Thursday, December 11, 2025

Nikmat sebagai Ujian, Bukan Jaminan Kemuliaan

Allah Ta‘ala berfirman:

“Apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka itu berasal dari Allah.” (QS. An-Nahl: 53).

Maka seorang hamba tidak pernah lepas dari nikmat, karunia, anugerah, dan kebaikan-Nya walau sekejap mata pun, baik di dunia maupun di akhirat.

Karena itu, Allah mencela orang yang ketika diberi sebagian nikmat-Nya lalu berkata:

“Sesungguhnya aku diberi itu karena ilmu yang ada padaku.” (QS. Al-Qashash: 78).

Dan dalam ayat lain:

“Maka apabila manusia ditimpa kesusahan, ia berdoa kepada Kami. Kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami, ia berkata: ‘Sesungguhnya aku diberi (nikmat ini) karena ilmu yang ada padaku.’” (QS. Az-Zumar: 49).

Al-Baghawi berkata:
“Dengan ilmu dari Allah bahwa aku memang pantas menerimanya.”

Muqatil berkata:
“Dengan kebaikan yang Allah ketahui ada padaku.”

Sebagian yang lain berkata:
“Dengan ilmu dari Allah bahwa aku memang layak menerimanya.”
Makna pendapat ini adalah: Allah memberikannya karena Dia mengetahui bahwa orang itu memang pantas.

Sebagian yang lain berkata:
“Ilmu itu adalah ilmu dirinya sendiri.”
Maknanya: aku mendapatkannya dengan ilmuku tentang cara-cara memperoleh harta. Ini pendapat Qatadah dan selainnya.

Ada pula yang berkata:
Maknanya: aku tahu bahwa karena aku diberi ini di dunia, maka aku memiliki kedudukan dan kemuliaan di sisi Allah. Ini sejalan dengan perkataan Mujahid:
“Aku diberi ini karena kemuliaanku.”

Allah berfirman:

“Bahkan itu adalah cobaan.” (QS. Az-Zumar: 49).

Yakni, nikmat yang diberikan itu adalah ujian yang dengannya Allah menguji hamba, apakah ia bersyukur atau kufur. Nikmat itu tidak menunjukkan bahwa ia adalah orang pilihan, yang dicintai, dan yang didekatkan oleh Allah.

Karena itu Allah berfirman dalam kisah Qarun:

“Tidakkah dia mengetahui bahwa Allah benar-benar telah membinasakan umat-umat sebelum dia yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak mengumpulkan harta?” (QS. Al-Qashash: 78).

Seandainya pemberian harta, kekuatan, dan kedudukan menunjukkan keridaan Allah dan tingginya derajat seseorang di sisi-Nya, tentu Allah tidak akan membinasakan orang-orang yang sebelumnya lebih kuat dan lebih kaya daripada Qarun. Ketika mereka tetap dibinasakan meskipun diberi kelapangan harta, maka jelaslah bahwa pemberian itu hanyalah ujian dan cobaan, bukan tanda cinta dan keridaan Allah.

Karena itu Allah kembali menegaskan:

“Bahkan itu adalah cobaan, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”

Kemudian Allah menegaskan lagi makna ini dengan firman-Nya:

“Sungguh orang-orang sebelum mereka telah mengatakan hal yang sama, tetapi apa yang mereka usahakan tidak berguna bagi mereka. Maka mereka ditimpa akibat buruk dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Az-Zumar: 50–51).

Ibnu Abbas berkata:
“Mereka telah kufur terhadap nikmat Allah ketika diberi dunia, lalu mereka bergembira dengannya dan melampaui batas. Mereka berkata: ‘Ini adalah kemuliaan dari Allah bagi kami.’”

Makna firman Allah:

“Maka apa yang mereka usahakan tidak berguna bagi mereka”

adalah: mereka mengira nikmat itu adalah tanda kemuliaan mereka di sisi Allah, namun ternyata tidak demikian, karena mereka akhirnya diazab, dan apa yang mereka kumpulkan tidak berguna sama sekali. Jelaslah bahwa nikmat itu bukanlah kemuliaan dari Allah, dan bahwa terhalangnya nikmat justru merupakan bentuk penghinaan dari-Nya.

Abu Ishaq berkata:
Makna ayat ini adalah bahwa ucapan mereka: “Allah memberi kami karena kemuliaan kami di sisi-Nya” telah menghapus amal mereka. Allah menyebut penghapusan amal itu dengan firman-Nya:

“Maka apa yang mereka usahakan tidak berguna bagi mereka.”

Lalu Allah membatalkan sangkaan batil mereka dengan firman-Nya:

“Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya?” (QS. Az-Zumar: 52).

Kesimpulannya, firman Allah:

“Karena ilmu yang ada padaku.” (QS. Al-Qashash: 78)

memiliki dua kemungkinan makna:

Jika yang dimaksud adalah ilmu dirinya sendiri, maka artinya:
Aku mendapatkannya karena pengetahuan, pengalaman, dan kecakapanku sendiri.

Jika yang dimaksud adalah ilmu Allah, maka artinya:
Aku diberi karena Allah mengetahui bahwa aku memang pantas, baik, dan berhak menerimanya—sebagai bentuk kemuliaan bagiku.

Namun ayat:

“Bahkan itu adalah cobaan”

menunjukkan bahwa pemberian itu bukan karena kemuliaan, melainkan ujian: apakah ia bersyukur atau kufur.

Ini juga sejalan dengan firman Allah:

“Adapun manusia, apabila Tuhannya mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kenikmatan, maka ia berkata: ‘Tuhanku telah memuliakanku.’ Dan apabila Dia mengujinya dengan menyempitkan rezekinya, maka ia berkata: ‘Tuhanku telah menghinakanku.’” (QS. Al-Fajr: 15–16).

Padahal kedua-duanya adalah ujian, bukan tanda kemuliaan atau kehinaan.

Jika seseorang menyandarkan nikmat kepada dirinya—kepada ilmunya, kekuatannya, atau kecakapannya—maka itu adalah bentuk kekufuran terhadap nikmat, karena inti dari syukur adalah mengakui bahwa nikmat itu dari Allah semata. Jika nikmat disandarkan kepada selain Allah, berarti ia telah mengingkarinya.

Sebagaimana kaum ‘Ad berkata:

“Siapakah yang lebih kuat daripada kami?” (QS. Fussilat: 15).

Mereka tertipu oleh kekuatan, dan orang ini tertipu oleh ilmunya. Kekuatan tidak menyelamatkan mereka, dan ilmu pun tidak menyelamatkan dia.

Dalam kondisi lain, jika ia mengira Allah memberinya nikmat karena dirinya memang layak dan berhak, maka ia telah menjadikan sebab nikmat berasal dari dirinya, bukan dari kemurahan, karunia, dan kehendak Allah. Padahal itu semua hanyalah ujian: apakah ia bersyukur atau kufur.

Bahkan seandainya nikmat itu merupakan balasan atas amal, tetap saja Allah-lah yang memberi sebab dan balasan itu. Maka semuanya adalah murni karunia, bukan hak manusia sedikit pun.

Bahkan syukur itu sendiri adalah nikmat dari Allah. Tidak ada seorang pun yang mampu bersyukur kecuali dengan pertolongan Allah. Karena itu Nabi Dawud berkata:

“Wahai Tuhanku, bagaimana aku dapat bersyukur kepada-Mu, sementara syukurku itu sendiri adalah nikmat dari-Mu yang membutuhkan syukur lagi?”
Maka Allah berfirman:
“Sekarang engkau telah bersyukur kepada-Ku.”

Dawud juga berkata:

“Seandainya setiap helai rambutku memiliki dua lisan yang terus berdzikir kepada-Mu siang dan malam, sepanjang masa, niscaya tetap tidak mampu menunaikan satu nikmat-Mu saja.”

Maka keadaan orang yang benar-benar bersyukur adalah kebalikan dari orang yang berkata:

“Aku diberi ini karena ilmu yang ada padaku.”

Serupa dengan itu firman Allah Ta‘ala:

“Manusia tidak jemu memohon kebaikan. Dan jika ditimpanya keburukan, ia menjadi putus asa lagi berputus harap. Dan jika Kami merasakan kepadanya rahmat dari Kami setelah kesusahan yang menimpanya, pasti dia akan berkata: ‘Ini adalah hakku.’” (QS. Fussilat: 49–50).

Ibnu Abbas berkata:
“Maksudnya: ‘Ini datang dari diriku sendiri.’”

Muqatil berkata:
“Maksudnya: ‘Aku lebih berhak atas ini.’”

Mujahid berkata:
“Maksudnya: ‘Ini karena amal perbuatanku; aku memang pantas menerimanya.’”

Az-Zajjaj berkata:
“Maksudnya: ‘Ini memang sesuatu yang wajib aku terima, dengan amal perbuatanku aku berhak mendapatkannya.’”

Maka Allah mensifati manusia dengan dua sifat yang paling buruk:
Jika ia ditimpa keburukan, ia menjadi putus asa. Jika disentuh kebaikan, ia lupa bahwa Allah-lah yang memberi nikmat, lalu ia sombong dan mengira dirinya memang pantas.

Kemudian ia menambahkan lagi keburukan dengan mendustakan kebangkitan dan berkata:

“Aku tidak menyangka bahwa kiamat itu akan terjadi.”

Lalu ia menambah lagi dengan prasangka dustanya: bahwa jika ia dibangkitkan, ia akan mendapat kebaikan terbaik di sisi Allah. Maka tidak tersisa sedikit pun ruang bagi kebodohan dan keangkuhan yang lebih parah dari ini.

Disadur dari Syifa'ul 'Alil (1/126-131) oleh Ibnu Al-Qayyim rahimahullaah 

0 comments:

Followers

Google Friend Connect

Google Friend Wall

Powered By Blogger

  © Blogger template Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP