Thursday, December 11, 2025

Nikmat sebagai Ujian, Bukan Jaminan Kemuliaan

Allah Ta‘ala berfirman:

“Apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka itu berasal dari Allah.” (QS. An-Nahl: 53).

Maka seorang hamba tidak pernah lepas dari nikmat, karunia, anugerah, dan kebaikan-Nya walau sekejap mata pun, baik di dunia maupun di akhirat.

Karena itu, Allah mencela orang yang ketika diberi sebagian nikmat-Nya lalu berkata:

“Sesungguhnya aku diberi itu karena ilmu yang ada padaku.” (QS. Al-Qashash: 78).

Dan dalam ayat lain:

“Maka apabila manusia ditimpa kesusahan, ia berdoa kepada Kami. Kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami, ia berkata: ‘Sesungguhnya aku diberi (nikmat ini) karena ilmu yang ada padaku.’” (QS. Az-Zumar: 49).

Al-Baghawi berkata:
“Dengan ilmu dari Allah bahwa aku memang pantas menerimanya.”

Muqatil berkata:
“Dengan kebaikan yang Allah ketahui ada padaku.”

Sebagian yang lain berkata:
“Dengan ilmu dari Allah bahwa aku memang layak menerimanya.”
Makna pendapat ini adalah: Allah memberikannya karena Dia mengetahui bahwa orang itu memang pantas.

Sebagian yang lain berkata:
“Ilmu itu adalah ilmu dirinya sendiri.”
Maknanya: aku mendapatkannya dengan ilmuku tentang cara-cara memperoleh harta. Ini pendapat Qatadah dan selainnya.

Ada pula yang berkata:
Maknanya: aku tahu bahwa karena aku diberi ini di dunia, maka aku memiliki kedudukan dan kemuliaan di sisi Allah. Ini sejalan dengan perkataan Mujahid:
“Aku diberi ini karena kemuliaanku.”

Allah berfirman:

“Bahkan itu adalah cobaan.” (QS. Az-Zumar: 49).

Yakni, nikmat yang diberikan itu adalah ujian yang dengannya Allah menguji hamba, apakah ia bersyukur atau kufur. Nikmat itu tidak menunjukkan bahwa ia adalah orang pilihan, yang dicintai, dan yang didekatkan oleh Allah.

Karena itu Allah berfirman dalam kisah Qarun:

“Tidakkah dia mengetahui bahwa Allah benar-benar telah membinasakan umat-umat sebelum dia yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak mengumpulkan harta?” (QS. Al-Qashash: 78).

Seandainya pemberian harta, kekuatan, dan kedudukan menunjukkan keridaan Allah dan tingginya derajat seseorang di sisi-Nya, tentu Allah tidak akan membinasakan orang-orang yang sebelumnya lebih kuat dan lebih kaya daripada Qarun. Ketika mereka tetap dibinasakan meskipun diberi kelapangan harta, maka jelaslah bahwa pemberian itu hanyalah ujian dan cobaan, bukan tanda cinta dan keridaan Allah.

Karena itu Allah kembali menegaskan:

“Bahkan itu adalah cobaan, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”

Kemudian Allah menegaskan lagi makna ini dengan firman-Nya:

“Sungguh orang-orang sebelum mereka telah mengatakan hal yang sama, tetapi apa yang mereka usahakan tidak berguna bagi mereka. Maka mereka ditimpa akibat buruk dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Az-Zumar: 50–51).

Ibnu Abbas berkata:
“Mereka telah kufur terhadap nikmat Allah ketika diberi dunia, lalu mereka bergembira dengannya dan melampaui batas. Mereka berkata: ‘Ini adalah kemuliaan dari Allah bagi kami.’”

Makna firman Allah:

“Maka apa yang mereka usahakan tidak berguna bagi mereka”

adalah: mereka mengira nikmat itu adalah tanda kemuliaan mereka di sisi Allah, namun ternyata tidak demikian, karena mereka akhirnya diazab, dan apa yang mereka kumpulkan tidak berguna sama sekali. Jelaslah bahwa nikmat itu bukanlah kemuliaan dari Allah, dan bahwa terhalangnya nikmat justru merupakan bentuk penghinaan dari-Nya.

Abu Ishaq berkata:
Makna ayat ini adalah bahwa ucapan mereka: “Allah memberi kami karena kemuliaan kami di sisi-Nya” telah menghapus amal mereka. Allah menyebut penghapusan amal itu dengan firman-Nya:

“Maka apa yang mereka usahakan tidak berguna bagi mereka.”

Lalu Allah membatalkan sangkaan batil mereka dengan firman-Nya:

“Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya?” (QS. Az-Zumar: 52).

Kesimpulannya, firman Allah:

“Karena ilmu yang ada padaku.” (QS. Al-Qashash: 78)

memiliki dua kemungkinan makna:

Jika yang dimaksud adalah ilmu dirinya sendiri, maka artinya:
Aku mendapatkannya karena pengetahuan, pengalaman, dan kecakapanku sendiri.

Jika yang dimaksud adalah ilmu Allah, maka artinya:
Aku diberi karena Allah mengetahui bahwa aku memang pantas, baik, dan berhak menerimanya—sebagai bentuk kemuliaan bagiku.

Namun ayat:

“Bahkan itu adalah cobaan”

menunjukkan bahwa pemberian itu bukan karena kemuliaan, melainkan ujian: apakah ia bersyukur atau kufur.

Ini juga sejalan dengan firman Allah:

“Adapun manusia, apabila Tuhannya mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kenikmatan, maka ia berkata: ‘Tuhanku telah memuliakanku.’ Dan apabila Dia mengujinya dengan menyempitkan rezekinya, maka ia berkata: ‘Tuhanku telah menghinakanku.’” (QS. Al-Fajr: 15–16).

Padahal kedua-duanya adalah ujian, bukan tanda kemuliaan atau kehinaan.

Jika seseorang menyandarkan nikmat kepada dirinya—kepada ilmunya, kekuatannya, atau kecakapannya—maka itu adalah bentuk kekufuran terhadap nikmat, karena inti dari syukur adalah mengakui bahwa nikmat itu dari Allah semata. Jika nikmat disandarkan kepada selain Allah, berarti ia telah mengingkarinya.

Sebagaimana kaum ‘Ad berkata:

“Siapakah yang lebih kuat daripada kami?” (QS. Fussilat: 15).

Mereka tertipu oleh kekuatan, dan orang ini tertipu oleh ilmunya. Kekuatan tidak menyelamatkan mereka, dan ilmu pun tidak menyelamatkan dia.

Dalam kondisi lain, jika ia mengira Allah memberinya nikmat karena dirinya memang layak dan berhak, maka ia telah menjadikan sebab nikmat berasal dari dirinya, bukan dari kemurahan, karunia, dan kehendak Allah. Padahal itu semua hanyalah ujian: apakah ia bersyukur atau kufur.

Bahkan seandainya nikmat itu merupakan balasan atas amal, tetap saja Allah-lah yang memberi sebab dan balasan itu. Maka semuanya adalah murni karunia, bukan hak manusia sedikit pun.

Bahkan syukur itu sendiri adalah nikmat dari Allah. Tidak ada seorang pun yang mampu bersyukur kecuali dengan pertolongan Allah. Karena itu Nabi Dawud berkata:

“Wahai Tuhanku, bagaimana aku dapat bersyukur kepada-Mu, sementara syukurku itu sendiri adalah nikmat dari-Mu yang membutuhkan syukur lagi?”
Maka Allah berfirman:
“Sekarang engkau telah bersyukur kepada-Ku.”

Dawud juga berkata:

“Seandainya setiap helai rambutku memiliki dua lisan yang terus berdzikir kepada-Mu siang dan malam, sepanjang masa, niscaya tetap tidak mampu menunaikan satu nikmat-Mu saja.”

Maka keadaan orang yang benar-benar bersyukur adalah kebalikan dari orang yang berkata:

“Aku diberi ini karena ilmu yang ada padaku.”

Serupa dengan itu firman Allah Ta‘ala:

“Manusia tidak jemu memohon kebaikan. Dan jika ditimpanya keburukan, ia menjadi putus asa lagi berputus harap. Dan jika Kami merasakan kepadanya rahmat dari Kami setelah kesusahan yang menimpanya, pasti dia akan berkata: ‘Ini adalah hakku.’” (QS. Fussilat: 49–50).

Ibnu Abbas berkata:
“Maksudnya: ‘Ini datang dari diriku sendiri.’”

Muqatil berkata:
“Maksudnya: ‘Aku lebih berhak atas ini.’”

Mujahid berkata:
“Maksudnya: ‘Ini karena amal perbuatanku; aku memang pantas menerimanya.’”

Az-Zajjaj berkata:
“Maksudnya: ‘Ini memang sesuatu yang wajib aku terima, dengan amal perbuatanku aku berhak mendapatkannya.’”

Maka Allah mensifati manusia dengan dua sifat yang paling buruk:
Jika ia ditimpa keburukan, ia menjadi putus asa. Jika disentuh kebaikan, ia lupa bahwa Allah-lah yang memberi nikmat, lalu ia sombong dan mengira dirinya memang pantas.

Kemudian ia menambahkan lagi keburukan dengan mendustakan kebangkitan dan berkata:

“Aku tidak menyangka bahwa kiamat itu akan terjadi.”

Lalu ia menambah lagi dengan prasangka dustanya: bahwa jika ia dibangkitkan, ia akan mendapat kebaikan terbaik di sisi Allah. Maka tidak tersisa sedikit pun ruang bagi kebodohan dan keangkuhan yang lebih parah dari ini.

Disadur dari Syifa'ul 'Alil (1/126-131) oleh Ibnu Al-Qayyim rahimahullaah 


Read more...

Friday, November 28, 2025

Nukilan Penting dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Terkait Nisbat Kekafiran, Kefasikan, dan Kemaksiatan pada Seseorang

"Aku juga selalu—dan siapa saja yang duduk bersamaku mengetahuinya—menjadi salah satu orang yang paling keras melarang untuk menisbatkan kekafiran, kefasikan, atau kemaksiatan kepada individu tertentu, kecuali apabila telah diketahui bahwa hujjah risalah (dalil yang jelas) telah tegak atas dirinya; yang apabila ia menyelisihinya maka ia bisa kafir dalam satu keadaan, fasik dalam keadaan lain, atau bermaksiat dalam keadaan lainnya. Dan aku menegaskan bahwa Allah telah mengampuni kesalahan umat ini. Dan itu mencakup kesalahan dalam masalah-masalah khabariyah (akidah) maupun masalah amaliyah (praktik ibadah). Para salaf senantiasa berselisih dalam banyak masalah, namun tidak ada seorang pun di antara mereka yang memvonis saudaranya sebagai kafir, fasik, atau pelaku maksiat. Sebagaimana ketika Syuraih mengingkari bacaan seseorang terhadap ayat {بَلْ عَجِْبتُ وَيَسْخَرُونَ}, ia berkata: “Allah tidak merasa takjub!” Berita itu sampai kepada Ibrahim an-Nakha‘i, maka ia berkata: “Syuraih hanyalah seorang penyair, ia kagum dengan pengetahuannya sendiri. Abdullah (Ibnu Mas‘ud) lebih tahu darinya, dan beliau membaca: {بَلْ عَجِْبتُ}.” [1] 

Demikian pula Aisyah dan sahabat lain berselisih tentang apakah Nabi Muhammad ﷺ melihat Rabb-nya. Aisyah berkata: “Siapa yang mengklaim bahwa Muhammad melihat Rabb-nya, maka ia telah membuat dusta besar atas nama Allah.” Akan tetapi, kami tidak mengatakan kepada Ibnu Abbas dan yang sepaham dengannya bahwa mereka membuat dusta atas nama Allah. Begitu pula perselisihan tentang apakah orang mati dapat mendengar ucapan orang hidup, atau apakah mayit disiksa karena tangisan keluarganya, dan masalah-masalah lainnya. Bahkan perselisihan di kalangan salaf terkadang sampai menyebabkan peperangan. Namun Ahlus Sunnah sepakat bahwa kedua kelompok itu tetap beriman. Peperangan tidak menghilangkan keadilan (integritas) mereka, karena pihak yang memerangi meskipun mungkin zalim, ia tetap dianggap memiliki takwil, dan takwil itu mencegahnya dari kefasikan. Aku juga menjelaskan kepada mereka bahwa apa yang dinukil dari salaf dan para imam tentang pernyataan umum “siapa yang mengatakan begini, maka ia kafir” juga benar. Tetapi harus dibedakan antara hukum secara umum dan penerapannya kepada individu tertentu. Ini adalah masalah pertama yang diperselisihkan umat dalam masalah ushul besar, yaitu masalah wa‘id (ancaman). Nash-nash Al-Qur’an tentang ancaman bersifat umum, seperti firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim…” dan setiap ancaman yang berbunyi “siapa yang melakukan ini, maka baginya hukuman itu.” Semua ini bersifat umum. Ia seperti perkataan sebagian salaf: “Siapa yang mengatakan begini, maka ia demikian.” Namun untuk individu tertentu, hukum ancaman dapat gugur karena taubat, amal baik yang menghapus dosa, musibah yang menggugurkan dosa, atau syafaat yang diterima. 

Takfir (pengkafiran) termasuk jenis ancaman. Walaupun suatu ucapan mengandung pendustaan terhadap Rasul, pelakunya belum tentu kafir. Mungkin orang itu baru masuk Islam, atau tumbuh di pedalaman, sehingga tidak mengetahui hal tersebut. Orang seperti ini tidak langsung kafir hingga tegak hujjah atas dirinya. Bisa jadi ia belum pernah mendengar nash tersebut, atau ia mendengarnya tetapi tidak sah menurutnya, atau ia mengira ada dalil yang menentangnya sehingga ia menakwilkannya—meskipun ia salah. Aku selalu menyebutkan hadits dalam Shahih Bukhari dan Muslim tentang seorang lelaki yang berkata: “Jika aku mati, bakarlah aku, tumbuklah, lalu tebarkan di laut. Demi Allah, jika Allah mampu atasku, Dia pasti akan mengazabku dengan azab yang belum pernah ditimpakan kepada siapa pun.” Maka mereka pun melakukannya. Lalu Allah bertanya kepadanya: “Apa yang mendorongmu melakukan itu?” Ia menjawab: “Rasa takutku kepada-Mu.” Maka Allah mengampuninya. Lelaki ini ragu terhadap kemampuan Allah untuk membangkitkannya, bahkan meyakini bahwa Allah tidak akan mengembalikannya. Ini adalah kekufuran menurut kesepakatan kaum muslimin. Namun ia tidak kafir karena ia tidak mengetahui hal tersebut, dan ia seorang mukmin yang takut akan hukuman Allah—maka Allah mengampuninya. Maka orang yang keliru dalam ijtihad, yang bersungguh-sungguh mengikuti Rasul, lebih berhak mendapatkan ampunan daripada lelaki tersebut." 

Majmu' Fatawa (3/229-231) 
------- 

[1] “( Bahkan Aku merasa heran ) — Hamzah dan Al-Kisā’ī membaca dengan dhammah pada huruf tā’ ( بَلْ عُجِبْتُ ). Ini juga merupakan bacaan Ibnu Mas‘ud dan Ibnu ‘Abbas. Adapun sifat ‘ajab (kagum/heran) dari Allah ‘Azza wa Jalla tidak sama dengan rasa heran pada manusia. Sebagaimana dalam firman-Nya: “Maka mereka mengejek orang-orang mukmin; Allah pun mengejek mereka.” (At-Taubah: 79) Dan firman-Nya: “Mereka telah melupakan Allah, maka Allah pun melupakan mereka.” (At-Taubah: 67) Rasa heran pada manusia maknanya adalah kaget dan menganggap sesuatu besar. Sementara ‘ajab dari Allah Ta‘ala dapat bermakna pengingkaran dan celaan, dan bisa pula bermakna persetujuan serta keridhaan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Rabb kalian merasa ‘ajab (takjub) terhadap seorang pemuda yang tidak memiliki kecenderungan kepada maksiat.” (Tafsir Al-Baghawi)


Read more...

Tuesday, November 4, 2025

Ikhtilaf Ulama: Sebab, Prinsip, dan Contoh dari Generasi Sahabat hingga Imam Mazhab

Tentang sebab-sebab perbedaan yang terjadi di antara para imam setelah mereka sepakat pada satu landasan yang sama dan merujuk kepadanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya


Al-Humaydī menyebutkan dalam bab ini satu kutipan dari perkataan Abū Muḥammad Ibn Ḥazm—dan ini termasuk perkataan beliau yang terbaik—maka kami menukilkannya sesuai lafazhnya. Al-Humaydī berkata:

“Al-Ḥāfiẓ Abū Muḥammad ‘Alī bin Aḥmad bin Sa‘īd al-Yazīdī al-Fārisī menuturkan, dalam penjelasan tentang pokok perbedaan syar‘i dan sebab-sebabnya:

> Jiwa (penuntut ilmu), setelah yakin bahwa dasar yang disepakati dan menjadi rujukan hanyalah satu—yaitu apa yang datang dari pemilik syariat; baik dalam Al-Qur’an, atau dari perbuatan dan perkataan beliau yang dalam hal itu tidak berbicara dari hawa nafsu—ketika ia melihat dan menyaksikan adanya perbedaan di kalangan ulama umat ini pada perkara-perkara yang jalurnya satu dan asalnya tidak berbeda, maka ia pun meneliti sebab yang menimbulkan perbedaan itu, dan mengapa sebagian orang meninggalkan banyak sunnah yang sahih.
Setelah dilakukan penelusuran dan penelitian, jelaslah bahwa setiap ulama adalah manusia yang bisa lupa sebagaimana manusia lainnya. Boleh jadi seseorang hafal sebuah hadis tetapi saat memberi fatwa ia tidak teringat, lalu berfatwa menyelisihinya. Hal seperti ini juga bisa terjadi pada ayat-ayat Al-Qur’an.



Tidaklah engkau melihat bahwa ‘Umar r.a. pernah memerintahkan dari atas mimbar agar mahar perempuan tidak melebihi jumlah tertentu—condong kepada (fakta) bahwa Nabi ﷺ tidak melebihi jumlah itu dalam mahar istri-istri beliau—hingga ada seorang wanita dari sisi masjid yang mengingatkan beliau dengan firman Allah Ta‘ālā: “Dan jika kamu telah memberikan kepada salah seorang di antara mereka harta yang banyak (qinthār), maka janganlah kamu mengambil kembali darinya.” (QS an-Nisā’: 20). Maka beliau pun meninggalkan pendapatnya dan berkata, “Setiap orang lebih tahu darimu, bahkan para wanita.”
—Dalam riwayat lain: “Seorang wanita benar, sedangkan seorang laki-laki (yakni beliau sendiri) salah.”—
Beliau mengetahui bahwa meskipun Nabi ﷺ tidak menambah (mahar) atas jumlah tertentu, namun beliau tidak melarang selainnya; dan ayat itu bersifat lebih umum.

Demikian pula, beliau (‘Umar) pernah memerintahkan merajam seorang wanita yang melahirkan (bayi) dalam enam bulan. Lalu ‘Alī r.a. mengingatkan dengan firman Allah Ta‘ālā: “Masa mengandung dan menyapihnya adalah tiga puluh bulan” (QS al-Aḥqāf: 15), bersamaan dengan firman-Nya: “Para ibu menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh” (QS al-Baqarah: 233). Maka beliau pun rujuk dari perintah merajamnya.

Beliau juga hendak bersikap keras kepada ‘Uyaynah bin Ḥiṣn karena kekasarannya, hingga al-Ḥurr bin Qays mengingatkan beliau dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Berpalinglah dari orang-orang bodoh.” (QS al-A‘rāf: 199), maka ‘Umar pun menahan diri.

Dan pada hari wafatnya Rasulullah ﷺ, ‘Umar berkata: “Demi Allah, Rasulullah tidak wafat; beliau tidak akan wafat hingga (menjadi) yang terakhir dari kita (yang wafat).” Hingga dibacakan kepadanya ayat: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati, dan sesungguhnya mereka pun akan mati.” (QS az-Zumar: 30), maka beliau pun kembali (dari ucapannya). Beliau sebenarnya mengetahui ayat itu, hanya saja beliau lupa karena besarnya musibah yang menimpanya.

> Adakalanya seorang alim mengingat ayat atau sunnah, namun ia menakwilkannya dengan sebuah takwil—dengan menganggapnya khusus, atau mansūkh (terhapus), atau memberi makna tertentu—meski semua itu membutuhkan dalil.



Tidak diragukan, para sahabat r.a. dahulu di Madinah berkumpul di sekitar beliau ﷺ; mereka adalah orang-orang yang juga mencari nafkah, dalam keterbatasan bekal. Ada yang bekerja di pasar, ada yang mengurus pohon kurmanya. Pada setiap waktu, sebagian dari mereka menghadiri majelis Nabi ﷺ ketika mendapati sedikit kelonggaran dari kesibukannya. Abū Hurairah menegaskan: “Saudara-saudaraku dari kalangan Muhājirīn disibukkan jual-beli di pasar; saudara-saudaraku dari kalangan Anṣār disibukkan mengurus kebun-kebun kurma mereka; sedangkan aku adalah seorang miskin yang menyertai Rasulullah ﷺ demi (sekadar) mengenyangkan perutku.”
Dan ‘Umar r.a. berkata (dalam kisah izin masuk Abū Mūsā): “Aku dilalaikan oleh jual-beli di pasar.”

Nabi ﷺ ditanya tentang suatu persoalan, menetapkan hukum, memerintahkan sesuatu, dan melakukan sesuatu; maka yang hadir menghafalnya, sedangkan yang tidak hadir luput darinya.

Tatkala beliau ﷺ wafat, lalu Abū Bakar memegang tampuk kepemimpinan; bila ada perkara yang datang dan tidak ada nash padanya di sisi beliau, beliau bertanya kepada para sahabat yang ada. Jika mereka memiliki nash, beliau kembali kepadanya; jika tidak, beliau berijtihad dalam memutuskan. Ijtihad beliau—dan ijtihad para sahabat lainnya r.a.—kembali pada nash yang umum, atau kepada asal kebolehan yang terdahulu, atau yang semisalnya yang kembali kepada pokok (usul). Tidak boleh seorang pun menyangka bahwa ijtihad salah seorang dari mereka adalah mensyariatkan sebuah syariat baru melalui ijtihad, atau menciptakan hukum tanpa dasar. Maha suci Allah; jauh dari mereka hal demikian.

Ketika ‘Umar r.a. memimpin, negeri-negeri ditaklukkan dan para sahabat berpencar di berbagai daerah. Sering suatu perkara diputuskan di Makkah atau selainnya; jika para sahabat yang hadir memiliki nash, diputuskanlah dengannya; jika tidak, mereka berijtihad. Padahal mungkin pada perkara itu ada nash yang dimiliki sahabat lain di negeri lain.

Orang Madinah menyaksikan (hadir pada) hal-hal yang tidak disaksikan (oleh) orang Mesir; orang Mesir menyaksikan yang tidak disaksikan orang Syam; orang Syam menyaksikan yang tidak disaksikan orang Baṣrah; orang Baṣrah menyaksikan yang tidak disaksikan orang Kūfah; orang Kūfah menyaksikan yang tidak disaksikan orang Baṣrah; orang Madinah menyaksikan yang tidak disaksikan orang Kūfah dan Baṣrah—semua ini ada dalam atsar dan dituntut oleh kondisi yang kami sebutkan: sebagian mereka tidak hadir di majelis beliau pada sebagian waktu, sementara yang lain hadir; kemudian yang hadir (pada waktu itu) suatu ketika tidak hadir, dan yang dulu tidak hadir lalu hadir. Maka masing-masing mengetahui apa yang ia hadiri dan luput dari apa yang tidak ia hadiri—ini perkara yang teramati.

Contohnya, pengetahuan tentang tayammum ada pada ‘Ammār dan selainnya, tetapi luput dari ‘Umar dan Ibn Mas‘ūd; hingga keduanya berkata: “Orang junub tidak bertayammum, walaupun tidak mendapatkan air selama dua bulan.”
Hukum mengusap khuf (sepatu) diketahui oleh ‘Alī dan Ḥudhayfah, namun tidak diketahui oleh ‘Ā’isyah, ‘Umar, dan Abū Hurairah—padahal mereka penduduk Madinah.
Hukum mewariskan cucu perempuan (bint al-ibn) bersama anak perempuan diketahui oleh Ibn Mas‘ūd, luput dari Abū Mūsā.
Hukum izin (istidzān) diketahui oleh Abū Mūsā, Abū Sa‘īd al-Khudrī, dan Ubayy, namun luput dari ‘Umar.
Hukum kebolehan wanita haid meninggalkan (Makkah) sebelum thawaf (ifadah) diketahui oleh Ibn ‘Abbās dan Ummu Sulaym, sementara Ibn ‘Umar dan Zayd bin Thābit tidak mengetahuinya.
Hukum (nikah) mut‘ah dan (memakan) keledai jinak diketahui oleh ‘Alī dan selainnya, sementara Ibn ‘Abbās tidak mengetahuinya.
Hukum ṣarf (pertukaran uang/barang ribawi) diketahui oleh ‘Umar, Abū Sa‘īd, dan selainnya, namun luput dari Ṭalḥah, Ibn ‘Abbās, dan Ibn ‘Umar.
Demikian pula, hukum pengusiran ahludz-dzimmah dari Jazirah Arab diketahui oleh Ibn ‘Abbās dan ‘Umar; ‘Umar melupakannya bertahun-tahun lalu membiarkan mereka, hingga ketika diingatkan beliau pun ingat kembali dan mengusir mereka.

Hal-hal seperti itu banyak.

Para sahabat berjalan di atas cara demikian; kemudian generasi tabi‘in setelah mereka—yang mengambil dari para sahabat—datang. Setiap lapisan tabi‘in di negeri-negeri yang kami sebutkan, mereka berfiqih kepada sahabat yang ada di negeri mereka; mereka tidak keluar dari fatwa-fatwa para sahabat tersebut—bukan karena taqlid buta, tetapi karena mereka mengambil dan meriwayatkan dari mereka—kecuali sedikit dari apa yang sampai kepada mereka dari sahabat lain di negeri lain. Misalnya, penduduk Madinah lebih banyak mengikuti fatwa Ibn ‘Umar; penduduk Makkah banyak mengikuti fatwa Ibn ‘Abbās; penduduk Kūfah banyak mengikuti fatwa Ibn Mas‘ūd.

Lalu datang sesudah tabi‘in, para fuqahā’ di berbagai negeri: Abū Ḥanīfah, Sufyān, dan Ibn Abī Laylā di Kūfah; Ibn Jurayj di Makkah; Mālik dan Ibn al-Mājishūn di Madinah; ‘Uthmān al-Battī dan Sawwār di Baṣrah; al-Awzā‘ī di Syam; dan al-Layth di Mesir. Mereka semua berjalan di atas metode itu: masing-masing mengambil dari tabi‘in di negerinya—dan tabi‘in itu dari para sahabat—dalam hal yang ada (riwayatnya) di sisi mereka; serta berijtihad dalam perkara yang tidak (ada nash yang) sampai kepada mereka, walaupun (mungkin) ada di sisi selain mereka. Dan Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kemampuannya.

Semua yang kami sebutkan itu berpahala: yang benar mendapat dua pahala, yang keliru mendapat satu pahala. Allah Ta‘ālā berfirman: “Agar aku memperingatkan kalian dengannya dan (juga) orang yang sampai (kepadanya peringatan ini).” (QS al-An‘ām: 19).

Adakalanya seorang dari mereka mendapati dua nash yang lahiriahnya tampak bertentangan; lalu ia condong kepada salah satunya dengan ragam bentuk tarjih, sementara yang lain condong kepada nash yang satunya—yang ditinggalkan oleh yang pertama—dengan bentuk tarjih yang lain. Seperti riwayat dari ‘Uthmān bin ‘Affān tentang (menyatukan) dua saudari (dalam nikah): “Ada ayat yang menghalalkan keduanya, dan ada ayat yang mengharamkan keduanya.” Dan seperti kecenderungan Ibn ‘Umar kepada pengharaman (menikahi) perempuan Ahli Kitab secara umum berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “Janganlah kalian menikahi perempuan musyrik sampai mereka beriman” (QS al-Baqarah: 221). Ia berkata: “Aku tidak mengetahui kesyirikan yang lebih besar daripada ucapan seorang perempuan: ‘Sesungguhnya ‘Īsā adalah Tuhanku.’” Maka ia menguatkan (ayat ini) di atas kebolehan yang dinyatakan dalam ayat yang lain. Dan semacam ini banyak contohnya.

Atas sebab-sebab seperti itulah sebagian ulama meninggalkan sebagian hadis dan ayat; dan atas sebab-sebab itu pula para ulama lain menyelisihi mereka: yang ini mengambil apa yang ditinggalkan oleh yang itu, dan yang itu mengambil apa yang ditinggalkan oleh yang ini—bukan dengan sengaja menyelisihi nash dan bukan untuk meninggalkannya, melainkan karena salah satu uzur yang kami sebutkan: lupa, belum sampai dalil kepadanya, adanya takwil tertentu, atau berpegang pada berita (hadis) yang lemah—sementara ia tidak mengetahui kelemahan para perawinya—sedangkan yang lain mengetahuinya, lalu ia mengambil hadis lain yang lebih sahih, atau zahir sebuah ayat. Bisa juga sebagian mereka menangkap dari nash-nash itu suatu makna dan terlintas darinya sebuah hukum melalui sebuah dalil, sementara yang lain tidak menangkapnya.

Kemudian perjalanan (ilmu) kian jauh ke berbagai wilayah, manusia saling berbaur; datanglah orang-orang yang mengambil tugas menghimpun hadis Nabi ﷺ, mengumpulkan dan menuliskannya; maka hadis-hadis dari negeri-negeri jauh pun sampai kepada orang-orang yang sebelumnya tidak memilikinya. Hujjah pun tegak atas siapa saja yang telah sampai kepadanya sesuatu darinya; terkumpul hadis-hadis yang menjelaskan keshahihan salah satu takwil yang ditakwilkan dalam sebuah hadis; dikenal mana yang sahih dan mana yang sakit; dan ijtihad yang mengantarkan kepada penyelisihan sabda Rasulullah ﷺ dan meninggalkan amal beliau pun tertolak. Dengan sampainya sunnah itu (kepada seseorang) dan tegaknya hujjah atasnya, gugurlah uzur orang yang menyelisihinya; yang tersisa hanyalah sikap keras kepala dan taqlid.

Di atas jalan inilah para sahabat r.a. dan banyak dari tabi‘in: mereka menempuh perjalanan hari-hari lamanya demi mencari satu hadis, untuk mengamalkan sunnah.

Abū Ayyūb berangkat dari Madinah ke Mesir hanya karena satu hadis kepada ‘Uqbah bin ‘Āmir. ‘Alqamah dan al-Aswad bepergian kepada ‘Ā’isyah dan Ibn ‘Umar. ‘Alqamah bepergian kepada Abū Dardā’ di Syam. Mu‘āwiyah menulis surat kepada al-Mughīrah bin Shu‘bah: “Tulislah kepadaku apa saja yang engkau dengar dari Rasulullah ﷺ.” Dan yang semisal ini banyak.”
Selesai (kutipan ucapannya).

Disadur dari Shawa'iwul Mursalah, Ibnu al-Qayyim rahimahullah (1/270)


Read more...

Followers

Google Friend Connect

Google Friend Wall

Powered By Blogger

  © Blogger template Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP