Friday, November 28, 2025

Nukilan Penting dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Terkait Nisbat Kekafiran, Kefasikan, dan Kemaksiatan pada Seseorang

"Aku juga selalu—dan siapa saja yang duduk bersamaku mengetahuinya—menjadi salah satu orang yang paling keras melarang untuk menisbatkan kekafiran, kefasikan, atau kemaksiatan kepada individu tertentu, kecuali apabila telah diketahui bahwa hujjah risalah (dalil yang jelas) telah tegak atas dirinya; yang apabila ia menyelisihinya maka ia bisa kafir dalam satu keadaan, fasik dalam keadaan lain, atau bermaksiat dalam keadaan lainnya. Dan aku menegaskan bahwa Allah telah mengampuni kesalahan umat ini. Dan itu mencakup kesalahan dalam masalah-masalah khabariyah (akidah) maupun masalah amaliyah (praktik ibadah). Para salaf senantiasa berselisih dalam banyak masalah, namun tidak ada seorang pun di antara mereka yang memvonis saudaranya sebagai kafir, fasik, atau pelaku maksiat. Sebagaimana ketika Syuraih mengingkari bacaan seseorang terhadap ayat {بَلْ عَجِْبتُ وَيَسْخَرُونَ}, ia berkata: “Allah tidak merasa takjub!” Berita itu sampai kepada Ibrahim an-Nakha‘i, maka ia berkata: “Syuraih hanyalah seorang penyair, ia kagum dengan pengetahuannya sendiri. Abdullah (Ibnu Mas‘ud) lebih tahu darinya, dan beliau membaca: {بَلْ عَجِْبتُ}.” [1] 

Demikian pula Aisyah dan sahabat lain berselisih tentang apakah Nabi Muhammad ﷺ melihat Rabb-nya. Aisyah berkata: “Siapa yang mengklaim bahwa Muhammad melihat Rabb-nya, maka ia telah membuat dusta besar atas nama Allah.” Akan tetapi, kami tidak mengatakan kepada Ibnu Abbas dan yang sepaham dengannya bahwa mereka membuat dusta atas nama Allah. Begitu pula perselisihan tentang apakah orang mati dapat mendengar ucapan orang hidup, atau apakah mayit disiksa karena tangisan keluarganya, dan masalah-masalah lainnya. Bahkan perselisihan di kalangan salaf terkadang sampai menyebabkan peperangan. Namun Ahlus Sunnah sepakat bahwa kedua kelompok itu tetap beriman. Peperangan tidak menghilangkan keadilan (integritas) mereka, karena pihak yang memerangi meskipun mungkin zalim, ia tetap dianggap memiliki takwil, dan takwil itu mencegahnya dari kefasikan. Aku juga menjelaskan kepada mereka bahwa apa yang dinukil dari salaf dan para imam tentang pernyataan umum “siapa yang mengatakan begini, maka ia kafir” juga benar. Tetapi harus dibedakan antara hukum secara umum dan penerapannya kepada individu tertentu. Ini adalah masalah pertama yang diperselisihkan umat dalam masalah ushul besar, yaitu masalah wa‘id (ancaman). Nash-nash Al-Qur’an tentang ancaman bersifat umum, seperti firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim…” dan setiap ancaman yang berbunyi “siapa yang melakukan ini, maka baginya hukuman itu.” Semua ini bersifat umum. Ia seperti perkataan sebagian salaf: “Siapa yang mengatakan begini, maka ia demikian.” Namun untuk individu tertentu, hukum ancaman dapat gugur karena taubat, amal baik yang menghapus dosa, musibah yang menggugurkan dosa, atau syafaat yang diterima. 

Takfir (pengkafiran) termasuk jenis ancaman. Walaupun suatu ucapan mengandung pendustaan terhadap Rasul, pelakunya belum tentu kafir. Mungkin orang itu baru masuk Islam, atau tumbuh di pedalaman, sehingga tidak mengetahui hal tersebut. Orang seperti ini tidak langsung kafir hingga tegak hujjah atas dirinya. Bisa jadi ia belum pernah mendengar nash tersebut, atau ia mendengarnya tetapi tidak sah menurutnya, atau ia mengira ada dalil yang menentangnya sehingga ia menakwilkannya—meskipun ia salah. Aku selalu menyebutkan hadits dalam Shahih Bukhari dan Muslim tentang seorang lelaki yang berkata: “Jika aku mati, bakarlah aku, tumbuklah, lalu tebarkan di laut. Demi Allah, jika Allah mampu atasku, Dia pasti akan mengazabku dengan azab yang belum pernah ditimpakan kepada siapa pun.” Maka mereka pun melakukannya. Lalu Allah bertanya kepadanya: “Apa yang mendorongmu melakukan itu?” Ia menjawab: “Rasa takutku kepada-Mu.” Maka Allah mengampuninya. Lelaki ini ragu terhadap kemampuan Allah untuk membangkitkannya, bahkan meyakini bahwa Allah tidak akan mengembalikannya. Ini adalah kekufuran menurut kesepakatan kaum muslimin. Namun ia tidak kafir karena ia tidak mengetahui hal tersebut, dan ia seorang mukmin yang takut akan hukuman Allah—maka Allah mengampuninya. Maka orang yang keliru dalam ijtihad, yang bersungguh-sungguh mengikuti Rasul, lebih berhak mendapatkan ampunan daripada lelaki tersebut." 

Majmu' Fatawa (3/229-231) 
------- 

[1] “( Bahkan Aku merasa heran ) — Hamzah dan Al-Kisā’ī membaca dengan dhammah pada huruf tā’ ( بَلْ عُجِبْتُ ). Ini juga merupakan bacaan Ibnu Mas‘ud dan Ibnu ‘Abbas. Adapun sifat ‘ajab (kagum/heran) dari Allah ‘Azza wa Jalla tidak sama dengan rasa heran pada manusia. Sebagaimana dalam firman-Nya: “Maka mereka mengejek orang-orang mukmin; Allah pun mengejek mereka.” (At-Taubah: 79) Dan firman-Nya: “Mereka telah melupakan Allah, maka Allah pun melupakan mereka.” (At-Taubah: 67) Rasa heran pada manusia maknanya adalah kaget dan menganggap sesuatu besar. Sementara ‘ajab dari Allah Ta‘ala dapat bermakna pengingkaran dan celaan, dan bisa pula bermakna persetujuan serta keridhaan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Rabb kalian merasa ‘ajab (takjub) terhadap seorang pemuda yang tidak memiliki kecenderungan kepada maksiat.” (Tafsir Al-Baghawi)

0 comments:

Followers

Google Friend Connect

Google Friend Wall

Powered By Blogger

  © Blogger template Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP