Wednesday, September 17, 2025

Tafsir Firman Allah Ta’ala {أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ...} (QS. Al-Baqarah: 19)

Kemudian Allah ﷻ membuat perumpamaan lain yang bersifat “air” bagi mereka, sebagaimana firman-Nya:

{أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ فِيهِ ظُلُمَاتٌ وَرَعْدٌ وَبَرْقٌ يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ وَاللَّهُ مُحِيطٌ بِالْكَافِرِينَ}
(“Atau seperti hujan lebat dari langit yang di dalamnya ada kegelapan, petir, dan kilat. Mereka meletakkan jari-jari mereka di telinga karena takut mati terkena sambaran petir. Dan Allah meliputi orang-orang kafir.”) (QS. Al-Baqarah: 19)

Allah menyerupakan bagian yang mereka peroleh dari apa yang dibawa Rasulullah ﷺ berupa cahaya dan kehidupan, dengan orang yang menyalakan api di kegelapan lalu apinya padam ketika ia sangat membutuhkannya. Hilanglah cahayanya, dan ia tetap berada dalam kegelapan, kebingungan, tidak menemukan jalan dan tidak mengetahui arah.

Juga menyerupakan keadaan mereka dengan orang yang terkena hujan lebat (صيّب) — yaitu hujan yang turun deras dari langit ke bumi. Allah menyerupakan petunjuk (hidayah) yang diturunkan kepada hamba-hamba-Nya dengan hujan itu, karena hati menjadi hidup dengan hidayah sebagaimana bumi menjadi hidup dengan hujan. Akan tetapi, bagian yang didapatkan kaum munafik dari hidayah ini hanyalah sebatas kegelapan, petir, dan kilat — tidak mendapatkan manfaat hakiki dari hujan yang menjadi tujuan utama turunnya hujan: yakni menghidupkan negeri, menumbuhkan tanaman, memberi minum binatang.

Kegelapan, petir, dan kilat itu sejatinya adalah sarana untuk sampai pada manfaat hujan, bukan tujuan. Tetapi orang bodoh, karena kebodohannya, hanya merasakan sisi yang tidak menyenangkan: gelap, suara petir yang menakutkan, kilat yang menyilaukan, dingin yang menusuk, perjalanan yang terhenti, pekerjaan yang terganggu. Ia tidak mampu menembus hikmah di balik semua itu, bahwa hujan membawa kehidupan dan manfaat umum.

Demikianlah sifat orang yang sempit pandangan dan lemah akal — ia hanya melihat sesuatu dari sisi yang tampak buruk, tidak melihat apa yang ada di baliknya berupa kebaikan. Dan beginilah keadaan kebanyakan manusia, kecuali mereka yang tajam bashirah-nya.

Maka orang yang lemah pandangan, jika melihat jihad hanya dari sisi kepayahan, luka, risiko kehilangan nyawa, celaan manusia, dan permusuhan dari pihak yang ditakuti permusuhannya — ia enggan maju. Sebab ia tidak menyaksikan akibat baik yang dijanjikan: kemuliaan, kemenangan, dan balasan yang agung yang menjadi tujuan orang-orang beriman.

Demikian pula orang yang berniat berhaji ke Baitullah, namun yang ia lihat hanya kesulitan perjalanan, perpisahan dengan keluarga dan negeri, menghadapi rintangan dan meninggalkan kebiasaan. Karena ia tidak memandang hasil akhir dan buah perjalanan itu, maka ia pun tidak berangkat.

Inilah keadaan orang yang lemah iman: ia melihat Al-Qur’an hanya berisi janji dan ancaman, larangan dan perintah yang berat bagi jiwa, yang memisahkan jiwa dari kebiasaan dan syahwatnya. Padahal penyapihan (fitham) dari kebiasaan itu memang sulit — sebagaimana penyapihan bayi adalah perkara paling berat baginya. Dan semua manusia pada hakikatnya seperti bayi dalam hal akal, kecuali mereka yang benar-benar mencapai kedewasaan akal dan ilmu serta mengenal kebenaran dalam ilmu, amal, dan ma’rifah.

Orang yang seperti inilah yang mampu melihat apa yang ada di balik hujan, petir, kilat, dan sambaran itu, dan ia tahu bahwa semua itu adalah kehidupan bagi seluruh wujud.

Az-Zamakhsyari berkata: “Boleh jadi ada yang berkata: Allah menyerupakan agama Islam dengan hujan deras, karena hati menjadi hidup dengannya sebagaimana bumi menjadi hidup dengan hujan. Kegelapan menyerupakan keadaan orang kafir, petir dan kilat menyerupakan janji dan ancaman. Sementara ketakutan dan bencana yang menimpa orang kafir dari pihak kaum Muslimin diserupakan dengan sambaran petir.”

Maksudnya: seperti orang yang ditimpa hujan dengan keadaan demikian, lalu mereka merasakan apa yang mereka rasakan. Dan pendapat yang benar menurut ulama balaghah adalah bahwa kedua perumpamaan ini merupakan tamtsil murakkab (perumpamaan gabungan), bukan tamtsil mufarraq (terpisah-pisah).

Artinya tidak perlu dibuat padanan satu per satu, tetapi dilihat secara keseluruhan sebagai satu gambaran yang utuh, sebagaimana Al-Qur’an menggambarkan sesuatu yang terdiri dari banyak unsur yang saling berkaitan sebagai satu kesatuan yang dibandingkan dengan hal lain.

Contohnya:

{مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا}
(“Perumpamaan orang-orang yang diberi Taurat tetapi tidak mengamalkannya, seperti keledai yang membawa kitab-kitab tebal.”) (QS. Al-Jumu’ah: 5)

Maksudnya adalah menyamakan keadaan Yahudi yang bodoh terhadap Taurat dengan keledai yang tidak tahu apa yang ia pikul kecuali hanya merasa berat.

Demikian pula firman Allah:

{وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ...} (QS. Al-Kahfi: 45)

Yaitu menggambarkan singkatnya kehidupan dunia dengan cepatnya tanaman menjadi kering setelah disiram hujan.

Maka perumpamaan orang munafik adalah perumpamaan orang yang kebingungan setelah apinya padam di malam gelap, atau orang yang terkena hujan deras di malam gelap dengan suara petir dan kilat yang menakutkan.

Jika ditanya: manakah dari dua perumpamaan ini yang lebih kuat?
Jawabannya: yang kedua, karena lebih menunjukkan tingkat kebingungan, dahsyatnya keadaan, dan besarnya musibah. Karena itu diletakkan terakhir, sebab mereka (orang-orang munafik) digambarkan berangsur-angsur dari yang ringan ke yang lebih berat.

Disadur dari Ijtima' al-Juyusy al-Islamiyyah (68-72) oleh Ibnu Al-Qayyim rahimahullaah


Read more...

Sunday, September 14, 2025

Landasan Ibadah

Dan tidak mungkin dalam beribadah kepada-Nya kecuali dengan dua landasan pokok.

Yang pertama adalah mengikhlaskan agama hanya untuk-Nya, dan yang kedua adalah mengikuti perintah-Nya yang dengan itu Dia mengutus para rasul-Nya. Karena itu Umar bin al-Khaththab radhiyallāhu ‘anhu sering berdoa:

> “Ya Allah, jadikanlah seluruh amal perbuatanku amal yang saleh, jadikan ia murni hanya karena wajah-Mu, dan janganlah Engkau jadikan bagi seorang pun bagian darinya.”



Dan al-Fudhail bin ‘Iyadh, ketika menafsirkan firman Allah Ta‘ala
 {لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا} 
(untuk menguji kalian siapa yang terbaik amalnya), ia berkata: “Yang paling ikhlas dan paling benar.”
Mereka bertanya: “Wahai Abu ‘Ali, apa maksud ikhlas dan benar itu?”
Ia menjawab: “Jika amal itu ikhlas tapi tidak benar, maka tidak akan diterima. Jika benar tapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. Sampai amal itu ikhlas dan benar sekaligus. Ikhlas berarti untuk Allah, dan benar berarti sesuai sunnah.”

Karena itulah Allah mencela orang-orang musyrik dalam Al-Qur’an, sebab mereka mengikuti syariat yang dibuat oleh sekutu-sekutu mereka, yang Allah tidak izinkan, berupa peribadatan kepada selain-Nya atau amalan yang tidak Dia syariatkan. Sebagaimana firman-Nya:
 {أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ} (Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mensyariatkan bagi mereka agama yang tidak diizinkan Allah?). 
Allah juga mencela mereka karena mengharamkan sesuatu yang Allah tidak haramkan. Padahal agama yang benar itu ialah: tidak ada yang haram kecuali yang Allah haramkan, dan tidak ada agama kecuali yang Allah syariatkan.

Kemudian manusia dalam beribadah kepada-Nya dan dalam memohon pertolongan-Nya terbagi menjadi empat golongan:

1. Orang-orang beriman yang bertakwa – mereka beribadah kepada-Nya karena-Nya dan dengan pertolongan-Nya.


2. Golongan yang beribadah tanpa isti‘ānah (memohon pertolongan) – mereka berusaha dalam ketaatan, wara‘, dan mengikuti sunnah; tetapi mereka tidak punya tawakal, sabar, dan isti‘ānah, sehingga dalam diri mereka ada kelemahan dan kegelisahan.


3. Golongan yang punya isti‘ānah, tawakal, dan sabar tanpa istiqāmah dalam perintah dan tanpa mengikuti sunnah – terkadang mereka diberi kemampuan, bahkan tampak pada mereka keadaan batin dan lahir, diberi sebagian penyingkapan (mukāsyafāt) atau pengaruh, yang tidak diperoleh golongan pertama. Namun mereka tidak punya akibat yang baik, karena bukan termasuk orang bertakwa, sedangkan akibat yang baik hanyalah bagi ketakwaan. Golongan pertama agamanya lemah, tapi tetap ada dan terus berlangsung selama tidak dirusak oleh kelemahan dan ketidakmampuan. Adapun golongan kedua ini, meski punya kekuatan, tetapi tidak kekal kecuali pada bagian yang sesuai perintah dan mengikuti sunnah.


4. Golongan yang paling buruk – mereka tidak beribadah kepada-Nya dan tidak memohon pertolongan-Nya; tidak meyakini bahwa ilmu itu dari Allah, dan tidak pula bahwa kekuatan itu dengan Allah.



Adapun kaum Mu‘tazilah dan semisal mereka dari kelompok Qadariyah yang menolak takdir, mereka dalam hal pengagungan perintah, larangan, janji, dan ancaman lebih baik daripada kelompok Jabariyah Qadariyah yang berpaling dari syariat, perintah, dan larangan. Sementara kaum Sufi, dalam hal takdir dan penyaksian tauhid rububiyah, lebih baik dari Mu‘tazilah. Tetapi di antara mereka ada yang terjatuh dalam bid‘ah dan berpaling dari sebagian perintah dan larangan, sehingga menjadikan tujuan akhir mereka hanya musyāhadah tauhid rububiyah dan fanā’ di dalamnya. Lalu mereka pun menjauh dari jamaah kaum muslimin dan sunnah mereka; maka mereka pun disebut Mu‘tazilah dalam sisi ini. Bahkan bid‘ah mereka terkadang lebih buruk daripada bid‘ah Mu‘tazilah. Kedua kelompok ini sama-sama tumbuh dari Bashrah.

Sesungguhnya agama Allah adalah apa yang Dia utus bersama para rasul-Nya dan turunkan dalam kitab-kitab-Nya; itulah jalan yang lurus, jalan para sahabat Rasulullah ﷺ, sebaik-baik generasi, umat yang paling mulia di sisi Allah setelah para nabi. Allah berfirman:

{وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ}

Allah ridha kepada para sahabat yang terdahulu dan juga kepada orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Nabi ﷺ bersabda dalam hadits-hadits sahih:

> “Sebaik-baik generasi adalah generasi yang aku diutus di tengah mereka, kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya.”



Ibnu Mas‘ud radhiyallāhu ‘anhu berkata:

> “Barang siapa di antara kalian hendak meneladani, hendaklah meneladani orang yang telah wafat, sebab yang hidup tidak aman dari fitnah. Mereka adalah para sahabat Rasulullah ﷺ, orang-orang yang paling lurus hatinya, paling dalam ilmunya, dan paling sedikit dibuat-buatnya. Mereka adalah kaum yang dipilih Allah untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Maka kenalilah hak mereka dan ikutilah petunjuk mereka, karena mereka berada di atas hidayah yang lurus.”



Hudzaifah bin al-Yamān radhiyallāhu ‘anhumā berkata:

> “Wahai para qāri’, istiqāmahlah kalian, ikutilah jalan orang-orang sebelum kalian. Demi Allah, jika kalian mengikutinya, kalian akan mendahului dengan jauh. Jika kalian mengambil kanan dan kiri, kalian akan tersesat dengan kesesatan yang jauh.”



Dan Ibnu Mas‘ud berkata:

> “Rasulullah ﷺ membuat sebuah garis untuk kami, lalu membuat garis-garis di kanan dan kirinya. Beliau bersabda: ‘Ini jalan Allah. Adapun garis-garis di kanan dan kiri, di setiap jalan ada setan yang menyeru kepadanya.’ Lalu beliau membaca: 

{وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ}.”



Allah memerintahkan kita untuk selalu berdoa dalam shalat:
{اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ}
 {صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ}

Nabi ﷺ bersabda:

> “Orang-orang Yahudi adalah yang dimurkai, dan Nasrani adalah yang tersesat.”



Yahudi mengetahui kebenaran tetapi tidak mengikutinya, sementara Nasrani beribadah kepada Allah tanpa ilmu. Karena itu ada ungkapan: “Berlindunglah kepada Allah dari fitnah ulama yang fajir dan ahli ibadah yang jahil, karena fitnah keduanya menimpa setiap orang yang terfitnah.”

Allah Ta‘ala berfirman:
{فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى} 
{وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا}

Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ‘anhumā berkata: “Allah menjamin bagi siapa yang membaca Al-Qur’an dan mengamalkan isinya, bahwa dia tidak akan tersesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.”

Demikian pula firman-Nya:
{الم}
{ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ} … 
sampai 
{أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ}.

Allah memberitakan bahwa mereka adalah orang-orang yang mendapat hidayah dan keberuntungan, berlawanan dengan orang-orang yang dimurkai dan tersesat.

Maka kita memohon kepada Allah Yang Maha Agung agar memberi hidayah kepada kita dan seluruh saudara-saudara kita ke jalan-Nya yang lurus, jalan orang-orang yang Allah beri nikmat: para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.

Cukuplah Allah sebagai penolong, dan sebaik-baik wakil. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam yang banyak kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya.

Ibnu Taimiyah 
dalam
Majmu' Fatawa 3/124-128


Read more...

Thursday, April 17, 2025

Allah Ta‘ala Mengajak Hamba-hamba-Nya dalam Al-Qur’an Untuk Mengenal-Nya Melalui Dua Jalan

Allah Ta‘ala mengajak hamba-hamba-Nya dalam Al-Qur’an untuk mengenal-Nya melalui dua jalan:


Pertama, dengan merenungi ciptaan-ciptaan-Nya (maf‘ūlātih).
Kedua, dengan merenungi dan mentadabburi ayat-ayat-Nya (āyātih); yang pertama adalah ayat-ayat yang disaksikan (kauniyyah), dan yang kedua adalah ayat-ayat yang didengar dan dipahami (syar‘iyyah).

Jenis pertama seperti firman-Nya:

> “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, dan kapal-kapal yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia...” (Al-Baqarah: 164)
Dan:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Ali ‘Imran: 190)
Ayat semacam ini sangat banyak dalam Al-Qur’an.



Jenis kedua seperti firman-Nya:

> “Maka apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur’an?” (An-Nisa’: 82)
“Maka apakah mereka tidak memikirkan perkataan (Al-Qur’an) itu?” (Al-Mu’minun: 68)
“Kitab yang Kami turunkan kepadamu yang penuh berkah agar mereka mentadabburi ayat-ayatnya.” (Shad: 29)
Dan ini pun banyak ditemukan dalam Al-Qur’an.



Adapun ciptaan-ciptaan (maf‘ūlāt) menunjukkan adanya perbuatan (af‘āl), dan perbuatan menunjukkan sifat-sifat (ṣifāt). Sebab, sebuah ciptaan menunjukkan adanya Pencipta yang melakukannya, dan itu meniscayakan adanya eksistensi, kemampuan, kehendak, dan ilmu dari Sang Pencipta. Karena tidak mungkin sebuah perbuatan yang bersifat pilihan muncul dari sesuatu yang tidak ada, atau dari sesuatu yang ada tapi tidak memiliki kemampuan, kehidupan, ilmu, dan kehendak.

Kemudian, segala bentuk pembatasan dan ragam dalam ciptaan menunjukkan adanya kehendak (irādah), dan bahwa perbuatan-Nya bukanlah terjadi secara alamiah dan seragam.
Apa yang terkandung dalam ciptaan dari manfaat, hikmah, dan tujuan yang baik menunjukkan hikmah-Nya.
Apa yang mengandung kebaikan dan pemberian menunjukkan rahmat-Nya.
Apa yang berupa azab dan hukuman menunjukkan murka-Nya.
Apa yang menunjukkan kemuliaan dan kedekatan menunjukkan cinta-Nya.
Apa yang mengandung kehinaan dan pengusiran menunjukkan kebencian dan kemurkaan-Nya.
Apa yang menunjukkan permulaan sesuatu dalam kelemahan hingga mencapai kesempurnaan menunjukkan kebenaran akan adanya kebangkitan (al-ma‘ād).
Apa yang tampak dalam tumbuhan, hewan, dan pengaturan air menunjukkan kemungkinan terjadinya kebangkitan.
Apa yang tampak dari tanda-tanda rahmat dan nikmat pada makhluk-Nya menunjukkan kebenaran kenabian.
Apa yang tampak dari kesempurnaan pada sesuatu yang bila tidak ada maka akan cacat, menunjukkan bahwa Dzat yang memberi kesempurnaan itu lebih berhak atasnya.

Maka ciptaan-ciptaan-Nya (maf‘ūlātuh) adalah salah satu bukti paling kuat tentang sifat-sifat-Nya, dan kebenaran apa yang diberitakan oleh para Rasul-Nya tentang diri-Nya.

Ciptaan-ciptaan-Nya menjadi saksi yang membenarkan ayat-ayat yang didengar, dan sekaligus mengingatkan manusia agar mengambil pelajaran dari tanda-tanda yang tercipta.

Allah Ta‘ala berfirman:

> “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar.” (Fussilat: 53)
Yakni bahwa Al-Qur’an adalah kebenaran. Maka Allah mengabarkan bahwa Dia akan memperlihatkan kepada manusia tanda-tanda nyata yang membuktikan kebenaran ayat-ayat yang dibacakan. Kemudian Allah juga menegaskan bahwa kesaksian-Nya saja sudah cukup atas kebenaran berita-Nya, karena Dia telah menegakkan bukti-bukti dan dalil atas kebenaran Rasul-Nya.



Ayat-ayat-Nya menjadi saksi atas kebenaran Rasul-Nya, dan Dia pun menjadi saksi atas kebenaran ayat-ayat tersebut melalui ayat-ayat-Nya. Maka Dia adalah yang bersaksi dan yang disaksikan untuk-Nya, dalil dan yang ditunjuk oleh dalil itu, sehingga Dia menjadi dalil atas diri-Nya sendiri.

Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ahli makrifat:

> “Bagaimana aku mencari dalil atas Dzat yang telah menjadi dalil bagiku atas segala sesuatu? Maka dalil apapun yang aku cari tentang-Nya, keberadaan-Nya lebih jelas dari dalil itu sendiri.”



Karena itu para Rasul berkata kepada kaum mereka:

> “Apakah kalian ragu terhadap Allah?” (Ibrahim: 10)
Dia lebih dikenal dari segala yang dikenal, lebih nyata dari segala dalil. Maka segala sesuatu pada hakikatnya dikenal melalui-Nya, meskipun secara pandangan dan istidlal dikenal melalui perbuatan dan hukum-hukum-Nya.

Diterjemahkan dari Al-Fawa'id oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 


Read more...

Followers

Google Friend Connect

Google Friend Wall

Powered By Blogger

  © Blogger template Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP