemahkan tanpa kaidah yang benar. Dengan sedikit ilmu yang saya miliki saya berusaha mendudukkan permasalahan sebenarnya sesuai yang saya ketahui. Berawal dari hadits:</span></p><p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12pt; text-align: justify;"><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" ><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12pt; text-align: justify;"><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" ><br /></span></p><meta equiv="Content-Type" content="text/html; charset=utf-8"><meta name="ProgId" content="Word.Document"><meta name="Generator" content="Microsoft Word 10"><meta name="Originator" content="Microsoft Word 10"><link rel="File-List" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CWw%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml"><!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><style> <!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Traditional Arabic"; panose-1:2 1 0 0 0 0 0 0 0 0; mso-font-charset:178; mso-generic-font-family:auto; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:24577 0 0 0 64 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman";} </style> <![endif]--> <p class="MsoNormal" dir="rtl" style="text-align: right; direction: rtl; unicode-bidi: embed;"><span style="font-size:78%;"><b><span style=";font-family:";" lang="AR-SA">حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنِي دَاوُدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنِي حَبِيبُ بْنُ سَالِمٍ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ<o:p></o:p></span></b></span></p> <p class="MsoNormal" dir="rtl" style="text-align: right; direction: rtl; unicode-bidi: embed;"><span style="font-size:78%;"><b><span style=";font-family:";" lang="AR-SA">كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ بَشِيرٌ رَجُلًا يَكُفُّ حَدِيثَهُ فَجَاءَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ فَقَالَ يَا بَشِيرُ بْنَ سَعْدٍ أَتَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْأُمَرَاءِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ فَجَلَسَ أَبُو ثَعْلَبَةَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ<o:p></o:p></span></b></span></p> <p class="MsoNormal" dir="rtl" style="text-align: right; direction: rtl; unicode-bidi: embed;"><span style="font-size:78%;"><b><span style=";font-family:";" lang="AR-SA">قَالَ حَبِيبٌ فَلَمَّا قَامَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَكَانَ يَزِيدُ بْنُ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ فِي صَحَابَتِهِ فَكَتَبْتُ إِلَيْهِ بِهَذَا الْحَدِيثِ أُذَكِّرُهُ إِيَّاهُ فَقُلْتُ لَهُ إِنِّي أَرْجُو أَنْ يَكُونَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ يَعْنِي عُمَرَ بَعْدَ الْمُلْكِ الْعَاضِّ وَالْجَبْرِيَّةِ فَأُدْخِلَ كِتَابِي عَلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ فَسُرَّ بِهِ وَأَعْجَبَهُ<o:p></o:p></span></b></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" ><br /><br /></span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >Dari an-Nu’man bin Basyir, beliau berkata: “Kami duduk di dalam masjid bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (maksudnya di Masjid Nabawi) dan Basyir adalah seorang yang menjaga haditsnya. Kemudian datanglah Abu Tsa’labah al-Khusyani kemudian beliau berkata: Wahai Basyir bin Sa’ad apakah engkau hafal hadits Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang umara’ (para pemimpin/penguasa), maka Hudzaifah berkata : Saya menghafal khutbah beliau! kemudian Abu Tsa’labah duduk maka Hudzaifah berkata: Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam berkata: </span><span style="font-size:78%;"><st1:city><st1:place><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;" >Ada</span></st1:place></st1:city></span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" > kenabian sekarang di tengah-tengah kalian sepanjang dikehendaki ALLAH kemudian ALLAH mengangkatnya apabila Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah di atas metode kenabian sepanjang dikehendaki ALLAH kemudian ALLAH mengangkatnya apabila Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada kerajaan yang menggigit* (mulkan ‘aadhdhan) sepanjang dikehendaki ALLAH kemudian ALLAH mengangkatnya apabila Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada kerajaan yang arogan (mulkan jabriyyah) sepanjang dikehendaki ALLAH kemudian ALLAH mengangkatnya apabila Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah di atas metode kenabian kemudian beliau diam.”</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >Habib berkata : Ketika ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Aziz menjadi raja dan Yazid bin an-Nu’man bin Basyir adalah sahabatnya maka akau menulis surat kepadanya (Yazid) dengan hadits ini dengan menyebutkan hadits itu kepadanya, kemudian aku berkata kepadanya sesungguhnya aku berharap Amir al-Mu’minin yakni ‘Umar adalah setelah kerajaaan yang mengiggit dan kerajaan yang arogan. Kemudian kitabku ini dimasukkan kepada ‘Umar bin Abdu al-‘Aziz maka beliau bahagia dan ta’jub.</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" ><br /><br /></span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >*menggigit makanya ada kedzaliman seakan menggigit rakyatnya dengan gangguan (Gharib al-Hadits oleh Ibnu al-Jauzy (2/104[MS])) lihat juga makna ‘udhudh sebagai kedzaliman yang keji di</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >Lisan al-‘Arab (7/188 [MS]) (al-Fath ar-Rabbani oleh as-Sa’ati (Ahmad Abdurrahman al-Banna) (23/10))</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" ><br /><br />Lafadz hadits ini adalah lafadz al-Imam Ahmad dalam musnadnya.</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >Hadits ini dikeluarkan oleh:</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >Ahmad dalam musnadnya (No. 17680 [MS]) (14/163)</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >al-Baihaqi dalam Dala’il an-Nubuwwah (No. 2843 [MS])</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >ath-Thayalisi dalam musnadnya (No. 433 [MS])</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >al-Bazzar dalam musnadnya (No. 2429 [MS])</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >semua denga sanadnya sampai Dawud bin Ibrahim al-Wasithi Rawi-rawi dari al-Imam Ahmad sampai ke an-Nu’man bin Basyir adalah:</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" ><br /><br />1. Sulaiman bin Dawud ath-Thayalisi</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" ><br />2. Dawud bin Ibrahim al-Wasithi</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" ><br /></span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >3. Habib bin Salim</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" ><br /><br />Abu Dawud Sulaiman bin Dawud ath-Thayalisi</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: tsiqah hafidz ghaladz fii ahaadiits (terpercaya penghafal hadits ada kesalahan dalam beberapa hadits) (Taqrib at-Tahdzib (1/250 [MS])</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >Beliau juga rawi al-Bukhari dalam hadits mu’allaq, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah (Tahdzib at-Tahdzib (4/160)[MS]).</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" ><br /><br /></span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >al-Fallas berkata: Aku tidak melihat orang yang “ahfadz” (lebih hafal atau menjaga) hadits di kalangan ahli hadits dari Abu Dawud</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" >.<br /><br /></span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >Ali bin al-Madini berkata: Aku tidak melihat orang yang “ahfadz” (lebih hafal) darinya.</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" ><br /><br />Abdurrahman bin Mahdi berkata: Abu Dawud orang yang paling jujur/benar.</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" ><br /><br />Dan masih banyak ta’dil (rekomendasi dan pujian) dari para imam ahli hadits dan ahli jarh wa ta’dil seperti Ahmad, al-‘Ajli, Ibnu ‘Adi, an-Nasa’i dan lainnya.</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >Kritikan sebagian ulama adalah kadang-kadang beliau salah (ghaladz).</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" ><br /><br /></span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >Menurut al-‘Ajli beliau hafal 40000 hadits.</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >Sedangkan Ibrahim al-Jauhari mengatakan beliau salah dalam 1000 hadits.</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >Kesalahan ini berkaitan dengan masalah sanad yakni kadang-kadang beliau me “marfu’” </span><span style="font-size:78%;"><st1:state><st1:place><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;" >kan</span></st1:place></st1:state></span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" > “mauquf” atau me “maushul” </span><span style="font-size:78%;"><st1:state><st1:place><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;" >kan</span></st1:place></st1:state></span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" > yang “mursal”. (Tahdzib at-Tahdzib (4/160)[MS])(Tahdzib al-Kamal (MRH)).</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >Jumlah 1000 dari 40000 (2.5%) adalah wajar karena beliau menghafal dari ingatannya dan tidaklah masalah ini menurunkan kredibilitas beliau. Apalagi kesalahan beliau adalah masalah marfu’ mauquf dan maushul mursal (bukan masalah teks haditsnya) yang memang kadang-kadang terjadi kesalahan. ALLAH A’lam bi ash-shawab.</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" ><br /><br /></span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >Rawi berikutnya adalah Dawud bin Ibrahim al-Wasithi</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >ath-Thayalisi sendiri mentsiqahkan beliau dalam musnadnya (No. 433 [MS])</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >Ibnu Hibban memasukkan beliau dalam ats-Tsiqaat, Ibnu al-Mubarak juga meriwayatkan dari beliau (ats-Tsiqaat 6/280[MS]).<br /><br />Rawi berikutnya adalah Habib bin Salim</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >Rawi yang dipermasalahkan penulis.</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >Abu Hatim ar-Razi mengatakan : Dia tsiqah (al-Jarh wa at-Ta’dil oleh Ibnu Abi Hatim ( 3/102 [MS])</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >Ibnu ‘Adi berkata: Tidak ada hadits munkar dalam teks hadits-haditsnya, akan tetapi sanad-sanadnya guncang dalam hadits-hadits yang diriwayatkan darinya.</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >al-Aajuri berkata dari Abu Dawud : tsiqah Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah meriwayatkan darinya (Tahdzib at-Tahdzib (2/161[MS]), Tahdzib al-Kamal (5/375[MS])).</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >Ibnu Hibban menyebutkannya dalam ats-Tsiqaat (4/139[MS]).</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >al-Bukhari menjarhnya dengan mengatakan : “fiihi nadzar” (pada dia perlu ditinjau ulang) (Tarikh al-Kabir (2/318[MS]), lafadz ini menunjukkan jarh yang berat dari beliau (Muntaha al-Amani (1/308)).</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" ><br /><br /></span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >Dalam hal ini tidak boleh kita berpegang hanya dengan jarh al-Bukhari karena Habib ditsiqahkan oleh imam-imam jarh wa ta’dil yang lain, kecuali apabila al-Bukhari menyebutkan secara rinci sebab-sebab “fiihi nadzar” nya kepada Habib. Apalagi Ibnu ‘Adi hanya menjarh dalam keguncangan sanadnya bukan masalah matan atau teks haditsnya (teks haditsnya tidak ada kemunkaran di dalamnya). Dalam riwayat ini tidak ditemukan idhtirab (keguncangan sanad) seperti yang dimaksud Ibnu ‘Adi. Walaupun ada kaidah jarh didahulukan dibanding ta’dil, akan tetapi jarh yang dimaksud harus “mufassar” yakni diperinci karena yang dijarh ditsiqahkan oleh ulama yang lain. al-Bukhari sama sekali tidak memperinci jarhnya. Kalau hanya dengan jarh saja seorang rawi tsiqah jatuh, maka tidak ada yang selamat hampir semua rawi, bahkan rawi-rawi al-Bukhari maupun Muslim seperti ‘Ikrimah, ‘Amru bin Marzuq dalam al-Bukhari, Suwaid bin Sa’id dalam Muslim dan masih banyak lagi. Akibatnya banyak nantinya hadits-hadits al-Bukhari dan Muslim yang tertolak, padahal telah ijma’ bahwa hadits-hadits al-Bukhari dan Muslim diterima oleh kaum muslimin khususnya ulamanya. Kemudian al-Bukhari juga bukanlah hujjah atas Abu Hatim ar-Razi maupun Abu Dawud.</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >Contohnya adalah Muhammad Ibrahim at-Taimi, rawi hadits “innamaa al-a’maalu bi an-niyyaat” dalam al-Bukhari. al-Imam Ahmad menjarhnya dengan “yarwii manaakiir” yakni meriwayatkan hadits-hadits munkar. Padahal Malik, al-Bukhari dan Muslim berhujjah dengannya. Hadits tersebut (masalah niat) juga telah diterima mutlak oleh kaum muslimin baik ulama maupun orang awamnya. Masalah ini sudah dibahas oleh ulama-ulama hadits dahulu maupun sekarang.</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" ><br /><br />Lihat masalah ini dalam kitab-kitab musthalah hadits:</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >an-Nukat ‘Alaa Muqaddimah Ibni ash-Shalah oleh al-Hafidz Ibnu Hajar (3/337)</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >Tadrib ar-Rawi oleh al-Hafidz as-Suyuthi (1/166)</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >al-Wasith fii ‘Ulum wa Musthalah al-Hadits oleh Dr Muhamad bin Muhammad Abu Syuhbah (1/393)</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >Fath al-Mughits oleh al-Hafidz as-Sakhawi (2/176)</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >‘Ulum al-Hadits li al-Albani oleh ‘Isham Musa Hadi (1/66)</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >at-Taqyid wa al-Idhah oleh al-Hafidz al-‘Iraqi (1/117) dan lainnya.</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >Oleh karena itu tepatlah ijtihad al-Hafidz Ibnu Hajar yang mengatakan bahwa Habib ini adalah : “Laa ba’sa bihi” yakni tidak apa-apa (Taqrib at-Tahdzib 1/151)</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >yakni selevel dengan “shaduq” yang merupakan lafadz ta’dil, sehingga sekurang-kurangnya haditsnya hasan.<br /><br />Hadits ini juga telah dishahihkan para ‘ulama hadits:</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah ( 1/4 [MS])</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >beliau juga menukil al-Hafidz al-‘Iraqi dalam Mahajjah al-Qarb Ilaa Mahabbah al-‘Arab (2/17): “hadits shahih”.</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >al-Hafidz al-Haitsami mengatakan: “rijaaluhu tsiqaat” yakni rawi-rawinya terpercaya (Majma’ az-Zawa’id (5/189[MS])</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >Ahmad Syakir juga menyatakan shahih isnadnya dalam komentar beliau pada Musnad Ahmad (14/163).</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" ><br /><br /></span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >bersambung ...</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" ><br /><br />Note: [MS] = Maktabah Asy-Syamilah</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >[MRH] = Mausu’ah Ruwaat al-Hadits</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > </span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;font-size:78%;" >Referensi lainnya edisi cetak yang telah di pdf </span><span style="font-size:78%;"><st1:state><st1:place><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-family:Arial;" >kan</span></st1:place></st1:state></span><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:78%;" > <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> Noor Akhmad Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/10833235638280077629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7422174640475267309.post-90563912444465437862008-12-25T23:04:00.002+08:002009-01-16T16:24:58.612+08:00Ucapan 'Umar Tentang Jama'ah dan Islam<div style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:100%;" >Perkataan ‘Umar bin al-Khattab radhiallaahu ‘anhu yang sering dikutip oleh kawan-kawan harakah Islamiyyah : “Tidak ada Islam kecuali dengan jama’ah dan tidak ada jama’ah kecuali dengan imarah (pemerintahan/kekuasaan) dan tidak ada imarah kecuali dengan ketaatan”.</span><br /><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:100%;" >Riwayat tersebut lengkapnya adalah sebagai berikut:</span><br /><br /><br /><br /><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:100%;" >أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا بَقِيَّةُ حَدَّثَنِى صَفْوَانُ بْنُ رُسْتُمَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَيْسَرَةَ عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِىِّ قَالَ : تَطَاوَلَ النَّاسُ فِى الْبِنَاءِ فِى زَمَنِ عُمَرَ ، فَقَالَ عُمَرُ : يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ الأَرْضَ الأَرْضَ ، إِنَّهُ لاَ إِسْلاَمَ إِلاَّ بِجَمَاعَةٍ ، وَلاَ جَمَاعَةَ إِلاَّ بِإِمَارَةٍ ، وَلاَ إِمَارَةَ إِلاَّ بِطَاعَةٍ ، فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفَقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ ، وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلاَكاً لَهُ وَلَهُمْ. </span><br /><br /><br /><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:100%;" >Hadits mauquf (hanya sampai ke sahabat) atau atsar ini diriwayatkan oleh al-Imam ad-Darimi dalam Sunan ad-Darimi (I/284). </span><br /><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:100%;" >Rawi-rawinya adalah sebagai berikut:</span><br /><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:100%;" >1. Yazid bin Harun</span><br /><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:100%;" >2. Baqiyyah</span><br /><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:100%;" >3. Shafwan bin Rustum</span><br /><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:100%;" >4. ‘Abdu ar-Rahman bin Maisarah</span><br /><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:100%;" >5. Tamim ad-Dari</span><br /><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:100%;" >Tamim ad-Dari radhiallaahu ‘anhu berkata :</span><br /><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:100%;" >Orang-orang telah berlomba-lomba mendirikan bangunan pada zaman ‘Umar maka ‘Umar berkata :”Wahai sekalian orang-orang ‘Arab, bumi (tanah)! bumi (tanah) !, sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan jama’ah dan tidak ada jama’ah kecuali dengan imarah, dan tidak ada imarah kecuali dengan ketaatan, barang siapa kaumnya menghitamkan (maksudnya mempengaruhi, mengajari, mencelup) dia dengan fiqh maka itu adalah kehidupan baginya dan bagi mereka dan barang siapa kaumnya menghitamkan dia dengan selain fiqh maka itu adalah kehancuran bagi dia dan mereka.”</span><br /><br /><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:100%;" >Riwayat tersebut juga disebutkan oleh al-Imam Abu ‘Umar bin ‘Abdi al-Barr dalam Jami’u Bayani al-‘Ilmi wa Fadhlihi (I/260) dengan sanad yang sama.</span><br /><br /><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:100%;" >Kedudukan riwayat tersebut diperselisihkan keshahihannya dengan sebab rawi no. 3 yang bernama Shafwan bin Rustum.</span><br /><br /><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:100%;" >al-Imam al-Hafidz adz-Dzahabi menilai Shafwan adalah majhul (tidak dikenal), beliau menukil dari al-Azdi bahwa Shafwan haditsnya munkar (Lisaan al-Miizaan (I/498) dan Miizaan al-I’tidal (2/316)) </span><br /><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:100%;" >menurut ilmi musthalah hadits, karena haditsnya munkar dan juga beliau (Shafwan) majhul maka tidak mungkin terangkat menjadi hasan li ghairihi kalau ada jalur sanad yang lain. Setelah saya teliti dan berusaha mencari-cari jalan-jalan lain ternyata tidak ada, kalaupun ada tidak akan mampu mengangkat kelemahan riwayat tersebut. </span><br /><span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:100%;" >Sehingga in my humble opinion riwayat tersebut adalah lemah dan tidak bisa menjadi sandaran dalam ber-Islam.<br />ALLAH A'lam<br /></span></div>Noor Akhmad Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/10833235638280077629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7422174640475267309.post-69600515645169991812008-12-25T22:55:00.002+08:002009-01-16T16:24:58.612+08:00Kisah 'Umar Tentang Kemuliaan<span style="color: rgb(102, 102, 102);font-size:100%;" ><span style="font-family: arial;">عن طارق بن شهاب ، قال : خرج عمر بن الخطاب إلى الشام ومعنا أبو عبيدة بن الجراح فأتوا على مخاضة وعمر على ناقة له فنزل عنها وخلع خفيه فوضعهما على عاتقه ، وأخذ بزمام ناقته فخاض بها المخاضة ، فقال أبو عبيدة : يا أمير المؤمنين أنت تفعل هذا ، تخلع خفيك وتضعهما على عاتقك ، وتأخذ بزمام ناقتك ، وتخوض بها المخاضة ؟ ما يسرني أن أهل البلد استشرفوك ، فقال عمر : « أوه لم يقل ذا غيرك أبا عبيدة جعلته نكالا لأمة محمد صلى الله عليه وسلم إنا كنا أذل قوم فأعزنا الله بالإسلام فمهما نطلب العزة بغير ما أعزنا الله به أذلنا الله »</span><br /><br /><span style="font-family: arial;">Dari Thariq bin Syihab, beliau berkata: “ ‘Umar bin al-Khattab keluar menuju Syam dan bersama kami Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah, kemudian mereka datang pada air yang dangkal dan ‘Umar berada di atas untanya kemudian beliau turun dan melepas kedua khufnya dan meletakkannya di atas pundaknya dan memegang tali kekang untanya kemudian menyeberang air yang dangkal tersebut. Maka Abu ‘Ubaidah berkata :” Wahai amir al-mukminin! Engkau melakukan ini? Engkau melepas kedua khufmu dan meletakkannya di atas pundakmu? dan Engkau memegang tali kekang untamu? dan Engkau menyeberang air yang dangkal ini? Sungguh akan membahagiakan diriku kalau penduduk negeri memuliakanmu!” Maka ‘Umar berkata: “Awih! Tidak ada yang berkata demikian kecuali Engkau wahai Abu ‘Ubaidah! Engkau menjadikannya pelajaran bagi ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Kita dahulu adalah kaum yang paling hina kemudian ALLAH memuliakan kita dengan Islam, maka apabila kita mencari kemuliaan dengan selain apa yang dengannya ALLAH memuliakan kita (Islam) niscaya ALLAH akan menghinakan kita!””</span><br /><br /><br /><span style="font-family: arial;">Dikeluarkan oleh al-Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak dengan sanadnya sampai Thariq bin Syihab (1/203) dari jalur Ayyub bin A’idz ath-Tha’i dan dari jalur al-A’masy (1/204) dengan lafadz :</span><br /><br /><span style="font-family: arial;">« إنا قوم أعزنا الله بالإسلام ، فلن نبتغي العزة بغيره »</span><br /><br /><span style="font-family: arial;">“Kita kaum yang dimuliakan ALLAH dengan Islam, maka kita tidak akan mencari kemuliaan dengan selainnya”</span><br /><br /><span style="font-family: arial;">al-Hakim menshahihkannya</span><br /><br /><span style="font-family: arial;">Juga dikeluarkan oleh al-Imam Abu Bakar bin Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (8/39 dan 8/146)</span><br /><span style="font-family: arial;">al-Albani menshahihkannya dalam Silsilah ash-Shahihah (1/50)</span><br /><span style="font-family: arial;">dan menyetujui penshahihan riwayat ini oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi.</span><br /><span style="font-family: arial;">Beliau (al-Albani) berkata “wa huwa kamaa qaalaa”.</span><br /><span style="font-family: arial;">Beliau juga menshahihkan dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib (3/63)</span><br /><br /><span style="font-family: arial;">Riwayat tersebut juga dishahihkan oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman dalam tahqiq</span><br /><span style="font-family: arial;">al-Mujalasah wa Jawahir al-Ilmi Abu Bakar ad-Dinawari al-Maliki (2/273)</span><br /><br /><br /><br /><span style="font-family: arial;">*Semua halaman merujuk pada al-Maktabah asy-Syamilah</span><br /><br /><br /><br /></span>Noor Akhmad Setiawanhttp://www.blogger.com/profile/10833235638280077629noreply@blogger.com0