Wednesday, October 15, 2025

Hikmah di Balik Pilihan Allah dan Adab Seorang Hamba antara Istikharah dan Ridha terhadap Takdir

Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā sebagaimana Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana dalam memilih siapa yang Dia pilih dari makhluk-Nya, dan menyesatkan siapa yang Dia sesatkan di antara mereka, demikian pula Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana terhadap apa yang ada dalam perintah dan syariat-Nya — berupa akibat-akibat yang baik dan tujuan-tujuan yang agung. Allah Ta‘ālā berfirman:


“Diwajibkan atas kalian berperang, padahal itu sesuatu yang kalian benci. Boleh jadi kalian membenci sesuatu padahal itu baik bagi kalian, dan boleh jadi kalian menyukai sesuatu padahal itu buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 216)



Allah menjelaskan bahwa apa yang Dia perintahkan kepada mereka — Dia mengetahui apa yang terkandung di dalamnya berupa kemaslahatan dan manfaat bagi mereka — itulah yang menyebabkan Dia memilihnya dan memerintahkan mereka untuk melakukannya. Sedangkan mereka mungkin membencinya, baik karena ketidaktahuan maupun karena tabiat manusia yang enggan terhadap hal itu. Maka inilah pengetahuan Allah tentang akibat dari perintah-Nya yang tidak mereka ketahui, dan itulah pengetahuan-Nya tentang siapa yang Dia pilih dari makhluk-Nya yang juga tidak mereka ketahui.
Ayat ini mengandung dorongan agar kita tetap berpegang pada perintah Allah meskipun terasa berat bagi jiwa, dan agar kita ridha terhadap takdir-Nya meskipun hati kita membencinya.

Dalam doa istikharah disebutkan:

“Ya Allah, aku memohon pilihan yang terbaik kepada-Mu dengan ilmu-Mu, dan aku memohon kekuatan kepada-Mu dengan kekuasaan-Mu, serta aku memohon kepada-Mu dari karunia-Mu yang agung. Karena sesungguhnya Engkau berkuasa, sedangkan aku tidak berkuasa; Engkau mengetahui, sedangkan aku tidak mengetahui; dan Engkaulah yang Maha Mengetahui perkara-perkara gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini baik bagiku dalam agamaku, kehidupanku, dan akibat urusanku, maka tetapkanlah ia untukku, mudahkanlah ia bagiku, lalu berkahilah aku di dalamnya. Dan jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk bagiku dalam agamaku, kehidupanku, dan akibat urusanku, maka jauhkanlah ia dariku, dan jauhkanlah aku darinya. Tetapkanlah kebaikan bagiku di mana pun ia berada, kemudian jadikanlah aku ridha terhadapnya.”



Karena seorang hamba sangat membutuhkan ilmu untuk mengetahui apa yang bermanfaat bagi kehidupannya di dunia dan akhirat, serta membutuhkan kemampuan dan kemudahan untuk melakukannya — sementara dia tidak memiliki itu semua dari dirinya sendiri — maka Nabi ﷺ membimbingnya kepada inti penghambaan yang sejati, yaitu meminta pilihan terbaik kepada Allah yang Maha Mengetahui akibat segala perkara, baik dan buruknya; meminta kemampuan dari-Nya, karena jika tidak diberi kemampuan maka ia lemah; dan meminta karunia dari-Nya, karena jika tidak dimudahkan dan disiapkan baginya maka akan sulit baginya walaupun sudah mampu.

Apabila Allah memilihkan sesuatu untuknya dengan ilmu-Nya, menolongnya dengan kekuasaan-Nya, dan memudahkannya dengan karunia-Nya, maka hamba itu masih membutuhkan agar Allah meneguhkannya, menjaganya, dan memberkahinya.
Keberkahan mencakup kelestarian dan pertumbuhannya — ini adalah sesuatu yang lebih dari sekadar diberi kemampuan dan kemudahan. Setelah semua itu, hamba masih membutuhkan agar Allah menjadikannya ridha terhadap hasilnya, sebab terkadang Allah telah memilihkan sesuatu yang baik baginya, namun ia membencinya dan tidak ridha, padahal pilihan itu yang terbaik untuknya.

‘Abdullāh ibn ‘Umar berkata:

“Seseorang memohon pilihan terbaik (istikharah) kepada Allah, lalu Allah memilihkan untuknya, tetapi dia justru marah kepada Tuhannya. Tidak lama kemudian dia melihat akibatnya, ternyata itu adalah pilihan terbaik untuknya.”



Dalam Musnad Ahmad dari Sa‘d ibn Abī Waqqāṣ, dari Nabi ﷺ bersabda:

“Di antara kebahagiaan anak Adam adalah ia beristikharah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan di antara kebahagiaannya adalah ia ridha terhadap apa yang telah ditetapkan Allah. Dan di antara kesengsaraan anak Adam adalah ia tidak beristikharah kepada Allah, dan di antara kesengsaraannya adalah ia tidak ridha terhadap apa yang telah ditetapkan Allah.”



Maka sesuatu yang telah ditakdirkan dikelilingi oleh dua hal: istikharah sebelum terjadinya dan ridha setelah terjadinya.
Termasuk bentuk taufik dan kebahagiaan bagi seorang hamba adalah ketika ia beristikharah sebelum sesuatu terjadi dan ridha setelahnya. Sebaliknya, termasuk tanda ketidakberuntungan dan kehinaan baginya adalah ketika ia tidak beristikharah sebelumnya dan tidak ridha setelahnya.

‘Umar ibn al-Khaṭṭāb ra. berkata:

“Aku tidak peduli apakah aku bangun pagi dalam keadaan menyukai sesuatu atau membencinya, karena aku tidak tahu — apakah kebaikan itu ada pada apa yang aku sukai atau justru pada apa yang aku benci.”



Al-Ḥasan al-Baṣrī berkata:

“Janganlah kalian membenci musibah yang menimpa dan bencana yang terjadi, karena boleh jadi dalam sesuatu yang kalian benci terdapat keselamatan kalian, dan boleh jadi dalam sesuatu yang kalian sukai terdapat kebinasaan kalian.”

Diterjemahkan dari Syifa'ul 'Alil oleh Ibnul Qayyim rahimahullah 


Read more...

Sunday, October 5, 2025

Hidupnya Ilmu dengan Istiqāmah

Ilmu adalah anugerah agung dari Allah. Ia bukan sekadar kumpulan informasi atau hafalan di kepala, tetapi cahaya yang menghidupkan hati dan menuntun langkah menuju ridha-Nya. Namun, ilmu tidak akan hidup kecuali jika disertai amal dan dijaga dengan istiqamah. Tanpa istiqamah, ilmu akan layu, bahkan bisa menjadi hujjah atas diri di hadapan Allah.


Al-Khatib Al-Baghdadi رحمه الله berkata:

العِلْمُ يَهْتِفُ بِالْعَمَلِ، فَإِنْ أَجَابَهُ وَإِلَّا ارْتَحَلَ

"Ilmu menyeru amal; jika amal menyambutnya, maka ilmu akan menetap. Jika tidak, ilmu akan pergi."

Beliau juga mengatakan bahwa ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah, dan amal tanpa ilmu bagaikan perjalanan tanpa petunjuk. Maka keduanya tidak boleh dipisahkan, karena ilmu adalah penuntun amal, dan amal adalah buah dari ilmu.


---

1. ILMU ADALAH KEHIDUPAN HATI



Ilmu sejati menghidupkan hati. Tanpa ilmu, hati menjadi mati dan gelap. Allah menggambarkan orang berilmu dan beramal sebagai orang yang hidup dan bercahaya, sedangkan orang yang berpaling dari ilmu dan amal berada dalam kegelapan.

Firman Allah:

أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا ۚ كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Apakah orang yang sebelumnya mati (jiwanya), lalu Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya sehingga ia dapat berjalan di tengah manusia, seperti orang yang berada dalam kegelapan yang tidak dapat keluar darinya?”
(QS. Al-An‘ām: 122)

Ibn al-Qayyim berkata yang bermakna:

العلم حياة القلوب ونور البصائر، وشفاء الصدور، ورياض العقول

“Ilmu adalah kehidupan bagi hati, cahaya bagi pandangan batin, penyembuh dada, dan taman bagi akal.”
(Madarijus Salikin)

Tanpa ilmu, hati menjadi mati, karena tidak tahu mana yang haq dan mana yang batil. Namun ilmu yang tidak diamalkan juga akan kehilangan cahaya dan keberkahannya.


---

2. ISTIQAMAH ADALAH PENJAGA CAHAYA ILMU



Ilmu akan tetap hidup dan bercahaya bila disertai amal yang istiqamah. Istiqamah adalah berjalan terus di atas kebenaran tanpa menyimpang ke kanan atau ke kiri.

Firman Allah:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata: ‘Rabb kami adalah Allah’ kemudian mereka beristiqamah, maka malaikat turun kepada mereka (mengatakan): Janganlah kamu takut dan jangan bersedih, dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan kepadamu.”
(QS. Fussilat: 30)

Rasulullah ﷺ bersabda:

قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ

“Katakanlah: Aku beriman kepada Allah, lalu beristiqamahlah.”
(HR. Muslim no. 38)

Ibn al-Qayyim menjelaskan:

الاستقامة هي سلوك الصراط المستقيم، وهو الدين القويم من غير تقصير ولا ميل

“Istiqamah adalah berjalan di atas jalan yang lurus, yaitu agama yang tegak, tanpa kekurangan dan tanpa penyimpangan.”
(Madarij as-Salikin)

Dengan istiqamah, ilmu tidak hanya menjadi hafalan, tetapi menjadi cahaya yang terus bersinar dan mengantarkan pemiliknya kepada Allah.


---

3. ILMU TANPA AMAL ADALAH BEBAN



Ilmu yang tidak diamalkan tidak akan bermanfaat, bahkan bisa menjadi beban berat dan saksi atas kelalaian pemiliknya.

Firman Allah:

مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا

“Perumpamaan orang-orang yang dibebani Taurat kemudian mereka tidak mengamalkannya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab besar.”
(QS. Al-Jumu‘ah: 5)

Rasulullah ﷺ bersabda:

لا تزول قدما عبدٍ يوم القيامة حتى يُسأل عن أربع... عن علمه ما عمل به

“Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat perkara… termasuk tentang ilmunya, apa yang telah ia amalkan.”
(HR. Tirmidzi no. 2416, hasan shahih)

Ibn al-Qayyim menegaskan mengutip sebagian salaf:

العلم إذا لم يُعمل به كان الجهل خيراً منه

“Ilmu yang tidak diamalkan, kebodohan lebih baik darinya.”
(Al-Fawaid)

Karena ilmu tanpa amal tidak membawa cahaya, justru menjadi kegelapan yang menyilaukan hati dan menutup hidayah.


---

4. AMAL KECIL YANG ISTIQAMAH LEBIH DICINTAI ALLAH



Allah mencintai amal yang terus-menerus walau kecil. Ini menunjukkan bahwa istiqamah lebih utama daripada banyak amal yang terputus.

Rasulullah ﷺ bersabda:

أحب الأعمال إلى الله أدومها وإن قل

“Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling terus-menerus, meskipun sedikit.”
(HR. Bukhari no. 6465, Muslim no. 783)

Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa amal kecil yang dilakukan terus-menerus akan menumbuhkan kelezatan iman dan menjaga hati tetap hidup. Karena amal istiqamah adalah tanda cinta kepada Allah dan tanda ilmu yang hidup dalam hati.


---

5. ILMU YANG HIDUP MELAHIRKAN TAKWA



Ilmu yang benar melahirkan rasa takut kepada Allah, bukan kesombongan. Semakin bertambah ilmu, seharusnya semakin dalam ketundukan.

Firman Allah:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang berilmu.”
(QS. Fāthir: 28)

Ibn al-Qayyim berkata:

فالعلم النافع هو ما بُني على النصوص، وأورث صاحبه الخشية، وحمله على الطاعة، وصرفه عن الدنيا، ورغّبه في الآخرة.

“Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibangun di atas nash-nash (wahyu), menumbuhkan rasa takut kepada Allah, mendorong pemiliknya untuk taat, menjauhkannya dari dunia, dan membuatnya rindu kepada akhirat.”
(Miftah Dar as-Sa’adah)

Inilah tanda ilmu yang hidup: menumbuhkan khauf (takut) dan raja’ (harap), mendorong kepada amal, dan menjauhkan dari maksiat.


---

6. DOA AGAR ILMU HIDUP DAN BERMANFAAT



Rasulullah ﷺ berdoa agar diberi ilmu yang bermanfaat:

اللهم إني أعوذ بك من علم لا ينفع، ومن قلب لا يخشع، ومن نفس لا تشبع، ومن دعاء لا يُستجاب له

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, jiwa yang tidak puas, dan doa yang tidak dikabulkan.”
(HR. Muslim no. 2722)

Dan beliau juga sering berdoa:

اللهم يا مقلب القلوب ثبت قلبي على دينك

“Ya Allah, wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hatiku di atas agama-Mu.”
(HR. Tirmidzi no. 2140, hasan)

Ibn al-Qayyim menegaskan bahwa hati adalah pusat kehidupan ilmu. Jika hati tidak teguh, maka ilmu tidak akan menetap di dalamnya. Maka istiqamah adalah penjaga bagi kehidupan hati dan ilmu.

Beliau berkata:

دوام الذكر والاستغفار والاستقامة تحفظ العلم وتزكي القلب

“Dzikir yang terus-menerus, istighfar, dan istiqamah menjaga ilmu dan menyucikan hati.”
(Al-Fawaid)


---

PENUTUP

Ilmu akan hidup bila dijaga dengan:

1. Keikhlasan dalam menuntut dan menyebarkannya.


2. Amal nyata yang menjadi buah dari ilmu.


3. Istiqamah dalam ketaatan dan mujahadah.



Ilmu yang hidup akan menerangi hati, menumbuhkan takwa, dan membawa pemiliknya semakin dekat kepada Allah.

Sebaliknya, ilmu yang mati akan melahirkan kesombongan, kelalaian, dan kehampaan spiritual.

Ibn al-Qayyim berkata:

العلم لا ينفع إلا إذا صاحبه عملٌ واستقامةٌ وصدقٌ مع الله

“Ilmu tidak akan bermanfaat kecuali bila disertai amal, istiqamah, dan kejujuran kepada Allah.”
(Al-Fawaid)


---

Sumber:
Ibn al-Qayyim, Madarij as-Salikin
Ibn al-Qayyim, Al-Fawaid
Ibn al-Qayyim, Miftah Dar as-Sa’adah
Al-Qur’an dan hadits-hadits shahih


---


Read more...

Wednesday, September 17, 2025

Tafsir Firman Allah Ta’ala {أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ...} (QS. Al-Baqarah: 19)

Kemudian Allah ﷻ membuat perumpamaan lain yang bersifat “air” bagi mereka, sebagaimana firman-Nya:

{أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ فِيهِ ظُلُمَاتٌ وَرَعْدٌ وَبَرْقٌ يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ وَاللَّهُ مُحِيطٌ بِالْكَافِرِينَ}
(“Atau seperti hujan lebat dari langit yang di dalamnya ada kegelapan, petir, dan kilat. Mereka meletakkan jari-jari mereka di telinga karena takut mati terkena sambaran petir. Dan Allah meliputi orang-orang kafir.”) (QS. Al-Baqarah: 19)

Allah menyerupakan bagian yang mereka peroleh dari apa yang dibawa Rasulullah ﷺ berupa cahaya dan kehidupan, dengan orang yang menyalakan api di kegelapan lalu apinya padam ketika ia sangat membutuhkannya. Hilanglah cahayanya, dan ia tetap berada dalam kegelapan, kebingungan, tidak menemukan jalan dan tidak mengetahui arah.

Juga menyerupakan keadaan mereka dengan orang yang terkena hujan lebat (صيّب) — yaitu hujan yang turun deras dari langit ke bumi. Allah menyerupakan petunjuk (hidayah) yang diturunkan kepada hamba-hamba-Nya dengan hujan itu, karena hati menjadi hidup dengan hidayah sebagaimana bumi menjadi hidup dengan hujan. Akan tetapi, bagian yang didapatkan kaum munafik dari hidayah ini hanyalah sebatas kegelapan, petir, dan kilat — tidak mendapatkan manfaat hakiki dari hujan yang menjadi tujuan utama turunnya hujan: yakni menghidupkan negeri, menumbuhkan tanaman, memberi minum binatang.

Kegelapan, petir, dan kilat itu sejatinya adalah sarana untuk sampai pada manfaat hujan, bukan tujuan. Tetapi orang bodoh, karena kebodohannya, hanya merasakan sisi yang tidak menyenangkan: gelap, suara petir yang menakutkan, kilat yang menyilaukan, dingin yang menusuk, perjalanan yang terhenti, pekerjaan yang terganggu. Ia tidak mampu menembus hikmah di balik semua itu, bahwa hujan membawa kehidupan dan manfaat umum.

Demikianlah sifat orang yang sempit pandangan dan lemah akal — ia hanya melihat sesuatu dari sisi yang tampak buruk, tidak melihat apa yang ada di baliknya berupa kebaikan. Dan beginilah keadaan kebanyakan manusia, kecuali mereka yang tajam bashirah-nya.

Maka orang yang lemah pandangan, jika melihat jihad hanya dari sisi kepayahan, luka, risiko kehilangan nyawa, celaan manusia, dan permusuhan dari pihak yang ditakuti permusuhannya — ia enggan maju. Sebab ia tidak menyaksikan akibat baik yang dijanjikan: kemuliaan, kemenangan, dan balasan yang agung yang menjadi tujuan orang-orang beriman.

Demikian pula orang yang berniat berhaji ke Baitullah, namun yang ia lihat hanya kesulitan perjalanan, perpisahan dengan keluarga dan negeri, menghadapi rintangan dan meninggalkan kebiasaan. Karena ia tidak memandang hasil akhir dan buah perjalanan itu, maka ia pun tidak berangkat.

Inilah keadaan orang yang lemah iman: ia melihat Al-Qur’an hanya berisi janji dan ancaman, larangan dan perintah yang berat bagi jiwa, yang memisahkan jiwa dari kebiasaan dan syahwatnya. Padahal penyapihan (fitham) dari kebiasaan itu memang sulit — sebagaimana penyapihan bayi adalah perkara paling berat baginya. Dan semua manusia pada hakikatnya seperti bayi dalam hal akal, kecuali mereka yang benar-benar mencapai kedewasaan akal dan ilmu serta mengenal kebenaran dalam ilmu, amal, dan ma’rifah.

Orang yang seperti inilah yang mampu melihat apa yang ada di balik hujan, petir, kilat, dan sambaran itu, dan ia tahu bahwa semua itu adalah kehidupan bagi seluruh wujud.

Az-Zamakhsyari berkata: “Boleh jadi ada yang berkata: Allah menyerupakan agama Islam dengan hujan deras, karena hati menjadi hidup dengannya sebagaimana bumi menjadi hidup dengan hujan. Kegelapan menyerupakan keadaan orang kafir, petir dan kilat menyerupakan janji dan ancaman. Sementara ketakutan dan bencana yang menimpa orang kafir dari pihak kaum Muslimin diserupakan dengan sambaran petir.”

Maksudnya: seperti orang yang ditimpa hujan dengan keadaan demikian, lalu mereka merasakan apa yang mereka rasakan. Dan pendapat yang benar menurut ulama balaghah adalah bahwa kedua perumpamaan ini merupakan tamtsil murakkab (perumpamaan gabungan), bukan tamtsil mufarraq (terpisah-pisah).

Artinya tidak perlu dibuat padanan satu per satu, tetapi dilihat secara keseluruhan sebagai satu gambaran yang utuh, sebagaimana Al-Qur’an menggambarkan sesuatu yang terdiri dari banyak unsur yang saling berkaitan sebagai satu kesatuan yang dibandingkan dengan hal lain.

Contohnya:

{مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا}
(“Perumpamaan orang-orang yang diberi Taurat tetapi tidak mengamalkannya, seperti keledai yang membawa kitab-kitab tebal.”) (QS. Al-Jumu’ah: 5)

Maksudnya adalah menyamakan keadaan Yahudi yang bodoh terhadap Taurat dengan keledai yang tidak tahu apa yang ia pikul kecuali hanya merasa berat.

Demikian pula firman Allah:

{وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ...} (QS. Al-Kahfi: 45)

Yaitu menggambarkan singkatnya kehidupan dunia dengan cepatnya tanaman menjadi kering setelah disiram hujan.

Maka perumpamaan orang munafik adalah perumpamaan orang yang kebingungan setelah apinya padam di malam gelap, atau orang yang terkena hujan deras di malam gelap dengan suara petir dan kilat yang menakutkan.

Jika ditanya: manakah dari dua perumpamaan ini yang lebih kuat?
Jawabannya: yang kedua, karena lebih menunjukkan tingkat kebingungan, dahsyatnya keadaan, dan besarnya musibah. Karena itu diletakkan terakhir, sebab mereka (orang-orang munafik) digambarkan berangsur-angsur dari yang ringan ke yang lebih berat.

Disadur dari Ijtima' al-Juyusy al-Islamiyyah (68-72) oleh Ibnu Al-Qayyim rahimahullaah


Read more...

Followers

Google Friend Connect

Google Friend Wall

Powered By Blogger

  © Blogger template Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP