Tuesday, November 4, 2025

Ikhtilaf Ulama: Sebab, Prinsip, dan Contoh dari Generasi Sahabat hingga Imam Mazhab

Tentang sebab-sebab perbedaan yang terjadi di antara para imam setelah mereka sepakat pada satu landasan yang sama dan merujuk kepadanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya


Al-Humaydī menyebutkan dalam bab ini satu kutipan dari perkataan Abū Muḥammad Ibn Ḥazm—dan ini termasuk perkataan beliau yang terbaik—maka kami menukilkannya sesuai lafazhnya. Al-Humaydī berkata:

“Al-Ḥāfiẓ Abū Muḥammad ‘Alī bin Aḥmad bin Sa‘īd al-Yazīdī al-Fārisī menuturkan, dalam penjelasan tentang pokok perbedaan syar‘i dan sebab-sebabnya:

> Jiwa (penuntut ilmu), setelah yakin bahwa dasar yang disepakati dan menjadi rujukan hanyalah satu—yaitu apa yang datang dari pemilik syariat; baik dalam Al-Qur’an, atau dari perbuatan dan perkataan beliau yang dalam hal itu tidak berbicara dari hawa nafsu—ketika ia melihat dan menyaksikan adanya perbedaan di kalangan ulama umat ini pada perkara-perkara yang jalurnya satu dan asalnya tidak berbeda, maka ia pun meneliti sebab yang menimbulkan perbedaan itu, dan mengapa sebagian orang meninggalkan banyak sunnah yang sahih.
Setelah dilakukan penelusuran dan penelitian, jelaslah bahwa setiap ulama adalah manusia yang bisa lupa sebagaimana manusia lainnya. Boleh jadi seseorang hafal sebuah hadis tetapi saat memberi fatwa ia tidak teringat, lalu berfatwa menyelisihinya. Hal seperti ini juga bisa terjadi pada ayat-ayat Al-Qur’an.



Tidaklah engkau melihat bahwa ‘Umar r.a. pernah memerintahkan dari atas mimbar agar mahar perempuan tidak melebihi jumlah tertentu—condong kepada (fakta) bahwa Nabi ﷺ tidak melebihi jumlah itu dalam mahar istri-istri beliau—hingga ada seorang wanita dari sisi masjid yang mengingatkan beliau dengan firman Allah Ta‘ālā: “Dan jika kamu telah memberikan kepada salah seorang di antara mereka harta yang banyak (qinthār), maka janganlah kamu mengambil kembali darinya.” (QS an-Nisā’: 20). Maka beliau pun meninggalkan pendapatnya dan berkata, “Setiap orang lebih tahu darimu, bahkan para wanita.”
—Dalam riwayat lain: “Seorang wanita benar, sedangkan seorang laki-laki (yakni beliau sendiri) salah.”—
Beliau mengetahui bahwa meskipun Nabi ﷺ tidak menambah (mahar) atas jumlah tertentu, namun beliau tidak melarang selainnya; dan ayat itu bersifat lebih umum.

Demikian pula, beliau (‘Umar) pernah memerintahkan merajam seorang wanita yang melahirkan (bayi) dalam enam bulan. Lalu ‘Alī r.a. mengingatkan dengan firman Allah Ta‘ālā: “Masa mengandung dan menyapihnya adalah tiga puluh bulan” (QS al-Aḥqāf: 15), bersamaan dengan firman-Nya: “Para ibu menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh” (QS al-Baqarah: 233). Maka beliau pun rujuk dari perintah merajamnya.

Beliau juga hendak bersikap keras kepada ‘Uyaynah bin Ḥiṣn karena kekasarannya, hingga al-Ḥurr bin Qays mengingatkan beliau dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Berpalinglah dari orang-orang bodoh.” (QS al-A‘rāf: 199), maka ‘Umar pun menahan diri.

Dan pada hari wafatnya Rasulullah ﷺ, ‘Umar berkata: “Demi Allah, Rasulullah tidak wafat; beliau tidak akan wafat hingga (menjadi) yang terakhir dari kita (yang wafat).” Hingga dibacakan kepadanya ayat: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati, dan sesungguhnya mereka pun akan mati.” (QS az-Zumar: 30), maka beliau pun kembali (dari ucapannya). Beliau sebenarnya mengetahui ayat itu, hanya saja beliau lupa karena besarnya musibah yang menimpanya.

> Adakalanya seorang alim mengingat ayat atau sunnah, namun ia menakwilkannya dengan sebuah takwil—dengan menganggapnya khusus, atau mansūkh (terhapus), atau memberi makna tertentu—meski semua itu membutuhkan dalil.



Tidak diragukan, para sahabat r.a. dahulu di Madinah berkumpul di sekitar beliau ﷺ; mereka adalah orang-orang yang juga mencari nafkah, dalam keterbatasan bekal. Ada yang bekerja di pasar, ada yang mengurus pohon kurmanya. Pada setiap waktu, sebagian dari mereka menghadiri majelis Nabi ﷺ ketika mendapati sedikit kelonggaran dari kesibukannya. Abū Hurairah menegaskan: “Saudara-saudaraku dari kalangan Muhājirīn disibukkan jual-beli di pasar; saudara-saudaraku dari kalangan Anṣār disibukkan mengurus kebun-kebun kurma mereka; sedangkan aku adalah seorang miskin yang menyertai Rasulullah ﷺ demi (sekadar) mengenyangkan perutku.”
Dan ‘Umar r.a. berkata (dalam kisah izin masuk Abū Mūsā): “Aku dilalaikan oleh jual-beli di pasar.”

Nabi ﷺ ditanya tentang suatu persoalan, menetapkan hukum, memerintahkan sesuatu, dan melakukan sesuatu; maka yang hadir menghafalnya, sedangkan yang tidak hadir luput darinya.

Tatkala beliau ﷺ wafat, lalu Abū Bakar memegang tampuk kepemimpinan; bila ada perkara yang datang dan tidak ada nash padanya di sisi beliau, beliau bertanya kepada para sahabat yang ada. Jika mereka memiliki nash, beliau kembali kepadanya; jika tidak, beliau berijtihad dalam memutuskan. Ijtihad beliau—dan ijtihad para sahabat lainnya r.a.—kembali pada nash yang umum, atau kepada asal kebolehan yang terdahulu, atau yang semisalnya yang kembali kepada pokok (usul). Tidak boleh seorang pun menyangka bahwa ijtihad salah seorang dari mereka adalah mensyariatkan sebuah syariat baru melalui ijtihad, atau menciptakan hukum tanpa dasar. Maha suci Allah; jauh dari mereka hal demikian.

Ketika ‘Umar r.a. memimpin, negeri-negeri ditaklukkan dan para sahabat berpencar di berbagai daerah. Sering suatu perkara diputuskan di Makkah atau selainnya; jika para sahabat yang hadir memiliki nash, diputuskanlah dengannya; jika tidak, mereka berijtihad. Padahal mungkin pada perkara itu ada nash yang dimiliki sahabat lain di negeri lain.

Orang Madinah menyaksikan (hadir pada) hal-hal yang tidak disaksikan (oleh) orang Mesir; orang Mesir menyaksikan yang tidak disaksikan orang Syam; orang Syam menyaksikan yang tidak disaksikan orang Baṣrah; orang Baṣrah menyaksikan yang tidak disaksikan orang Kūfah; orang Kūfah menyaksikan yang tidak disaksikan orang Baṣrah; orang Madinah menyaksikan yang tidak disaksikan orang Kūfah dan Baṣrah—semua ini ada dalam atsar dan dituntut oleh kondisi yang kami sebutkan: sebagian mereka tidak hadir di majelis beliau pada sebagian waktu, sementara yang lain hadir; kemudian yang hadir (pada waktu itu) suatu ketika tidak hadir, dan yang dulu tidak hadir lalu hadir. Maka masing-masing mengetahui apa yang ia hadiri dan luput dari apa yang tidak ia hadiri—ini perkara yang teramati.

Contohnya, pengetahuan tentang tayammum ada pada ‘Ammār dan selainnya, tetapi luput dari ‘Umar dan Ibn Mas‘ūd; hingga keduanya berkata: “Orang junub tidak bertayammum, walaupun tidak mendapatkan air selama dua bulan.”
Hukum mengusap khuf (sepatu) diketahui oleh ‘Alī dan Ḥudhayfah, namun tidak diketahui oleh ‘Ā’isyah, ‘Umar, dan Abū Hurairah—padahal mereka penduduk Madinah.
Hukum mewariskan cucu perempuan (bint al-ibn) bersama anak perempuan diketahui oleh Ibn Mas‘ūd, luput dari Abū Mūsā.
Hukum izin (istidzān) diketahui oleh Abū Mūsā, Abū Sa‘īd al-Khudrī, dan Ubayy, namun luput dari ‘Umar.
Hukum kebolehan wanita haid meninggalkan (Makkah) sebelum thawaf (ifadah) diketahui oleh Ibn ‘Abbās dan Ummu Sulaym, sementara Ibn ‘Umar dan Zayd bin Thābit tidak mengetahuinya.
Hukum (nikah) mut‘ah dan (memakan) keledai jinak diketahui oleh ‘Alī dan selainnya, sementara Ibn ‘Abbās tidak mengetahuinya.
Hukum ṣarf (pertukaran uang/barang ribawi) diketahui oleh ‘Umar, Abū Sa‘īd, dan selainnya, namun luput dari Ṭalḥah, Ibn ‘Abbās, dan Ibn ‘Umar.
Demikian pula, hukum pengusiran ahludz-dzimmah dari Jazirah Arab diketahui oleh Ibn ‘Abbās dan ‘Umar; ‘Umar melupakannya bertahun-tahun lalu membiarkan mereka, hingga ketika diingatkan beliau pun ingat kembali dan mengusir mereka.

Hal-hal seperti itu banyak.

Para sahabat berjalan di atas cara demikian; kemudian generasi tabi‘in setelah mereka—yang mengambil dari para sahabat—datang. Setiap lapisan tabi‘in di negeri-negeri yang kami sebutkan, mereka berfiqih kepada sahabat yang ada di negeri mereka; mereka tidak keluar dari fatwa-fatwa para sahabat tersebut—bukan karena taqlid buta, tetapi karena mereka mengambil dan meriwayatkan dari mereka—kecuali sedikit dari apa yang sampai kepada mereka dari sahabat lain di negeri lain. Misalnya, penduduk Madinah lebih banyak mengikuti fatwa Ibn ‘Umar; penduduk Makkah banyak mengikuti fatwa Ibn ‘Abbās; penduduk Kūfah banyak mengikuti fatwa Ibn Mas‘ūd.

Lalu datang sesudah tabi‘in, para fuqahā’ di berbagai negeri: Abū Ḥanīfah, Sufyān, dan Ibn Abī Laylā di Kūfah; Ibn Jurayj di Makkah; Mālik dan Ibn al-Mājishūn di Madinah; ‘Uthmān al-Battī dan Sawwār di Baṣrah; al-Awzā‘ī di Syam; dan al-Layth di Mesir. Mereka semua berjalan di atas metode itu: masing-masing mengambil dari tabi‘in di negerinya—dan tabi‘in itu dari para sahabat—dalam hal yang ada (riwayatnya) di sisi mereka; serta berijtihad dalam perkara yang tidak (ada nash yang) sampai kepada mereka, walaupun (mungkin) ada di sisi selain mereka. Dan Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kemampuannya.

Semua yang kami sebutkan itu berpahala: yang benar mendapat dua pahala, yang keliru mendapat satu pahala. Allah Ta‘ālā berfirman: “Agar aku memperingatkan kalian dengannya dan (juga) orang yang sampai (kepadanya peringatan ini).” (QS al-An‘ām: 19).

Adakalanya seorang dari mereka mendapati dua nash yang lahiriahnya tampak bertentangan; lalu ia condong kepada salah satunya dengan ragam bentuk tarjih, sementara yang lain condong kepada nash yang satunya—yang ditinggalkan oleh yang pertama—dengan bentuk tarjih yang lain. Seperti riwayat dari ‘Uthmān bin ‘Affān tentang (menyatukan) dua saudari (dalam nikah): “Ada ayat yang menghalalkan keduanya, dan ada ayat yang mengharamkan keduanya.” Dan seperti kecenderungan Ibn ‘Umar kepada pengharaman (menikahi) perempuan Ahli Kitab secara umum berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “Janganlah kalian menikahi perempuan musyrik sampai mereka beriman” (QS al-Baqarah: 221). Ia berkata: “Aku tidak mengetahui kesyirikan yang lebih besar daripada ucapan seorang perempuan: ‘Sesungguhnya ‘Īsā adalah Tuhanku.’” Maka ia menguatkan (ayat ini) di atas kebolehan yang dinyatakan dalam ayat yang lain. Dan semacam ini banyak contohnya.

Atas sebab-sebab seperti itulah sebagian ulama meninggalkan sebagian hadis dan ayat; dan atas sebab-sebab itu pula para ulama lain menyelisihi mereka: yang ini mengambil apa yang ditinggalkan oleh yang itu, dan yang itu mengambil apa yang ditinggalkan oleh yang ini—bukan dengan sengaja menyelisihi nash dan bukan untuk meninggalkannya, melainkan karena salah satu uzur yang kami sebutkan: lupa, belum sampai dalil kepadanya, adanya takwil tertentu, atau berpegang pada berita (hadis) yang lemah—sementara ia tidak mengetahui kelemahan para perawinya—sedangkan yang lain mengetahuinya, lalu ia mengambil hadis lain yang lebih sahih, atau zahir sebuah ayat. Bisa juga sebagian mereka menangkap dari nash-nash itu suatu makna dan terlintas darinya sebuah hukum melalui sebuah dalil, sementara yang lain tidak menangkapnya.

Kemudian perjalanan (ilmu) kian jauh ke berbagai wilayah, manusia saling berbaur; datanglah orang-orang yang mengambil tugas menghimpun hadis Nabi ﷺ, mengumpulkan dan menuliskannya; maka hadis-hadis dari negeri-negeri jauh pun sampai kepada orang-orang yang sebelumnya tidak memilikinya. Hujjah pun tegak atas siapa saja yang telah sampai kepadanya sesuatu darinya; terkumpul hadis-hadis yang menjelaskan keshahihan salah satu takwil yang ditakwilkan dalam sebuah hadis; dikenal mana yang sahih dan mana yang sakit; dan ijtihad yang mengantarkan kepada penyelisihan sabda Rasulullah ﷺ dan meninggalkan amal beliau pun tertolak. Dengan sampainya sunnah itu (kepada seseorang) dan tegaknya hujjah atasnya, gugurlah uzur orang yang menyelisihinya; yang tersisa hanyalah sikap keras kepala dan taqlid.

Di atas jalan inilah para sahabat r.a. dan banyak dari tabi‘in: mereka menempuh perjalanan hari-hari lamanya demi mencari satu hadis, untuk mengamalkan sunnah.

Abū Ayyūb berangkat dari Madinah ke Mesir hanya karena satu hadis kepada ‘Uqbah bin ‘Āmir. ‘Alqamah dan al-Aswad bepergian kepada ‘Ā’isyah dan Ibn ‘Umar. ‘Alqamah bepergian kepada Abū Dardā’ di Syam. Mu‘āwiyah menulis surat kepada al-Mughīrah bin Shu‘bah: “Tulislah kepadaku apa saja yang engkau dengar dari Rasulullah ﷺ.” Dan yang semisal ini banyak.”
Selesai (kutipan ucapannya).

Disadur dari Shawa'iwul Mursalah, Ibnu al-Qayyim rahimahullah (1/270)


Read more...

Sunday, November 2, 2025

Rahasia Takdir dan Kelembutan Allah dalam Ujian Hamba-Nya

Ucapan Nabi Yusuf yang jujur (al-Shiddîq):


“Wahai Ayahku, itulah ta'bir mimpiku yang dahulu. Sungguh Tuhanku telah menjadikannya kenyataan, dan Dia telah berbuat baik kepadaku ketika Dia membebaskanku dari penjara dan mendatangkan kalian dari padang setelah setan menghasut antara aku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Lembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”



Di sini disebutkan bahwa Allah berbuat lathîf (lembut) dalam apa yang Dia kehendaki. Ia menyampaikan sesuatu melalui cara-cara tersembunyi yang tidak diketahui manusia. Nama Allah al-Latîf mencakup ilmu-Nya tentang perkara-perkara yang halus dan tersembunyi, serta cara-Nya menyampaikan rahmat dengan jalan yang tidak terlihat. Dari sini muncul makna taltuff (kelembutan tersembunyi), sebagaimana perkataan Ash-habul Kahfi:

“Hendaklah ia berlaku dengan lembut, dan jangan sampai seorang pun mengetahui keberadaan kalian.”



Tampak secara lahiriah bahwa ujian yang menimpa Yusuf—berpisah dari ayahnya, dimasukkan ke sumur, dijual sebagai budak, godaan wanita, fitnah, hingga dipenjara—semua adalah musibah dan ujian. Akan tetapi batinnya adalah nikmat dan pembukaan jalan; Allah menjadikannya sebab kebahagiaannya di dunia dan akhirat.

Demikian pula segala ujian berupa musibah, perintah melakukan hal yang terasa berat, dan larangan meninggalkan syahwat—semuanya adalah jalan yang Allah jadikan untuk mengantarkan hamba-Nya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Surga dikelilingi oleh hal-hal yang tidak disukai, sedangkan neraka dikelilingi oleh syahwat.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tidaklah Allah menetapkan suatu ketetapan bagi seorang mukmin melainkan itu baik baginya. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur maka itu baik baginya. Jika ia tertimpa kesulitan, ia sabar maka itu baik baginya. Dan itu tidaklah terjadi kecuali bagi orang beriman.”



Maka seluruh takdir adalah kebaikan bagi orang yang dianugerahi syukur dan sabar.

Demikian pula apa yang Allah lakukan terhadap Adam, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad ﷺ —hal-hal yang tampak sebagai ujian berat, tetapi secara batin adalah jalan halus yang mengantarkan mereka kepada kesempurnaan dan kebahagiaan tertinggi.

Perhatikan kisah Musa: Allah menyelamatkannya ketika Fir’aun membunuh bayi-bayi. Allah mewahyukan ibunya untuk menghanyutkannya ke sungai kemudian membawanya justru ke rumah musuh yang ingin membunuhnya, lalu menjadikannya tumbuh di pangkuan mereka. Kemudian Allah keluarkan ia ke tempat aman, memberinya pernikahan dan kecukupan setelah kesendirian dan kesempitan, lalu mengembalikannya ke negeri Fir'aun untuk menegakkan hujjah atas mereka, kemudian mengeluarkannya bersama kaumnya dalam keadaan seakan-akan melarikan diri—namun itu justru menjadi kemenangan dan kebinasaan musuh di depan mata mereka.

Semua ini menunjukkan bahwa Allah melakukan apa yang Dia lakukan demi akibat baik yang Dia kehendaki, hikmah besar yang tak mampu dijangkau akal manusia, sekaligus mengandung rahmat dan nikmat yang luas, serta perkenalan Allah kepada hamba-Nya melalui nama-nama dan sifat-Nya.

Berapa banyak hikmah yang terkandung dalam makan Adam dari pohon yang dilarang dan keluarnya dari surga—hikmah yang rinciannya tidak mampu dijangkau akal. Demikian pula apa yang Allah takdirkan bagi pemimpin anak Adam (Nabi Muhammad ﷺ), untuk mengantarkannya ke derajat paling luhur melalui cara-cara tersembunyi yang membawa akibat paling terpuji.

Demikian pula bagi hamba-hamba dan wali-wali-Nya; Allah menyampaikan nikmat dan kesempurnaan mereka melalui jalan-jalan tersembunyi yang baru mereka sadari ketika telah tampak hasilnya.

Ini semua adalah perkara yang sangat luas hikmahnya, sulit dipahami rinciannya dan sulit diungkap dengan kata-kata. Makhluk yang paling mengenal hal ini adalah para nabi, dan yang paling mengetahuinya adalah Nabi terakhir dan terbaik mereka, kemudian umatnya sesuai kadar ilmu mereka tentang Allah, nama-nama, dan sifat-Nya.

Allah telah mengetahui semuanya sebelum menciptakan langit dan bumi, menuliskannya, dan memerintahkan malaikat menuliskannya kembali sebelum penciptaan manusia. Maka keadaan hamba sesuai dengan apa yang sudah ditulis dan tidak berubah sedikit pun.

Allah berfirman:

“Tidakkah kamu tahu bahwa Allah mengetahui apa yang di langit dan di bumi? Sesungguhnya itu berada dalam sebuah kitab. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.”



Allah telah mengetahui keadaan hamba sebelum mereka diciptakan—apa yang akan mereka lakukan dan ke mana mereka akan kembali. Lalu Allah menciptakan mereka untuk menampakkan apa yang sudah Dia ketahui mengenai mereka. Ia menguji mereka dengan perintah dan larangan, kebaikan dan keburukan; sehingga mereka berhak dipuji atau dicela, diberi pahala atau dihukum, berdasarkan perbuatan nyata mereka yang sesuai dengan ilmu Allah yang terdahulu. Maka Allah mengutus rasul dan menurunkan kitab-kitab sebagai hujjah agar tidak ada yang berkata, “Bagaimana Engkau menghukum kami karena ilmu-Mu tentang kami? Itu bukan dari usaha kami.”

Setelah ilmu-Nya tampak dalam perbuatan mereka melalui ujian dan cobaan, maka pantaslah mereka dihukum atas apa yang telah tampak itu.

Allah menguji mereka dengan syariat-Nya (perintah dan larangan), dan juga menguji mereka dengan takdir-Nya berupa dunia yang diperindah dan syahwat yang ditanamkan dalam diri mereka:

“Sesungguhnya Kami menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya agar Kami menguji mereka, siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya.”
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan Arsy-Nya berada di atas air, untuk menguji kalian siapakah di antara kalian yang paling baik amalnya.”



Ia menciptakan kehidupan dan kematian untuk menguji hamba, memberi mereka kesempatan, lalu memperlihatkan hasil ujian itu berupa pahala atau siksa.

Allah juga menguji manusia dengan manusia lainnya, dengan nikmat dan musibah. Ujian terhadap Adam menampakkan apa yang Allah ketahui tentangnya, begitu pula ujian terhadap Iblis. Karena itulah Allah berfirman:

“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.”



Ujian ini berlanjut pada keturunan mereka hingga hari kiamat: para nabi diuji dengan umatnya dan umat dengan nabinya. Allah berfirman kepada hamba sekaligus kekasih-Nya (Ibrahim): “Sesungguhnya Aku akan mengujimu dan menguji manusia melalui dirimu.” Dan Dia berfirman:

“Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan, dan kepada Kami kalian akan kembali.”
“Kami menjadikan sebagian dari kalian sebagai ujian bagi sebagian yang lain.”

Disadur dari Syifa'ul Alil oleh Ibnu Al-Qayyim rahimahullaah (hal. 34)





Read more...

Sabar & Syukur dalam Ujian: Wasiat Ibnu Taimiyah dari Belenggu Penjara

Berkata Imam Abu al-‘Abbas Ahmad bin Taymiyyah dalam jawabannya atas selembar surat yang dikirim kepadanya di dalam penjara pada bulan Ramadan tahun 706 H:


Segala puji bagi Allah. Kita memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, memohon ampunan-Nya, dan berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri-diri kita dan keburukan amal-amal kita. Siapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya; dan siapa yang disesatkan-Nya, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Dia mengutusnya dengan petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas seluruh agama, dan cukuplah Allah sebagai saksi. Semoga shalawat dan salam Allah tercurah kepada beliau serta keluarga beliau.

Amma ba’d. Telah sampai kepadaku lembaran surat yang berisi pesan dari dua syekh yang agung, dua ulama, dua ahli ibadah, dua teladan—semoga Allah meneguhkan keduanya dan seluruh saudara-saudara (seiman) dengan ruh dari-Nya, menulis iman dalam hati-hati mereka, memasukkan mereka ke dalam tempat yang benar serta mengeluarkan mereka dari tempat yang benar, dan menjadikan mereka di antara orang-orang yang dengannya Allah menolong kekuasaan agama: kekuasaan ilmu, hujjah, penjelasan, dan bukti; serta kekuasaan kemampuan dan kemenangan dengan senjata dan para penolong. Dan semoga Allah menjadikan mereka termasuk wali-weli-Nya yang bertakwa dan pasukan-Nya yang menang, atas siapa pun yang memusuhi mereka dari kalangan sesama dan dari para imam orang-orang bertakwa yang menggabungkan antara kesabaran dan keyakinan. Dan Allah pasti mewujudkan hal itu serta menepati janji-Nya secara tersembunyi maupun terang-terangan, dan Dia pasti membalas (kejahatan) kelompok setan demi para hamba ar-Rahman, tetapi sesuai dengan hikmah-Nya dan sunnah-Nya yang telah berjalan berupa ujian dan cobaan; yang dengannya Allah menyaring orang-orang jujur beriman dari orang-orang munafik dan pendusta.

Karena kitab-Nya telah menunjukkan bahwa pasti ada cobaan bagi siapa pun yang menyeru kepada iman, dan adanya hukuman bagi pelaku keburukan dan kezaliman. Allah Ta’ala berfirman:

> Alif Lām Mīm. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan berkata “Kami beriman” sedangkan mereka tidak diuji? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka; maka Allah sungguh mengetahui siapa yang benar dan siapa yang dusta. Apakah orang-orang yang berbuat buruk mengira bahwa mereka dapat mendahului (meloloskan diri dari) Kami? Buruk sekali keputusan mereka.



Maka Allah mengingkari orang yang menyangka pelaku maksiat dapat lolos, dan bahwa para pengaku iman akan dibiarkan tanpa ujian yang membedakan antara yang benar dan dusta. Allah juga mengabarkan bahwa kebenaran iman tidak mungkin tanpa jihad di jalan-Nya. Allah berfirman:

> Orang-orang Arab Badui berkata: “Kami beriman.” Katakanlah: “Kalian belum beriman, tetapi katakanlah: ‘Kami telah tunduk (Islam).’” … Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu, dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.



Dan Allah mengabarkan kerugian bagi orang yang terjatuh saat fitnah, yang menyembah Allah di atas tepian (iman yang goyah), yang tidak kokoh kecuali ketika memperoleh dunia. Allah berfirman:

> Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah di atas tepi…



Dan firman-Nya:

> Apakah kalian mengira akan masuk surga padahal Allah belum melihat (mengetahui) siapa di antara kalian yang berjihad dan sabar?



Dan firman-Nya:

> Sungguh Kami akan menguji kalian hingga Kami mengetahui siapa di antara kalian yang berjihad dan sabar, dan Kami akan menguji kabar kalian.



Dan Allah mengabarkan bahwa ketika ada yang murtad maka pasti ada pula orang-orang yang Allah cintai dan mereka mencintai-Nya, yang berjihad di jalan-Nya. Mereka adalah orang-orang yang bersyukur atas nikmat iman dan bersabar dalam ujian.

Sebagaimana firman-Nya:

> Dan Muhammad hanyalah seorang rasul… apabila ia wafat atau dibunuh, apakah kalian akan kembali ke belakang kalian? … Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur…



(serta ayat-ayat selanjutnya yang memuji kesabaran dan keteguhan kaum beriman).

Maka jika Allah menganugerahkan kepada seseorang kesabaran dan syukur, semua ketetapan Allah baginya menjadi kebaikan. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

> “Tidaklah Allah menetapkan suatu ketetapan bagi seorang mukmin kecuali hal itu baik baginya: jika ia mendapatkan kelapangan ia bersyukur dan itu baik baginya, dan jika ia ditimpa kesempitan ia bersabar dan itu baik baginya.”



Orang yang sabar dan bersyukur adalah mukmin sejati. Adapun siapa yang tidak dikaruniai kesabaran dan syukur, maka keadaan baik maupun buruk sama-sama menjadi keburukan baginya, terlebih jika berkaitan dengan perkara besar yang dialami para nabi dan shiddiqin, dalam menegakkan pokok agama dan menjaga iman serta Al-Qur’an dari makar orang-orang munafik dan ateis.

Maka segala puji bagi Allah, pujian yang banyak, baik, dan penuh keberkahan, sebagaimana Rabb kita cintai dan ridai, sebagaimana layak bagi kemuliaan-Nya dan keagungan-Nya. Dan Allah-lah yang dimohon agar meneguhkan kalian dan kaum mukmin lainnya dengan ucapan yang teguh di dunia dan akhirat, menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian, menolong agama-Nya, kitab-Nya, dan hamba-hamba-Nya yang beriman atas orang-orang kafir dan munafik—yang kita diperintahkan untuk berjihad dan bersikap keras kepada mereka dalam kitab-Nya yang jelas.

Dan kalian, bergembiralah dengan berbagai bentuk kebaikan dan kebahagiaan yang tidak pernah terlintas dalam hati.

Disadur dari Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah rahimahullaah (3/211)



Read more...

Wednesday, October 15, 2025

Hikmah di Balik Pilihan Allah dan Adab Seorang Hamba antara Istikharah dan Ridha terhadap Takdir

Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā sebagaimana Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana dalam memilih siapa yang Dia pilih dari makhluk-Nya, dan menyesatkan siapa yang Dia sesatkan di antara mereka, demikian pula Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana terhadap apa yang ada dalam perintah dan syariat-Nya — berupa akibat-akibat yang baik dan tujuan-tujuan yang agung. Allah Ta‘ālā berfirman:


“Diwajibkan atas kalian berperang, padahal itu sesuatu yang kalian benci. Boleh jadi kalian membenci sesuatu padahal itu baik bagi kalian, dan boleh jadi kalian menyukai sesuatu padahal itu buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 216)



Allah menjelaskan bahwa apa yang Dia perintahkan kepada mereka — Dia mengetahui apa yang terkandung di dalamnya berupa kemaslahatan dan manfaat bagi mereka — itulah yang menyebabkan Dia memilihnya dan memerintahkan mereka untuk melakukannya. Sedangkan mereka mungkin membencinya, baik karena ketidaktahuan maupun karena tabiat manusia yang enggan terhadap hal itu. Maka inilah pengetahuan Allah tentang akibat dari perintah-Nya yang tidak mereka ketahui, dan itulah pengetahuan-Nya tentang siapa yang Dia pilih dari makhluk-Nya yang juga tidak mereka ketahui.
Ayat ini mengandung dorongan agar kita tetap berpegang pada perintah Allah meskipun terasa berat bagi jiwa, dan agar kita ridha terhadap takdir-Nya meskipun hati kita membencinya.

Dalam doa istikharah disebutkan:

“Ya Allah, aku memohon pilihan yang terbaik kepada-Mu dengan ilmu-Mu, dan aku memohon kekuatan kepada-Mu dengan kekuasaan-Mu, serta aku memohon kepada-Mu dari karunia-Mu yang agung. Karena sesungguhnya Engkau berkuasa, sedangkan aku tidak berkuasa; Engkau mengetahui, sedangkan aku tidak mengetahui; dan Engkaulah yang Maha Mengetahui perkara-perkara gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini baik bagiku dalam agamaku, kehidupanku, dan akibat urusanku, maka tetapkanlah ia untukku, mudahkanlah ia bagiku, lalu berkahilah aku di dalamnya. Dan jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk bagiku dalam agamaku, kehidupanku, dan akibat urusanku, maka jauhkanlah ia dariku, dan jauhkanlah aku darinya. Tetapkanlah kebaikan bagiku di mana pun ia berada, kemudian jadikanlah aku ridha terhadapnya.”



Karena seorang hamba sangat membutuhkan ilmu untuk mengetahui apa yang bermanfaat bagi kehidupannya di dunia dan akhirat, serta membutuhkan kemampuan dan kemudahan untuk melakukannya — sementara dia tidak memiliki itu semua dari dirinya sendiri — maka Nabi ﷺ membimbingnya kepada inti penghambaan yang sejati, yaitu meminta pilihan terbaik kepada Allah yang Maha Mengetahui akibat segala perkara, baik dan buruknya; meminta kemampuan dari-Nya, karena jika tidak diberi kemampuan maka ia lemah; dan meminta karunia dari-Nya, karena jika tidak dimudahkan dan disiapkan baginya maka akan sulit baginya walaupun sudah mampu.

Apabila Allah memilihkan sesuatu untuknya dengan ilmu-Nya, menolongnya dengan kekuasaan-Nya, dan memudahkannya dengan karunia-Nya, maka hamba itu masih membutuhkan agar Allah meneguhkannya, menjaganya, dan memberkahinya.
Keberkahan mencakup kelestarian dan pertumbuhannya — ini adalah sesuatu yang lebih dari sekadar diberi kemampuan dan kemudahan. Setelah semua itu, hamba masih membutuhkan agar Allah menjadikannya ridha terhadap hasilnya, sebab terkadang Allah telah memilihkan sesuatu yang baik baginya, namun ia membencinya dan tidak ridha, padahal pilihan itu yang terbaik untuknya.

‘Abdullāh ibn ‘Umar berkata:

“Seseorang memohon pilihan terbaik (istikharah) kepada Allah, lalu Allah memilihkan untuknya, tetapi dia justru marah kepada Tuhannya. Tidak lama kemudian dia melihat akibatnya, ternyata itu adalah pilihan terbaik untuknya.”



Dalam Musnad Ahmad dari Sa‘d ibn Abī Waqqāṣ, dari Nabi ﷺ bersabda:

“Di antara kebahagiaan anak Adam adalah ia beristikharah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan di antara kebahagiaannya adalah ia ridha terhadap apa yang telah ditetapkan Allah. Dan di antara kesengsaraan anak Adam adalah ia tidak beristikharah kepada Allah, dan di antara kesengsaraannya adalah ia tidak ridha terhadap apa yang telah ditetapkan Allah.”



Maka sesuatu yang telah ditakdirkan dikelilingi oleh dua hal: istikharah sebelum terjadinya dan ridha setelah terjadinya.
Termasuk bentuk taufik dan kebahagiaan bagi seorang hamba adalah ketika ia beristikharah sebelum sesuatu terjadi dan ridha setelahnya. Sebaliknya, termasuk tanda ketidakberuntungan dan kehinaan baginya adalah ketika ia tidak beristikharah sebelumnya dan tidak ridha setelahnya.

‘Umar ibn al-Khaṭṭāb ra. berkata:

“Aku tidak peduli apakah aku bangun pagi dalam keadaan menyukai sesuatu atau membencinya, karena aku tidak tahu — apakah kebaikan itu ada pada apa yang aku sukai atau justru pada apa yang aku benci.”



Al-Ḥasan al-Baṣrī berkata:

“Janganlah kalian membenci musibah yang menimpa dan bencana yang terjadi, karena boleh jadi dalam sesuatu yang kalian benci terdapat keselamatan kalian, dan boleh jadi dalam sesuatu yang kalian sukai terdapat kebinasaan kalian.”

Diterjemahkan dari Syifa'ul 'Alil oleh Ibnul Qayyim rahimahullah 


Read more...

Sunday, October 5, 2025

Hidupnya Ilmu dengan Istiqāmah

Ilmu adalah anugerah agung dari Allah. Ia bukan sekadar kumpulan informasi atau hafalan di kepala, tetapi cahaya yang menghidupkan hati dan menuntun langkah menuju ridha-Nya. Namun, ilmu tidak akan hidup kecuali jika disertai amal dan dijaga dengan istiqamah. Tanpa istiqamah, ilmu akan layu, bahkan bisa menjadi hujjah atas diri di hadapan Allah.


Al-Khatib Al-Baghdadi رحمه الله berkata:

العِلْمُ يَهْتِفُ بِالْعَمَلِ، فَإِنْ أَجَابَهُ وَإِلَّا ارْتَحَلَ

"Ilmu menyeru amal; jika amal menyambutnya, maka ilmu akan menetap. Jika tidak, ilmu akan pergi."

Beliau juga mengatakan bahwa ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah, dan amal tanpa ilmu bagaikan perjalanan tanpa petunjuk. Maka keduanya tidak boleh dipisahkan, karena ilmu adalah penuntun amal, dan amal adalah buah dari ilmu.


---

1. ILMU ADALAH KEHIDUPAN HATI



Ilmu sejati menghidupkan hati. Tanpa ilmu, hati menjadi mati dan gelap. Allah menggambarkan orang berilmu dan beramal sebagai orang yang hidup dan bercahaya, sedangkan orang yang berpaling dari ilmu dan amal berada dalam kegelapan.

Firman Allah:

أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا ۚ كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Apakah orang yang sebelumnya mati (jiwanya), lalu Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya sehingga ia dapat berjalan di tengah manusia, seperti orang yang berada dalam kegelapan yang tidak dapat keluar darinya?”
(QS. Al-An‘ām: 122)

Ibn al-Qayyim berkata yang bermakna:

العلم حياة القلوب ونور البصائر، وشفاء الصدور، ورياض العقول

“Ilmu adalah kehidupan bagi hati, cahaya bagi pandangan batin, penyembuh dada, dan taman bagi akal.”
(Madarijus Salikin)

Tanpa ilmu, hati menjadi mati, karena tidak tahu mana yang haq dan mana yang batil. Namun ilmu yang tidak diamalkan juga akan kehilangan cahaya dan keberkahannya.


---

2. ISTIQAMAH ADALAH PENJAGA CAHAYA ILMU



Ilmu akan tetap hidup dan bercahaya bila disertai amal yang istiqamah. Istiqamah adalah berjalan terus di atas kebenaran tanpa menyimpang ke kanan atau ke kiri.

Firman Allah:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata: ‘Rabb kami adalah Allah’ kemudian mereka beristiqamah, maka malaikat turun kepada mereka (mengatakan): Janganlah kamu takut dan jangan bersedih, dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan kepadamu.”
(QS. Fussilat: 30)

Rasulullah ﷺ bersabda:

قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ

“Katakanlah: Aku beriman kepada Allah, lalu beristiqamahlah.”
(HR. Muslim no. 38)

Ibn al-Qayyim menjelaskan:

الاستقامة هي سلوك الصراط المستقيم، وهو الدين القويم من غير تقصير ولا ميل

“Istiqamah adalah berjalan di atas jalan yang lurus, yaitu agama yang tegak, tanpa kekurangan dan tanpa penyimpangan.”
(Madarij as-Salikin)

Dengan istiqamah, ilmu tidak hanya menjadi hafalan, tetapi menjadi cahaya yang terus bersinar dan mengantarkan pemiliknya kepada Allah.


---

3. ILMU TANPA AMAL ADALAH BEBAN



Ilmu yang tidak diamalkan tidak akan bermanfaat, bahkan bisa menjadi beban berat dan saksi atas kelalaian pemiliknya.

Firman Allah:

مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا

“Perumpamaan orang-orang yang dibebani Taurat kemudian mereka tidak mengamalkannya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab besar.”
(QS. Al-Jumu‘ah: 5)

Rasulullah ﷺ bersabda:

لا تزول قدما عبدٍ يوم القيامة حتى يُسأل عن أربع... عن علمه ما عمل به

“Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat perkara… termasuk tentang ilmunya, apa yang telah ia amalkan.”
(HR. Tirmidzi no. 2416, hasan shahih)

Ibn al-Qayyim menegaskan mengutip sebagian salaf:

العلم إذا لم يُعمل به كان الجهل خيراً منه

“Ilmu yang tidak diamalkan, kebodohan lebih baik darinya.”
(Al-Fawaid)

Karena ilmu tanpa amal tidak membawa cahaya, justru menjadi kegelapan yang menyilaukan hati dan menutup hidayah.


---

4. AMAL KECIL YANG ISTIQAMAH LEBIH DICINTAI ALLAH



Allah mencintai amal yang terus-menerus walau kecil. Ini menunjukkan bahwa istiqamah lebih utama daripada banyak amal yang terputus.

Rasulullah ﷺ bersabda:

أحب الأعمال إلى الله أدومها وإن قل

“Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling terus-menerus, meskipun sedikit.”
(HR. Bukhari no. 6465, Muslim no. 783)

Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa amal kecil yang dilakukan terus-menerus akan menumbuhkan kelezatan iman dan menjaga hati tetap hidup. Karena amal istiqamah adalah tanda cinta kepada Allah dan tanda ilmu yang hidup dalam hati.


---

5. ILMU YANG HIDUP MELAHIRKAN TAKWA



Ilmu yang benar melahirkan rasa takut kepada Allah, bukan kesombongan. Semakin bertambah ilmu, seharusnya semakin dalam ketundukan.

Firman Allah:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang berilmu.”
(QS. Fāthir: 28)

Ibn al-Qayyim berkata:

فالعلم النافع هو ما بُني على النصوص، وأورث صاحبه الخشية، وحمله على الطاعة، وصرفه عن الدنيا، ورغّبه في الآخرة.

“Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibangun di atas nash-nash (wahyu), menumbuhkan rasa takut kepada Allah, mendorong pemiliknya untuk taat, menjauhkannya dari dunia, dan membuatnya rindu kepada akhirat.”
(Miftah Dar as-Sa’adah)

Inilah tanda ilmu yang hidup: menumbuhkan khauf (takut) dan raja’ (harap), mendorong kepada amal, dan menjauhkan dari maksiat.


---

6. DOA AGAR ILMU HIDUP DAN BERMANFAAT



Rasulullah ﷺ berdoa agar diberi ilmu yang bermanfaat:

اللهم إني أعوذ بك من علم لا ينفع، ومن قلب لا يخشع، ومن نفس لا تشبع، ومن دعاء لا يُستجاب له

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, jiwa yang tidak puas, dan doa yang tidak dikabulkan.”
(HR. Muslim no. 2722)

Dan beliau juga sering berdoa:

اللهم يا مقلب القلوب ثبت قلبي على دينك

“Ya Allah, wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hatiku di atas agama-Mu.”
(HR. Tirmidzi no. 2140, hasan)

Ibn al-Qayyim menegaskan bahwa hati adalah pusat kehidupan ilmu. Jika hati tidak teguh, maka ilmu tidak akan menetap di dalamnya. Maka istiqamah adalah penjaga bagi kehidupan hati dan ilmu.

Beliau berkata:

دوام الذكر والاستغفار والاستقامة تحفظ العلم وتزكي القلب

“Dzikir yang terus-menerus, istighfar, dan istiqamah menjaga ilmu dan menyucikan hati.”
(Al-Fawaid)


---

PENUTUP

Ilmu akan hidup bila dijaga dengan:

1. Keikhlasan dalam menuntut dan menyebarkannya.


2. Amal nyata yang menjadi buah dari ilmu.


3. Istiqamah dalam ketaatan dan mujahadah.



Ilmu yang hidup akan menerangi hati, menumbuhkan takwa, dan membawa pemiliknya semakin dekat kepada Allah.

Sebaliknya, ilmu yang mati akan melahirkan kesombongan, kelalaian, dan kehampaan spiritual.

Ibn al-Qayyim berkata:

العلم لا ينفع إلا إذا صاحبه عملٌ واستقامةٌ وصدقٌ مع الله

“Ilmu tidak akan bermanfaat kecuali bila disertai amal, istiqamah, dan kejujuran kepada Allah.”
(Al-Fawaid)


---

Sumber:
Ibn al-Qayyim, Madarij as-Salikin
Ibn al-Qayyim, Al-Fawaid
Ibn al-Qayyim, Miftah Dar as-Sa’adah
Al-Qur’an dan hadits-hadits shahih


---


Read more...

Wednesday, September 17, 2025

Tafsir Firman Allah Ta’ala {أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ...} (QS. Al-Baqarah: 19)

Kemudian Allah ﷻ membuat perumpamaan lain yang bersifat “air” bagi mereka, sebagaimana firman-Nya:

{أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ فِيهِ ظُلُمَاتٌ وَرَعْدٌ وَبَرْقٌ يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ وَاللَّهُ مُحِيطٌ بِالْكَافِرِينَ}
(“Atau seperti hujan lebat dari langit yang di dalamnya ada kegelapan, petir, dan kilat. Mereka meletakkan jari-jari mereka di telinga karena takut mati terkena sambaran petir. Dan Allah meliputi orang-orang kafir.”) (QS. Al-Baqarah: 19)

Allah menyerupakan bagian yang mereka peroleh dari apa yang dibawa Rasulullah ﷺ berupa cahaya dan kehidupan, dengan orang yang menyalakan api di kegelapan lalu apinya padam ketika ia sangat membutuhkannya. Hilanglah cahayanya, dan ia tetap berada dalam kegelapan, kebingungan, tidak menemukan jalan dan tidak mengetahui arah.

Juga menyerupakan keadaan mereka dengan orang yang terkena hujan lebat (صيّب) — yaitu hujan yang turun deras dari langit ke bumi. Allah menyerupakan petunjuk (hidayah) yang diturunkan kepada hamba-hamba-Nya dengan hujan itu, karena hati menjadi hidup dengan hidayah sebagaimana bumi menjadi hidup dengan hujan. Akan tetapi, bagian yang didapatkan kaum munafik dari hidayah ini hanyalah sebatas kegelapan, petir, dan kilat — tidak mendapatkan manfaat hakiki dari hujan yang menjadi tujuan utama turunnya hujan: yakni menghidupkan negeri, menumbuhkan tanaman, memberi minum binatang.

Kegelapan, petir, dan kilat itu sejatinya adalah sarana untuk sampai pada manfaat hujan, bukan tujuan. Tetapi orang bodoh, karena kebodohannya, hanya merasakan sisi yang tidak menyenangkan: gelap, suara petir yang menakutkan, kilat yang menyilaukan, dingin yang menusuk, perjalanan yang terhenti, pekerjaan yang terganggu. Ia tidak mampu menembus hikmah di balik semua itu, bahwa hujan membawa kehidupan dan manfaat umum.

Demikianlah sifat orang yang sempit pandangan dan lemah akal — ia hanya melihat sesuatu dari sisi yang tampak buruk, tidak melihat apa yang ada di baliknya berupa kebaikan. Dan beginilah keadaan kebanyakan manusia, kecuali mereka yang tajam bashirah-nya.

Maka orang yang lemah pandangan, jika melihat jihad hanya dari sisi kepayahan, luka, risiko kehilangan nyawa, celaan manusia, dan permusuhan dari pihak yang ditakuti permusuhannya — ia enggan maju. Sebab ia tidak menyaksikan akibat baik yang dijanjikan: kemuliaan, kemenangan, dan balasan yang agung yang menjadi tujuan orang-orang beriman.

Demikian pula orang yang berniat berhaji ke Baitullah, namun yang ia lihat hanya kesulitan perjalanan, perpisahan dengan keluarga dan negeri, menghadapi rintangan dan meninggalkan kebiasaan. Karena ia tidak memandang hasil akhir dan buah perjalanan itu, maka ia pun tidak berangkat.

Inilah keadaan orang yang lemah iman: ia melihat Al-Qur’an hanya berisi janji dan ancaman, larangan dan perintah yang berat bagi jiwa, yang memisahkan jiwa dari kebiasaan dan syahwatnya. Padahal penyapihan (fitham) dari kebiasaan itu memang sulit — sebagaimana penyapihan bayi adalah perkara paling berat baginya. Dan semua manusia pada hakikatnya seperti bayi dalam hal akal, kecuali mereka yang benar-benar mencapai kedewasaan akal dan ilmu serta mengenal kebenaran dalam ilmu, amal, dan ma’rifah.

Orang yang seperti inilah yang mampu melihat apa yang ada di balik hujan, petir, kilat, dan sambaran itu, dan ia tahu bahwa semua itu adalah kehidupan bagi seluruh wujud.

Az-Zamakhsyari berkata: “Boleh jadi ada yang berkata: Allah menyerupakan agama Islam dengan hujan deras, karena hati menjadi hidup dengannya sebagaimana bumi menjadi hidup dengan hujan. Kegelapan menyerupakan keadaan orang kafir, petir dan kilat menyerupakan janji dan ancaman. Sementara ketakutan dan bencana yang menimpa orang kafir dari pihak kaum Muslimin diserupakan dengan sambaran petir.”

Maksudnya: seperti orang yang ditimpa hujan dengan keadaan demikian, lalu mereka merasakan apa yang mereka rasakan. Dan pendapat yang benar menurut ulama balaghah adalah bahwa kedua perumpamaan ini merupakan tamtsil murakkab (perumpamaan gabungan), bukan tamtsil mufarraq (terpisah-pisah).

Artinya tidak perlu dibuat padanan satu per satu, tetapi dilihat secara keseluruhan sebagai satu gambaran yang utuh, sebagaimana Al-Qur’an menggambarkan sesuatu yang terdiri dari banyak unsur yang saling berkaitan sebagai satu kesatuan yang dibandingkan dengan hal lain.

Contohnya:

{مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا}
(“Perumpamaan orang-orang yang diberi Taurat tetapi tidak mengamalkannya, seperti keledai yang membawa kitab-kitab tebal.”) (QS. Al-Jumu’ah: 5)

Maksudnya adalah menyamakan keadaan Yahudi yang bodoh terhadap Taurat dengan keledai yang tidak tahu apa yang ia pikul kecuali hanya merasa berat.

Demikian pula firman Allah:

{وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ...} (QS. Al-Kahfi: 45)

Yaitu menggambarkan singkatnya kehidupan dunia dengan cepatnya tanaman menjadi kering setelah disiram hujan.

Maka perumpamaan orang munafik adalah perumpamaan orang yang kebingungan setelah apinya padam di malam gelap, atau orang yang terkena hujan deras di malam gelap dengan suara petir dan kilat yang menakutkan.

Jika ditanya: manakah dari dua perumpamaan ini yang lebih kuat?
Jawabannya: yang kedua, karena lebih menunjukkan tingkat kebingungan, dahsyatnya keadaan, dan besarnya musibah. Karena itu diletakkan terakhir, sebab mereka (orang-orang munafik) digambarkan berangsur-angsur dari yang ringan ke yang lebih berat.

Disadur dari Ijtima' al-Juyusy al-Islamiyyah (68-72) oleh Ibnu Al-Qayyim rahimahullaah


Read more...

Sunday, September 14, 2025

Landasan Ibadah

Dan tidak mungkin dalam beribadah kepada-Nya kecuali dengan dua landasan pokok.

Yang pertama adalah mengikhlaskan agama hanya untuk-Nya, dan yang kedua adalah mengikuti perintah-Nya yang dengan itu Dia mengutus para rasul-Nya. Karena itu Umar bin al-Khaththab radhiyallāhu ‘anhu sering berdoa:

> “Ya Allah, jadikanlah seluruh amal perbuatanku amal yang saleh, jadikan ia murni hanya karena wajah-Mu, dan janganlah Engkau jadikan bagi seorang pun bagian darinya.”



Dan al-Fudhail bin ‘Iyadh, ketika menafsirkan firman Allah Ta‘ala
 {لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا} 
(untuk menguji kalian siapa yang terbaik amalnya), ia berkata: “Yang paling ikhlas dan paling benar.”
Mereka bertanya: “Wahai Abu ‘Ali, apa maksud ikhlas dan benar itu?”
Ia menjawab: “Jika amal itu ikhlas tapi tidak benar, maka tidak akan diterima. Jika benar tapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. Sampai amal itu ikhlas dan benar sekaligus. Ikhlas berarti untuk Allah, dan benar berarti sesuai sunnah.”

Karena itulah Allah mencela orang-orang musyrik dalam Al-Qur’an, sebab mereka mengikuti syariat yang dibuat oleh sekutu-sekutu mereka, yang Allah tidak izinkan, berupa peribadatan kepada selain-Nya atau amalan yang tidak Dia syariatkan. Sebagaimana firman-Nya:
 {أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ} (Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mensyariatkan bagi mereka agama yang tidak diizinkan Allah?). 
Allah juga mencela mereka karena mengharamkan sesuatu yang Allah tidak haramkan. Padahal agama yang benar itu ialah: tidak ada yang haram kecuali yang Allah haramkan, dan tidak ada agama kecuali yang Allah syariatkan.

Kemudian manusia dalam beribadah kepada-Nya dan dalam memohon pertolongan-Nya terbagi menjadi empat golongan:

1. Orang-orang beriman yang bertakwa – mereka beribadah kepada-Nya karena-Nya dan dengan pertolongan-Nya.


2. Golongan yang beribadah tanpa isti‘ānah (memohon pertolongan) – mereka berusaha dalam ketaatan, wara‘, dan mengikuti sunnah; tetapi mereka tidak punya tawakal, sabar, dan isti‘ānah, sehingga dalam diri mereka ada kelemahan dan kegelisahan.


3. Golongan yang punya isti‘ānah, tawakal, dan sabar tanpa istiqāmah dalam perintah dan tanpa mengikuti sunnah – terkadang mereka diberi kemampuan, bahkan tampak pada mereka keadaan batin dan lahir, diberi sebagian penyingkapan (mukāsyafāt) atau pengaruh, yang tidak diperoleh golongan pertama. Namun mereka tidak punya akibat yang baik, karena bukan termasuk orang bertakwa, sedangkan akibat yang baik hanyalah bagi ketakwaan. Golongan pertama agamanya lemah, tapi tetap ada dan terus berlangsung selama tidak dirusak oleh kelemahan dan ketidakmampuan. Adapun golongan kedua ini, meski punya kekuatan, tetapi tidak kekal kecuali pada bagian yang sesuai perintah dan mengikuti sunnah.


4. Golongan yang paling buruk – mereka tidak beribadah kepada-Nya dan tidak memohon pertolongan-Nya; tidak meyakini bahwa ilmu itu dari Allah, dan tidak pula bahwa kekuatan itu dengan Allah.



Adapun kaum Mu‘tazilah dan semisal mereka dari kelompok Qadariyah yang menolak takdir, mereka dalam hal pengagungan perintah, larangan, janji, dan ancaman lebih baik daripada kelompok Jabariyah Qadariyah yang berpaling dari syariat, perintah, dan larangan. Sementara kaum Sufi, dalam hal takdir dan penyaksian tauhid rububiyah, lebih baik dari Mu‘tazilah. Tetapi di antara mereka ada yang terjatuh dalam bid‘ah dan berpaling dari sebagian perintah dan larangan, sehingga menjadikan tujuan akhir mereka hanya musyāhadah tauhid rububiyah dan fanā’ di dalamnya. Lalu mereka pun menjauh dari jamaah kaum muslimin dan sunnah mereka; maka mereka pun disebut Mu‘tazilah dalam sisi ini. Bahkan bid‘ah mereka terkadang lebih buruk daripada bid‘ah Mu‘tazilah. Kedua kelompok ini sama-sama tumbuh dari Bashrah.

Sesungguhnya agama Allah adalah apa yang Dia utus bersama para rasul-Nya dan turunkan dalam kitab-kitab-Nya; itulah jalan yang lurus, jalan para sahabat Rasulullah ﷺ, sebaik-baik generasi, umat yang paling mulia di sisi Allah setelah para nabi. Allah berfirman:

{وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ}

Allah ridha kepada para sahabat yang terdahulu dan juga kepada orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Nabi ﷺ bersabda dalam hadits-hadits sahih:

> “Sebaik-baik generasi adalah generasi yang aku diutus di tengah mereka, kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya.”



Ibnu Mas‘ud radhiyallāhu ‘anhu berkata:

> “Barang siapa di antara kalian hendak meneladani, hendaklah meneladani orang yang telah wafat, sebab yang hidup tidak aman dari fitnah. Mereka adalah para sahabat Rasulullah ﷺ, orang-orang yang paling lurus hatinya, paling dalam ilmunya, dan paling sedikit dibuat-buatnya. Mereka adalah kaum yang dipilih Allah untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Maka kenalilah hak mereka dan ikutilah petunjuk mereka, karena mereka berada di atas hidayah yang lurus.”



Hudzaifah bin al-Yamān radhiyallāhu ‘anhumā berkata:

> “Wahai para qāri’, istiqāmahlah kalian, ikutilah jalan orang-orang sebelum kalian. Demi Allah, jika kalian mengikutinya, kalian akan mendahului dengan jauh. Jika kalian mengambil kanan dan kiri, kalian akan tersesat dengan kesesatan yang jauh.”



Dan Ibnu Mas‘ud berkata:

> “Rasulullah ﷺ membuat sebuah garis untuk kami, lalu membuat garis-garis di kanan dan kirinya. Beliau bersabda: ‘Ini jalan Allah. Adapun garis-garis di kanan dan kiri, di setiap jalan ada setan yang menyeru kepadanya.’ Lalu beliau membaca: 

{وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ}.”



Allah memerintahkan kita untuk selalu berdoa dalam shalat:
{اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ}
 {صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ}

Nabi ﷺ bersabda:

> “Orang-orang Yahudi adalah yang dimurkai, dan Nasrani adalah yang tersesat.”



Yahudi mengetahui kebenaran tetapi tidak mengikutinya, sementara Nasrani beribadah kepada Allah tanpa ilmu. Karena itu ada ungkapan: “Berlindunglah kepada Allah dari fitnah ulama yang fajir dan ahli ibadah yang jahil, karena fitnah keduanya menimpa setiap orang yang terfitnah.”

Allah Ta‘ala berfirman:
{فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى} 
{وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا}

Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ‘anhumā berkata: “Allah menjamin bagi siapa yang membaca Al-Qur’an dan mengamalkan isinya, bahwa dia tidak akan tersesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.”

Demikian pula firman-Nya:
{الم}
{ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ} … 
sampai 
{أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ}.

Allah memberitakan bahwa mereka adalah orang-orang yang mendapat hidayah dan keberuntungan, berlawanan dengan orang-orang yang dimurkai dan tersesat.

Maka kita memohon kepada Allah Yang Maha Agung agar memberi hidayah kepada kita dan seluruh saudara-saudara kita ke jalan-Nya yang lurus, jalan orang-orang yang Allah beri nikmat: para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.

Cukuplah Allah sebagai penolong, dan sebaik-baik wakil. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam yang banyak kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya.

Ibnu Taimiyah 
dalam
Majmu' Fatawa 3/124-128


Read more...

Thursday, April 17, 2025

Allah Ta‘ala Mengajak Hamba-hamba-Nya dalam Al-Qur’an Untuk Mengenal-Nya Melalui Dua Jalan

Allah Ta‘ala mengajak hamba-hamba-Nya dalam Al-Qur’an untuk mengenal-Nya melalui dua jalan:


Pertama, dengan merenungi ciptaan-ciptaan-Nya (maf‘ūlātih).
Kedua, dengan merenungi dan mentadabburi ayat-ayat-Nya (āyātih); yang pertama adalah ayat-ayat yang disaksikan (kauniyyah), dan yang kedua adalah ayat-ayat yang didengar dan dipahami (syar‘iyyah).

Jenis pertama seperti firman-Nya:

> “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, dan kapal-kapal yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia...” (Al-Baqarah: 164)
Dan:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Ali ‘Imran: 190)
Ayat semacam ini sangat banyak dalam Al-Qur’an.



Jenis kedua seperti firman-Nya:

> “Maka apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur’an?” (An-Nisa’: 82)
“Maka apakah mereka tidak memikirkan perkataan (Al-Qur’an) itu?” (Al-Mu’minun: 68)
“Kitab yang Kami turunkan kepadamu yang penuh berkah agar mereka mentadabburi ayat-ayatnya.” (Shad: 29)
Dan ini pun banyak ditemukan dalam Al-Qur’an.



Adapun ciptaan-ciptaan (maf‘ūlāt) menunjukkan adanya perbuatan (af‘āl), dan perbuatan menunjukkan sifat-sifat (ṣifāt). Sebab, sebuah ciptaan menunjukkan adanya Pencipta yang melakukannya, dan itu meniscayakan adanya eksistensi, kemampuan, kehendak, dan ilmu dari Sang Pencipta. Karena tidak mungkin sebuah perbuatan yang bersifat pilihan muncul dari sesuatu yang tidak ada, atau dari sesuatu yang ada tapi tidak memiliki kemampuan, kehidupan, ilmu, dan kehendak.

Kemudian, segala bentuk pembatasan dan ragam dalam ciptaan menunjukkan adanya kehendak (irādah), dan bahwa perbuatan-Nya bukanlah terjadi secara alamiah dan seragam.
Apa yang terkandung dalam ciptaan dari manfaat, hikmah, dan tujuan yang baik menunjukkan hikmah-Nya.
Apa yang mengandung kebaikan dan pemberian menunjukkan rahmat-Nya.
Apa yang berupa azab dan hukuman menunjukkan murka-Nya.
Apa yang menunjukkan kemuliaan dan kedekatan menunjukkan cinta-Nya.
Apa yang mengandung kehinaan dan pengusiran menunjukkan kebencian dan kemurkaan-Nya.
Apa yang menunjukkan permulaan sesuatu dalam kelemahan hingga mencapai kesempurnaan menunjukkan kebenaran akan adanya kebangkitan (al-ma‘ād).
Apa yang tampak dalam tumbuhan, hewan, dan pengaturan air menunjukkan kemungkinan terjadinya kebangkitan.
Apa yang tampak dari tanda-tanda rahmat dan nikmat pada makhluk-Nya menunjukkan kebenaran kenabian.
Apa yang tampak dari kesempurnaan pada sesuatu yang bila tidak ada maka akan cacat, menunjukkan bahwa Dzat yang memberi kesempurnaan itu lebih berhak atasnya.

Maka ciptaan-ciptaan-Nya (maf‘ūlātuh) adalah salah satu bukti paling kuat tentang sifat-sifat-Nya, dan kebenaran apa yang diberitakan oleh para Rasul-Nya tentang diri-Nya.

Ciptaan-ciptaan-Nya menjadi saksi yang membenarkan ayat-ayat yang didengar, dan sekaligus mengingatkan manusia agar mengambil pelajaran dari tanda-tanda yang tercipta.

Allah Ta‘ala berfirman:

> “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar.” (Fussilat: 53)
Yakni bahwa Al-Qur’an adalah kebenaran. Maka Allah mengabarkan bahwa Dia akan memperlihatkan kepada manusia tanda-tanda nyata yang membuktikan kebenaran ayat-ayat yang dibacakan. Kemudian Allah juga menegaskan bahwa kesaksian-Nya saja sudah cukup atas kebenaran berita-Nya, karena Dia telah menegakkan bukti-bukti dan dalil atas kebenaran Rasul-Nya.



Ayat-ayat-Nya menjadi saksi atas kebenaran Rasul-Nya, dan Dia pun menjadi saksi atas kebenaran ayat-ayat tersebut melalui ayat-ayat-Nya. Maka Dia adalah yang bersaksi dan yang disaksikan untuk-Nya, dalil dan yang ditunjuk oleh dalil itu, sehingga Dia menjadi dalil atas diri-Nya sendiri.

Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ahli makrifat:

> “Bagaimana aku mencari dalil atas Dzat yang telah menjadi dalil bagiku atas segala sesuatu? Maka dalil apapun yang aku cari tentang-Nya, keberadaan-Nya lebih jelas dari dalil itu sendiri.”



Karena itu para Rasul berkata kepada kaum mereka:

> “Apakah kalian ragu terhadap Allah?” (Ibrahim: 10)
Dia lebih dikenal dari segala yang dikenal, lebih nyata dari segala dalil. Maka segala sesuatu pada hakikatnya dikenal melalui-Nya, meskipun secara pandangan dan istidlal dikenal melalui perbuatan dan hukum-hukum-Nya.

Diterjemahkan dari Al-Fawa'id oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 


Read more...

Tuesday, April 15, 2025

Tafsir Al-Furqan:73

Firman Allah Ta‘ala:


﴿وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا (٧٣)﴾
(Dan orang-orang yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah bersujud padanya dalam keadaan tuli dan buta) [Al-Furqan: 73].

Penafsiran para ulama:

Mujahid mengatakan: Apabila mereka diberi nasihat dengan Al-Qur’an, mereka tidaklah menjatuhkan diri padanya dalam keadaan tuli yang tidak mendengarnya atau buta yang tidak melihatnya, tetapi mereka mendengar, melihat, dan meyakininya.

Ibnu Abbas berkata: Mereka tidak berada padanya sebagai orang tuli dan buta, tetapi mereka tunduk dan khusyuk.

Al-Kalbi berkata: Mereka jatuh (bersujud) padanya sebagai orang-orang yang mendengar dan melihat.

Al-Farra’ berkata: Ketika Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka tidak tetap dalam keadaan sebelumnya, seolah-olah mereka tidak mendengarnya — inilah yang disebut “khurur” (jatuh), dan aku mendengar orang Arab berkata: ‘Dia duduk mencaciku’ sebagaimana dikatakan ‘Dia berdiri mencaciku’ atau ‘Dia datang mencaciku’. Makna dari ayat itu sebagaimana disebutkan: mereka tidak menjadi tuli dan buta terhadapnya.

Az-Zajjaj berkata: Maknanya adalah, ketika ayat-ayat dibacakan kepada mereka, mereka jatuh bersujud dan menangis, dalam keadaan mendengar dan melihat terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka.

Ibnu Qutaibah berkata: Yakni mereka tidak bersikap acuh seakan-akan mereka tuli dan tidak mendengarnya atau buta dan tidak melihatnya.


Saya (penyusun) berkata:
Di sini terdapat dua hal: penyebutan tentang “jatuh” (الخرور), dan penegasan penafian terhadap sifat tuli dan buta.

Apakah yang dimaksud dengan “jatuh” itu adalah jatuhnya hati (yakni ketundukan batin), ataukah jatuhnya badan untuk bersujud?

Dan apakah maknanya: bahwa kejatuhan mereka bukan karena tuli dan buta, namun mereka justru menjatuhkan diri secara hati dalam bentuk ketundukan atau secara fisik dalam bentuk sujud?

Ataukah tidak ada makna “jatuh” dalam arti sebenarnya, tetapi itu hanya kiasan dari sikap duduk dan mendengarkan?

Diterjemahkan dari Al-Fawa'id oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 


Read more...

Mengingkari Kemungkaran dan Syarat-Syaratnya


Contoh Pertama:

Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menetapkan kewajiban mengingkari kemungkaran bagi umatnya, agar dengan pengingkaran itu terwujud kebaikan (ma’ruf) yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Namun, jika pengingkaran terhadap kemungkaran justru menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dan lebih dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, maka pengingkaran tersebut tidak dibenarkan, meskipun perbuatan yang diingkari itu sendiri memang dibenci oleh Allah dan pelakunya dimurkai oleh-Nya.

Contohnya adalah pengingkaran terhadap para raja dan penguasa dengan cara memberontak; hal ini menjadi sumber dari segala keburukan dan fitnah hingga akhir zaman. Para sahabat pernah meminta izin kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- untuk memerangi para pemimpin yang mengakhirkan shalat dari waktunya, mereka berkata: “Tidakkah kami perangi mereka?” Maka beliau menjawab: “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat.”

Beliau juga bersabda: “Barang siapa melihat dari pemimpinnya sesuatu yang tidak disukainya, hendaklah ia bersabar dan janganlah mencabut tangan dari ketaatan kepadanya.”

Barang siapa merenungi apa yang terjadi dalam Islam berupa fitnah-fitnah besar maupun kecil, ia akan mendapati bahwa semuanya terjadi karena menyia-nyiakan prinsip ini (yaitu bersabar atas kemungkaran) dan tidak bersabar terhadap suatu kemungkaran, sehingga berusaha menghilangkannya, namun malah menimbulkan sesuatu yang lebih besar dari kemungkaran itu sendiri.

Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dahulu di Makkah melihat kemungkaran-kemungkaran besar, namun beliau tidak mampu mengubahnya. Bahkan ketika Allah membuka kota Makkah dan menjadikannya sebagai negeri Islam, beliau berniat untuk merombak Ka’bah dan mengembalikannya sesuai dengan pondasi Nabi Ibrahim, namun beliau tidak melakukannya—padahal mampu—karena khawatir akan muncul sesuatu yang lebih besar akibat dari hal itu, yakni ketidakmampuan Quraisy untuk menerima perubahan tersebut, karena mereka baru saja masuk Islam dan belum lama meninggalkan kekufuran.

Karena itulah beliau tidak mengizinkan pengingkaran terhadap para penguasa dengan tangan, karena hal itu akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar, sebagaimana kenyataannya yang telah terjadi.


Diterjemahkan dari I'lamul Muwaqqi'in (3/12) oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 


Read more...

Syariat Dibangun atas Dasar Maslahat bagi Para Hamba

Ini adalah pembahasan yang sangat penting, di mana banyak kekeliruan besar terhadap syariat terjadi karena kebodohan terhadap prinsip ini. Akibatnya, muncul kesulitan, beban yang tak sanggup dipikul, serta anggapan bahwa syariat datang membawa sesuatu yang berat dan tak mampu dilaksanakan — padahal syariat yang agung dan bercahaya ini tidak mungkin datang membawa hal semacam itu.

Hakikatnya, dasar dan fondasi syariat adalah:

Kebijaksanaan (hikmah),

Keadilan,

Rahmat, dan

Maslahat bagi manusia dalam urusan dunia dan akhirat.


Sehingga, setiap hukum atau fatwa yang keluar dari prinsip-prinsip tersebut — menuju kezaliman, kekerasan, kerusakan, atau kebodohan — maka itu bukan dari syariat, walau dimasukkan ke dalamnya melalui takwil (penafsiran).

Syariat adalah:

Keadilan Allah di antara hamba-Nya,

Rahmat-Nya kepada makhluk-Nya,

Cahaya dan petunjuk-Nya yang menunjukkan kebenaran dan jalan keselamatan,

Obat yang menyembuhkan,

Jalan lurus yang membawa keselamatan.


Ia adalah:

Kesenangan bagi mata yang melihatnya,

Kehidupan bagi hati yang menghayatinya,

Kenikmatan bagi ruh yang mendalaminya.


Melalui syariat:

Hidup menjadi hidup yang sejati,

Tercapai seluruh kebaikan,

Terhindar dari segala kekurangan.


Seandainya syariat ini diabaikan seluruhnya, maka dunia akan hancur dan realitas akan lenyap. Maka syariat yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah tiang penopang dunia, pusat keberuntungan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Diterjemahkan dari I'lamul Muwaqqi'in oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 


Read more...

Sunday, April 13, 2025

Hal-hal Pokok yang Dapat Digunakan untuk Mengenali Bahwa Suatu Hadis Adalah Maudhu‘ (Palsu) #2

Fasal


Di antaranya (tanda hadis palsu) adalah: rendahnya mutu isi hadis dan isinya yang terkesan mengada-ada atau menjadi bahan olok-olok, seperti hadis:

> "Seandainya beras itu adalah seorang lelaki, maka ia adalah seorang yang penyabar. Tidaklah seorang yang lapar memakannya, kecuali ia akan kenyang."
Hadis ini termasuk ucapan yang rendah dan tidak bermutu, yang seharusnya dijaga oleh orang-orang mulia—apalagi disandarkan kepada Pemimpin para nabi.



Dan (juga) hadis:

> "Kacang kenari adalah obat, keju adalah penyakit, tetapi jika keduanya bercampur dalam perut, maka menjadi penyembuh."
Semoga laknat Allah menimpa orang yang mengada-adakan hadis ini atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.



Dan hadis:

> "Seandainya manusia mengetahui keutamaan biji fenugreek (hilbah), niscaya mereka akan membelinya seharga emas."



Serta hadis:

> "Hadirkanlah sayur-sayuran hijau (daun-daunan) di atas meja makan kalian, karena itu dapat mengusir setan."

Dan (termasuk hadis yang bermasalah) adalah hadis:

> "Tidak ada satu daun pun dari tanaman hindiba (sejenis sayuran hijau) kecuali padanya terdapat setetes air dari surga."



Dan hadis:

> "Seburuk-buruk sayuran adalah selada air (jarjir). Barang siapa memakannya di malam hari, maka ia akan bermalam dalam keadaan jiwanya bergolak, dan urat kusta akan memukul hidungnya. Makanlah ia di siang hari, dan tinggalkanlah ia di malam hari."



Dan hadis:

> "Keutamaan minyak bunga violet dibandingkan minyak-minyak lainnya adalah seperti keutamaan Ahlul Bait atas seluruh makhluk."

Dan (termasuk hadis yang tidak sahih) adalah hadis:

> "Keutamaan daun bawang (kurrats) dibandingkan sayuran lainnya seperti keutamaan roti atas biji-bijian."



Dan hadis:

> "Jamur dan seledri adalah makanan Nabi Ilyas dan Nabi Ilyasa'."



Dan hadis:

> "Sesungguhnya hati merasakan kegembiraan ketika memakan daging."



Dan hadis:

> "Tidak ada satu buah delima pun kecuali di dalamnya ada satu biji yang berasal dari delima surga."



Dan hadis:

> "Musim semi umatku adalah buah anggur dan semangka."



Dan hadis:

> "Biasakanlah kalian memakan anggur bersama roti secara terus-menerus."


Dan (termasuk hadis yang tidak sahih) adalah hadis:

> "Hendaklah kalian mengonsumsi garam, karena ia merupakan penyembuh dari tujuh puluh macam penyakit."



Dan hadis:

> "Barang siapa memakan satu butir kacang fūl (kacang fava) beserta kulitnya, maka Allah akan mengeluarkan dari dirinya penyakit sebesar itu pula."
Semoga laknat Allah menimpa orang yang mengada-adakan hadis ini.



Dan hadis:

> "Jangan mencela ayam jantan, karena ia adalah temanku. Jika Bani Adam mengetahui apa yang terkandung dalam suaranya, niscaya mereka akan membeli bulu dan dagingnya dengan emas."



Dan hadis:

> "Barang siapa memelihara ayam jantan putih, maka setan dan sihir tidak akan mendekatinya."



Dan hadis:

> "Sesungguhnya Allah memiliki seekor ayam jantan yang lehernya melengkung di bawah ‘Arsy, sementara kakinya berada di batas-batas bumi."


Singkatnya, semua hadis tentang ayam jantan adalah dusta, kecuali satu hadis saja, yaitu:

> "Jika kalian mendengar suara kokok ayam jantan, maka mintalah karunia kepada Allah, karena sesungguhnya ia telah melihat malaikat."



.... bersambung ke #3

Diterjemahkan dari Al-Manar Al-Munif oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 


Read more...

Monday, April 7, 2025

Keadaan Manusia terhadap Was-was Setan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Sudah pasti bahwa kebanyakan manusia mengalami was-was (bisikan) dari setan.


Maka di antara mereka ada yang menuruti was-was tersebut hingga menjadi kafir atau munafik. 

Dan di antara mereka ada yang hatinya telah tenggelam dalam syahwat dan dosa, sehingga tidak merasakan was-was itu kecuali ketika ia mulai mencari agama. Maka ia akan menjadi seorang mukmin atau justru menjadi munafik. 

Oleh karena itu, seringkali was-was muncul saat seseorang sedang sholat, yang tidak muncul ketika ia tidak sholat. Karena setan akan lebih banyak mengganggu seorang hamba ketika ia ingin kembali kepada Rabb-nya, mendekat kepada-Nya, dan menyambung hubungan dengan-Nya. 

Maka karena itu, orang yang sholat lebih banyak mengalami was-was dibandingkan yang tidak sholat. 
Dan para ulama serta ahli agama mengalami was-was lebih banyak dibandingkan orang awam. 

Oleh karena itu pula, ditemukan pada para penuntut ilmu dan ahli ibadah berbagai macam was-was dan syubhat (kerancuan), yang tidak dialami oleh orang lain, karena mereka menempuh jalan syar'i dan manhaj (metode) Allah, bukan mengikuti hawa nafsu dalam kelalaian dari mengingat Rabb-nya. 

Dan inilah yang diinginkan oleh setan, berbeda halnya dengan mereka yang sungguh-sungguh menghadap Rabb-nya dengan ilmu dan ibadah." 

 Majmu' al-Fatawa (7/282)


Read more...

Saturday, April 5, 2025

Dasar Segala Kebaikan Adalah Engkau Mengetahui Bahwa Apa yang Allah Kehendaki Pasti Terjadi, dan Apa yang Tidak Dia Kehendaki Tidak Akan Terjadi



Kaidah:
Dasar segala kebaikan adalah engkau mengetahui bahwa apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi. Maka yakinilah bahwa kebaikan-kebaikan adalah bagian dari nikmat-Nya, maka bersyukurlah atasnya dan berdoalah agar Dia tidak mencabutnya darimu. Dan bahwa kejahatan-kejahatan adalah bagian dari kehinaan dan hukuman dari-Nya, maka mohonlah kepada-Nya agar Dia menghalangimu darinya, dan janganlah Dia menyerahkanmu kepada dirimu sendiri dalam berbuat kebaikan maupun meninggalkan keburukan.

Telah sepakat para arifin bahwa segala kebaikan berasal dari taufik Allah kepada hamba-Nya, dan segala keburukan berasal dari ditinggalkannya hamba oleh Allah. Mereka juga sepakat bahwa taufik adalah ketika Allah tidak menyerahkan hamba pada dirinya sendiri, dan bahwa kehinaan adalah ketika Allah membiarkan hamba dengan dirinya sendiri. Jika setiap kebaikan berakar dari taufik—dan itu sepenuhnya ada di tangan Allah, bukan di tangan hamba—maka kuncinya adalah doa, merasa butuh, tulus dalam bergantung dan berharap serta takut kepada-Nya. Maka kapan saja seorang hamba diberi kunci ini, berarti Allah menghendaki untuk membukakan pintu kebaikan baginya. Dan kapan saja hamba disesatkan dari kunci ini, maka pintu kebaikan tetap tertutup baginya.

Amirul Mukminin Umar bin Khattab berkata:
"Aku tidak memikul kekhawatiran tentang terkabulnya doa, tetapi aku memikirkan tentang doanya itu sendiri. Maka jika aku diberi ilham untuk berdoa, maka jawabannya telah bersamanya."

Taufik dan pertolongan Allah datang sesuai dengan niat, tekad, keinginan, dan semangat hamba. Pertolongan Allah turun kepada para hamba sesuai kadar semangat, keteguhan, keinginan, dan rasa takut mereka, sedangkan kehinaan turun sesuai dengan kadar itu juga. Allah Mahabijaksana dan Maha Mengetahui, menempatkan taufik dan kehinaan pada tempat yang tepat. Tidak ada yang tertimpa keburukan kecuali karena menyia-nyiakan rasa syukur dan meninggalkan rasa butuh serta doa. Dan tidak ada yang meraih kemenangan kecuali dengan kehendak Allah dan pertolongan-Nya melalui syukur, rasa butuh yang tulus, dan doa. Pokok dari semua itu adalah sabar, karena sabar bagi iman seperti kepala bagi tubuh. Jika kepala dipotong, maka tidak ada kehidupan bagi tubuh.

Tidak ada hukuman yang lebih berat bagi seorang hamba daripada kerasnya hati dan jauh dari Allah.
Neraka diciptakan untuk meleburkan hati yang keras. Hati yang paling jauh dari Allah adalah hati yang keras. Jika hati keras, maka mata pun menjadi kering (tidak menangis). Kekerasan hati berasal dari empat hal yang melampaui kebutuhan, yaitu: makan, tidur, bicara, dan pergaulan.

Sebagaimana tubuh yang sakit tak berguna makanan dan minuman, begitu pula hati yang sakit karena syahwat tidak bermanfaat nasihat. Siapa yang ingin hatinya bening, hendaklah ia mengutamakan Allah atas syahwatnya. Hati yang terikat pada syahwat terhalangi dari Allah sesuai kadar keterikatannya pada syahwat.

Hati adalah wadah Allah di bumi-Nya, maka yang paling dicintai-Nya adalah yang paling lembut, paling keras (tegar dalam kebenaran), dan paling jernih. Mereka yang menyibukkan hati mereka dengan dunia, jika saja mereka sibukkan dengan Allah dan akhirat, niscaya hati mereka akan berkelana dalam makna firman-Nya, ayat-ayat-Nya yang terlihat, dan kembali kepada mereka dengan hikmah-hikmah menakjubkan dan faedah-faedah indah.

Jika hati diberi makan dengan zikir, disirami dengan tafakkur, dan dibersihkan dari penyakit, maka ia akan melihat keajaiban dan diilhami hikmah. Tidak setiap orang yang mengaku memiliki makrifat dan hikmah benar-benar memilikinya. Orang-orang yang benar-benar memiliki makrifat dan hikmah adalah mereka yang menghidupkan hati mereka dengan mematikan hawa nafsu, sedangkan yang membunuh hati adalah mereka yang menghidupkan hawa nafsunya. Makrifat dan hikmah hanya sekadar ucapan di lisan mereka.

Kerusakan hati datang dari rasa aman (tertipu) dan kelalaian. Kemakmurannya berasal dari rasa takut dan zikir. Jika hati zuhud dari hidangan dunia, maka ia akan duduk di atas hidangan akhirat bersama orang-orang yang diundang. Tapi jika ia ridha pada hidangan dunia, ia akan luput dari hidangan akhirat.

Kerinduan kepada Allah dan perjumpaan dengan-Nya adalah angin sejuk yang meniup hati, menenangkan dari panasnya dunia. Siapa yang menempatkan hatinya di sisi Rabb-nya, ia akan merasa tenang dan nyaman. Siapa yang melepaskannya pada manusia, ia akan gelisah dan tak tenang.

Cinta kepada Allah tidak akan masuk ke dalam hati yang dipenuhi cinta dunia, kecuali seperti unta yang masuk ke lubang jarum. Jika Allah mencintai seorang hamba, Dia akan memilihnya untuk diri-Nya, menjadikannya sibuk dengan-Nya, lisannya sibuk dengan zikir, anggota tubuhnya dengan ibadah.

Hati bisa sakit sebagaimana tubuh sakit, dan obatnya adalah taubat dan menjauhi maksiat.
Hati bisa berkarat sebagaimana cermin berkarat, dan pengkilapnya adalah zikir. Hati bisa telanjang sebagaimana tubuh, dan perhiasannya adalah takwa. Hati bisa lapar dan haus sebagaimana tubuh, dan makanannya adalah makrifat, cinta, tawakal, kembali pada Allah, dan ibadah.

Jangan lalai terhadap Dzat yang telah menentukan ajalmu dan batas hidupmu, serta dari segala sesuatu selain-Nya, karena kamu pasti membutuhkan-Nya.

Siapa yang meninggalkan perencanaan dan perhitungan untuk mencari dunia, kekuasaan, atau menyelamatkan diri dari musuh, dan bersandar sepenuhnya kepada Allah, percaya pada pilihan-Nya, maka ia akan tenang dan ridha. Ia akan bebas dari kecemasan, kesedihan, dan tekanan. Sebaliknya, siapa yang memilih mengatur hidupnya sendiri, ia akan jatuh ke dalam kesempitan, kelelahan, dan keburukan.

Tidak ada hidup yang tenang, tidak ada hati yang bahagia, tidak ada amal yang tumbuh, tidak ada harapan yang kokoh, dan tidak ada ketenangan yang abadi, kecuali dengan berserah diri pada Allah.

Allah memudahkan jalan menuju-Nya, namun Dia menghalangi manusia dengan perencanaan mereka sendiri. Jika mereka ridha dengan perencanaan Allah, tenang dengan pilihan-Nya, maka hijab itu akan tersingkap. Hati akan sampai kepada-Nya dan merasa tenteram.

Orang yang bertawakal tidak meminta kepada selain Allah, tidak menolak keputusan-Nya, dan tidak menyimpan sesuatu dari-Nya. Siapa yang sibuk dengan dirinya, maka ia akan sibuk dari selainnya. Tapi siapa yang sibuk dengan Rabb-nya, ia akan sibuk dari dirinya sendiri.

Ikhlas adalah sesuatu yang tidak diketahui malaikat untuk dicatat, tidak diketahui musuh untuk dirusak, dan tidak membuat pemiliknya bangga hingga ia membatalkannya.

Ridha adalah ketenangan hati dalam arus takdir.
Manusia tersiksa di dunia sesuai kadar keterikatan hati mereka pada dunia.

Hati memiliki enam tempat yang ia jelajahi, tiga rendah dan tiga tinggi:

Yang rendah: dunia yang menghiasinya, nafsu yang membisikinya, musuh yang menggodanya.

Yang tinggi: ilmu yang membimbingnya, akal yang mengarahkannya, dan Ilah (Tuhan) yang ia sembah.


Sumber segala kerusakan adalah mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan.
Mengikuti hawa nafsu membutakan dari kebenaran, dan panjang angan-angan membuat lupa pada akhirat.

Tak akan mencium bau kejujuran orang yang suka berdusta kepada dirinya atau memanipulasi orang lain.
Jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, Dia menjadikannya sadar akan dosanya, menahan diri dari membicarakan dosa orang lain, dermawan dengan apa yang dimilikinya, tidak rakus terhadap milik orang lain, dan sabar terhadap gangguan orang lain. Jika Allah menghendaki keburukan padanya, maka sebaliknya terjadi.

Semangat yang tinggi selalu berputar di tiga hal:

1. Mengenali sifat-sifat Allah yang tinggi — maka semakin mengenal, semakin besar cinta dan keinginannya.


2. Mengingat karunia Allah — maka semakin besar syukur dan ketaatannya.


3. Mengingat dosa — maka semakin besar taubat dan rasa takutnya.



Jika semangat itu bergantung pada selain tiga hal ini, maka ia akan berkeliaran di lembah bisikan dan khayalan.

Siapa yang mencintai dunia, maka dunia akan melihat pada nilai orang tersebut, dan menjadikannya pelayan dan budaknya. Tapi siapa yang berpaling dari dunia, maka dunia melihat kebesarannya, melayaninya, dan tunduk kepadanya.

Perjalanan (spiritual) hanya bisa diselesaikan dengan terus berjalan di jalan yang lurus dan melalui malam.
Jika seorang musafir menyimpang dari jalan dan tidur sepanjang malam, maka kapan ia akan sampai ke tujuannya?


---

Diterjemahkan dari Al-Fawa'id oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 



Read more...

Tuesday, April 1, 2025

Hal-hal Pokok yang Dapat Digunakan untuk Mengenali Bahwa Suatu Hadis Adalah Maudhu‘ (Palsu) #1.

Bab


Kami ingin memberi peringatan tentang hal-hal pokok yang dapat digunakan untuk mengenali bahwa suatu hadis adalah maudhu‘ (palsu).

Di antaranya adalah: hadis tersebut memuat hal-hal yang sangat berlebihan, yang tidak mungkin diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal seperti ini sangat banyak.

Contohnya seperti dalam hadis palsu berikut:
"Barangsiapa yang mengucapkan La ilaha illallah, maka Allah menciptakan dari kalimat itu seekor burung yang memiliki tujuh puluh ribu lidah, setiap lidah memiliki tujuh puluh ribu bahasa yang semuanya memohonkan ampunan untuknya."

Atau hadis lain yang berbunyi:
"Barangsiapa melakukan ini dan itu, maka ia akan diberi di surga tujuh puluh ribu kota, di setiap kota ada tujuh puluh ribu istana, dan di setiap istana ada tujuh puluh ribu bidadari."

Dan contoh-contoh semacam ini yang mustahil keluar dari lisan Rasul.

Orang yang membuat hadis seperti ini pasti tidak lepas dari dua kemungkinan:

1. Ia adalah orang yang sangat bodoh dan dungu.


2. Atau ia adalah seorang zindiq (munafik/kafir yang pura-pura Islam) yang sengaja ingin merendahkan dan memperolok Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dan meskipun sebagian orang menyatakan sanadnya sahih, namun akal sehat menjadi saksi bahwa hadis itu palsu. Karena kita melihat sendiri bahwa bersin dan kebohongan bisa terjadi secara bersamaan. Seandainya seratus ribu orang bersin ketika mendengar sebuah hadis yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hal itu tidak bisa dijadikan bukti kebenaran hadis tersebut hanya karena mereka bersin. Demikian juga, jika mereka bersin ketika mendengar kesaksian palsu, hal itu tidak menjadikannya benar.

Demikian pula hadis: “Hendaklah kalian makan lentil, karena ia adalah makanan yang penuh berkah, melembutkan hati, dan di dalamnya telah disucikan tujuh puluh nabi.”

Abdullah bin al-Mubarak pernah ditanya tentang hadis ini, dan dikatakan kepadanya bahwa hadis tersebut diriwayatkan darinya. Ia menjawab: “Dariku?!”

Kemuliaan paling tinggi dari lentil hanyalah bahwa ia adalah makanan kesukaan orang Yahudi. Seandainya benar ada satu nabi yang disucikan karena lentil, tentu ia akan menjadi obat penyembuh segala penyakit. Lalu bagaimana mungkin ada tujuh puluh nabi disucikan karenanya?! Padahal Allah Ta‘ala menyebut lentil sebagai makanan yang lebih rendah (adnā) dalam ayat-Nya [Al-Baqarah: 61] dibandingkan manna dan salwa, dan menyandingkannya dengan bawang putih dan bawang merah. Apakah engkau menyangka bahwa para nabi Bani Israil disucikan karena makanan yang seperti ini?

Dan di antara mudarat (bahaya) yang terdapat pada lentil adalah: dapat memicu gangguan empedu hitam (sawda’), menyebabkan perut kembung, angin yang keras, sesak napas, darah kotor, dan berbagai macam gangguan fisik lainnya yang dapat dirasakan secara nyata.

Kemungkinan besar hadis ini dibuat oleh orang-orang yang memilih lentil dibandingkan manna dan salwa, atau orang-orang semisal mereka.

Termasuk pula hadis palsu lainnya seperti:
“Sesungguhnya Allah menciptakan langit dan bumi pada hari ‘Asyura.”

Dan hadis:
“Minumlah ketika sedang makan, maka kalian akan merasa kenyang.”

Padahal kenyataannya, minum saat makan justru merusak makanan, mengganggu proses pencernaannya di lambung, dan menghalangi kematangan makanan secara sempurna.

Contoh lainnya adalah hadis:
“Orang yang paling banyak berdusta adalah para tukang pewarna dan tukang emas.”

Al-Hasan (al-Basri) menolak hadis ini, karena kenyataannya kebohongan pada selain mereka jauh lebih banyak dibandingkan pada para tukang pewarna dan tukang emas. Seperti kaum Rafidhah—mereka adalah makhluk Allah yang paling banyak berdusta—para dukun, orang-orang tarekat sesat, dan para ahli nujum (peramal).

Sebagian orang menakwilkan hadis ini dengan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “tukang pewarna” (ash-shabbāgh) adalah orang yang menambahkan lafaz-lafaz dalam hadis untuk memperindahnya, dan “tukang emas” (ash-shawwāgh) adalah orang yang merangkai (membuat-buat) hadis yang tidak memiliki asal-usul.

Namun ini hanyalah takwil yang dingin (dipaksakan) untuk membela hadis yang batil.

.... bersambung #2

Diterjemahkan dari Manarul Munif oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 





Read more...

Monday, March 31, 2025

Empat Golongan Manusia dalam Menyikapi Hikmah dan Kekuasaan Allah


Nama Allah Subhanahu wa Ta'ala yang "Al-Hakim" (Yang Maha Bijaksana) mencakup hikmah-Nya dalam penciptaan dan perintah-Nya, baik dalam kehendak syar’i (agama) maupun kehendak kauni (takdir). Dia Maha Bijaksana dalam semua ciptaan-Nya, dan Maha Bijaksana dalam semua yang Dia perintahkan.

Manusia dalam hal ini terbagi menjadi empat golongan:

Golongan pertama: Mereka yang mengingkari kekuasaan dan hikmah-Nya. Mereka tidak menetapkan bahwa Allah memiliki kekuasaan maupun kebijaksanaan, seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang menafikan bahwa Allah adalah pelaku yang memiliki kehendak. Mereka meyakini bahwa alam semesta muncul dari-Nya melalui keharusan (keharusan zat), bukan melalui kekuasaan dan kehendak. Mereka menyebut hikmah yang ada dengan istilah "perhatian ilahi", namun ini sangat kontradiktif, karena tidak mungkin ada yang disebut bijaksana tanpa memiliki kemampuan dan kehendak. Mereka menamakan segala kebaikan dan kemanfaatan di dunia ini sebagai “perhatian ilahi”, namun tidak mengaitkannya dengan kehendak ataupun hikmah Tuhan.

Golongan ini, sebagaimana mereka mendustakan seluruh rasul dan kitab, juga bertentangan dengan akal sehat dan fitrah. Mereka menisbatkan kepada Tuhan kekurangan yang paling besar, dan menjadikan setiap makhluk yang memiliki kemampuan, kehendak, dan pilihan lebih sempurna daripada Tuhan mereka, siapa pun makhluk itu. Bahkan, penafian mereka terhadap kekuasaan, kehendak, dan perbuatan Allah jauh lebih buruk daripada syirik para penyembah berhala, dan lebih buruk daripada ucapan kaum Nasrani yang mengatakan bahwa Allah adalah “salah satu dari tiga” dan memiliki istri dan anak – Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan. Sebab kaum Nasrani masih menetapkan bagi Allah kekuasaan, kehendak, dan perbuatan yang bersifat pilihan, serta hikmah – meskipun mereka menyifati-Nya dengan hal-hal yang tidak layak. Adapun golongan yang pertama tadi, mereka menafikan rububiyyah dan kekuasaan-Nya sepenuhnya, serta menetapkan bagi-Nya nama-nama tanpa hakikat dan makna.

Golongan kedua: Mereka mengakui kekuasaan Allah dan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya yang menyeluruh terhadap semua makhluk, namun mereka mengingkari hikmah-Nya serta tujuan-tujuan mulia dari ciptaan-Nya yang menjadi maksud dari perbuatan dan perintah-Nya. Mereka menetapkan takdir tetapi menolak hikmah. Golongan ini adalah mereka yang menafikan adanya ta’lil (penyebab), sebab, kekuatan, dan tabiat dalam makhluk. Menurut mereka, Allah tidak berbuat karena sesuatu atau demi sesuatu. Dalam pandangan mereka, tidak ada huruf lām (لـ) yang menunjukkan sebab atau tujuan dalam Al-Qur’an, juga tidak ada huruf bā’ (بـ) yang menunjukkan sebab. Setiap lām yang secara lahir menunjukkan tujuan, mereka tafsirkan sebagai lām akibat, dan setiap bā’ yang menunjukkan penyebab, mereka tafsirkan sebagai bā’ penyertaan.

Golongan ini kemudian diserang oleh para penolak takdir atas dasar penafian mereka terhadap hikmah, ta’lil, dan sebab-sebab. Para penolak takdir ini memanfaatkan cela tersebut dan memperbesar aib mereka. Demi Allah, sungguh mereka benar dalam banyak hal yang mereka jadikan celaan, karena penafian terhadap hikmah, ta’lil, dan sebab-sebab memang membawa konsekuensi yang sangat buruk.

“Komitmen terhadap pendapat tersebut merupakan bentuk keras kepala yang nyata menurut akal sehat kebanyakan manusia.”

Golongan ketiga: Mereka mengakui hikmah Allah, menetapkan adanya sebab-sebab, tujuan, dan maksud dalam perbuatan serta hukum-Nya, namun mereka mengingkari kesempurnaan kekuasaan-Nya. Mereka menafikan bahwa Allah memiliki kekuasaan terhadap sebagian besar alam semesta, khususnya yang paling mulia di dalamnya: amal perbuatan para malaikat, jin, dan manusia serta ketaatan mereka. Menurut mereka, semua itu tidak berada dalam kekuasaan Allah, dan Allah tidak disifati memiliki kekuasaan atasnya, tidak termasuk dalam kehendak-Nya maupun dalam kerajaan-Nya. Mereka berpendapat bahwa tidak ada dalam kekuasaan Allah untuk menjadikan seseorang beriman atau seorang yang shalat menjadi orang yang mendirikan shalat, atau menjadikan seseorang memperoleh taufik—bahkan menurut mereka, manusialah yang menciptakan dirinya sendiri dalam keadaan seperti itu. Mereka juga meyakini bahwa amal perbuatan makhluk, baik dari malaikat, jin, maupun manusia, terjadi tanpa kehendak dan pilihan Allah—Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan.

Golongan ini kemudian dihantam oleh para penolak hikmah, tujuan, dan sebab, yang menyerang mereka dari berbagai arah, mencela dan menampakkan kontradiksi mereka. Mereka melontarkan berbagai celaan dan tuduhan berat terhadap golongan ini. Sebab, penafian terhadap kekuasaan Allah atas sebagian kerajaan-Nya membawa konsekuensi yang sangat buruk, tercela, dan merusak akidah. Mempertahankan keyakinan ini adalah bentuk pembangkangan nyata di hadapan akal sehat manusia kebanyakan. Namun jika mereka menolak untuk berkomitmen terhadap pendapat itu, maka berarti mereka berada dalam kontradiksi yang jelas. Maka akhirnya, mereka berada dalam posisi yang terombang-ambing antara dua hal: kontradiksi (yang itu adalah kondisi terbaik mereka) atau komitmen terhadap keyakinan-keyakinan berbahaya yang bisa mengeluarkan seseorang dari keimanan—sebagaimana halnya dengan para penolak hikmah, sebab, dan tujuan dari perbuatan Allah.

Maka Allah memberi petunjuk kepada golongan keempat terhadap kebenaran yang diperselisihkan oleh golongan-golongan sebelumnya, dengan izin-Nya:
“Dan Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqarah: 213)

Mereka beriman kepada seluruh isi kitab (wahyu), menerima seluruh kebenaran, menyetujui setiap golongan atas bagian kebenaran yang mereka miliki, dan menolak bagian kebatilan dari setiap golongan. Mereka meyakini bahwa seluruh ciptaan dan perintah Allah terjadi dengan kekuasaan dan syariat-Nya, dan bahwa Dialah yang Maha Terpuji dalam ciptaan dan perintah-Nya. Mereka meyakini bahwa Dia memiliki hikmah yang mendalam, nikmat yang sempurna, dan bahwa Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada satu pun dari hal-hal yang ada—baik zat, perbuatan, maupun sifat-sifatnya—yang keluar dari kekuasaan-Nya, sebagaimana tidak ada yang luput dari ilmu-Nya. Semua yang diketahui oleh ilmu-Nya, maka juga termasuk dalam kekuasaan dan kehendak-Nya.

Mereka juga meyakini bahwa Allah memiliki hujjah (argumen yang kuat) terhadap makhluk-Nya, dan bahwa tidak ada seorang pun yang memiliki hujjah terhadap Allah, melainkan Allahlah yang memiliki hujjah yang sempurna. Andaikan Allah mengazab seluruh penduduk langit dan bumi, niscaya Dia mengazab mereka tanpa berlaku zalim kepada mereka. Bahkan, azab-Nya merupakan bentuk keadilan dan hikmah, bukan semata-mata karena kehendak-Nya yang tanpa sebab dan hikmah, sebagaimana yang diyakini oleh kaum Jabariyyah.

Mereka tidak menjadikan takdir sebagai alasan bagi diri mereka maupun bagi orang lain. Mereka beriman kepada takdir tetapi tidak menjadikannya sebagai hujjah, dan mereka mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menganugerahkan kepada mereka ketaatan, dan bahwa ketaatan itu adalah bagian dari nikmat, karunia, dan kebaikan Allah kepada mereka. Sedangkan maksiat adalah berasal dari jiwa mereka sendiri yang zalim.
Mereka (golongan keempat) tidak seperti orang-orang yang jahil, yang menyandarkan dosa kepada takdir. Mereka mengetahui bahwa para pelaku maksiatlah yang sebenarnya melakukan dosa itu sendiri dan mereka sendirilah yang melakukannya. Mereka tidak menjadikan dosa sebagai dalih atas qadha dan qadar, meskipun mereka mengetahui bahwa ketetapan dan takdir Allah mencakup seluruh yang ada di alam ini—baik kebaikan maupun keburukan, ketaatan maupun kemaksiatan, kekufuran maupun keimanan. Mereka meyakini bahwa kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala meliputi semuanya sebagaimana ilmu-Nya meliputinya.

Mereka meyakini bahwa jika Allah menghendaki agar maksiat tidak terjadi, niscaya maksiat tidak akan terjadi. Dan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala terlalu mulia dan agung untuk didurhakai secara paksa. Sedangkan para hamba terlalu lemah dan hina untuk bisa memaksakan maksiat terhadap-Nya. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan segala sesuatu yang ada adalah atas kehendak-Nya. Apa yang tidak Dia kehendaki, tidak akan terjadi. Dan segala yang tidak terjadi, tidak terjadi karena Dia tidak menghendakinya. Maka, milik-Nya-lah penciptaan dan perintah, milik-Nya-lah kerajaan dan segala pujian. Dia memiliki kekuasaan yang sempurna dan hikmah yang mendalam.

Maka golongan ini adalah orang-orang yang memiliki pandangan yang benar dan sempurna.
Sedangkan golongan pertama adalah orang-orang yang buta sepenuhnya, dan golongan kedua serta ketiga adalah orang-orang yang setengah buta (buta sebelah). Masing-masing dari dua golongan tersebut memiliki satu mata yang melihat dan satu mata yang buta. Namun, kebutaan pada satu mata itu menyebar ke mata yang sehat sehingga membuatnya buta juga, atau hampir saja buta.

Dan tidaklah aneh jika kata-kata ini diulang-ulang oleh orang yang mengetahui betapa pentingnya pembahasan ini, dan betapa sangat dibutuhkan oleh jiwa manusia. Meskipun diulang berkali-kali, tetap saja hal ini berada dalam level kebutuhan yang mendesak.

Dan hanya kepada Allah-lah tempat memohon pertolongan.

Diterjemahkan dari Thariq Al-Hijratain oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 


Read more...

Followers

Google Friend Connect

Google Friend Wall

Powered By Blogger

  © Blogger template Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP