Tuesday, April 15, 2025

Tafsir Al-Furqan:73

Firman Allah Ta‘ala:


﴿وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا (٧٣)﴾
(Dan orang-orang yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah bersujud padanya dalam keadaan tuli dan buta) [Al-Furqan: 73].

Penafsiran para ulama:

Mujahid mengatakan: Apabila mereka diberi nasihat dengan Al-Qur’an, mereka tidaklah menjatuhkan diri padanya dalam keadaan tuli yang tidak mendengarnya atau buta yang tidak melihatnya, tetapi mereka mendengar, melihat, dan meyakininya.

Ibnu Abbas berkata: Mereka tidak berada padanya sebagai orang tuli dan buta, tetapi mereka tunduk dan khusyuk.

Al-Kalbi berkata: Mereka jatuh (bersujud) padanya sebagai orang-orang yang mendengar dan melihat.

Al-Farra’ berkata: Ketika Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka tidak tetap dalam keadaan sebelumnya, seolah-olah mereka tidak mendengarnya — inilah yang disebut “khurur” (jatuh), dan aku mendengar orang Arab berkata: ‘Dia duduk mencaciku’ sebagaimana dikatakan ‘Dia berdiri mencaciku’ atau ‘Dia datang mencaciku’. Makna dari ayat itu sebagaimana disebutkan: mereka tidak menjadi tuli dan buta terhadapnya.

Az-Zajjaj berkata: Maknanya adalah, ketika ayat-ayat dibacakan kepada mereka, mereka jatuh bersujud dan menangis, dalam keadaan mendengar dan melihat terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka.

Ibnu Qutaibah berkata: Yakni mereka tidak bersikap acuh seakan-akan mereka tuli dan tidak mendengarnya atau buta dan tidak melihatnya.


Saya (penyusun) berkata:
Di sini terdapat dua hal: penyebutan tentang “jatuh” (الخرور), dan penegasan penafian terhadap sifat tuli dan buta.

Apakah yang dimaksud dengan “jatuh” itu adalah jatuhnya hati (yakni ketundukan batin), ataukah jatuhnya badan untuk bersujud?

Dan apakah maknanya: bahwa kejatuhan mereka bukan karena tuli dan buta, namun mereka justru menjatuhkan diri secara hati dalam bentuk ketundukan atau secara fisik dalam bentuk sujud?

Ataukah tidak ada makna “jatuh” dalam arti sebenarnya, tetapi itu hanya kiasan dari sikap duduk dan mendengarkan?

Diterjemahkan dari Al-Fawa'id oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 


Read more...

Mengingkari Kemungkaran dan Syarat-Syaratnya


Contoh Pertama:

Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menetapkan kewajiban mengingkari kemungkaran bagi umatnya, agar dengan pengingkaran itu terwujud kebaikan (ma’ruf) yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Namun, jika pengingkaran terhadap kemungkaran justru menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dan lebih dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, maka pengingkaran tersebut tidak dibenarkan, meskipun perbuatan yang diingkari itu sendiri memang dibenci oleh Allah dan pelakunya dimurkai oleh-Nya.

Contohnya adalah pengingkaran terhadap para raja dan penguasa dengan cara memberontak; hal ini menjadi sumber dari segala keburukan dan fitnah hingga akhir zaman. Para sahabat pernah meminta izin kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- untuk memerangi para pemimpin yang mengakhirkan shalat dari waktunya, mereka berkata: “Tidakkah kami perangi mereka?” Maka beliau menjawab: “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat.”

Beliau juga bersabda: “Barang siapa melihat dari pemimpinnya sesuatu yang tidak disukainya, hendaklah ia bersabar dan janganlah mencabut tangan dari ketaatan kepadanya.”

Barang siapa merenungi apa yang terjadi dalam Islam berupa fitnah-fitnah besar maupun kecil, ia akan mendapati bahwa semuanya terjadi karena menyia-nyiakan prinsip ini (yaitu bersabar atas kemungkaran) dan tidak bersabar terhadap suatu kemungkaran, sehingga berusaha menghilangkannya, namun malah menimbulkan sesuatu yang lebih besar dari kemungkaran itu sendiri.

Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dahulu di Makkah melihat kemungkaran-kemungkaran besar, namun beliau tidak mampu mengubahnya. Bahkan ketika Allah membuka kota Makkah dan menjadikannya sebagai negeri Islam, beliau berniat untuk merombak Ka’bah dan mengembalikannya sesuai dengan pondasi Nabi Ibrahim, namun beliau tidak melakukannya—padahal mampu—karena khawatir akan muncul sesuatu yang lebih besar akibat dari hal itu, yakni ketidakmampuan Quraisy untuk menerima perubahan tersebut, karena mereka baru saja masuk Islam dan belum lama meninggalkan kekufuran.

Karena itulah beliau tidak mengizinkan pengingkaran terhadap para penguasa dengan tangan, karena hal itu akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar, sebagaimana kenyataannya yang telah terjadi.


Diterjemahkan dari I'lamul Muwaqqi'in (3/12) oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 


Read more...

Syariat Dibangun atas Dasar Maslahat bagi Para Hamba

Ini adalah pembahasan yang sangat penting, di mana banyak kekeliruan besar terhadap syariat terjadi karena kebodohan terhadap prinsip ini. Akibatnya, muncul kesulitan, beban yang tak sanggup dipikul, serta anggapan bahwa syariat datang membawa sesuatu yang berat dan tak mampu dilaksanakan — padahal syariat yang agung dan bercahaya ini tidak mungkin datang membawa hal semacam itu.

Hakikatnya, dasar dan fondasi syariat adalah:

Kebijaksanaan (hikmah),

Keadilan,

Rahmat, dan

Maslahat bagi manusia dalam urusan dunia dan akhirat.


Sehingga, setiap hukum atau fatwa yang keluar dari prinsip-prinsip tersebut — menuju kezaliman, kekerasan, kerusakan, atau kebodohan — maka itu bukan dari syariat, walau dimasukkan ke dalamnya melalui takwil (penafsiran).

Syariat adalah:

Keadilan Allah di antara hamba-Nya,

Rahmat-Nya kepada makhluk-Nya,

Cahaya dan petunjuk-Nya yang menunjukkan kebenaran dan jalan keselamatan,

Obat yang menyembuhkan,

Jalan lurus yang membawa keselamatan.


Ia adalah:

Kesenangan bagi mata yang melihatnya,

Kehidupan bagi hati yang menghayatinya,

Kenikmatan bagi ruh yang mendalaminya.


Melalui syariat:

Hidup menjadi hidup yang sejati,

Tercapai seluruh kebaikan,

Terhindar dari segala kekurangan.


Seandainya syariat ini diabaikan seluruhnya, maka dunia akan hancur dan realitas akan lenyap. Maka syariat yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah tiang penopang dunia, pusat keberuntungan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Diterjemahkan dari I'lamul Muwaqqi'in oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah 


Read more...

Followers

Google Friend Connect

Google Friend Wall

Powered By Blogger

  © Blogger template Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP