Monday, September 13, 2010

Prasangka Boleh atau Terlarang?

Dalil tidak bolehnya persangkaan:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمُُ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari sangkaan (supaya kamu tidak menyangka sangkaan yang dilarang) kerana sesungguhnya sebahagian dari sangkaan itu adalah dosa ...” QS al-Hujurat:12.

Ayat ini menunjukkan perintah untuk menjauhi kebanyakan sangkaan karena sebagian sangkaan itu dosa. Mafhumnya ada di sana sangkaan yang tidak berdosa dan tidak diperintahkan untuk menjauhinya. Kita lihat tafsir para ulama tentang hal ini:

Ibnu Katsir: “ALLAH Ta’ala berfirman dalam rangka melarang hamba-hambanya yang beriman terhadap kebanyakan prasangka yakni tuduhan dan tuduhan khianat tidak pada tempatnya terhadap keluarga, kerabat dan manusia. Karena sebagian (prasangka) itu hanyalah dosa maka hendaknya menjauhi kebanyakan darinya (prasangka) dalam rangka berhati-hati.”

Beliau menafsirkan prasangka yang dimaksud dengan tuduhan dan tuduhan khianat. Sebagai contoh ketika ada orang dimintai sumbangan tidak memberi terus kita tuduh bakhil. Orang yang menasihati kita kita tuduh dengki. Orang yang memperingatkan kesalahan seseorang kita tuduh ghibah, buruk sangka dan lain sebagainya.



al-Qurthubi berkata: “Ulama kami berkata, prasangka di sini dan di dalam ayat ini adalah tuduhan. Sisi peringatan dan pelarangan (dalam ayat ini) hanyalah tuduhan tanpa sebab yang mewajibkannya (menunjukkannya) sebagaimana orang yang dituduh berbuat keji atau minum khamr –misalnya-- padahal tidak nampak atasnya apa yang menunjukkan hal tersebut.”

Ibnu Jauzi menukil pendapat az-Zujaj tentang ayat ini: “Yaitu berprasangka kepada orang yang baik dengan kejelekan, sedangkan orang yang buruk dan fasik maka bagi kita berprasangka sama dengan apa yang nampak dari mereka”.

Sehingga berprasangka buruk kepada orang-orang yang menampakkan keburukannya tidak termasuk prasangka yang dilarang. Contohnya adalah hadis:

Datang seseorang minta izin kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka beliau berkata: "Sejelek-jelek saudara kerabat(kabilah)!", ketika orang itu duduk beliau berseri-seri wajahnya dan ramah kepadanya...." (HR Bukhari dan Muslim)

Tidaklah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut prasangka yang diharamkan.

Bahkan di dalam syari’at Islam banyak hal yang didasarkan persangkaan:

Ketika seorang Qadhi atau Hakim menghukum seseorang yang berbuat kejahatan, tidak mungkin dia lepas dari persangkaan sebab bukti-bukti serta saksi saksi tidaklah sampai ke derajat yakin. Kalau persangkaan Hakim berdasar bukti-bukti serta saksi yang ada bahwa si penjahat bersalah lebih kuat dari sangkaan bahwa si penjahat tidak bersalah, maka Qadhi atau Hakim boleh menjatuhkan hukuman, jika sebaliknya maka tidak boleh. Tidak perlu harus sampai kepada derajat yakin atau pasti.
Bahkan si Hakim pun boleh menolak persaksian seseorang berdasar persangkaan melalui data-data yang ada walaupun tidak sampai ke level yakin atau pasti.

Begitu pula mengamalkan hadis-hadis yang shahih walaupun hanya dari satu jalur riwayat tentu tidak lepas dari persangkaan.

So janganlah kita mudah menuduh orang lain yang tidak sejalan dengan kita dengan label-label : buruk sangka kepada saudaranya. Sebab menuduh orang lain tanpa bukti itu adalah salah satu dari persangkaan yang dilarang.

ALLAH A’lam


Read more...

Cinta dan Kekerasan, Benci dan Kelembutan

Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

"Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga mencintai untuk saudaranya apa-apa yang dia cintai untuk dirinya"

"maa" adalah isim maushul berarti apa-apa sebagai maf'ul bihi (objek) dari yuhibba. Kalau "sebagaimana" dalam bahasa arab dengan kata "kamaa".

Hadis ini --sebagaimana kadang-kadang disalah fahami-- tidak bicara cinta kepada saudaranya tapi mencintai (sesuatu) untuk saudaranya. Artinya berbeda antara cinta
kepada saudara dengan mencintai (sesuatu) untuk saudara.



Contoh cinta kepada saudara: aku cinta kepada dia karena dia ibadahnya bagus.

Contoh cinta untuk saudara (apa-apa yang dia cintai untuk dirinya):

aku cinta punya mobil maka aku juga suka saudaraku punya mobil.

aku cinta mengikuti kebenaran maka aku juga cinta saudaraku mengikuti kebenaran.

Sehingga kelaziman atau konsekuensi cinta untuk saudaranya itu adalah mengajarinya, menasihatinya, menegurnya kalau melenceng dari kebenaran sampai menghukumnya kalau diperlukan supaya tetap di atas kebenaran.

Cinta tidak selalu identik dengan lembut walaupun asal dari cinta adalah lembut, kadang-kadang bahkan seringkali cinta itu menjadi harus keras. Contoh ketika Rasulullah shallallah 'alaihi wa sallam melihat tumit para sahabat tidak terkena air wudhu, apa teguran beliau?

ويل للأعقاب من النار

"Celakalah tumit-tumit dari neraka" (HR Bukhari dan Muslim)

Pertanyaan saya, ini sikap keras atau lembut?
Ini beliau shallallahu 'alaihi wa sallam lakukan karena cinta atau bukan?

Contoh yang kedua: Saat seorang sahabat memakai cincin emas, apa yang Rasulullah shallallah 'alaihi wa sallam?

beliau mencopot paksa dan mebuangnya sambil berkata:

يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَجْعَلُهَا فِي يَدِهِ

"Salah seorang kalian bermaksud dengan kerikil (bara) dari api kemudian dia jadikan di tangannya" (HR Muslim)

Pertanyaan saya, ini sikap keras atau lembut?
Ini beliau shallallahu 'alaihi wa sallam lakukan karena cinta atau bukan?

Contoh yang lain banyak banyak sekali baik dan juga dicontohkan sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in.

Salah satu contoh ada di tafsir QS At-Taubah: 118 dan kisah asbabun nuzulnya tentang Kisah Ka'ab bin Malik yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim serta disebut an-Nawawi dalam Riyadhush Shalihin dalam Bab Taubat.

Bagaimana di situ sedih dan sampai menangisnya Ka'ab bin Malik diboikot Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan seluruh sahabat, bahkan oleh istrinya sendiri karena tidak ikut perang Tabuk, padahal orang-orang munafik yang berbohong dengan meyampaikan 'udzur tidak ikut perang malah disikapi baik dan dimohonkan ampun oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (karena melihat dzahirnya, bukan melihat hatinya). Kalau mau cari kebenaran silakan dibaca, kalau tidak punya bisa saya kirimi.

Sikap keras luar biasa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabat kepada Ka'ab bin Malik dan dua sahabatnya ini karena cinta atau bukan?

Sikap lembut dan memohonkan ampun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada orang-orang munafik ini apakah berarti cinta pada orang munafik? tentu saja tidak sebab orang-orang munafik ini ma'ruf dan dikenal di kalangan sahabat.

Sebaliknya sikap lembut tidak selalu identik dengan cinta, contoh:
Dari 'Aisyah radhiallahu 'anha:
Datang seseorang minta izin kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka beliau berkata: "Sejelek-jelek saudara kerabat(kabilah)!", ketika orang itu duduk beliau berseri-seri wajahnya dan ramah kepadanya...." (HR Bukhari dan Muslim)

Apakah lemah lembutnya itu karena cinta atau bukan? padahal orang itu di-"ghibah" dengan sejelek jelek saudara kerabat (kabilah). Ini menunjukkan bahwa ghibah juga tidak selalu terlarang sebagaimana Imam Nawawi menjelaskan ghibah yang dibolehkan dalam Riyadhush Shalihin.

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menukil al-Imam al-Khattabi berkaitan dengan “ghibah” yang dilakukan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: Justru wajib atas beliau untuk menjelaskan hal tersebut (kejelekan orang itu) dan membuka dan memperkenalkan pada orang banyak keadaan orang tersebut (kejelekannya) karena itu termasuk bab nasihat dan kasih sayang kepada ummat ini.

Ibnu Hajar dalam Fathul Bari juga menukil perakatan al-Imam al-Qurthubi:

Dalam hadis ini terdapat bolehnya ghibah kepada orang yang terang-terangan melakukan kefasikan atau kekejian dan semacamnya seperti dzalim dalam hukum, penyeru bid’ah bersama kebolehan mudarah (bersikap lembut karena alasan agama) karena takut kejelekan mereka selama tidak mengarah kepada mudahanah (bersikap lembut karena alasan duniawi dengan mengorbankan agama) di dalam agama ALLAH Ta’ala.

Kemudian mengomentari hadis di atas sana (hadis tentang cinta pada saudara muslim), Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari menukil ucapan al-Hafidz al-Kirmani:

"Dan termasuk keimanan juga adalah membenci untuk saudaranya apa-apa yang dia benci untuk dirinya sendiri dari kejelekan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutnya sebab cinta pada sesuatu melazimkan benci pada sebaliknya, maka beliau meninggalkan nash atasnya (atas benci) karena telah mencukupi."

Lihatlah jelinya para Ulama dalam memahami hadis, jadi membenci itu termasuk kelaziman dari mencintai. Kalau mau beriman dengan sempurna maka bencilah untuk saudaranya apa-apa yang dia benci untuk dirinya sendiri. Kalau saudaranya berbuat salah, bid'ah dan maksiat ya jangan biarkan tapi ya diingatkan tapi tentu saja semata-mata karena ALLAH Ta'ala. Caranya bisa lembut bisa keras tergantung situasi dan kondisi.

Dan hal yang penting benci tidak identik dengan lembah lembut juga tidak identik dengan kasar dan keras. Benci bisa jadi lemah lembut kalau diperlukan, bisa jadi keras kalau diperlukan.

Benci dan cinta karena ALLAH ada pembahasannya tersendiri sedang sikap lembut dan keras ada pembahasannya sendiri. Semua ada timbangan syar'inya dan dasar ilmunya.

Apakah benci dan cinta serta keras dan lembut kita sudah berdasar ilmu atau hanya perasaan? silakan dijawab sendiri-sendiri.



ALLAH A'lam


Read more...

Friday, December 18, 2009

Tafsir Surat al-Baqarah: 186

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran (al-Baqarah 2:186).

Latar belakang turunnya ayat tersebut:

Ibnul Jauzi dalam tafsirnya (I / 189) menyebut lima peristiwa:

Pertama: Seorang arab badui mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata: Apakah Rabb kita dekat sehingga kita bermunajat (berbisik) dengan-Nya ataukah jauh sehingga kita menyeru-Nya? maka turunlah ayat ini.

Kedua: Yahudi Madinah berkata: Wahai Muhammad! Bagaimana Rabb kita mendengar doa kita sedangkan engkau menganggap antara kita dan langit berjarak perjalanan 500 tahun? Maka turunlah ayat ini.

Ketiga: Mereka (sahabat) berkata: Wahai Rasulullah! Seandainya kita mengetahui kapan waktu yang paling disukai Allah untuk kita berdoa dengan doa kami. Maka turunlah ayat ini.

Keempat: Sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: Di mana Allah? Maka turunlah ayat ini.

Kelima: Ketika diharamkan makan dan hubungan suami istri setelah bangun tidur pada masa awal-awal diwajibkannya puasa atas orang-orang Islam, seorang dari mereka (sahabat) makan setelah bangun tidur dan seorang behubungan suami istri setelah bangun tidur, maka mereka bertanya: Bagaimana cara bertaubat dari apa yang telah mereka lakukan?. Kemudian turunlah ayat ini.

Peristiwa-peristiwa tersebut sebagai latar belakang turunnya ayat ini juga disebutkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari (III / 223 – 225), Ibnu Katsir (II / 186 – 187), al-Baghawi (I / 204) dan al-Qurthubi (III / 177 – 178).

Tafsir:

Ibnu Jarir ath-Thabari berkata dalam tafsirnya (III / 222):

“Allah Jalla tsanaa’uhu dengan ayat tersebut bermaksud: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepada engkau, wahai Muhammad, tentang Aku, Di manakah Aku? Maka sesungguhnya Aku adalah dekat dengan mereka, Aku mendengar doa mereka dan Aku menjawab doa orang yang berdoa di antara mereka”.

al-Baghawi dalam tafsirnya berkata (I / 204):

“Di dalam ayat ini ada yang tersirat, seakan-akan Allah berkata: Maka katakanlah kepada mereka bahwa sesungguhnya Aku adalah dekat dengan mereka dengan ilmu, tidak ada satupun yang tersembunyi, sebagaimana firman-Nya:

وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ

... , dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (Qaf 50:16)”


Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya (II / 188):

“Ini seperti firman-Nya ta’ala:

إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ

Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan (an-Nahl 16:128),

sebagaimana firman-Nya kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihima as-salam:

إِنَّنِي مَعَكُمَآ أَسْمَعُ وَأَرَى

sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat (Thaha 20:46),

dan maksud dari ayat ini bahwa Allah ta’ala tidaklah mengecewakan orang yang berdoa, dan tidak ada satupun yang menyibukkan-Nya (sehingga tidak mendengar), justru Dia maha mendengarkan doa. Di dalam ayat ini terdapat penyemangat untuk berdoa dan bahwa Allah ta’ala tidaklah mensia-siakannya (doa) ...”

asy-Syinqithi dalam Adhwa’ al-Bayan (I / 143) berkata:

“Allah menyebutkan dalam ayat ini bahwa Allah Jalla wa ‘Alaa dekat dan menjawab doa orang yang berdoa dan Allah menjelaskan dalam ayat yang lain adanya ketergantungan (syarat yakni) dengan kehendak-Nya. Ayat itu adalah:

فَيَكْشِفُ مَاتَدْعُونَ إِلَيْهِ إِن شَآءَ

maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepada-Nya, jika Dia menghendaki (al-An’am 6:41),

Dan sebagian (ulama tafsir) berkata (tentang ayat 6:41): ketergantungan (dikabulkannya doa) dengan kehendak (Allah) adalah untuk doa orang-orang kafir sebagaimana dzahir konteks ayatnya (artinya doa orang kafir dikabulkan dengan syarat Allah menghendakinya). Sedangkan janji mutlak (dikabulkannya doa) adalah untuk doa orang-orang yang beriman. Doa-doa mereka (mu’min) tidaklah ditolak, mungkin diberikan langsung seperti yang mereka minta, atau Allah menyimpan (untuk di akhirat) hal yang lebih baik untuk mereka, atau Allah menghindarkan kejelekan dari mereka dengan takdir-Nya. Sebagian ulama berkata: Maksud dari doa adalah ibadah dan maksud ijabah (menjawab) adalah pahala (sehingga “Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku” bermakna: ”Aku memberikan pahala ibadah orang yang beribadah kepada-Ku apabila ia beribadah”), maka tidak ada kesulitan dalam memahaminya”.


al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya (III / 177):

“Firman Allah Ta’ala:

وَإِذَا سَأَلَكَ

(Dan apabila mereka bertanya kepadamu ...)
bermakna: dan apabila mereka bertanya kepadamu tentang sesembahan mereka (Allah), maka beritahukan kepada mereka bahwa Dia adalah dekat, Dia memberi pahala atas ketaatan, menjawab orang yang berdoa dan mengetahui apa yang diperbuat hamba-Nya yang berupa puasa, shalat dan ibadah-ibadah yang lain”.

Beliau juga berkata (III / 178):

“Firman-Nya Ta’ala:

فَإِنِّي قَرِيبٌ

(Maka sesungguhnya Aku adalah dekat)
yakni: dengan jawaban-Nya, ada yang berkata: dengan ilmu-Nya. Ada juga yang berkata: dekat kepada wali-wali-Ku dengan memuliakan dan memberi nikmat pada mereka”.

Beliau melanjutkan (III / 178):

“Firman-Nya Ta’ala:

أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ


(Aku menjawab doa orang yang berdoa kepada-Ku)
yakni: Aku menerima ibadah orang yang beribadah kepada-Ku, maka doa tersebut bermakna ibadah kepada-Nya. Ijabah (menjawab) tersebut bermakna menerima ibadah mereka”.

Beliau melanjutkan (III / 184 - 185):

فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي

(Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku))

Abu Raja’ al-Khurasani berkata: Maka hendaknya mereka berdoa kepada-Ku. Ibnu ‘Athiyah berkata: maknanya adalah: hendaknya mereka mencari jawaban (doa) mereka. Ini termasuk bab (wazan) istaf’ala yang bermakna thalaba (mencari sesuatu) kecuali seperti istaghnallah (yang bermakna menganggap yakni menganggap dirinya kaya atau cukup dari Allah). Mujahid dan yang lainnya berkata: maknanya: Hendaknya mereka menjawab (memenuhi panggilan) Ku terhadap apa yang telah aku serukan (panggil) pada mereka dari keimanan yakni : untuk taat dan beramal. Dikatakan: ajaaba dan istajaaba bermakna sama (yakni menjawab atau memenuhi panggilan).

Sedangkan ar-rasyaad (berpetunjuk) adalah kebalikan dari al-ghaiy (sesat) dari
rasyada yarsyudu rusydan.

al-Harawi berkata: ar-rusydu – ar-rasyadu – ar-rasyaadu : al-hudaa (petunjuk) dan al-isitqaamah (istiqamah) sebagaimana firman-Nya “la’allahum yarsyuduuna””.

Asy-Syaukani berkata dalam tafsirnya yakni Fathu al-Qadir (I/337):
“Firman ALLAH:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي
(Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,)

Salah satu kemungkinan maknanya adalah pertanyaan tentang dekat dan jauh-nya ALLAH sebagaimana ditunjukkan oleh:

فَإِنِّي قَرِيبٌ
(maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.)

Kemungkinan yang lain adalah: pertanyaan tentang dijawabnya doa yang telah dipanjatkan sebagaimana ditunjukkan oleh :

أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
(Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku,)

Kemungkinan yang lain adalah: pertanyaan tentang apa-apa yang lebih umum dari yang telah disebutkan (jauh dan dekat atau jawaban dari doa).

Firman-Nya:


فَإِنِّي قَرِيبٌ
(maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.)

sebagian berkata: (dekat) dengan menjawab (doa), sebagian berkata: (dekat) dengan ilmu, sebagian berkata: dengan memberi nikmat ...”

Beliau juga berkata: “Dzahir dari makna “ijabah” (menjawab) adalah tetap kembali kepada makna bahasanya. Adapun bahwa doa adalah termasuk ibadah tidaklah melazimkan bahwa “menjawab” bermakna mengabulkan doa yakni menjadikannya ibadah yang diterima. Menjawab doa adalah perkara yang lain yang tidak sama dengan menerima ibadah (doa) tersebut. Sehingga maksudnya adalah bahwa ALLAH subhanahu menjawab dengan apa yang Dia kehendaki dengan cara yang Dia kehendaki. Kadang-kadang yang diminta diberikan dengan segera atau setelah waktu yang lama. Kadang-kadang yang berdoa dihindarkan dari bala’ (musibah) yang tidak dia ketahuinya dengan sebab dia berdoa. Ini semua dengan syarat tidak adanya hal yang melampaui batas dari orang yang berdoa dalam doanya sebagaiman firman ALLAH:

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al-A’raaf :55).

Termasuk melampaui batas dalam berdoa adalah meminta apa yang tidak berhak baginya, tidak pantas baginya, seperti orang yang meminta kedudukan di surga sama dengan kedudukan para nabi atau lebih tinggi.

Firmannya

فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي

maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku

Yakni: sebagaimana Aku telah menjawab mereka apabila mereka berdoa kepada-Ku, maka hendaknya mereka menjawab-Ku terhadap apa yang Aku serukan kepada mereka dari keimanan dan ketaatan. Dan dikatakan bahwa maknanya adalah: Sesungguhnya mereka memohon jawaban ALLAH subhanahu terhadap doa-doa mereka dengan cara menjawab (seruan) ALLAH yakni dalam menegakkan apa-apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya”.

Ibnu Rajab al-Hambali berkata dalam Rawai’u at-Tafsir (1/138-142):

“Dan tidaklah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memahamai nash-nash ini selain makna yang benar yang dimaksud. Mereka mengambil faidah dengannya berupa ma’rifat (mengenali) keagungan ALLAH dan kemuliaan-Nya; pengawasan dan penglihatan-Nya atas hamba-hamba-Nya dan pengetahuan-Nya atas mereka; kedekatan-Nya pada hamba-hamba-Nya dan ijabah-Nya atas doa-doa mereka sehingga menjadikan mereka (sahabat) bertambah-tambah khasyah (takut) kepada ALLAH, mengagungan-Nya, memuliakan-Nya, segan kepada-Nya, muraqabah (merasa diawasi-Nya) dan rasa malu (kepada-Nya). Dan mereka beribadah kepada-Nya seakan-akan mereka melihat-Nya”.

Ibnu Rajab juga berkata:

“Kemudian muncul setelah mereka orang yang sedikit wara’nya, buruk pemahaman dan maksudnya, lemah pengagungan terhadap ALLAH, lemah rasa takut (kepada ALLAH) di dalam dadanya. Mereka ingin dilihat manusia sebagai orang yang istimewa dengan pemahaman yang dalam dan kuatnya pemikiran, hingga beranggapan bahwa nash-nash ini menunjukkan bahwa ALLAH dengan dzat-Nya ada di setiap tempat sebagaimana dikisahkan pemahaman tersebut dari kelompok-kelompok jahmiyyah, mu’tazilah dan yang sejalan dengan mereka, sungguh Maha tinggi ALLAH dari apa yang mereka katakan. Pemahaman ini tidaklah terlintas pada orang sebelum mereka dari kalangan para sahabat radhiallahu ‘anhum. Mereka (jahmiyyah, mu’tazilah dan yang sejalan) adalah termasuk orang yang mengikuti apa yang mutasyabih dan mencari fitnah dan ta’wilnya. Dan sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan ummatnya dari mereka dalam hadits ‘Aisyah yang shahih dan muttafaqun ‘alaihi (al-Bukhari dan Muslim)”.

“Mereka juga terperangkap dengan pemahaman mereka yang lemah dengan maksud yang rusak terhadap ayat-ayat di dalam Kitab ALLAH (al-Quran) seperti firman-Nya:

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَاكُنتُمْ

Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. (QS al-Hadid: 4)

dan firman-Nya:

مَايَكُونُ مِن نَّجْوَى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ هُوَ رَابِعُهُمْ

Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. (QS al-Mujaadilah: 7)

Sebagian ulama salaf berkata berkaitan dengan ayat tersebut: ALLAH tidak bermaksud kecuali bahwa Dia bersama mereka dengan ilmu-Nya. Mereka (para ‘ulama salaf) bermaksud membatalkan apa yang dikatakan oleh mereka (jahmiyyah, mu’tazilah dan yang sejalan) yang tidak pernah dikatakan dan difahami dari al-Quran oleh orang sebelum mereka”.

“Termasuk yang berkata bahwa kebersamaan (ma’iyah) ini adalah dengan ilmu-Nya (bukan dengan dzat-Nya) adalah Muqatil bin Hayyan dan diriwayatkan darinya bahwa beliau meriwayatkan dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas”.

“Perkataan ini juga dikatakan oleh Adh-Dhahhak, beliau berkata: ALLAH di atas ‘arsy-Nya dan ilmu-Nya di setiap tempat”.

“Perkataan serupa juga diriwayatkan dari Malik, ‘Abdul ‘Aziz bin al-Majisyun, Ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq dan selain mereka dari pada imam-imam salaf”.

“al-Imam Ahmad meriwayatkan: terlah bercerita kepada kami ‘Abdullah bin Nafi’, beliau berkata, Malik berkata: ALLAH di atas langit dan ilmunya di setiap tempat”.

“Makna ini juga diriwayatkan dari ‘Ali dan Ibnu Mas’ud”.

“Al-Hasan berkata tentang firman-Nya Ta’ala:

إِنَّ رَبَّكَ أَحَاطَ بِالناَّسِ

Sesungguhnya Tuhanmu meliputi segala manusia (QS al-Israa: 60)

Beliau (al-Hasan) berkata: ilmu-Nya terhadap manusia”.

“Ibnu Abdil Barr dan yang lain menceritakan adanya ijma’ (kesepakatan) ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in tentang ta’wil (tafsir) firman-Nya:

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَاكُنتُمْ

Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. (QS al-Hadid: 4)

bahwa maksudnya adalah ‘ilmunya”.

“Semua ini mereka maksudkan sebagai bantahan terhadap orang yang berkata: sesungguhnya Dia (ALLAH) Ta’ala dengan dzatnya ada di setiap tempat”.

Sebagian orang yang mengaku pandai beranggapan bahwa apa yang dikatakan oleh para imam tersebut adalah salah, karena ilmu ALLAH adalah sifat yang tidak berpisah dari dzat-Nya. Ucapan ini adalah buruk sangka dengan para imam-imam Islam karena mereka tidaklah bermaksud seperti apa yang dia sangka. Mereka tidak bermaksud kecuali bahwa ilmu ALLAH melekat dengan (meliputi) apapun yang ada di seluruh tempat oleh karena itu apa ada di seluruh tempat tersebut adalah apa yang ALLAH ilmui (ketahui) bukan sifat dari dzat-Nya. Sebagaimana isyarat itu ada dalam al-Quran dengan firman-Nya:

وَسِعَ كُلَّ شَىْءٍ عِلْمًا

Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu (QS Thaha: 98)

dan

رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَىْءٍ رَّحْمَةً وَعِلْمًا

Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu (QS Ghafir: 7)

serta

ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَايَلِجُ فِي اْلأَرْضِ وَمَايَخْرُجُ مِنْهَا وَمَايَنزِلُ مِنَ السَّمَآءِ وَمَايَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَاكُنتُمْ

Kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. (QS al-Hadid: 4)”.

“Harb berkata: Aku bertanya Ishaq tentang firman-Nya:


مَايَكُونُ مِن نَّجْوَى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ هُوَ رَابِعُهُمْ

Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. (QS al-Mujaadilah: 7)

Beliau berkata: Di manapun engkau ada, Dia lebih dekat kepadamu dari pada urat lehermu dan Dia terpisah dari makhluknya.

Dan bukanlah sifat dekat ini seperti dekatnya makhluk seperti yang telah diketahui sebagaimana disangka oleh orang-orang yang sesat. Sifat dekat ini adalah dekat yang tidak menyerupai sifat dekat dari makhluk sebagaimana Yang disifati (dengan dekat) adalah:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” QS asy-Syura: 11.

Seperti ini juga perkataan tentang hadis-hadis nuzul (turunnya ALLAH) ke langit dunia, sesungguhnya sifat nuzul itu semacam sifat dekatnya Rabb kepada orang yang berdoa kepada-Nya, meminta kepada-Nya dan mohon ampun kepada-Nya.

Hammad bin Zaid pernah ditanya tentang hal teresebut, maka beliau berkata: Dia ada di tempat-Nya mendekat pada makhuqnya sebagaimana yang Dia kehendaki.

Maksudnya bahwa nuzul-Nya tidaklah berpindah dari satu tempat ke tempat lain seperti nuzulnya makhuq-makhluk.

Hanbal berkata: Aku bertanya kepada Abu Abdillah: Apalah ALLAH turun ke langit dunia? Beliau menjawab: betul. Aku berkata: Turun-Nya dengan ilmunya atau dengan apa? Beliau menjawab: Diamlah engkau dari hal ini, ada apa denganmu dengan ini? Beliau berkata: Baiklah, biarkanlah hadis itu atas apa yang diriwayatkan tanpa bagaimana tanpa batasan kecuali dengan apa-apa yang dibawa oleh atsar-atsar (riwayat-riwayat) dan apa-apa yang dibawa oleh al-Kitab (al-Quran). ALLAH berfirman:

فَلاَ تَضْرِبُوا لِلَّهِ اْلأَمْثَالَ

“Janganlah engkau mengadakan persamaan-persamaan bagi ALLAH ...” QS an-Nahl: 74.

Dia (ALLAH) turun (nuzul) sebagaimana yang Dia kehendaki dengan ilmu-Nya, qudrah-Nya, dan keagungan-Nya. Dia -yakni ilmuNya- meliputi segala sesuatu. Orang yang berusaha mensifati-Nya tidak akan mencapai derajat (ketinggian) Nya. Tidak akan jauh dari-Nya ‘azza wa jalla, orang-orang yang berlari (menjauh dari-Nya).

Maksudnya: Bahwa nuzul-Nya Ta’ala bukanlah seperti nuzulnya makhluk-makhluk akan tetapi nuzul-Nya adalah nuzul yang sesuai dengan qudrah-Nya, keagungan-Nya dan ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu. Sedangkan makhluk-makhluk tidak bisa meliputi ALLAH dengan ilmu pengetahuan. Mereka hanya mampu sampai kepada apa yang ALLAH khabarkan kepeda mereka tentang diri-Nya dan apa yang dikhabarkan tentang-Nya oleh Rasul-Nya.

Oleh karena itu salaf shalih sepakat atas membiarkan nash-nash ini sebagaimana datangnya tanpa tambahan dan pengurangan. Sedangkan apa-apa yang sudah difahami dari nash-nash (sifat) itu dan apa apa yang terbatasnya akal dalam mengetahui hakikatnya diserahkan kepada yang mengetahuinya.

Selesai ucapan Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah.

al-Qasimi dalam tafsirnya (II/431) menjelaskan makna qarib (dekat):
“Maknanya Yang dekat kepada hamba-Nya dengan cara mendengar doanya, melihat hambanya merendahkan dirinya (sungguh-sungguh memohon), dan dengan ilmu-Nya.”


Dari penjelasan para ulama di atas beberapa pelajaran yang bisa didapatkan adalah:

ALLAH Ta’ala dekat (qarib) dengan hamba-hamba-Nya dengan ilmunya bukan dengan dzat-Nya. Dzat ALLAH ada di atas ‘Arsy-Nya di atas langit sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahahaman para salaf. Sifat dekat ALLAH tidak menyerupai apapun dari makhluknya dan begitu pula sifat-sifat-Nya yang lain.

Manhaj para salaf dari kalangan para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in dalam nama-nama dan sifat-sifat ALLAH adalah membiarkan apa adanya tanpa bagaimana dan batasan-batasan yakni tanpa menanyakan bagaimananya, tanpa menyerupakan dengan makhluk-Nya, tanpa penolakan dan tanpa pengubahan dari makna asalnya.

Disyari’atkan dan diperintahkan berdo’a kepada ALLAH, karena berdoa diperintahkan maka berdo’a adalah perbuatan yang diridhai-Nya sehingga termasuk ibadah. Semakin sering berdo’a maka dia akan mendapat lebih banyak ridha dan pahala dari ALLAH Ta’ala di samping dikabulkan doanya.

ALLAH Ta’ala akan menjawab setiap doa dari hamba-hamba-Nya apabila memenuhi syarat dan tidak adanya penghalang yang mengakibatkan doa seseorang tidak dijawab oleh ALLAH Ta’ala. Jawaban ALLAH atas setiap doa tidak selalu sama persis dengan yang diinginkan hamba-Nya akan tetapi ada tiga kemungkinan seperti telah dijelaskan.

Menjawab seruan ALLAH Ta’ala yakni dengan beriman kepada-Nya dan melaksanakan keta’atan kepada-Nya adalah cara mendapatkan jawaban ALLAH atas doa-doa hamba-Nya. Maka beriman dan ta’at kepada ALLAH yakni dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya adalah salah satu sebab doa-doa hamba-Nya dijawab oleh ALLAH. Menjawab seruan ALLAH Ta’ala dengan keimanan dan keta’atan juga penyebab seseorang mendapatkan petunjuk.


ALLAH Ta’ala A’lam bi ash-shawab

al-faqir ilaa rahmati Rabbihi

NA Setiawan




Read more...

Followers

Google Friend Connect

Google Friend Wall

Powered By Blogger

  © Blogger template Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP