Ikhtilaf Ulama: Sebab, Prinsip, dan Contoh dari Generasi Sahabat hingga Imam Mazhab
Tentang sebab-sebab perbedaan yang terjadi di antara para imam setelah mereka sepakat pada satu landasan yang sama dan merujuk kepadanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya
Al-Humaydī menyebutkan dalam bab ini satu kutipan dari perkataan Abū Muḥammad Ibn Ḥazm—dan ini termasuk perkataan beliau yang terbaik—maka kami menukilkannya sesuai lafazhnya. Al-Humaydī berkata:
“Al-Ḥāfiẓ Abū Muḥammad ‘Alī bin Aḥmad bin Sa‘īd al-Yazīdī al-Fārisī menuturkan, dalam penjelasan tentang pokok perbedaan syar‘i dan sebab-sebabnya:
> Jiwa (penuntut ilmu), setelah yakin bahwa dasar yang disepakati dan menjadi rujukan hanyalah satu—yaitu apa yang datang dari pemilik syariat; baik dalam Al-Qur’an, atau dari perbuatan dan perkataan beliau yang dalam hal itu tidak berbicara dari hawa nafsu—ketika ia melihat dan menyaksikan adanya perbedaan di kalangan ulama umat ini pada perkara-perkara yang jalurnya satu dan asalnya tidak berbeda, maka ia pun meneliti sebab yang menimbulkan perbedaan itu, dan mengapa sebagian orang meninggalkan banyak sunnah yang sahih.
Setelah dilakukan penelusuran dan penelitian, jelaslah bahwa setiap ulama adalah manusia yang bisa lupa sebagaimana manusia lainnya. Boleh jadi seseorang hafal sebuah hadis tetapi saat memberi fatwa ia tidak teringat, lalu berfatwa menyelisihinya. Hal seperti ini juga bisa terjadi pada ayat-ayat Al-Qur’an.
Tidaklah engkau melihat bahwa ‘Umar r.a. pernah memerintahkan dari atas mimbar agar mahar perempuan tidak melebihi jumlah tertentu—condong kepada (fakta) bahwa Nabi ﷺ tidak melebihi jumlah itu dalam mahar istri-istri beliau—hingga ada seorang wanita dari sisi masjid yang mengingatkan beliau dengan firman Allah Ta‘ālā: “Dan jika kamu telah memberikan kepada salah seorang di antara mereka harta yang banyak (qinthār), maka janganlah kamu mengambil kembali darinya.” (QS an-Nisā’: 20). Maka beliau pun meninggalkan pendapatnya dan berkata, “Setiap orang lebih tahu darimu, bahkan para wanita.”
—Dalam riwayat lain: “Seorang wanita benar, sedangkan seorang laki-laki (yakni beliau sendiri) salah.”—
Beliau mengetahui bahwa meskipun Nabi ﷺ tidak menambah (mahar) atas jumlah tertentu, namun beliau tidak melarang selainnya; dan ayat itu bersifat lebih umum.
Demikian pula, beliau (‘Umar) pernah memerintahkan merajam seorang wanita yang melahirkan (bayi) dalam enam bulan. Lalu ‘Alī r.a. mengingatkan dengan firman Allah Ta‘ālā: “Masa mengandung dan menyapihnya adalah tiga puluh bulan” (QS al-Aḥqāf: 15), bersamaan dengan firman-Nya: “Para ibu menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh” (QS al-Baqarah: 233). Maka beliau pun rujuk dari perintah merajamnya.
Beliau juga hendak bersikap keras kepada ‘Uyaynah bin Ḥiṣn karena kekasarannya, hingga al-Ḥurr bin Qays mengingatkan beliau dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Berpalinglah dari orang-orang bodoh.” (QS al-A‘rāf: 199), maka ‘Umar pun menahan diri.
Dan pada hari wafatnya Rasulullah ﷺ, ‘Umar berkata: “Demi Allah, Rasulullah tidak wafat; beliau tidak akan wafat hingga (menjadi) yang terakhir dari kita (yang wafat).” Hingga dibacakan kepadanya ayat: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati, dan sesungguhnya mereka pun akan mati.” (QS az-Zumar: 30), maka beliau pun kembali (dari ucapannya). Beliau sebenarnya mengetahui ayat itu, hanya saja beliau lupa karena besarnya musibah yang menimpanya.
> Adakalanya seorang alim mengingat ayat atau sunnah, namun ia menakwilkannya dengan sebuah takwil—dengan menganggapnya khusus, atau mansūkh (terhapus), atau memberi makna tertentu—meski semua itu membutuhkan dalil.
Tidak diragukan, para sahabat r.a. dahulu di Madinah berkumpul di sekitar beliau ﷺ; mereka adalah orang-orang yang juga mencari nafkah, dalam keterbatasan bekal. Ada yang bekerja di pasar, ada yang mengurus pohon kurmanya. Pada setiap waktu, sebagian dari mereka menghadiri majelis Nabi ﷺ ketika mendapati sedikit kelonggaran dari kesibukannya. Abū Hurairah menegaskan: “Saudara-saudaraku dari kalangan Muhājirīn disibukkan jual-beli di pasar; saudara-saudaraku dari kalangan Anṣār disibukkan mengurus kebun-kebun kurma mereka; sedangkan aku adalah seorang miskin yang menyertai Rasulullah ﷺ demi (sekadar) mengenyangkan perutku.”
Dan ‘Umar r.a. berkata (dalam kisah izin masuk Abū Mūsā): “Aku dilalaikan oleh jual-beli di pasar.”
Nabi ﷺ ditanya tentang suatu persoalan, menetapkan hukum, memerintahkan sesuatu, dan melakukan sesuatu; maka yang hadir menghafalnya, sedangkan yang tidak hadir luput darinya.
Tatkala beliau ﷺ wafat, lalu Abū Bakar memegang tampuk kepemimpinan; bila ada perkara yang datang dan tidak ada nash padanya di sisi beliau, beliau bertanya kepada para sahabat yang ada. Jika mereka memiliki nash, beliau kembali kepadanya; jika tidak, beliau berijtihad dalam memutuskan. Ijtihad beliau—dan ijtihad para sahabat lainnya r.a.—kembali pada nash yang umum, atau kepada asal kebolehan yang terdahulu, atau yang semisalnya yang kembali kepada pokok (usul). Tidak boleh seorang pun menyangka bahwa ijtihad salah seorang dari mereka adalah mensyariatkan sebuah syariat baru melalui ijtihad, atau menciptakan hukum tanpa dasar. Maha suci Allah; jauh dari mereka hal demikian.
Ketika ‘Umar r.a. memimpin, negeri-negeri ditaklukkan dan para sahabat berpencar di berbagai daerah. Sering suatu perkara diputuskan di Makkah atau selainnya; jika para sahabat yang hadir memiliki nash, diputuskanlah dengannya; jika tidak, mereka berijtihad. Padahal mungkin pada perkara itu ada nash yang dimiliki sahabat lain di negeri lain.
Orang Madinah menyaksikan (hadir pada) hal-hal yang tidak disaksikan (oleh) orang Mesir; orang Mesir menyaksikan yang tidak disaksikan orang Syam; orang Syam menyaksikan yang tidak disaksikan orang Baṣrah; orang Baṣrah menyaksikan yang tidak disaksikan orang Kūfah; orang Kūfah menyaksikan yang tidak disaksikan orang Baṣrah; orang Madinah menyaksikan yang tidak disaksikan orang Kūfah dan Baṣrah—semua ini ada dalam atsar dan dituntut oleh kondisi yang kami sebutkan: sebagian mereka tidak hadir di majelis beliau pada sebagian waktu, sementara yang lain hadir; kemudian yang hadir (pada waktu itu) suatu ketika tidak hadir, dan yang dulu tidak hadir lalu hadir. Maka masing-masing mengetahui apa yang ia hadiri dan luput dari apa yang tidak ia hadiri—ini perkara yang teramati.
Contohnya, pengetahuan tentang tayammum ada pada ‘Ammār dan selainnya, tetapi luput dari ‘Umar dan Ibn Mas‘ūd; hingga keduanya berkata: “Orang junub tidak bertayammum, walaupun tidak mendapatkan air selama dua bulan.”
Hukum mengusap khuf (sepatu) diketahui oleh ‘Alī dan Ḥudhayfah, namun tidak diketahui oleh ‘Ā’isyah, ‘Umar, dan Abū Hurairah—padahal mereka penduduk Madinah.
Hukum mewariskan cucu perempuan (bint al-ibn) bersama anak perempuan diketahui oleh Ibn Mas‘ūd, luput dari Abū Mūsā.
Hukum izin (istidzān) diketahui oleh Abū Mūsā, Abū Sa‘īd al-Khudrī, dan Ubayy, namun luput dari ‘Umar.
Hukum kebolehan wanita haid meninggalkan (Makkah) sebelum thawaf (ifadah) diketahui oleh Ibn ‘Abbās dan Ummu Sulaym, sementara Ibn ‘Umar dan Zayd bin Thābit tidak mengetahuinya.
Hukum (nikah) mut‘ah dan (memakan) keledai jinak diketahui oleh ‘Alī dan selainnya, sementara Ibn ‘Abbās tidak mengetahuinya.
Hukum ṣarf (pertukaran uang/barang ribawi) diketahui oleh ‘Umar, Abū Sa‘īd, dan selainnya, namun luput dari Ṭalḥah, Ibn ‘Abbās, dan Ibn ‘Umar.
Demikian pula, hukum pengusiran ahludz-dzimmah dari Jazirah Arab diketahui oleh Ibn ‘Abbās dan ‘Umar; ‘Umar melupakannya bertahun-tahun lalu membiarkan mereka, hingga ketika diingatkan beliau pun ingat kembali dan mengusir mereka.
Hal-hal seperti itu banyak.
Para sahabat berjalan di atas cara demikian; kemudian generasi tabi‘in setelah mereka—yang mengambil dari para sahabat—datang. Setiap lapisan tabi‘in di negeri-negeri yang kami sebutkan, mereka berfiqih kepada sahabat yang ada di negeri mereka; mereka tidak keluar dari fatwa-fatwa para sahabat tersebut—bukan karena taqlid buta, tetapi karena mereka mengambil dan meriwayatkan dari mereka—kecuali sedikit dari apa yang sampai kepada mereka dari sahabat lain di negeri lain. Misalnya, penduduk Madinah lebih banyak mengikuti fatwa Ibn ‘Umar; penduduk Makkah banyak mengikuti fatwa Ibn ‘Abbās; penduduk Kūfah banyak mengikuti fatwa Ibn Mas‘ūd.
Lalu datang sesudah tabi‘in, para fuqahā’ di berbagai negeri: Abū Ḥanīfah, Sufyān, dan Ibn Abī Laylā di Kūfah; Ibn Jurayj di Makkah; Mālik dan Ibn al-Mājishūn di Madinah; ‘Uthmān al-Battī dan Sawwār di Baṣrah; al-Awzā‘ī di Syam; dan al-Layth di Mesir. Mereka semua berjalan di atas metode itu: masing-masing mengambil dari tabi‘in di negerinya—dan tabi‘in itu dari para sahabat—dalam hal yang ada (riwayatnya) di sisi mereka; serta berijtihad dalam perkara yang tidak (ada nash yang) sampai kepada mereka, walaupun (mungkin) ada di sisi selain mereka. Dan Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kemampuannya.
Semua yang kami sebutkan itu berpahala: yang benar mendapat dua pahala, yang keliru mendapat satu pahala. Allah Ta‘ālā berfirman: “Agar aku memperingatkan kalian dengannya dan (juga) orang yang sampai (kepadanya peringatan ini).” (QS al-An‘ām: 19).
Adakalanya seorang dari mereka mendapati dua nash yang lahiriahnya tampak bertentangan; lalu ia condong kepada salah satunya dengan ragam bentuk tarjih, sementara yang lain condong kepada nash yang satunya—yang ditinggalkan oleh yang pertama—dengan bentuk tarjih yang lain. Seperti riwayat dari ‘Uthmān bin ‘Affān tentang (menyatukan) dua saudari (dalam nikah): “Ada ayat yang menghalalkan keduanya, dan ada ayat yang mengharamkan keduanya.” Dan seperti kecenderungan Ibn ‘Umar kepada pengharaman (menikahi) perempuan Ahli Kitab secara umum berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “Janganlah kalian menikahi perempuan musyrik sampai mereka beriman” (QS al-Baqarah: 221). Ia berkata: “Aku tidak mengetahui kesyirikan yang lebih besar daripada ucapan seorang perempuan: ‘Sesungguhnya ‘Īsā adalah Tuhanku.’” Maka ia menguatkan (ayat ini) di atas kebolehan yang dinyatakan dalam ayat yang lain. Dan semacam ini banyak contohnya.
Atas sebab-sebab seperti itulah sebagian ulama meninggalkan sebagian hadis dan ayat; dan atas sebab-sebab itu pula para ulama lain menyelisihi mereka: yang ini mengambil apa yang ditinggalkan oleh yang itu, dan yang itu mengambil apa yang ditinggalkan oleh yang ini—bukan dengan sengaja menyelisihi nash dan bukan untuk meninggalkannya, melainkan karena salah satu uzur yang kami sebutkan: lupa, belum sampai dalil kepadanya, adanya takwil tertentu, atau berpegang pada berita (hadis) yang lemah—sementara ia tidak mengetahui kelemahan para perawinya—sedangkan yang lain mengetahuinya, lalu ia mengambil hadis lain yang lebih sahih, atau zahir sebuah ayat. Bisa juga sebagian mereka menangkap dari nash-nash itu suatu makna dan terlintas darinya sebuah hukum melalui sebuah dalil, sementara yang lain tidak menangkapnya.
Kemudian perjalanan (ilmu) kian jauh ke berbagai wilayah, manusia saling berbaur; datanglah orang-orang yang mengambil tugas menghimpun hadis Nabi ﷺ, mengumpulkan dan menuliskannya; maka hadis-hadis dari negeri-negeri jauh pun sampai kepada orang-orang yang sebelumnya tidak memilikinya. Hujjah pun tegak atas siapa saja yang telah sampai kepadanya sesuatu darinya; terkumpul hadis-hadis yang menjelaskan keshahihan salah satu takwil yang ditakwilkan dalam sebuah hadis; dikenal mana yang sahih dan mana yang sakit; dan ijtihad yang mengantarkan kepada penyelisihan sabda Rasulullah ﷺ dan meninggalkan amal beliau pun tertolak. Dengan sampainya sunnah itu (kepada seseorang) dan tegaknya hujjah atasnya, gugurlah uzur orang yang menyelisihinya; yang tersisa hanyalah sikap keras kepala dan taqlid.
Di atas jalan inilah para sahabat r.a. dan banyak dari tabi‘in: mereka menempuh perjalanan hari-hari lamanya demi mencari satu hadis, untuk mengamalkan sunnah.
Abū Ayyūb berangkat dari Madinah ke Mesir hanya karena satu hadis kepada ‘Uqbah bin ‘Āmir. ‘Alqamah dan al-Aswad bepergian kepada ‘Ā’isyah dan Ibn ‘Umar. ‘Alqamah bepergian kepada Abū Dardā’ di Syam. Mu‘āwiyah menulis surat kepada al-Mughīrah bin Shu‘bah: “Tulislah kepadaku apa saja yang engkau dengar dari Rasulullah ﷺ.” Dan yang semisal ini banyak.”
Selesai (kutipan ucapannya).
Disadur dari Shawa'iwul Mursalah, Ibnu al-Qayyim rahimahullah (1/270)



0 comments:
Post a Comment