Saturday, April 5, 2025

Dasar Segala Kebaikan Adalah Engkau Mengetahui Bahwa Apa yang Allah Kehendaki Pasti Terjadi, dan Apa yang Tidak Dia Kehendaki Tidak Akan Terjadi



Kaidah:
Dasar segala kebaikan adalah engkau mengetahui bahwa apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi. Maka yakinilah bahwa kebaikan-kebaikan adalah bagian dari nikmat-Nya, maka bersyukurlah atasnya dan berdoalah agar Dia tidak mencabutnya darimu. Dan bahwa kejahatan-kejahatan adalah bagian dari kehinaan dan hukuman dari-Nya, maka mohonlah kepada-Nya agar Dia menghalangimu darinya, dan janganlah Dia menyerahkanmu kepada dirimu sendiri dalam berbuat kebaikan maupun meninggalkan keburukan.

Telah sepakat para arifin bahwa segala kebaikan berasal dari taufik Allah kepada hamba-Nya, dan segala keburukan berasal dari ditinggalkannya hamba oleh Allah. Mereka juga sepakat bahwa taufik adalah ketika Allah tidak menyerahkan hamba pada dirinya sendiri, dan bahwa kehinaan adalah ketika Allah membiarkan hamba dengan dirinya sendiri. Jika setiap kebaikan berakar dari taufik—dan itu sepenuhnya ada di tangan Allah, bukan di tangan hamba—maka kuncinya adalah doa, merasa butuh, tulus dalam bergantung dan berharap serta takut kepada-Nya. Maka kapan saja seorang hamba diberi kunci ini, berarti Allah menghendaki untuk membukakan pintu kebaikan baginya. Dan kapan saja hamba disesatkan dari kunci ini, maka pintu kebaikan tetap tertutup baginya.

Amirul Mukminin Umar bin Khattab berkata:
"Aku tidak memikul kekhawatiran tentang terkabulnya doa, tetapi aku memikirkan tentang doanya itu sendiri. Maka jika aku diberi ilham untuk berdoa, maka jawabannya telah bersamanya."

Taufik dan pertolongan Allah datang sesuai dengan niat, tekad, keinginan, dan semangat hamba. Pertolongan Allah turun kepada para hamba sesuai kadar semangat, keteguhan, keinginan, dan rasa takut mereka, sedangkan kehinaan turun sesuai dengan kadar itu juga. Allah Mahabijaksana dan Maha Mengetahui, menempatkan taufik dan kehinaan pada tempat yang tepat. Tidak ada yang tertimpa keburukan kecuali karena menyia-nyiakan rasa syukur dan meninggalkan rasa butuh serta doa. Dan tidak ada yang meraih kemenangan kecuali dengan kehendak Allah dan pertolongan-Nya melalui syukur, rasa butuh yang tulus, dan doa. Pokok dari semua itu adalah sabar, karena sabar bagi iman seperti kepala bagi tubuh. Jika kepala dipotong, maka tidak ada kehidupan bagi tubuh.

Tidak ada hukuman yang lebih berat bagi seorang hamba daripada kerasnya hati dan jauh dari Allah.
Neraka diciptakan untuk meleburkan hati yang keras. Hati yang paling jauh dari Allah adalah hati yang keras. Jika hati keras, maka mata pun menjadi kering (tidak menangis). Kekerasan hati berasal dari empat hal yang melampaui kebutuhan, yaitu: makan, tidur, bicara, dan pergaulan.

Sebagaimana tubuh yang sakit tak berguna makanan dan minuman, begitu pula hati yang sakit karena syahwat tidak bermanfaat nasihat. Siapa yang ingin hatinya bening, hendaklah ia mengutamakan Allah atas syahwatnya. Hati yang terikat pada syahwat terhalangi dari Allah sesuai kadar keterikatannya pada syahwat.

Hati adalah wadah Allah di bumi-Nya, maka yang paling dicintai-Nya adalah yang paling lembut, paling keras (tegar dalam kebenaran), dan paling jernih. Mereka yang menyibukkan hati mereka dengan dunia, jika saja mereka sibukkan dengan Allah dan akhirat, niscaya hati mereka akan berkelana dalam makna firman-Nya, ayat-ayat-Nya yang terlihat, dan kembali kepada mereka dengan hikmah-hikmah menakjubkan dan faedah-faedah indah.

Jika hati diberi makan dengan zikir, disirami dengan tafakkur, dan dibersihkan dari penyakit, maka ia akan melihat keajaiban dan diilhami hikmah. Tidak setiap orang yang mengaku memiliki makrifat dan hikmah benar-benar memilikinya. Orang-orang yang benar-benar memiliki makrifat dan hikmah adalah mereka yang menghidupkan hati mereka dengan mematikan hawa nafsu, sedangkan yang membunuh hati adalah mereka yang menghidupkan hawa nafsunya. Makrifat dan hikmah hanya sekadar ucapan di lisan mereka.

Kerusakan hati datang dari rasa aman (tertipu) dan kelalaian. Kemakmurannya berasal dari rasa takut dan zikir. Jika hati zuhud dari hidangan dunia, maka ia akan duduk di atas hidangan akhirat bersama orang-orang yang diundang. Tapi jika ia ridha pada hidangan dunia, ia akan luput dari hidangan akhirat.

Kerinduan kepada Allah dan perjumpaan dengan-Nya adalah angin sejuk yang meniup hati, menenangkan dari panasnya dunia. Siapa yang menempatkan hatinya di sisi Rabb-nya, ia akan merasa tenang dan nyaman. Siapa yang melepaskannya pada manusia, ia akan gelisah dan tak tenang.

Cinta kepada Allah tidak akan masuk ke dalam hati yang dipenuhi cinta dunia, kecuali seperti unta yang masuk ke lubang jarum. Jika Allah mencintai seorang hamba, Dia akan memilihnya untuk diri-Nya, menjadikannya sibuk dengan-Nya, lisannya sibuk dengan zikir, anggota tubuhnya dengan ibadah.

Hati bisa sakit sebagaimana tubuh sakit, dan obatnya adalah taubat dan menjauhi maksiat.
Hati bisa berkarat sebagaimana cermin berkarat, dan pengkilapnya adalah zikir. Hati bisa telanjang sebagaimana tubuh, dan perhiasannya adalah takwa. Hati bisa lapar dan haus sebagaimana tubuh, dan makanannya adalah makrifat, cinta, tawakal, kembali pada Allah, dan ibadah.

Jangan lalai terhadap Dzat yang telah menentukan ajalmu dan batas hidupmu, serta dari segala sesuatu selain-Nya, karena kamu pasti membutuhkan-Nya.

Siapa yang meninggalkan perencanaan dan perhitungan untuk mencari dunia, kekuasaan, atau menyelamatkan diri dari musuh, dan bersandar sepenuhnya kepada Allah, percaya pada pilihan-Nya, maka ia akan tenang dan ridha. Ia akan bebas dari kecemasan, kesedihan, dan tekanan. Sebaliknya, siapa yang memilih mengatur hidupnya sendiri, ia akan jatuh ke dalam kesempitan, kelelahan, dan keburukan.

Tidak ada hidup yang tenang, tidak ada hati yang bahagia, tidak ada amal yang tumbuh, tidak ada harapan yang kokoh, dan tidak ada ketenangan yang abadi, kecuali dengan berserah diri pada Allah.

Allah memudahkan jalan menuju-Nya, namun Dia menghalangi manusia dengan perencanaan mereka sendiri. Jika mereka ridha dengan perencanaan Allah, tenang dengan pilihan-Nya, maka hijab itu akan tersingkap. Hati akan sampai kepada-Nya dan merasa tenteram.

Orang yang bertawakal tidak meminta kepada selain Allah, tidak menolak keputusan-Nya, dan tidak menyimpan sesuatu dari-Nya. Siapa yang sibuk dengan dirinya, maka ia akan sibuk dari selainnya. Tapi siapa yang sibuk dengan Rabb-nya, ia akan sibuk dari dirinya sendiri.

Ikhlas adalah sesuatu yang tidak diketahui malaikat untuk dicatat, tidak diketahui musuh untuk dirusak, dan tidak membuat pemiliknya bangga hingga ia membatalkannya.

Ridha adalah ketenangan hati dalam arus takdir.
Manusia tersiksa di dunia sesuai kadar keterikatan hati mereka pada dunia.

Hati memiliki enam tempat yang ia jelajahi, tiga rendah dan tiga tinggi:

Yang rendah: dunia yang menghiasinya, nafsu yang membisikinya, musuh yang menggodanya.

Yang tinggi: ilmu yang membimbingnya, akal yang mengarahkannya, dan Ilah (Tuhan) yang ia sembah.


Sumber segala kerusakan adalah mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan.
Mengikuti hawa nafsu membutakan dari kebenaran, dan panjang angan-angan membuat lupa pada akhirat.

Tak akan mencium bau kejujuran orang yang suka berdusta kepada dirinya atau memanipulasi orang lain.
Jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, Dia menjadikannya sadar akan dosanya, menahan diri dari membicarakan dosa orang lain, dermawan dengan apa yang dimilikinya, tidak rakus terhadap milik orang lain, dan sabar terhadap gangguan orang lain. Jika Allah menghendaki keburukan padanya, maka sebaliknya terjadi.

Semangat yang tinggi selalu berputar di tiga hal:

1. Mengenali sifat-sifat Allah yang tinggi — maka semakin mengenal, semakin besar cinta dan keinginannya.


2. Mengingat karunia Allah — maka semakin besar syukur dan ketaatannya.


3. Mengingat dosa — maka semakin besar taubat dan rasa takutnya.



Jika semangat itu bergantung pada selain tiga hal ini, maka ia akan berkeliaran di lembah bisikan dan khayalan.

Siapa yang mencintai dunia, maka dunia akan melihat pada nilai orang tersebut, dan menjadikannya pelayan dan budaknya. Tapi siapa yang berpaling dari dunia, maka dunia melihat kebesarannya, melayaninya, dan tunduk kepadanya.

Perjalanan (spiritual) hanya bisa diselesaikan dengan terus berjalan di jalan yang lurus dan melalui malam.
Jika seorang musafir menyimpang dari jalan dan tidur sepanjang malam, maka kapan ia akan sampai ke tujuannya?


---

Diterjemahkan dari Al-Fawa'id oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 



Read more...

Tuesday, April 1, 2025

Hal-hal Pokok yang Dapat Digunakan untuk Mengenali Bahwa Suatu Hadis Adalah Maudhu‘ (Palsu) #1.

Bab


Kami ingin memberi peringatan tentang hal-hal pokok yang dapat digunakan untuk mengenali bahwa suatu hadis adalah maudhu‘ (palsu).

Di antaranya adalah: hadis tersebut memuat hal-hal yang sangat berlebihan, yang tidak mungkin diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal seperti ini sangat banyak.

Contohnya seperti dalam hadis palsu berikut:
"Barangsiapa yang mengucapkan La ilaha illallah, maka Allah menciptakan dari kalimat itu seekor burung yang memiliki tujuh puluh ribu lidah, setiap lidah memiliki tujuh puluh ribu bahasa yang semuanya memohonkan ampunan untuknya."

Atau hadis lain yang berbunyi:
"Barangsiapa melakukan ini dan itu, maka ia akan diberi di surga tujuh puluh ribu kota, di setiap kota ada tujuh puluh ribu istana, dan di setiap istana ada tujuh puluh ribu bidadari."

Dan contoh-contoh semacam ini yang mustahil keluar dari lisan Rasul.

Orang yang membuat hadis seperti ini pasti tidak lepas dari dua kemungkinan:

1. Ia adalah orang yang sangat bodoh dan dungu.


2. Atau ia adalah seorang zindiq (munafik/kafir yang pura-pura Islam) yang sengaja ingin merendahkan dan memperolok Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dan meskipun sebagian orang menyatakan sanadnya sahih, namun akal sehat menjadi saksi bahwa hadis itu palsu. Karena kita melihat sendiri bahwa bersin dan kebohongan bisa terjadi secara bersamaan. Seandainya seratus ribu orang bersin ketika mendengar sebuah hadis yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hal itu tidak bisa dijadikan bukti kebenaran hadis tersebut hanya karena mereka bersin. Demikian juga, jika mereka bersin ketika mendengar kesaksian palsu, hal itu tidak menjadikannya benar.

Demikian pula hadis: “Hendaklah kalian makan lentil, karena ia adalah makanan yang penuh berkah, melembutkan hati, dan di dalamnya telah disucikan tujuh puluh nabi.”

Abdullah bin al-Mubarak pernah ditanya tentang hadis ini, dan dikatakan kepadanya bahwa hadis tersebut diriwayatkan darinya. Ia menjawab: “Dariku?!”

Kemuliaan paling tinggi dari lentil hanyalah bahwa ia adalah makanan kesukaan orang Yahudi. Seandainya benar ada satu nabi yang disucikan karena lentil, tentu ia akan menjadi obat penyembuh segala penyakit. Lalu bagaimana mungkin ada tujuh puluh nabi disucikan karenanya?! Padahal Allah Ta‘ala menyebut lentil sebagai makanan yang lebih rendah (adnā) dalam ayat-Nya [Al-Baqarah: 61] dibandingkan manna dan salwa, dan menyandingkannya dengan bawang putih dan bawang merah. Apakah engkau menyangka bahwa para nabi Bani Israil disucikan karena makanan yang seperti ini?

Dan di antara mudarat (bahaya) yang terdapat pada lentil adalah: dapat memicu gangguan empedu hitam (sawda’), menyebabkan perut kembung, angin yang keras, sesak napas, darah kotor, dan berbagai macam gangguan fisik lainnya yang dapat dirasakan secara nyata.

Kemungkinan besar hadis ini dibuat oleh orang-orang yang memilih lentil dibandingkan manna dan salwa, atau orang-orang semisal mereka.

Termasuk pula hadis palsu lainnya seperti:
“Sesungguhnya Allah menciptakan langit dan bumi pada hari ‘Asyura.”

Dan hadis:
“Minumlah ketika sedang makan, maka kalian akan merasa kenyang.”

Padahal kenyataannya, minum saat makan justru merusak makanan, mengganggu proses pencernaannya di lambung, dan menghalangi kematangan makanan secara sempurna.

Contoh lainnya adalah hadis:
“Orang yang paling banyak berdusta adalah para tukang pewarna dan tukang emas.”

Al-Hasan (al-Basri) menolak hadis ini, karena kenyataannya kebohongan pada selain mereka jauh lebih banyak dibandingkan pada para tukang pewarna dan tukang emas. Seperti kaum Rafidhah—mereka adalah makhluk Allah yang paling banyak berdusta—para dukun, orang-orang tarekat sesat, dan para ahli nujum (peramal).

Sebagian orang menakwilkan hadis ini dengan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “tukang pewarna” (ash-shabbāgh) adalah orang yang menambahkan lafaz-lafaz dalam hadis untuk memperindahnya, dan “tukang emas” (ash-shawwāgh) adalah orang yang merangkai (membuat-buat) hadis yang tidak memiliki asal-usul.

Namun ini hanyalah takwil yang dingin (dipaksakan) untuk membela hadis yang batil.

.... bersambung #2

Diterjemahkan dari Manarul Munif oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 





Read more...

Monday, March 31, 2025

Empat Golongan Manusia dalam Menyikapi Hikmah dan Kekuasaan Allah


Nama Allah Subhanahu wa Ta'ala yang "Al-Hakim" (Yang Maha Bijaksana) mencakup hikmah-Nya dalam penciptaan dan perintah-Nya, baik dalam kehendak syar’i (agama) maupun kehendak kauni (takdir). Dia Maha Bijaksana dalam semua ciptaan-Nya, dan Maha Bijaksana dalam semua yang Dia perintahkan.

Manusia dalam hal ini terbagi menjadi empat golongan:

Golongan pertama: Mereka yang mengingkari kekuasaan dan hikmah-Nya. Mereka tidak menetapkan bahwa Allah memiliki kekuasaan maupun kebijaksanaan, seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang menafikan bahwa Allah adalah pelaku yang memiliki kehendak. Mereka meyakini bahwa alam semesta muncul dari-Nya melalui keharusan (keharusan zat), bukan melalui kekuasaan dan kehendak. Mereka menyebut hikmah yang ada dengan istilah "perhatian ilahi", namun ini sangat kontradiktif, karena tidak mungkin ada yang disebut bijaksana tanpa memiliki kemampuan dan kehendak. Mereka menamakan segala kebaikan dan kemanfaatan di dunia ini sebagai “perhatian ilahi”, namun tidak mengaitkannya dengan kehendak ataupun hikmah Tuhan.

Golongan ini, sebagaimana mereka mendustakan seluruh rasul dan kitab, juga bertentangan dengan akal sehat dan fitrah. Mereka menisbatkan kepada Tuhan kekurangan yang paling besar, dan menjadikan setiap makhluk yang memiliki kemampuan, kehendak, dan pilihan lebih sempurna daripada Tuhan mereka, siapa pun makhluk itu. Bahkan, penafian mereka terhadap kekuasaan, kehendak, dan perbuatan Allah jauh lebih buruk daripada syirik para penyembah berhala, dan lebih buruk daripada ucapan kaum Nasrani yang mengatakan bahwa Allah adalah “salah satu dari tiga” dan memiliki istri dan anak – Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan. Sebab kaum Nasrani masih menetapkan bagi Allah kekuasaan, kehendak, dan perbuatan yang bersifat pilihan, serta hikmah – meskipun mereka menyifati-Nya dengan hal-hal yang tidak layak. Adapun golongan yang pertama tadi, mereka menafikan rububiyyah dan kekuasaan-Nya sepenuhnya, serta menetapkan bagi-Nya nama-nama tanpa hakikat dan makna.

Golongan kedua: Mereka mengakui kekuasaan Allah dan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya yang menyeluruh terhadap semua makhluk, namun mereka mengingkari hikmah-Nya serta tujuan-tujuan mulia dari ciptaan-Nya yang menjadi maksud dari perbuatan dan perintah-Nya. Mereka menetapkan takdir tetapi menolak hikmah. Golongan ini adalah mereka yang menafikan adanya ta’lil (penyebab), sebab, kekuatan, dan tabiat dalam makhluk. Menurut mereka, Allah tidak berbuat karena sesuatu atau demi sesuatu. Dalam pandangan mereka, tidak ada huruf lām (لـ) yang menunjukkan sebab atau tujuan dalam Al-Qur’an, juga tidak ada huruf bā’ (بـ) yang menunjukkan sebab. Setiap lām yang secara lahir menunjukkan tujuan, mereka tafsirkan sebagai lām akibat, dan setiap bā’ yang menunjukkan penyebab, mereka tafsirkan sebagai bā’ penyertaan.

Golongan ini kemudian diserang oleh para penolak takdir atas dasar penafian mereka terhadap hikmah, ta’lil, dan sebab-sebab. Para penolak takdir ini memanfaatkan cela tersebut dan memperbesar aib mereka. Demi Allah, sungguh mereka benar dalam banyak hal yang mereka jadikan celaan, karena penafian terhadap hikmah, ta’lil, dan sebab-sebab memang membawa konsekuensi yang sangat buruk.

“Komitmen terhadap pendapat tersebut merupakan bentuk keras kepala yang nyata menurut akal sehat kebanyakan manusia.”

Golongan ketiga: Mereka mengakui hikmah Allah, menetapkan adanya sebab-sebab, tujuan, dan maksud dalam perbuatan serta hukum-Nya, namun mereka mengingkari kesempurnaan kekuasaan-Nya. Mereka menafikan bahwa Allah memiliki kekuasaan terhadap sebagian besar alam semesta, khususnya yang paling mulia di dalamnya: amal perbuatan para malaikat, jin, dan manusia serta ketaatan mereka. Menurut mereka, semua itu tidak berada dalam kekuasaan Allah, dan Allah tidak disifati memiliki kekuasaan atasnya, tidak termasuk dalam kehendak-Nya maupun dalam kerajaan-Nya. Mereka berpendapat bahwa tidak ada dalam kekuasaan Allah untuk menjadikan seseorang beriman atau seorang yang shalat menjadi orang yang mendirikan shalat, atau menjadikan seseorang memperoleh taufik—bahkan menurut mereka, manusialah yang menciptakan dirinya sendiri dalam keadaan seperti itu. Mereka juga meyakini bahwa amal perbuatan makhluk, baik dari malaikat, jin, maupun manusia, terjadi tanpa kehendak dan pilihan Allah—Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan.

Golongan ini kemudian dihantam oleh para penolak hikmah, tujuan, dan sebab, yang menyerang mereka dari berbagai arah, mencela dan menampakkan kontradiksi mereka. Mereka melontarkan berbagai celaan dan tuduhan berat terhadap golongan ini. Sebab, penafian terhadap kekuasaan Allah atas sebagian kerajaan-Nya membawa konsekuensi yang sangat buruk, tercela, dan merusak akidah. Mempertahankan keyakinan ini adalah bentuk pembangkangan nyata di hadapan akal sehat manusia kebanyakan. Namun jika mereka menolak untuk berkomitmen terhadap pendapat itu, maka berarti mereka berada dalam kontradiksi yang jelas. Maka akhirnya, mereka berada dalam posisi yang terombang-ambing antara dua hal: kontradiksi (yang itu adalah kondisi terbaik mereka) atau komitmen terhadap keyakinan-keyakinan berbahaya yang bisa mengeluarkan seseorang dari keimanan—sebagaimana halnya dengan para penolak hikmah, sebab, dan tujuan dari perbuatan Allah.

Maka Allah memberi petunjuk kepada golongan keempat terhadap kebenaran yang diperselisihkan oleh golongan-golongan sebelumnya, dengan izin-Nya:
“Dan Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqarah: 213)

Mereka beriman kepada seluruh isi kitab (wahyu), menerima seluruh kebenaran, menyetujui setiap golongan atas bagian kebenaran yang mereka miliki, dan menolak bagian kebatilan dari setiap golongan. Mereka meyakini bahwa seluruh ciptaan dan perintah Allah terjadi dengan kekuasaan dan syariat-Nya, dan bahwa Dialah yang Maha Terpuji dalam ciptaan dan perintah-Nya. Mereka meyakini bahwa Dia memiliki hikmah yang mendalam, nikmat yang sempurna, dan bahwa Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada satu pun dari hal-hal yang ada—baik zat, perbuatan, maupun sifat-sifatnya—yang keluar dari kekuasaan-Nya, sebagaimana tidak ada yang luput dari ilmu-Nya. Semua yang diketahui oleh ilmu-Nya, maka juga termasuk dalam kekuasaan dan kehendak-Nya.

Mereka juga meyakini bahwa Allah memiliki hujjah (argumen yang kuat) terhadap makhluk-Nya, dan bahwa tidak ada seorang pun yang memiliki hujjah terhadap Allah, melainkan Allahlah yang memiliki hujjah yang sempurna. Andaikan Allah mengazab seluruh penduduk langit dan bumi, niscaya Dia mengazab mereka tanpa berlaku zalim kepada mereka. Bahkan, azab-Nya merupakan bentuk keadilan dan hikmah, bukan semata-mata karena kehendak-Nya yang tanpa sebab dan hikmah, sebagaimana yang diyakini oleh kaum Jabariyyah.

Mereka tidak menjadikan takdir sebagai alasan bagi diri mereka maupun bagi orang lain. Mereka beriman kepada takdir tetapi tidak menjadikannya sebagai hujjah, dan mereka mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menganugerahkan kepada mereka ketaatan, dan bahwa ketaatan itu adalah bagian dari nikmat, karunia, dan kebaikan Allah kepada mereka. Sedangkan maksiat adalah berasal dari jiwa mereka sendiri yang zalim.
Mereka (golongan keempat) tidak seperti orang-orang yang jahil, yang menyandarkan dosa kepada takdir. Mereka mengetahui bahwa para pelaku maksiatlah yang sebenarnya melakukan dosa itu sendiri dan mereka sendirilah yang melakukannya. Mereka tidak menjadikan dosa sebagai dalih atas qadha dan qadar, meskipun mereka mengetahui bahwa ketetapan dan takdir Allah mencakup seluruh yang ada di alam ini—baik kebaikan maupun keburukan, ketaatan maupun kemaksiatan, kekufuran maupun keimanan. Mereka meyakini bahwa kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala meliputi semuanya sebagaimana ilmu-Nya meliputinya.

Mereka meyakini bahwa jika Allah menghendaki agar maksiat tidak terjadi, niscaya maksiat tidak akan terjadi. Dan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala terlalu mulia dan agung untuk didurhakai secara paksa. Sedangkan para hamba terlalu lemah dan hina untuk bisa memaksakan maksiat terhadap-Nya. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan segala sesuatu yang ada adalah atas kehendak-Nya. Apa yang tidak Dia kehendaki, tidak akan terjadi. Dan segala yang tidak terjadi, tidak terjadi karena Dia tidak menghendakinya. Maka, milik-Nya-lah penciptaan dan perintah, milik-Nya-lah kerajaan dan segala pujian. Dia memiliki kekuasaan yang sempurna dan hikmah yang mendalam.

Maka golongan ini adalah orang-orang yang memiliki pandangan yang benar dan sempurna.
Sedangkan golongan pertama adalah orang-orang yang buta sepenuhnya, dan golongan kedua serta ketiga adalah orang-orang yang setengah buta (buta sebelah). Masing-masing dari dua golongan tersebut memiliki satu mata yang melihat dan satu mata yang buta. Namun, kebutaan pada satu mata itu menyebar ke mata yang sehat sehingga membuatnya buta juga, atau hampir saja buta.

Dan tidaklah aneh jika kata-kata ini diulang-ulang oleh orang yang mengetahui betapa pentingnya pembahasan ini, dan betapa sangat dibutuhkan oleh jiwa manusia. Meskipun diulang berkali-kali, tetap saja hal ini berada dalam level kebutuhan yang mendesak.

Dan hanya kepada Allah-lah tempat memohon pertolongan.

Diterjemahkan dari Thariq Al-Hijratain oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 


Read more...

Followers

Google Friend Connect

Google Friend Wall

Powered By Blogger

  © Blogger template Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP