Nukilan Penting dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Terkait Nisbat Kekafiran, Kefasikan, dan Kemaksiatan pada Seseorang
"Aku juga selalu—dan siapa saja yang duduk bersamaku mengetahuinya—menjadi salah
satu orang yang paling keras melarang untuk menisbatkan kekafiran, kefasikan,
atau kemaksiatan kepada individu tertentu, kecuali apabila telah diketahui bahwa
hujjah risalah (dalil yang jelas) telah tegak atas dirinya; yang apabila ia
menyelisihinya maka ia bisa kafir dalam satu keadaan, fasik dalam keadaan lain,
atau bermaksiat dalam keadaan lainnya. Dan aku menegaskan bahwa Allah telah
mengampuni kesalahan umat ini. Dan itu mencakup kesalahan dalam masalah-masalah
khabariyah (akidah) maupun masalah amaliyah (praktik ibadah). Para salaf
senantiasa berselisih dalam banyak masalah, namun tidak ada seorang pun di
antara mereka yang memvonis saudaranya sebagai kafir, fasik, atau pelaku
maksiat. Sebagaimana ketika Syuraih mengingkari bacaan seseorang terhadap ayat
{بَلْ عَجِْبتُ وَيَسْخَرُونَ}, ia berkata: “Allah tidak merasa takjub!” Berita
itu sampai kepada Ibrahim an-Nakha‘i, maka ia berkata: “Syuraih hanyalah seorang
penyair, ia kagum dengan pengetahuannya sendiri. Abdullah (Ibnu Mas‘ud) lebih
tahu darinya, dan beliau membaca: {بَلْ عَجِْبتُ}.” [1]
Demikian pula Aisyah dan
sahabat lain berselisih tentang apakah Nabi Muhammad ﷺ melihat Rabb-nya. Aisyah
berkata: “Siapa yang mengklaim bahwa Muhammad melihat Rabb-nya, maka ia telah
membuat dusta besar atas nama Allah.” Akan tetapi, kami tidak mengatakan kepada
Ibnu Abbas dan yang sepaham dengannya bahwa mereka membuat dusta atas nama
Allah. Begitu pula perselisihan tentang apakah orang mati dapat mendengar ucapan
orang hidup, atau apakah mayit disiksa karena tangisan keluarganya, dan
masalah-masalah lainnya. Bahkan perselisihan di kalangan salaf terkadang sampai
menyebabkan peperangan. Namun Ahlus Sunnah sepakat bahwa kedua kelompok itu
tetap beriman. Peperangan tidak menghilangkan keadilan (integritas) mereka,
karena pihak yang memerangi meskipun mungkin zalim, ia tetap dianggap memiliki
takwil, dan takwil itu mencegahnya dari kefasikan. Aku juga menjelaskan kepada
mereka bahwa apa yang dinukil dari salaf dan para imam tentang pernyataan umum
“siapa yang mengatakan begini, maka ia kafir” juga benar. Tetapi harus dibedakan
antara hukum secara umum dan penerapannya kepada individu tertentu. Ini adalah
masalah pertama yang diperselisihkan umat dalam masalah ushul besar, yaitu
masalah wa‘id (ancaman). Nash-nash Al-Qur’an tentang ancaman bersifat umum,
seperti firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara zalim…” dan setiap ancaman yang berbunyi “siapa yang melakukan ini, maka
baginya hukuman itu.” Semua ini bersifat umum. Ia seperti perkataan sebagian
salaf: “Siapa yang mengatakan begini, maka ia demikian.” Namun untuk individu
tertentu, hukum ancaman dapat gugur karena taubat, amal baik yang menghapus
dosa, musibah yang menggugurkan dosa, atau syafaat yang diterima.
Takfir
(pengkafiran) termasuk jenis ancaman. Walaupun suatu ucapan mengandung
pendustaan terhadap Rasul, pelakunya belum tentu kafir. Mungkin orang itu baru
masuk Islam, atau tumbuh di pedalaman, sehingga tidak mengetahui hal tersebut.
Orang seperti ini tidak langsung kafir hingga tegak hujjah atas dirinya. Bisa
jadi ia belum pernah mendengar nash tersebut, atau ia mendengarnya tetapi tidak
sah menurutnya, atau ia mengira ada dalil yang menentangnya sehingga ia
menakwilkannya—meskipun ia salah. Aku selalu menyebutkan hadits dalam Shahih
Bukhari dan Muslim tentang seorang lelaki yang berkata: “Jika aku mati, bakarlah
aku, tumbuklah, lalu tebarkan di laut. Demi Allah, jika Allah mampu atasku, Dia
pasti akan mengazabku dengan azab yang belum pernah ditimpakan kepada siapa
pun.” Maka mereka pun melakukannya. Lalu Allah bertanya kepadanya: “Apa yang
mendorongmu melakukan itu?” Ia menjawab: “Rasa takutku kepada-Mu.” Maka Allah
mengampuninya. Lelaki ini ragu terhadap kemampuan Allah untuk membangkitkannya,
bahkan meyakini bahwa Allah tidak akan mengembalikannya. Ini adalah kekufuran
menurut kesepakatan kaum muslimin. Namun ia tidak kafir karena ia tidak
mengetahui hal tersebut, dan ia seorang mukmin yang takut akan hukuman
Allah—maka Allah mengampuninya. Maka orang yang keliru dalam ijtihad, yang
bersungguh-sungguh mengikuti Rasul, lebih berhak mendapatkan ampunan daripada
lelaki tersebut."
Majmu' Fatawa (3/229-231)
-------
[1] “( Bahkan Aku merasa
heran ) — Hamzah dan Al-Kisā’ī membaca dengan dhammah pada huruf tā’ ( بَلْ
عُجِبْتُ ). Ini juga merupakan bacaan Ibnu Mas‘ud dan Ibnu ‘Abbas. Adapun sifat
‘ajab (kagum/heran) dari Allah ‘Azza wa Jalla tidak sama dengan rasa heran pada
manusia. Sebagaimana dalam firman-Nya: “Maka mereka mengejek orang-orang mukmin;
Allah pun mengejek mereka.” (At-Taubah: 79) Dan firman-Nya: “Mereka telah
melupakan Allah, maka Allah pun melupakan mereka.” (At-Taubah: 67) Rasa heran
pada manusia maknanya adalah kaget dan menganggap sesuatu besar. Sementara ‘ajab
dari Allah Ta‘ala dapat bermakna pengingkaran dan celaan, dan bisa pula bermakna
persetujuan serta keridhaan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Rabb kalian
merasa ‘ajab (takjub) terhadap seorang pemuda yang tidak memiliki kecenderungan
kepada maksiat.” (Tafsir Al-Baghawi)



0 comments:
Post a Comment