Monday, March 31, 2025

Empat Golongan Manusia dalam Menyikapi Hikmah dan Kekuasaan Allah


Nama Allah Subhanahu wa Ta'ala yang "Al-Hakim" (Yang Maha Bijaksana) mencakup hikmah-Nya dalam penciptaan dan perintah-Nya, baik dalam kehendak syar’i (agama) maupun kehendak kauni (takdir). Dia Maha Bijaksana dalam semua ciptaan-Nya, dan Maha Bijaksana dalam semua yang Dia perintahkan.

Manusia dalam hal ini terbagi menjadi empat golongan:

Golongan pertama: Mereka yang mengingkari kekuasaan dan hikmah-Nya. Mereka tidak menetapkan bahwa Allah memiliki kekuasaan maupun kebijaksanaan, seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang menafikan bahwa Allah adalah pelaku yang memiliki kehendak. Mereka meyakini bahwa alam semesta muncul dari-Nya melalui keharusan (keharusan zat), bukan melalui kekuasaan dan kehendak. Mereka menyebut hikmah yang ada dengan istilah "perhatian ilahi", namun ini sangat kontradiktif, karena tidak mungkin ada yang disebut bijaksana tanpa memiliki kemampuan dan kehendak. Mereka menamakan segala kebaikan dan kemanfaatan di dunia ini sebagai “perhatian ilahi”, namun tidak mengaitkannya dengan kehendak ataupun hikmah Tuhan.

Golongan ini, sebagaimana mereka mendustakan seluruh rasul dan kitab, juga bertentangan dengan akal sehat dan fitrah. Mereka menisbatkan kepada Tuhan kekurangan yang paling besar, dan menjadikan setiap makhluk yang memiliki kemampuan, kehendak, dan pilihan lebih sempurna daripada Tuhan mereka, siapa pun makhluk itu. Bahkan, penafian mereka terhadap kekuasaan, kehendak, dan perbuatan Allah jauh lebih buruk daripada syirik para penyembah berhala, dan lebih buruk daripada ucapan kaum Nasrani yang mengatakan bahwa Allah adalah “salah satu dari tiga” dan memiliki istri dan anak – Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan. Sebab kaum Nasrani masih menetapkan bagi Allah kekuasaan, kehendak, dan perbuatan yang bersifat pilihan, serta hikmah – meskipun mereka menyifati-Nya dengan hal-hal yang tidak layak. Adapun golongan yang pertama tadi, mereka menafikan rububiyyah dan kekuasaan-Nya sepenuhnya, serta menetapkan bagi-Nya nama-nama tanpa hakikat dan makna.

Golongan kedua: Mereka mengakui kekuasaan Allah dan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya yang menyeluruh terhadap semua makhluk, namun mereka mengingkari hikmah-Nya serta tujuan-tujuan mulia dari ciptaan-Nya yang menjadi maksud dari perbuatan dan perintah-Nya. Mereka menetapkan takdir tetapi menolak hikmah. Golongan ini adalah mereka yang menafikan adanya ta’lil (penyebab), sebab, kekuatan, dan tabiat dalam makhluk. Menurut mereka, Allah tidak berbuat karena sesuatu atau demi sesuatu. Dalam pandangan mereka, tidak ada huruf lām (لـ) yang menunjukkan sebab atau tujuan dalam Al-Qur’an, juga tidak ada huruf bā’ (بـ) yang menunjukkan sebab. Setiap lām yang secara lahir menunjukkan tujuan, mereka tafsirkan sebagai lām akibat, dan setiap bā’ yang menunjukkan penyebab, mereka tafsirkan sebagai bā’ penyertaan.

Golongan ini kemudian diserang oleh para penolak takdir atas dasar penafian mereka terhadap hikmah, ta’lil, dan sebab-sebab. Para penolak takdir ini memanfaatkan cela tersebut dan memperbesar aib mereka. Demi Allah, sungguh mereka benar dalam banyak hal yang mereka jadikan celaan, karena penafian terhadap hikmah, ta’lil, dan sebab-sebab memang membawa konsekuensi yang sangat buruk.

“Komitmen terhadap pendapat tersebut merupakan bentuk keras kepala yang nyata menurut akal sehat kebanyakan manusia.”

Golongan ketiga: Mereka mengakui hikmah Allah, menetapkan adanya sebab-sebab, tujuan, dan maksud dalam perbuatan serta hukum-Nya, namun mereka mengingkari kesempurnaan kekuasaan-Nya. Mereka menafikan bahwa Allah memiliki kekuasaan terhadap sebagian besar alam semesta, khususnya yang paling mulia di dalamnya: amal perbuatan para malaikat, jin, dan manusia serta ketaatan mereka. Menurut mereka, semua itu tidak berada dalam kekuasaan Allah, dan Allah tidak disifati memiliki kekuasaan atasnya, tidak termasuk dalam kehendak-Nya maupun dalam kerajaan-Nya. Mereka berpendapat bahwa tidak ada dalam kekuasaan Allah untuk menjadikan seseorang beriman atau seorang yang shalat menjadi orang yang mendirikan shalat, atau menjadikan seseorang memperoleh taufik—bahkan menurut mereka, manusialah yang menciptakan dirinya sendiri dalam keadaan seperti itu. Mereka juga meyakini bahwa amal perbuatan makhluk, baik dari malaikat, jin, maupun manusia, terjadi tanpa kehendak dan pilihan Allah—Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan.

Golongan ini kemudian dihantam oleh para penolak hikmah, tujuan, dan sebab, yang menyerang mereka dari berbagai arah, mencela dan menampakkan kontradiksi mereka. Mereka melontarkan berbagai celaan dan tuduhan berat terhadap golongan ini. Sebab, penafian terhadap kekuasaan Allah atas sebagian kerajaan-Nya membawa konsekuensi yang sangat buruk, tercela, dan merusak akidah. Mempertahankan keyakinan ini adalah bentuk pembangkangan nyata di hadapan akal sehat manusia kebanyakan. Namun jika mereka menolak untuk berkomitmen terhadap pendapat itu, maka berarti mereka berada dalam kontradiksi yang jelas. Maka akhirnya, mereka berada dalam posisi yang terombang-ambing antara dua hal: kontradiksi (yang itu adalah kondisi terbaik mereka) atau komitmen terhadap keyakinan-keyakinan berbahaya yang bisa mengeluarkan seseorang dari keimanan—sebagaimana halnya dengan para penolak hikmah, sebab, dan tujuan dari perbuatan Allah.

Maka Allah memberi petunjuk kepada golongan keempat terhadap kebenaran yang diperselisihkan oleh golongan-golongan sebelumnya, dengan izin-Nya:
“Dan Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqarah: 213)

Mereka beriman kepada seluruh isi kitab (wahyu), menerima seluruh kebenaran, menyetujui setiap golongan atas bagian kebenaran yang mereka miliki, dan menolak bagian kebatilan dari setiap golongan. Mereka meyakini bahwa seluruh ciptaan dan perintah Allah terjadi dengan kekuasaan dan syariat-Nya, dan bahwa Dialah yang Maha Terpuji dalam ciptaan dan perintah-Nya. Mereka meyakini bahwa Dia memiliki hikmah yang mendalam, nikmat yang sempurna, dan bahwa Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada satu pun dari hal-hal yang ada—baik zat, perbuatan, maupun sifat-sifatnya—yang keluar dari kekuasaan-Nya, sebagaimana tidak ada yang luput dari ilmu-Nya. Semua yang diketahui oleh ilmu-Nya, maka juga termasuk dalam kekuasaan dan kehendak-Nya.

Mereka juga meyakini bahwa Allah memiliki hujjah (argumen yang kuat) terhadap makhluk-Nya, dan bahwa tidak ada seorang pun yang memiliki hujjah terhadap Allah, melainkan Allahlah yang memiliki hujjah yang sempurna. Andaikan Allah mengazab seluruh penduduk langit dan bumi, niscaya Dia mengazab mereka tanpa berlaku zalim kepada mereka. Bahkan, azab-Nya merupakan bentuk keadilan dan hikmah, bukan semata-mata karena kehendak-Nya yang tanpa sebab dan hikmah, sebagaimana yang diyakini oleh kaum Jabariyyah.

Mereka tidak menjadikan takdir sebagai alasan bagi diri mereka maupun bagi orang lain. Mereka beriman kepada takdir tetapi tidak menjadikannya sebagai hujjah, dan mereka mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menganugerahkan kepada mereka ketaatan, dan bahwa ketaatan itu adalah bagian dari nikmat, karunia, dan kebaikan Allah kepada mereka. Sedangkan maksiat adalah berasal dari jiwa mereka sendiri yang zalim.
Mereka (golongan keempat) tidak seperti orang-orang yang jahil, yang menyandarkan dosa kepada takdir. Mereka mengetahui bahwa para pelaku maksiatlah yang sebenarnya melakukan dosa itu sendiri dan mereka sendirilah yang melakukannya. Mereka tidak menjadikan dosa sebagai dalih atas qadha dan qadar, meskipun mereka mengetahui bahwa ketetapan dan takdir Allah mencakup seluruh yang ada di alam ini—baik kebaikan maupun keburukan, ketaatan maupun kemaksiatan, kekufuran maupun keimanan. Mereka meyakini bahwa kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala meliputi semuanya sebagaimana ilmu-Nya meliputinya.

Mereka meyakini bahwa jika Allah menghendaki agar maksiat tidak terjadi, niscaya maksiat tidak akan terjadi. Dan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala terlalu mulia dan agung untuk didurhakai secara paksa. Sedangkan para hamba terlalu lemah dan hina untuk bisa memaksakan maksiat terhadap-Nya. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan segala sesuatu yang ada adalah atas kehendak-Nya. Apa yang tidak Dia kehendaki, tidak akan terjadi. Dan segala yang tidak terjadi, tidak terjadi karena Dia tidak menghendakinya. Maka, milik-Nya-lah penciptaan dan perintah, milik-Nya-lah kerajaan dan segala pujian. Dia memiliki kekuasaan yang sempurna dan hikmah yang mendalam.

Maka golongan ini adalah orang-orang yang memiliki pandangan yang benar dan sempurna.
Sedangkan golongan pertama adalah orang-orang yang buta sepenuhnya, dan golongan kedua serta ketiga adalah orang-orang yang setengah buta (buta sebelah). Masing-masing dari dua golongan tersebut memiliki satu mata yang melihat dan satu mata yang buta. Namun, kebutaan pada satu mata itu menyebar ke mata yang sehat sehingga membuatnya buta juga, atau hampir saja buta.

Dan tidaklah aneh jika kata-kata ini diulang-ulang oleh orang yang mengetahui betapa pentingnya pembahasan ini, dan betapa sangat dibutuhkan oleh jiwa manusia. Meskipun diulang berkali-kali, tetap saja hal ini berada dalam level kebutuhan yang mendesak.

Dan hanya kepada Allah-lah tempat memohon pertolongan.

Diterjemahkan dari Thariq Al-Hijratain oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 


Read more...

Sunday, March 30, 2025

Tentang Tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Dua Hari Raya

Bab: Tentang Tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Dua Hari Raya


--

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) di lapangan terbuka (‘musalla’), yaitu tempat di pintu timur kota Madinah yang biasa digunakan untuk meletakkan tandu jamaah haji. Beliau hanya sekali melaksanakan shalat Id di masjidnya, yaitu ketika turun hujan, sehingga beliau shalat di dalam masjid. Itu pun jika hadisnya sahih, dan hadis tersebut terdapat dalam Sunan Abu Dawud dan Ibnu Majah. Namun, kebiasaan beliau adalah selalu melaksanakan shalat Id di lapangan terbuka.
Beliau mengenakan pakaian terbaiknya saat keluar menuju shalat Id. Beliau memiliki satu set pakaian khusus untuk hari raya dan hari Jumat. Pernah beliau memakai dua kain hijau, dan dalam kesempatan lain memakai kain bergaris merah. Namun kain merah ini tidak berwarna merah polos sebagaimana dipahami sebagian orang. Jika merah polos, maka tidak dianggap sebagai ‘burdah’ (selendang), melainkan kain bergaris merah seperti kain dari Yaman. Maka disebut merah karena adanya garis-garis merah di dalamnya.
Telah sahih dari beliau (tanpa pertentangan) adanya larangan mengenakan pakaian yang dicelup dengan ‘mu‘ashfar’ (pewarna merah kekuningan) atau pakaian merah. Beliau memerintahkan Abdullah bin ‘Amr untuk membakar dua kain merah yang ia kenakan. Maka tidak mungkin beliau sangat membenci warna merah dengan kebencian yang kuat lalu memakainya sendiri. Maka dari dalil yang ada menunjukkan bahwa mengenakan warna merah itu haram atau paling tidak sangat dimakruhkan.
Pada hari raya Idul Fitri, beliau makan kurma terlebih dahulu sebelum keluar menuju tempat shalat, dan beliau memakannya dengan jumlah ganjil. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan apapun sampai selesai shalat dan kembali dari lapangan, kemudian makan dari hewan kurbannya.
Beliau juga mandi untuk shalat hari raya, jika hadisnya sahih. Namun terdapat dua hadis yang lemah tentang hal itu: satu dari Ibnu Abbas melalui jalur perawi Jubarah bin Mughlis, dan satu lagi dari Fakah bin Sa‘d melalui jalur perawi Yusuf bin Khalid As-Samti. Namun telah sahih dari Ibnu Umar—dengan kesungguhannya dalam mengikuti sunah—bahwa beliau mandi pada hari raya sebelum keluar.

---

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar menuju tempat shalat Id dengan berjalan kaki, dan sebuah tombak kecil (‘anazah) dibawa di hadapannya. Ketika sampai di lapangan, tombak itu ditancapkan di hadapannya sebagai sutrah (pembatas shalat). Sebab lapangan pada masa itu adalah tempat terbuka yang tidak memiliki bangunan atau tembok, sehingga tombak itu berfungsi sebagai pembatas.

Beliau mengakhirkan pelaksanaan shalat Idul Fitri dan menyegerakan shalat Idul Adha. Ibnu Umar, dengan ketatnya mengikuti sunah, tidak keluar hingga matahari terbit, dan bertakbir sejak dari rumah sampai ke tempat shalat.

Ketika beliau sampai di lapangan, beliau langsung memulai shalat tanpa adzan, tanpa iqamah, dan tanpa seruan “ash-shalatu jami‘ah”. Maka dari itu, sunahnya adalah tidak dilakukan hal-hal tersebut.

Beliau maupun para sahabatnya tidak melaksanakan shalat apa pun sebelum maupun sesudah shalat Id di lapangan.

Beliau memulai dengan dua rakaat shalat sebelum khutbah, dengan takbir tujuh kali di rakaat pertama (termasuk takbiratul ihram), dan antara tiap takbir ada jeda ringan. Tidak terdapat zikir tertentu dari Rasulullah di antara takbir-takbir itu, tetapi disebut dari Ibnu Mas‘ud bahwa beliau membaca tahmid, pujian kepada Allah, dan shalawat atas Nabi—sebagaimana disebutkan oleh Al-Khallal.

Ibnu Umar, yang sangat menjaga sunah, mengangkat kedua tangan pada setiap takbir.

Setelah takbir, Rasulullah langsung membaca surat Al-Fatihah, lalu membaca surat Qaf wal Qur’anil Majid pada salah satu rakaat, dan Iqtarabatissa‘atu wanshaqqal qamar pada rakaat lainnya. Kadang-kadang beliau membaca Sabbihisma Rabbikal A‘la dan Hal atâka hadîtsul ghasyiyah. Semua ini sahih dari beliau, dan tidak sahih selainnya.

Setelah selesai membaca, beliau bertakbir lalu ruku‘. Ketika berdiri dari sujud di rakaat kedua, beliau bertakbir lima kali, lalu membaca kembali surat Al-Fatihah dan surat lainnya. Maka takbir dilakukan di awal tiap rakaat, dan bacaan setelah ruku‘.

Diriwayatkan pula bahwa beliau melakukan bacaan terlebih dahulu, lalu baru bertakbir setelahnya, tetapi riwayat ini tidak sahih karena berasal dari Muhammad bin Mu‘awiyah An-Naisaburi yang dinilai oleh Al-Baihaqi sebagai pendusta.

Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Katsir bin ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Awf, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah bertakbir tujuh kali sebelum membaca di rakaat pertama, dan lima kali sebelum membaca di rakaat kedua. Tirmidzi berkata: “Aku bertanya kepada Muhammad (yakni Al-Bukhari) tentang hadis ini, dan beliau berkata: tidak ada hadis yang lebih sahih dari ini dalam bab ini, dan aku berpendapat seperti ini.”

---

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelesaikan shalat Id, beliau berdiri menghadap jamaah, sementara mereka masih duduk dalam barisan-barisan mereka. Beliau menyampaikan nasihat, memberi wasiat, dan perintah-perintah penting. Jika beliau hendak mengutus pasukan, maka beliau umumkan saat itu juga, atau jika ada perkara penting, maka beliau sampaikan. Tidak ada mimbar yang beliau gunakan saat itu, dan mimbar masjid pun tidak dikeluarkan ke lapangan. Beliau berkhutbah dengan berdiri di tanah.

Jabir bin ‘Abdullah berkata:

> “Aku menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat pada hari raya, beliau memulai dengan shalat, tanpa adzan dan tanpa iqamah. Lalu beliau berdiri bersandar pada Bilal, menyeru takwa kepada Allah, mendorong ketaatan kepada-Nya, menasihati dan mengingatkan manusia. Kemudian beliau pergi ke arah kaum wanita, memberi nasihat dan peringatan kepada mereka.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Abu Sa‘id Al-Khudri juga meriwayatkan bahwa:

> “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada hari Idul Fitri dan Idul Adha menuju lapangan. Yang pertama beliau lakukan adalah shalat dua rakaat. Setelah itu, beliau berdiri menghadap jamaah yang masih duduk dalam shaf-shaf mereka…”
(HR. Muslim)

Dalam riwayat lain, Abu Sa‘id Al-Khudri menyebut bahwa:

> “Beliau shalat dua rakaat, lalu memberi salam, kemudian berdiri di atas tunggangannya menghadap kepada orang-orang sambil berkata: “Bersedekahlah kalian!” Maka wanita-wanita pun menjadi yang paling banyak bersedekah dengan anting, cincin, dan sebagainya.”

Awalnya saya mengira ini kekeliruan, karena Rasulullah biasa berjalan kaki ke lapangan, dan tombak kecil (’anazah) dibawa di depannya. Beliau hanya berkhutbah di atas tunggangan saat di Mina pada hari Nahr (10 Dzulhijjah). Tapi kemudian saya melihat bahwa Baqi bin Makhlad menyebutkan hadis ini dalam Musnad-nya melalui jalur shahih, yang memperkuat riwayat tersebut.

Disebutkan pula bahwa mungkin saja maksud “berdiri di atas tunggangannya” adalah kesalahan penulis, yang seharusnya tertulis “berdiri di atas kakinya” sebagaimana riwayat Jabir: “Beliau berdiri bersandar pada Bilal.” Maka bisa jadi tulisan "tunggangannya" merupakan kesalahan penyalin.

Jika ada yang berkata: bukankah telah diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, bahwa:

> “Aku menghadiri shalat Idul Fitri bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Semuanya memulai dengan shalat sebelum khutbah. Nabi turun dari tempatnya, dan aku bisa melihat beliau menyuruh para pria duduk dengan tangannya, lalu berjalan menuju kaum wanita, bersama Bilal, seraya membaca ayat {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ...} (Al-Mumtahanah: 12), lalu membaca sampai selesai.”

Begitu juga dalam riwayat Jabir disebut:

> “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dengan shalat, lalu berkhutbah kepada orang-orang. Setelah selesai, beliau turun lalu mendatangi kaum wanita dan memberi nasihat kepada mereka.”

Maka ini menunjukkan bahwa beliau berkhutbah dari tempat tinggi atau mimbar.

Jawabannya: Tidak diragukan bahwa hadis-hadis ini sahih, dan memang mimbar masjid tidak dikeluarkan ke lapangan. Orang pertama yang melakukannya adalah Marwan bin Al-Hakam, dan hal itu diprotes. Sedangkan mimbar dari tanah liat dan bata pertama kali dibangun oleh Katsir bin Ash-Shalt saat Marwan menjadi gubernur Madinah.

Maka kemungkinan besar, Nabi berdiri di tempat yang agak tinggi, seperti semacam dataran tinggi atau bangku (mimbar sederhana), lalu turun menuju kaum wanita untuk memberi nasihat. Wallahu a‘lam.

---

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai seluruh khutbahnya dengan pujian kepada Allah (alhamdulillah). Tidak ada satu hadis pun yang sahih dari beliau yang menunjukkan bahwa beliau membuka khutbah Idul Fitri atau Idul Adha dengan takbir.

Ibnu Majah meriwayatkan dari Sa‘d, muadzin Nabi, bahwa:

> “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak takbir di sela-sela khutbah hari raya.”

Namun ini tidak menunjukkan bahwa beliau membuka khutbah dengan takbir, hanya menyebut bahwa beliau banyak bertakbir di tengah khutbah.

Para ulama berbeda pendapat mengenai cara membuka khutbah hari raya dan khutbah istisqa (shalat minta hujan):

Ada yang berpendapat dibuka dengan takbir.

Ada yang mengatakan khutbah istisqa dibuka dengan istighfar.

Ada pula yang berpendapat keduanya dibuka dengan pujian kepada Allah.

Ibnu Taimiyyah berkata: “Inilah pendapat yang benar, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

> ‘Setiap perkara penting yang tidak dimulai dengan pujian kepada Allah, maka ia terputus (tidak berkah).’”

Dan memang, Nabi selalu membuka khutbah dengan pujian kepada Allah.

Rasulullah memberikan keringanan bagi orang yang menghadiri shalat hari raya, bahwa mereka boleh duduk mengikuti khutbah atau langsung pergi.

Jika hari raya jatuh pada hari Jumat, maka beliau membolehkan orang-orang untuk tidak menghadiri shalat Jumat, cukup dengan shalat hari raya saja.

Beliau juga biasa menempuh jalan yang berbeda saat pergi dan pulang dari shalat Id:

Ada yang mengatakan, untuk menyapa lebih banyak orang di dua jalur.

Ada yang mengatakan, agar dua kelompok mendapat keberkahan dari beliau.

Ada yang menyebut, agar jika ada yang memiliki hajat, bisa menyampaikan kepada beliau.

Ada juga yang berpendapat, untuk menampakkan syiar Islam di berbagai jalan.

Sebagian menyebut, agar membuat kaum munafik merasa iri dengan kemuliaan Islam dan umatnya.

Ada pula yang berpendapat, agar bumi (tempat berpijak) semakin banyak menjadi saksi atas amal beliau, karena setiap langkah menuju shalat mengangkat derajat dan menghapus dosa.

Dan yang paling kuat, semua alasan tersebut benar, bahkan bisa jadi ada hikmah lain yang hanya diketahui oleh Allah.

---

Tentang takbir Idul Adha, diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bertakbir mulai dari shalat Subuh hari Arafah (9 Dzulhijjah) sampai Ashar hari terakhir dari hari Tasyriq (13 Dzulhijjah), dengan lafadz:

> “Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallaah, wallaahu akbar, Allahu akbar, wa lillaahil hamd.”

---

Diterjemahkan dari perkataan Al-Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam
Zaadul Ma'aad


Read more...

Saturday, March 29, 2025

Petunjuk Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dalam Zakat Fitrah

[Pasal tentang Petunjuk Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dalam Zakat Fitrah]

Tentang petunjuk Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dalam zakat fitrah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkannya atas setiap muslim, dan atas orang-orang yang menjadi tanggungannya, baik kecil maupun besar, laki-laki maupun perempuan, merdeka maupun budak, sebanyak satu sha' kurma, atau satu sha' gandum, atau satu sha' keju kering, atau satu sha' anggur kering.
Diriwayatkan dari beliau: atau satu sha' tepung, dan diriwayatkan dari beliau: setengah sha' gandum.
Yang masyhur: bahwa Umar bin Khattab menjadikan setengah sha' gandum sebagai pengganti satu sha' dari bahan-bahan tersebut, sebagaimana disebutkan oleh Abu Daud.
Dalam "Shahihain" disebutkan bahwa Mu'awiyah-lah yang menetapkan nilai tersebut, dan di dalamnya terdapat riwayat-riwayat dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang mursal dan musnad, yang saling menguatkan.
Di antaranya: Hadits Abdullah bin Tsa'labah atau Tsa'labah bin Abdullah bin Abi Shu'air, dari ayahnya, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ("Satu sha' gandum atau tepung untuk setiap dua orang"). Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud.
Amr bin Syu'aib berkata, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ("mengutus seorang juru bicara di jalan-jalan Mekah, bahwa zakat fitrah wajib atas setiap muslim, laki-laki atau perempuan, merdeka atau budak, kecil atau besar, dua mud gandum atau satu sha' makanan selainnya"). At-Tirmidzi berkata: Hadits hasan gharib.
Ad-Daraquthni meriwayatkan dari hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ("memerintahkan Amr bin Hazm dalam zakat fitrah dengan setengah sha' gandum").
Di dalamnya terdapat Sulaiman bin Musa, yang sebagian orang mempercayainya, dan sebagian lainnya berbicara tentangnya.
Hasan Al-Bashri berkata: Ibnu Abbas berkhotbah di akhir Ramadhan di mimbar Bashrah dan berkata: Keluarkanlah zakat puasa kalian, seolah-olah orang-orang tidak mengetahuinya. Ia berkata: Siapa di sini dari penduduk Madinah? Berdirilah dan ajarkanlah saudara-saudara kalian, karena mereka tidak mengetahuinya, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat ini sebanyak satu sha' kurma atau gandum, atau setengah sha' tepung, atas setiap orang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, kecil atau besar". Ketika Ali radhiyallahu 'anhu tiba, ia melihat harga murah, ia berkata: Allah telah melapangkan kalian, alangkah baiknya jika kalian menjadikannya satu sha' dari segala sesuatu.
Diriwayatkan oleh Abu Daud, ini adalah lafaznya, dan An-Nasa'i, dan menurutnya: Ali berkata: Jika Allah telah melapangkan kalian, maka lapangkanlah, jadikanlah satu sha' gandum dan selainnya. Guru kami rahimahullah menguatkan mazhab ini dan berkata: Ini adalah qiyas dari perkataan Ahmad dalam kafarat, bahwa yang wajib di dalamnya dari gandum adalah setengah dari yang wajib dari selainnya.

[Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah]

Termasuk petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah mengeluarkan zakat ini sebelum shalat Id, dan dalam "Sunan" dari beliau: beliau bersabda: ("Barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum shalat, maka itu adalah zakat yang diterima, dan barangsiapa yang mengeluarkannya setelah shalat, maka itu adalah sedekah biasa").
Dalam "Shahihain" dari Ibnu Umar, ia berkata: ("Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan zakat fitrah untuk dikeluarkan sebelum orang-orang keluar menuju shalat").
Konsekuensi dari kedua hadits ini adalah bahwa tidak boleh menunda pengeluarannya setelah shalat Id, dan bahwa ia luput dengan selesainya shalat, dan ini adalah yang benar, karena tidak ada yang bertentangan dengan kedua hadits ini, tidak ada yang menghapusnya, dan tidak ada ijma' yang menolak perkataan keduanya, dan guru kami menguatkan dan membelanya, dan contohnya adalah pengaturan penyembelihan kurban berdasarkan shalat imam, bukan berdasarkan waktunya, dan bahwa barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat imam, maka sembelihannya bukanlah kurban, melainkan kambing daging. Dan ini juga yang benar dalam masalah lainnya, dan ini adalah petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam kedua tempat tersebut.

[Petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam Mengkhususkan Zakat Fitrah untuk Orang-Orang Miskin]

Termasuk petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah mengkhususkan orang-orang miskin dengan sedekah ini, dan beliau tidak membagikannya kepada delapan golongan, segenggam demi segenggam, dan tidak memerintahkan hal itu, dan tidak ada seorang pun dari sahabatnya, dan tidak ada seorang pun setelah mereka, yang melakukannya, bahkan salah satu dari dua pendapat menurut kami: bahwa tidak boleh mengeluarkannya kecuali untuk orang-orang miskin secara khusus, dan pendapat ini lebih kuat daripada pendapat yang mewajibkan pembagiannya kepada delapan golongan.

Diterjemahkan dari Zaadul Ma'aad oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah


Read more...

Followers

Google Friend Connect

Google Friend Wall

Powered By Blogger

  © Blogger template Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP