Penjelasan tentang Apa yang Wajib Diyakini, Diketahui, dan Diamalkan, serta Hakikat Yaqīn Menurut Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah rahimahullāh ta‘ālā ditanya:
“Apa yang wajib diyakini oleh seorang mukallaf?
Apa yang wajib ia ketahui?
Apa ilmu yang dianjurkan?
Apa itu keyakinan (yaqīn)?
Bagaimana ia diperoleh?
Apa itu mengenal Allah?”
Maka beliau menjawab:
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.
Adapun pertanyaan: “Apa yang wajib diyakini oleh seorang mukallaf?”
maka hal ini memiliki bagian global dan rinci.
Bagian global:
Wajib atas seorang mukallaf untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta mengakui seluruh apa yang dibawa oleh Rasul, berupa:
-
iman kepada Allah,
-
malaikat-malaikat-Nya,
-
kitab-kitab-Nya,
-
rasul-rasul-Nya,
-
hari akhir,
serta seluruh apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Rasul, sehingga ia mengakui seluruh berita yang disampaikan dan seluruh perintah yang diperintahkan.
Maka wajib membenarkan beliau dalam apa yang beliau kabarkan, dan tunduk kepadanya dalam apa yang beliau perintahkan.
Adapun secara rinci:
Maka setiap mukallaf wajib mengakui apa yang telah tetap baginya bahwa Rasul telah mengabarkannya dan memerintahkannya.
Adapun perkara yang Rasul kabarkan tetapi belum sampai kepadanya, dan tidak mungkin baginya untuk mengetahuinya, maka ia tidak dihukum karena tidak mengakuinya secara rinci, dan hal itu telah termasuk dalam pengakuannya secara global dan umum.
Kemudian jika ia mengatakan sesuatu yang menyelisihi hal itu dalam keadaan menakwil, maka ia keliru dan dimaafkan kekeliruannya, selama tidak terdapat darinya kelalaian dan pelampauan batas.
Karena itu:
-
wajib atas para ulama perkara-perkara keyakinan yang tidak wajib atas orang awam,
-
dan wajib atas orang yang tumbuh di negeri ilmu dan iman, apa yang tidak wajib atas orang yang tumbuh di negeri kebodohan.
Adapun perkara yang diketahui kebenarannya hanya dengan qiyās akal semata tanpa risalah, maka seseorang tidak dihukum jika tidak meyakininya.
Adapun perkataan sebagian ahli kalam:
“Sifat-sifat yang tetap dengan akal itulah yang wajib diakui, dan orang yang meninggalkannya kafir, berbeda dengan yang ditetapkan melalui pendengaran (wahyu),”
maka mereka:
-
kadang menafikannya,
-
kadang menakwilkannya,
-
kadang menyerahkan maknanya,
-
dan kadang menetapkannya,
namun mereka menjadikan iman dan kufur bergantung pada sifat-sifat rasional.
Ini tidak memiliki dasar dari salaf umat dan para imamnya, karena iman dan kufur adalah hukum-hukum yang ditetapkan melalui risalah, dan dalil-dalil syar‘ilah yang membedakan antara mukmin dan kafir, bukan semata-mata dalil akal.
Adapun pertanyaan:
“Apa yang wajib ia ketahui?”
Maka ini juga beragam.
Wajib atas setiap mukallaf untuk mengetahui:
-
apa yang Allah perintahkan untuk diimani,
-
dan apa yang Allah perintahkan untuk diketahui.
Sehingga:
-
jika ia memiliki harta yang wajib dizakati, maka wajib baginya mempelajari ilmu zakat,
-
jika ia memiliki kemampuan untuk berhaji, maka wajib baginya mempelajari ilmu haji,
dan demikian pula perkara-perkara lainnya.
Wajib pula atas umat secara umum untuk mengetahui seluruh apa yang dibawa oleh Rasul, sehingga tidak ada satu pun dari ilmu yang disampaikan Nabi ﷺ kepada umatnya yang hilang, yaitu apa yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah.
Adapun kadar ilmu yang melebihi kebutuhan individu tertentu, maka ia adalah fardu kifayah:
jika telah dilaksanakan oleh sebagian, gugur dari yang lain.
Adapun:
“Ilmu yang dianjurkan secara umum”
maka ia adalah ilmu yang diajarkan Nabi ﷺ kepada umatnya.
Namun setiap orang dianjurkan mempelajari ilmu yang paling ia butuhkan dan paling bermanfaat baginya, dan ini berbeda-beda.
Maka:
-
bagi kebanyakan manusia, keinginan untuk mengetahui kewajiban dan sunnah amal, serta janji dan ancaman, lebih bermanfaat bagi mereka.
-
setiap orang dianjurkan mempelajari apa yang ia butuhkan darinya.
-
dan siapa yang di dalam hatinya terdapat syubhat, maka bisa jadi amal yang meniadakan syubhat itu lebih bermanfaat baginya daripada selainnya.
Adapun:
“Yaqīn (keyakinan)”
maka ia adalah ketenangan hati dan menetapnya ilmu di dalamnya.
Inilah makna ucapan mereka:
“Air yang yaqīn”
yakni apabila ia telah tenang dan tidak bergerak.
Lawan dari yaqīn adalah keraguan, yaitu bentuk gerak dan kegoncangan.
Yaqīn mencakup dua perkara:
-
Ilmu hati,
-
Amal hati.
Seseorang bisa memiliki ilmu yang pasti tentang suatu perkara, namun tetap terdapat dalam hatinya gerakan dan kegelisahan dalam mengamalkan tuntutan ilmu tersebut.
Seperti mengetahui bahwa:
-
Allah adalah Rabb segala sesuatu dan Pemiliknya,
-
tidak ada pencipta selain Dia,
-
apa yang Dia kehendaki pasti terjadi dan yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi,
namun ilmu ini kadang:
-
disertai ketenangan dan tawakal,
-
dan kadang tidak disertai amal,
karena:
-
kelalaian hati dari ilmu tersebut,
-
atau lintasan yang mengalihkan kepada sebab-sebab,
-
atau selain itu.
Dalam hadis masyhur:
“Mintalah kepada Allah keyakinan dan keselamatan. Tidak ada yang diberikan kepada seseorang setelah keyakinan yang lebih baik daripada keselamatan.”
Maka orang-orang yang memiliki yaqīn, ketika diuji, mereka teguh, berbeda dengan selain mereka, karena ujian bisa menghilangkan atau mengurangi iman mereka.
Allah Ta‘ālā berfirman:
“Kami jadikan di antara mereka para pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan yakin terhadap ayat-ayat Kami.”
Adapun bagaimana keyakinan (yaqīn) itu diperoleh, maka dengan tiga perkara:
-
Yang pertama: mentadabburi (merenungi dengan mendalam) Al-Qur’an.
-
Yang kedua: mentadabburi ayat-ayat yang Allah adakan pada diri (anfus) dan cakrawala (afaq), yang menjelaskan bahwa ia (Al-Qur’an) adalah benar.
-
Yang ketiga: beramal sesuai konsekuensi ilmu.
Allah Ta‘ālā berfirman:
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka, hingga jelas bagi mereka bahwa ia adalah الحق (kebenaran). Tidakkah cukup bahwa Rabb-mu menjadi saksi atas segala sesuatu?”
Dan kata ganti (dhamir) itu kembali kepada Al-Qur’an, sebagaimana Allah Ta‘ālā berfirman:
“Katakanlah: bagaimana pendapat kalian, jika ia (Al-Qur’an) dari sisi Allah kemudian kalian mengingkarinya, siapakah yang lebih sesat daripada orang yang berada dalam pertentangan yang jauh?”
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka hingga jelas bagi mereka bahwa ia adalah الحق.”
Adapun perkataan sekelompok dari kalangan yang berfilsafat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan mutakallimah dan mutashawwifah, bahwa kata ganti itu kembali kepada Allah, dan bahwa maksudnya adalah menyebut jalan untuk mengenal-Nya dengan berdalil lewat akal, maka menafsirkan ayat dengan cara itu adalah keliru dari banyak sisi, dan ia menyelisihi apa yang disepakati oleh salaf umat dan para imamnya.
Maka Allah (Subhānahu) menjelaskan bahwa Dia memperlihatkan ayat-ayat yang disaksikan agar menjelaskan kebenaran ayat-ayat yang didengar (wahyu). Padahal kesaksian-Nya dengan ayat-ayat yang didengar itu sendiri sudah cukup.
Karena Allah—Subhānahu—tidak menunjukkan kepada hamba-hamba-Nya dengan Al-Qur’an sekadar melalui berita (khabar) saja, sebagaimana disangka oleh kelompok-kelompok dari ahli kalam.
Mereka menyangka bahwa petunjuk Al-Qur’an hanyalah melalui “berita”; sedangkan berita bergantung pada mengetahui kebenaran si pembawa berita (yakni Rasul); dan mengetahui kebenaran beliau bergantung pada menetapkan adanya Pencipta; dan mengetahui apa yang wajib, boleh, dan mustahil bagi-Nya; dan mengetahui bolehnya pengutusan para rasul; dan mengetahui ayat-ayat yang menunjukkan kebenaran mereka.
Mereka menamai pokok-pokok ini sebagai “rasionalitas (al-‘aqliyyāt)”, karena menurut mereka dalil-dalil sam‘ī (wahyu) bergantung kepada itu.
Dan ini adalah kekeliruan yang sangat besar, dan termasuk salah satu bentuk kesesatan terbesar bagi kelompok-kelompok dari ahli kalam dan bid‘ah.
Sesungguhnya Allah—Subhānahu—telah menjelaskan dalam Kitab-Nya semua yang dibutuhkan dalam pokok-pokok agama:
Dia menetapkan di dalamnya tauhid, kenabian, dan hari kebangkitan, dengan dalil-dalil yang penguatannya tidak berhenti pada sekadar “nazar” (spekulasi).
Berbeda dengan mutakallimīn dari kaum muslimin, para filsuf, dan pengikut mereka.
Dan Allah berhujjah di dalamnya dengan amsāl aṣ-ṣamadiyyah (perumpamaan-perumpamaan yang kokoh), yang merupakan timbangan-timbangan rasional yang bermanfaat untuk menghasilkan keyakinan. Dan kami telah membentangkan pembahasan ini di tempat selain ini.
Adapun “ayat-ayat yang disaksikan” (al-āyāt al-mashhūdah)
Maka apa yang disaksikan dan diketahui dengan tawatur: berupa hukuman terhadap para pendusta rasul dan orang-orang yang mendurhakai mereka, serta kemenangan para rasul dan pengikut mereka sesuai kenyataan yang terjadi; dan apa yang diketahui tentang pemuliaan Allah Ta‘ālā kepada orang-orang yang taat kepada-Nya, dan dijadikannya kesudahan bagi mereka; serta pembalasan-Nya terhadap ahli maksiat dan dijadikannya “kekalahan/putaran” atas mereka—di dalamnya terdapat pelajaran (ibrah) yang menjelaskan perintah-Nya dan larangan-Nya, janji-Nya dan ancaman-Nya, dan selain itu dari perkara-perkara yang sesuai dengan Al-Qur’an.
Karena itu Allah Ta‘ālā berfirman:
“Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab dari kampung halaman mereka pada pengusiran pertama; kalian tidak menyangka mereka akan keluar …”
hingga firman-Nya:
“Maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang punya penglihatan.”
Maka ini jelas sebagai bentuk pengambilan pelajaran dalam pokok-pokok agama, walaupun ia juga mencakup pelajaran dalam cabang-cabangnya.
Dan demikian pula firman-Nya:
“Sungguh telah ada tanda bagi kalian pada dua golongan yang saling bertemu: satu golongan berperang di jalan Allah dan yang lain kafir …”
hingga firman-Nya:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang punya penglihatan.”
Adapun “amal”
Maka beramal sesuai konsekuensi ilmu itu meneguhkan ilmu, memantapkannya, dan menyelisihinya melemahkan ilmu, bahkan bisa menghilangkannya.
Allah Ta‘ālā berfirman:
“Maka ketika mereka menyimpang, Allah menyimpangkan hati mereka.”
Dan Allah Ta‘ālā berfirman:
“Kami membolak-balikkan hati dan penglihatan mereka sebagaimana mereka tidak beriman kepadanya pada kali pertama.”
Dan Allah Ta‘ālā berfirman:
“Seandainya mereka melakukan apa yang dinasihatkan kepada mereka, sungguh itu lebih baik bagi mereka dan lebih kuat peneguhannya.”
(ayat-ayat)
Dan Allah berfirman:
“Sungguh telah datang kepada kalian dari Allah cahaya dan Kitab yang jelas.”
“Dengan itu Allah memberi petunjuk orang yang mengikuti keridaan-Nya kepada jalan-jalan keselamatan.”
Dan Allah Ta‘ālā berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya; niscaya Dia memberi kalian dua bagian dari rahmat-Nya, dan menjadikan bagi kalian cahaya yang dengannya kalian berjalan, dan mengampuni kalian.”
Adapun ilmu, maka yang dimaksud dengannya pada asalnya ada dua macam:
Yang pertama: ilmu tentang Allah itu sendiri, dan tentang apa yang Dia sifatkan pada diri-Nya berupa sifat-sifat keagungan dan kemuliaan, serta apa yang ditunjukkan oleh nama-nama-Nya yang indah.
Ilmu ini, apabila telah mengakar dalam hati, niscaya melahirkan rasa takut (khasy-yah) kepada Allah, tanpa ragu. Karena seseorang pasti mengetahui bahwa Allah memberi pahala atas ketaatan kepada-Nya dan menghukum atas kemaksiatan kepada-Nya, sebagaimana yang disaksikan oleh Al-Qur’an dan realitas nyata.
Inilah makna ucapan Abu Hayyan at-Taimi—salah seorang tabi‘ut tabi‘in—yang berkata:
“Ulama itu ada tiga:
(1) orang yang berilmu tentang Allah tetapi tidak berilmu tentang perintah Allah,
(2) orang yang berilmu tentang perintah Allah tetapi tidak berilmu tentang Allah,
(3) orang yang berilmu tentang Allah dan tentang perintah Allah.”
Maka orang yang berilmu tentang Allah ialah orang yang takut kepada Allah, dan orang yang berilmu tentang perintah Allah ialah orang yang mengetahui halal dan haram.
Dan ada seseorang berkata kepada asy-Sya‘bi: “Wahai orang alim.”
Maka ia berkata: “Sesungguhnya orang alim itu hanyalah orang yang takut kepada Allah.”
Dan Abdullah bin Mas‘ud berkata:
“Cukuplah rasa takut kepada Allah sebagai ilmu, dan cukuplah tertipu oleh Allah sebagai kebodohan.”
Jenis yang kedua, yang dimaksud dengan ilmu tentang Allah, ialah ilmu tentang hukum-hukum syariat.
Sebagaimana dalam hadits sahih dari Nabi ﷺ bahwa beliau memberikan keringanan dalam suatu perkara, lalu sampai kepada beliau bahwa ada sekelompok orang menjauhinya. Maka beliau bersabda:
“Ada apa dengan kaum yang menjauhi perkara-perkara yang aku beri keringanan padanya? Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling mengetahui tentang Allah di antara kalian dan paling takut kepada-Nya.”
Dan dalam riwayat lain:
“Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling mengetahui batasan-batasan-Nya.”
Maka beliau menjadikan ilmu tentang Allah sebagai ilmu tentang batasan-batasan-Nya.
Dan yang mendekati makna ini adalah ucapan sebagian tabi‘in dalam menggambarkan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, radhiyallahu ‘anhu, ketika ia berkata:
“Jika Allah berada di dadaku, sungguh Dia Maha Agung; dan jika aku mengetahui tentang dzat Allah, sungguh aku sangat berilmu.”
Yang dimaksud dengan itu adalah hukum-hukum Allah. Karena lafaz dzat dalam bahasa mereka tidak seperti istilah “dzat” dalam penggunaan ulama belakangan, tetapi yang dimaksud dengannya adalah apa yang dinisbatkan kepada Allah.
Sebagaimana ucapan Khubayb, radhiyallahu ‘anhu:
“Dan itu dalam (urusan) dzat Tuhan; dan jika Dia menghendaki, Dia memberkahi anggota tubuh yang terpotong-potong.”
Dan dari sini pula hadits:
“Ibrahim tidak berdusta kecuali tiga dusta, semuanya dalam (urusan) dzat Allah.”
Dan dari sini pula firman Allah Ta‘ala:
“Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah dzat (urusan) di antara kalian.”
“Dan Dia Maha Mengetahui dzat (isi) dada.”
Dan semisalnya.
Karena lafaz dzat adalah bentuk muannats dari dzū, dan ia digunakan sebagai kata sandang yang dengannya dapat disampaikan makna sifat. Maka jika yang disifati itu mudzakkar dikatakan dzū kadhā, dan jika muannats dikatakan dzāt kadhā, sebagaimana dikatakan dzāt siwār.
Jika dikatakan: “Si fulan tertimpa sesuatu dalam dzat Allah,” maka maknanya adalah dalam arah dan tujuan-Nya, yakni dalam perkara yang Dia perintahkan dan Dia cintai, dan demi-Nya.
Kemudian, karena sifat-sifat itu dinisbatkan kepada nafs (diri), maka dikatakan pula tentang diri bahwa ia memiliki ilmu, kekuasaan, dan kalam, dan semisalnya.
Lalu mereka menghapus kata sandang dan menjadikannya ma‘rifah, sehingga berkata: “dzat yang disifati”, yakni diri yang disifati.
Maka apabila para penegas ini mengatakan “dzat”, yang mereka maksud hanyalah diri yang hakiki, yang memiliki sifat dan karakter.
Dan kata sifat dan washf terkadang dimaksudkan sebagai ungkapan bahasa yang dengannya sesuatu disifati; seperti ucapan sahabat tentang “Qul huwa Allahu ahad”:
“Aku mencintainya karena ia adalah sifat Ar-Rahman.”
Dan terkadang yang dimaksud adalah makna-makna yang ditunjukkan oleh ungkapan itu, seperti ilmu dan kekuasaan.
Adapun Jahmiyyah, Mu‘tazilah, dan selain mereka, mereka mengingkari hal ini dan berkata:
“Sifat hanyalah sekadar ungkapan bahasa yang dipakai untuk menyebut yang disifati.”
Sedangkan Kullabiyyah dan pengikut mereka dari kalangan penetap sifat, membedakan antara sifat dan washf:
mereka menjadikan washf sebagai ucapan, dan sifat sebagai makna yang berdiri pada yang disifati.
Adapun mayoritas manusia, mereka mengetahui bahwa lafaz sifat dan washf pada asalnya adalah masdar, seperti janji dan perjanjian, timbangan dan berat, dan bahwa kadang dimaksudkan yang ini, kadang yang itu.
Ketika Jahmiyyah menafikan bahwa Allah memiliki sifat yang berdiri pada-Nya—seperti ilmu, kekuasaan, kehendak, dan kalam—padahal kaum muslimin menetapkannya, maka mereka berkata:
“Mereka ini menetapkan sifat-sifat yang tambahan atas dzat.”
Lalu sebagian penentang mereka dari kalangan penetap sifat menyetujui istilah ini dan berkata:
“Sifat-sifat itu tambahan atas dzat.”
Sehingga mereka memberi kesan kepada manusia bahwa ada dzat yang terpisah dari sifat, dan ada sifat yang terpisah dari dzat.
Padahal kaum penafian sifat menjelek-jelekkan dengan berbagai celaan yang bukan tempatnya, dan kerusakannya telah dijelaskan di tempat lain.
Hakikatnya, dzat yang disifati tidak mungkin terlepas dari sifat sama sekali, dan tidak mungkin ada dzat tanpa sifat.
Maka klaim adanya yang hidup, berilmu, berkuasa, dan melihat tanpa kehidupan, ilmu, dan kekuasaan, sama batilnya dengan klaim adanya ilmu, kekuasaan, dan kehidupan tanpa yang hidup, berilmu, dan berkuasa.
Bahkan klaim adanya sesuatu yang berdiri sendiri—qadim atau hadits—yang kosong dari seluruh sifat adalah mustahil menurut akal yang jernih.
Namun karena Jahmiyyah, Mu‘tazilah, dan selain mereka menetapkan dzat yang kosong dari sifat, maka penentang mereka berkata:
“Aku menetapkan sifat-sifat sebagai tambahan atas dzat yang kalian tetapkan.”
Yang dimaksud bukanlah bahwa di luar sana ada dzat yang berdiri sendiri lalu ada sifat-sifat yang terpisah darinya.
Karena itu sebagian orang berkata: “Sifat bukan dzat,” sebagaimana dikatakan Mu‘tazilah dan Karramiyyah; lalu Mu‘tazilah menafikannya dan Karramiyyah menetapkannya.
Dan sebagian berkata: “Sifat bukan dzat dan bukan pula selainnya,” sebagaimana dikatakan oleh sebagian penetap sifat seperti Abu al-Hasan al-Asy‘ari dan selainnya.
Dan sebagian berkata—sebagaimana perkataan para imam—:
Kami tidak mengatakan sifat itu dzat, dan tidak pula mengatakan ia selain dzat, karena lafaz selain itu bersifat global dan dapat menimbulkan kekaburan.
Maka salaf dan para imam menahan diri dari penggunaan lafaz “selain” dalam menafikan atau menetapkan sifat, karena mengandung keambiguan dan penyesatan.
Apabila ditanya, maka diperinci:
Jika yang dimaksud dengan “selain” adalah sesuatu yang terpisah dari dzat, maka sifat bukan selain-Nya.
Namun jika yang dimaksud adalah sesuatu yang dapat dipahami secara global meskipun bukan identik, maka ia selain dengan pengertian ini.
Dan Allah Ta‘ala Maha Mengetahui.
Semoga shalawat tercurah kepada Muhammad.
Disadur dari Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah (3/327-337)
Comments